Kubayar taksi yang aku tumpangi begitu kami tiba di alamat yang tertera di atas kertas. Mataku langsung melebar ketika menatap rumah di depanku yang terlihat begitu megah. “Apakah aku salah alamat?” desisku pelan sambil meraih membuka pintu taksi dan melangkah keluar dengan ragu. Saking terpesona pada rumah di depanku, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih kepada supir taksi yang sudah mengantarkanku dengan selamat sampai tujuan. Dengan tangan gemetar, aku membuka kantung kecil di tas yang menggantung di pundakku. “Tidak mungkin rumah sebagus ini diberikan padaku,” ucapku tak percaya. Kudekati pintu gerbang dan berusaha membukanya. Aku tersentak kaget, suara dentingan besi terdengar pelan, bergetar halus, tapi tegas. Gerbang perlahan bergerak, memulai dengan desisan rendah seperti mesin yang baru saja bangun dari tidur panjangnya. “Maaf, Nona Grace. Saya tidak sempat membuka pintu karena tidak tahu kalau Nona akan tiba jam segini.” Seorang pemuda berbadan kekar menyapaku, tubuh
“Jam berapa sekarang?” tanyaku pada diriku sendiri.Kulirik jam yang berdetak di dinding., waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. “Mungkin sebaiknya aku bangun sekarang.” Kuputuskan untuk membersihkan wajahku dan menemui Bik Mirna dan Bik Darmi, setelah aku selesai dengan ritual pagiku. Aku bahkan tidak punya keinginan untuk memeriksa ponselku, karena menurutku, sekarang saatnya aku menikmati hidup ini. Sudah cukup selama berbulan-bulan aku ditindas dan diperlakukan semena-mena.Begitu kakiku melangkah keluar dari pintu kamar, netraku disuguhkan dengan pemandangan mansion yang luar biasa. Di ruang tengah, terdapat jendela-jendela kaca lebar, yang langsung menyuguhkan pemandangan ke arah taman yang dipenuhi dengan bunga-bunga cantik. Di samping kiri taman, terdapat sebuah kolam renang yang sangat besar.“Wow, selera Ibu Ariani memang luar biasa dan klasik.”Aku melangkah pelan memasuki dapur, mataku tak lepas dari setiap detail yang tertata sempurna di ruang itu. Rongga hidungku langsun
‘Ma!’ sentak Gabriel kesal. Dia menggenggam ponselnya dengan kuat sehingga buku-buku tangannya memutih. Sudah hampir sepuluh menit dia membujuk Ibu Ariani untuk memberitahu di mana gerangan Grace berada. ‘Tolong, Ma. Kasih tahu aku di mana alamat Grace sekarang.'‘Biarkan wanita itu tenang selama masa kehamilannya.’ Terdengar suara tegas Ibu Ariani di ujung telepon.‘Tapi dia lagi hamil muda, Ma. Aku berhak tahu di mana dia tinggal.’‘Gabriel, dia memang hamil anakmu, tapi dia bukan istri sahmu. Kamu harus ingat akan hal itu!’Gabriel mendengus kesal, kalau saja mamanya tahu bahwa dia sudah jatuh cinta pada wanita yang sedang mengandung anaknya sekarang, entah apa pendapat sang bunda.‘Kenapa sih Mama harus merahasiakan tempat tinggal Grace yang sekarang?’ protes Gabriel yang masih belum menyerah juga. Kalau sudah masalah Grace, dia tidak akan pernah menyerah. Wanita itu harus ia temukan. Membayangkan hidupnya tanpa bertemu Grace saja, sudah membuatnya hampir gila sepanjang hari. Semu
Gabriel meraih secarik kertas di depan dan segera mencatat plat nomor dari taksi yang dikendarai Grace sore itu setelah melihat hasil rekaman CCTV yang telah dikirim oleh Benny.“Yes! Mama boleh menyembunyikan Grace dariku, tapi aku akan melakukan berbagai cara untuk mencari Grace.”Tanpa menunggu lama, Gabriel segera menelpon kantor pusat dari taksi tersebut. Ia pun meminta data tentang supir taksi, tapi rupanya, itu tidak segampang yang dia pikirkan. Kantor pusat perusahaan transport itu mempunyai kebijakan sendiri, yaitu tidak memberikan informasi tentang karyawannya kepada orang lain.Gabriel yang sudah kesal, kini semakin panas hatinya. Dia segera menghubungi temannya yang bekerja di kantor kepolisian bagian pendataan nomor-nomor plat kendaraan roda empat. Tak lama kemudian, nama, alamat, dan nomor telepon supir taksi tersebut sudah dikantonginya. Gabriel kini bisa tersenyum puas. Dia sudah tidak sabar lagi untuk mengunjungi Grace. Dengan langkah cepat, dia menuju ke tempat parki
Sarah dan Natalia segera menuju ruang kantor Natalia yang berada di bagian tengah. Begitu mereka tiba di sana, Natalia mendorong pintu kerjanya dengan pelan. Ia dan Sarah melangkah masuk dengan tawa ringan. Dari wajahnya, Sarah yang sudah tidak sabar lagi ingin melihat dan mencoba rancangan mahakarya rekan sekerjanya. Sedangkan Natalia terlihat lega setelah melewati hari-hari yang panjang. Mulai dari drama kehidupan rumah tangganya, serta proses pembuatan gaun yang memang menghabiskan waktu yang cukup lama. Bukan tanpa alasan Natalia menggunakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membuat gaun itu. Selain karena tingkat kesulitan pada gaun tersebut yang cukup tinggi, dia juga terluka akibat tindakan Gabriel yang selalu membela Grace. Namun, sekarang Grace sudah pergi jauh dari kehidupannya bersama Gabriel.Tapi saat Natalia menoleh ke arah sudut ruangan, tawanya terhenti mendadak. Terdengar jeritan yang cukup keras dari bibirnya. Napasnya tercekat, matanya membelalak tak percaya. Di
‘Hello, Ma!’ sapaku begitu wanita paruh baya itu mengangkat panggilan teleponku. Memang masih agak kaku rasanya memanggil Ibu Ariani dengan sebutan ‘mama,’ tapi itu permintaan beliau sendiri. Sudah dari pagi aku berencana menghubunginya untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih-ku atas hadiah yang telah ia berikan. ‘Hello, Grace! Bagaimana kabarmu? Mama harap, hadiah yang kamu terima sesuai dengan apa yang kamu inginkan.’‘Terima kasih, Ma. Mansion ini sangat indah dan mewah. Tapi, apakah ini tidak berlebihan, Ma?’ tanyaku dengan nada khawatir.‘Berlebih? Tidak sama sekali, Nak Grace. Kamu akan memberikan apa yang telah kami nantikan selama bertahun-tahun. Jadi, Mama dan Papa sudah sepantasnya memberikan yang terbaik untukmu.’Ada rasa haru dan khawatir secara bersamaan. Jujur, aku tidak mau terikat begitu kuat dengan keluarga ini. Aku juga tidak mau memanfaat kebaikan mereka karena telah memberikan seorang cucu yang mereka inginkan. Ah, entahlah, rasa haru dan gelisah bercampur
‘Aku berdiri di depan rumah barumu, tapi penjaga tidak mengijinkan aku masuk.’Sontak rasa kantuk, lelah dan mual dalam diriku langsung hilang entah ke mana. Bergegas aku berjalan ke arah jendela. “Sialan? Dari mana dia bisa mendapatkan alamatku?” gerutuku cemas. Aku berjalan mondar-mandir di kamar dengan perasaan bingung, antara hendak menghampiri Gabriel atau bersembunyi di sini.“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanyaku sambil kembali mengintip dari balik gorden. Kakiku ingin melangkah ke luar dan menyapa Gabriel, tapi otakku melarang. Masih teringat kata-kata Ibu Ariani yang sudah me-wanti-wanti agar aku tidak boleh berhubungan dengan Gabriel lagi. Ponselku kembali berdering dengan kencang, membuat jantungku berdegup lebih kencang lagi. Nama Gabriel tertera di layar ponsel, dengan tangan gemetar, aku menekan tombol hijau. Kutahan napas dan mendengar suara Gabriel di ujung sana.‘Hello? Grace? Aku di depan rumah barumu? Kamu ada di rumah ‘kan?’‘M-maksud kamu?’ tanyaku pura-
Suara gunting yang beradu dengan kain di dalam ruang kerja Natalia memenuhi ruangan, memecah keheningan dengan irama tajam yang konsisten. Saking sibuknya dia memotong kain, suara ketukan dari arah pintu tidak didengarnya. Memang, setelah musibah yang menimpanya hari ini, mau tidak mau, Natalia harus lembur. Namun, dia memilih untuk mengerjakan tugasnya di mansion saja karena ingin makan malam bersama Gabriel.Kini kembali terdengar ketukan yang sama di daun pintu.“Masuk!” seru Natalia sambil terus berkonsentrasi pada pekerjaannya.Dari balik pintu, terlihat Bik Sumi yang celingak celinguk mencari majikannya. “Maaf, Nyonya. Makan malam sudah siap. Apakah Nyonya ingin makan sekarang?” “Suamiku sudah pulang?” Natalia balik bertanya sambil meletakkan gunting yang terlihat sangat tajam itu di atas meja.“Belum, Nyonya. Mungkin Tuan sedang lembur.”“Kalau begitu, aku tunggu sampai Gabriel pulang saja, Bik.”“Baik, Nyonya.”Begitu Bik Sumi menghilang di balik pintu, Natalia meraih ponse