Natalia terus memacu dirinya untuk bekerja, di matanya, gaun itu tidak hanya akan terlihat cantik, tetapi juga akan memancarkan jiwanya yang selalu terpaut dengan dunia mode.Lalu sebuah ketukan di pintu ruang kerjanya, kembali memecah konsentrasinya.“Pasti Gabriel sudah pulang,” cetus Natalia dengan riang. Bergegas dia membuka pintu ruang kerjanya.“Kenapa kamu baru pul ….” Kalimat Natalia menggantung di udara begitu melihat Bik Tutik yang ada di depannya.“Mana suamiku?” tanya Natalia dengan alis berkerut. Terlihat sekali dia kecewa karena Gabriel belum juga pulang.“M-maaf, Nyonya. Tuan sudah pulang, tapi Tuan langsung naik ke atas, katanya mau mandi dulu.”“Oh, yaudah, panaskan saja dulu makanannya.”“Baik, Nyonya.”Natalia menutup pintu ruang kerjanya dan segera naik ke atas untuk menemui Gabriel. Begitu tiba di kamar, sosok Gabriel tidak ada di sana. Namun, terdengar bunyi gemericik air dari arah kamar mandi. Natalia tersenyum simpul, lalu tiba-tiba, ada ide nakal yang muncul
“Kamu sudah siap?” tanya Ibu Ariani sambil merapikan rambutku yang sengaja aku urai dengan lembut di sepanjang bahuku.“Sudah, Ma.”Ibu Ariani menatapku lama dan menarik napasnya dengan panjang.“Pantas saja Gabriel marah-marah,” cetusnya pelan.“Maksud, Mama?” Aku mengerutkan keningku dengan penuh tanda tanya.“Hah? Eh, tidak ada apa-apa. Ayo, kita berangkat sekarang.”Masih bingung dengan ucapan Ibu Ariani yang menggantung, aku mengikuti langkah kakinya menuju garasi tempat mobil di parkir. “Jangan lupa pasang sabuk pengamanmu,” pesan Ibu Ariani sambil mulai menghidupkan mesin mobilnya.“Baik, Ma.” “Apa kamu gugup? Excited? Takut?”“Takut sih, tidak. Hanya sedikit tegang karena ini pengalaman pertamaku,” jawabku jujur.“Kamu akan baik-baik saja, dan semoga cucuku juga baik-baik saja di dalam sana.” Ibu Ariani tersenyum lembut dan mulai mengemudi mobilnya keluar dari pintu gerbang. Tak lama kemudian, kami sudah ada di jalan utama. Suasana jalanan pagi itu cukup sepi, sepertinya or
“Kenapa kamu bohong padaku?” Suara dingin di belakangku, memecah keheningan dalam ruang lobby rumah sakit yang besar dan megah itu.Deg! Jantungku berhenti berdetak sejenak. Aku merasakan darah surut dari wajahku, membuatku memucat. Dengan tangan gemetar, aku berbalik, napasku tersangkut di tenggorokan. Gabriel berdiri diam, menatapku tanpa ekspresi, tapi matanya mengunci pandanganku sehingga membuat lututku lemas. Satu kata pun tidak keluar dari bibirku.“Kenapa diam? Merasa bersalah karena sudah menipuku?” sindir Gabriel dengan tatapan tajam. “Ikut aku!” Karena tidak menjawab pertanyaanku, Gabriel merangkul bahuku dengan lembut, tapi disertai ketegasan yang terasa begitu nyata.“Kamu mau ngapain?” ucapku sambil mencoba untuk menghindar dari sentuhannya.“Aku hanya ingin bicara denganmu.”“Bisa kita bicara nanti saja!”“Tidak bisa,” ucap Gabriel geram. “Jangan pernah mencoba untuk menghindar dariku,” lanjutnya dengan pandangan mata menuduh.Aku menunduk menyadari kebenaran dari ka
“Saya oleskan gel dulu ya, Bu, mungkin akan terasa lengket dan dingin, tapi itu hal yang normal,“ ucap Dokter Amelia dengan tenang.“Iya, Dokter.” Tak lama kemudian, kurasakan dingin menyejukkan di sekitar bawah perutku, Gabriel yang duduk di samping ranjang, meraih tanganku dan mengecupnya dengan lembut. Aku hanya bisa protes dalam hati, tapi kubiarkan saja dia menggenggam tanganku dengan erat. Mau bagaimana lagi coba?“Alat apa itu, Dokter?” tanya Gabriel. Kulihat wajahnya begitu penasaran pada alat yang ada dalam genggaman tangan Dokter Amelia.“Ini adalah transduser yang akan saya gunakan untuk menghasilkan gelombang suara yang memantul dari jaringan tubuh.”“Lalu?” “Nah, dari suara tadi, akan menghasilkan gema.”“Lalu gema yang dihasilkan tadi, untuk apa, Dok?”Aku hampir saja ingin menutup mulut Gabriel yang tiba-tiba cerewet seperti itu. Kugerak-gerakkan tanganku agar dia diam, tapi ia malah tidak peduli dengan kode yang aku berikan.“Gema yang dihasilkan tadi, akan terkirim
Aku dan Gabriel seolah tersihir melihat dua janin mungil di layar monitor, mereka bergerak perlahan dalam keheningan yang menakjubkan.“Grace, kita akan menjadi orang tua yang luar biasa,” ucap Gabriel sambil menatapku lembut. Aku terpana saat melihat ada kilatan yang berbeda dari tatapan Gabriel. Namun, hal itu membuat aku semakin takut. Bagaimana aku bisa lepas darinya kalau kami berdua mempunyai ikatan yang sangat kuat? Bersama dengannya saja sudah menyakitkan, apalagi berpisah. Aku tidak bisa membayangkan rasa sakitnya seperti apa.“Apakah kalian ingin tahu jenis kelamin dari anak-anak kalian?” Aku dan Gabriel saling berpandangan, seakan ingin mencari tahu jawabannya lewat pancaran netra kami berdua.“Ya, kami ingin tahu jenis kelamin anak kembar kami,” jawab kami kompak. Kembali aku dan Gabriel saling pandang, menyadari kesamaan dari ucapan kami.“Baiklah kalau begitu,” ucap Dokter Amelia sambil tersenyum simpul. Dia pun segera mengerjakan tugasnya.Aku yang masih dalam posisi b
“Ayo, kita temui mama sekarang,” ajak Gabriel begitu kami keluar dari ruang ultrasound. Dengan lembut, ia membimbingku keluar. Proses pemeriksaan tadi ternyata benar-benar menguras tenaga dan emosiku. Namun, kebahagiaan yang merayap di dalam hati ini, tidak bisa aku sembunyikan. Senyuman di sudut bibirku seakan betah bertengger di sana dari tadi.“Mungkin lebih baik kita jaga jarak agar mama tidak memarahimu lagi,” kataku memperingatkan Gabriel yang sudah berperan sebagai suamiku selama satu jam lebih di dalam ruang pemeriksaan.“Bagaimana kalau kamu jatuh atau terpeleset? Aku tidak peduli dengan kemarahan mama,” jawab Gabriel keras kepala. Tangannya tetap bertengger dengan nyaman di bahuku. Merangkulku dengan hangat dan mesra. Aku hampir tertawa mendengar ucapan Gabriel yang berlebihan. Namun, perlahan tapi pasti, aku menepis tangannya dan menatapnya putus asa.“Gabriel, kita berdua bukan siapa-siapa.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, hatiku terasa begitu remuk, seperti ada tang
“Ma, aku yang akan mengantarkan Grace pulang,” desak Gabriel keras kepala. Entah sudah beberapa kali, Gabriel memohon pada Ibu Ariani untuk mengizinkannya melakukan hal itu. Aku menatap Ibu Ariani dengan wajah cemas. Gabriel belum tahu aku tinggal di mana, dan di sisi lain, aku juga telah membohonginya mengenai alamat palsu dan jadwal ultrasound.“Tidak bisa! Mama mau mengajak Grace belanja barang-barang keperluan untuk cucu-cucu mama. Kamu tahu kan, begitu banyak hal-hal kecil dan besar yang harus kita persiapkan sebelum si kembar lahir.”“Please, Ma. Aku juga bisa menemaninya berbelanja. Buat saja daftar belanjanya, nanti aku dan Grace yang akan menyiapkan semuanya.”“Alaaah! Sejak kapan kamu punya kesabaran untuk menemani para wanita berbelanja?” ketus Ibu Ariani sambil menatap gemas putranya yang ngotot itu. Melihat perdebatan mereka, aku hanya bisa mengulum senyum. Aku jadi merindukan mama dan papa saat ini. “Ma, aku kan ayah dari anak-anak ini, sudah seharusnya aku yang menema
“Ma, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan sama Mama,” ucapku dengan hati-hati. Aku tidak mau membuat mama tersinggung karena pertanyaanku. “Katakan saja, Nak. Jangan membuat mama menebak-nebak.”“Apakah Grace melakukan perjanjian ini karena keinginannya sendiri atau bagaimana?”Kutatap mama dan berharap beliau juga jujur kepadaku sama seperti yang biasa aku lakukan terhadapnya."Ma, tolong jawab pertanyaan aku," tuntutku dengan nada rendah. Namun, mama hanya berdiri dengan gelisah seakan sedang menyembunyikan rahasia besar dariku. “Ma?” panggilku lembut, “tolong katakan yang sebenarnya. Siapa tahu, setelah mendengar penjelasan Mama, aku lebih bisa menjaga jarak dan sikap.”“Awalnya, Grace tidak tahu tentang perjanjian itu.”“Maksudnya?”Mama menatapku dengan gusar. “Kenapa kamu tidak tanya Grace secara langsung?”Aku langsung mendengus kesal.“Bagaimana aku mencari tahu tentang hal ini, Ma? Grace menyuruhku untuk mencari tahu sendiri atau bertanya langsung sama Mama, sedangkan Mama me
Pria itu mendekati dan meraih wajahku. Aroma tubuh dan mulutnya membuat aku ingin muntah. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Siapa gerangan pria ini sebenarnya."Diam!! bentaknya kasar.“Kenapa aku harus diam, orang jahat?!” sentakku tak mau kalah."Tutup mulutmu, sebelum aku yang menutupnya."Aku tidak peduli, sekuat tenaga, aku berteriak lagi dengan suara yang lebih keras, dan hasilnya si pria itu menutup mulutku dengan telapak tangannya. Dengan kasar, dia memerintah anak buahnya untuk mengambil lakban dan menempelnya secara sembarangan hanya untuk menutup mulutku yang masih ingin berteriak.“Sekali lagi kamu berteriak, maka aku akan menutup bibir seksimu itu dengan cara yang lebih menyenangkan. Akan kubuat rongga mulutmu penuh dengan ciumanku.”Mendengar ancamannya, aku langsung mual, dasar laki-laki mesum. Siapa sih dia sebenarnya? Perasaan selama ini, aku tidak pernah mempunyai musuh. Kenapa tiba-tiba aku disekap seperti ini?Pria itu berjalan mengelilingi kursi yang aku duduki,
"Aku akan mencari tahu siapa kamu sebenarnya," guman Gabriel pelan penuh percaya diri.Ia merapikan jasnya yang sedikit kusut akibat kemarahan tadi, lalu melirik ke jam tangan. ‘Grace pasti sudah menunggu terlalu lama,’ pikirnya. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan taman, pikirannya tetap berputar, merencanakan langkah selanjutnya. Taman itu kembali sunyi, hanya suara angin dan dedaunan yang menjadi saksi. Lampu-lampu taman yang redup, seakan memberikan arah kepadanya, ke mana dia harus melangkah.Gabriel mempercepat langkah kakinya, ia sudah tidak sabar lagi untuk menemui Grace. Begitu tiba di tempat parkir, dari kejauhan, dia tidak melihat sosok Grace di jok depan mobil. Jantung Gabriel seperti berhenti berdetak. Tanpa sadar, langkah kakinya terpacu untuk segera tiba di tempat tujuan.“Grace!” teriak Gabriel saat mendapati wanita itu tidak ada dalam mobil. Dengan kalut, Gabriel memeriksa kursi penumpang, berharap kalau Grace sedang bermain petak umpet atau sekedar menakuti dirinya
“Ayo, aku antarkan kamu pulang,” putus Gabriel sambil berdiri di depanku, lalu mengulurkan salah satu tangannya. Begitu aku hendak menyambut uluran tangan Gabriel, tanpa sengaja, aku melihat bayangan seseorang dari balik pohon besar tidak jauh dari tempat kami berdiri.Deg! Perasaanku tidak enak, aku merasa bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikan kami berdua sedari tadi. Kuraih tangan Gabriel dan memberi kode padanya dengan gerakan bibir yang sangat pelan.‘Ada seseorang di belakang pohon yang sedang memperhatikan kita, Gabriel.’ Awalnya, ia terlihat bingung, tapi kemudian, ia memicingkan matanya berusaha membaca gerakan bibirku.‘Coba ulangi apa yang kamu katakan tadi,' bisiknya nyaris tak terdengar.Aku mengulang kembali ucapanku dengan perlahan sampai kulihat Gabriel memahami apa yang aku maksud. Gabriel mengangguk pelan, tatapan matanya menjadi waspada, dan ia langsung melindungiku dengan cara melingkarkan tangannya ke bahuku. Sikapnya sangat protektif seperti itu membuatku
Begitu keluar dari lobi, aku menemui Gabriel yang sedang menungguku di taman rumah sakit. Dia terlihat begitu tegang dan bingung. “Ada apa?” tanyaku prihatin, Gabriel tidak menjawab pertanyaanku, tapi langsung memelukku erat. Merasakan bahunya bergetar dalam dekapanku, refleks membuatku mengelus kepalanya dengan pelan.“Aku merindukanmu, Grace,” bisik Gabriel nyaris tak terdengar. Pelukan dan belaian tanganku, ternyata mampu membuatnya kembali tenang.Tak lama kemudian, dia melepaskan pelukannya, menangkup wajahku dan membelainya dengan penuh kerinduan. Ya, kerinduan yang mungkin telah tersimpan setelah sekian hari kami tidak bertemu.“Are you alright?” Kutatap netranya dan mendapati ada kegelisahan yang menghantui pikirannya. Ingin rasanya aku menghapus kegelisahan itu dan menggantinya dengan perasaan nyaman dan aman.“Banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini sehingga aku tidak sempat menjengukmu.” “Jangan pikirkan hal itu, Gabriel. Aku baik-baik saja.” Aku tersenyum singkat, be
Aku menahan napas, jantungku berdegup kencang. Aku harus menyembunyikan kehamilan ini. Tak boleh ada seorang pun yang tahu, termasuk mama. Biarlah aku sendiri yang menanggung semua ini.Tangan mama semakin dekat, dan aku tak tahu harus berbuat apa. Satu gerakan salah saja, semuanya bisa terbongkar.Kriiing …. Dering telepon dari dalam tasku, membuat kami berdua kaget, mama mengurungkan niatnya untuk menyentuh perutku. Sambil pura-pura sibuk mencari ponsel di dalam tas, aku melirik mama dengan sudut mataku. Beliau terlihat mengambil rantang makanan dan memeriksa isinya. Untungnya, tangan mama masih berfungsi, kaki beliau saja yang lumpuh total. Aku hanya berharap satu hal, yaitu agar terapi yang sedang mama jalani saat ini, bisa membantu mama keluar dari krisis ini.“Siapa yang telepon?” tanya mama memecah lamunan singkatku.“Emm, teman, Ma,” bohongku saat melihat nama Gabriel yang tertera di layar utama.“Oh, kenapa tidak diangkat?”“Tidak apa-apa, Ma. Paling kalau penting, dia akan
“Aku akan melakukan yang terbaik untuk papa.”“Bagus, Nona. Dalam minggu ini, kami akan memulai terapi saraf, dan memberikan rangsangan otak untuk mengaktifkan kembali jaringan-jaringan otak yang masih berfungsi dari Pak Kristanto.”Aku hanya mengangguk, menahan luapan bahagia yang nyaris pecah. Lalu pintu kamar terbuka perlahan, diikuti derit halus roda kursi. Mama muncul, dibantu oleh seorang suster. Sorot matanya nanar, bingung, mengamati kami yang berdiri dengan tegang di dekat ranjang papa.“Ada apa dengan papa? Kenapa kalian ngumpul di sana?” tanya mama sambil terus mendorong kursi rodanya ke arah kami.Aku berlutut di depan mama, meraih tangannya dan menempelkannya di pipiku, membiarkan dinginnya menenangkan rasa panikku. "Ma …, papa merespon dengan gerakan kecil. Ia merasakan sentuhan dan suara orang-orang di sekitarnya."Mama membeku. Wajahnya, yang selama ini selalu muram, kini cerah sekaligus penuh harap."A-apa?" suara mama tercekat. Dia bergantian menatapku dan Dokter Mik
"Tunggu! Apakah Nona Grace baik-baik saja?""Kenapa?" tanyaku sambil berbalik dengan alis bertaut."Nona terlihat pucat dan letih. Apakah Nona sedang sakit?"“A-aku baik-baik saja.” “Nona bisa tunggu di sini sampai Ibu Kristianto selesai terapi.”“Tidak, terima kasih.”Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera keluar dari ruang kerja Dokter Mikael dan menuju ke kamar inap mama. Bagiku, mendingan aku menunggu mama di sana, sambil menemani papa, dari pada aku duduk di kantor Dokter Mikael. Pandangan penuh curiga terlihat jelas dari sinar matanya.Begitu memasuki kamar, aku menghampiri papa yang seperti biasa, masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Selamat pagi, Papa …,” bisikku pelan sambil mengelus lengannya yang terlihat begitu pucat karena sudah berbulan-bulan tidak terkena sinar matahari. Walaupun kadang-kadang mereka menjemur papa pagi harinya, tapi itu tidak cukup untuknya yang sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam ruang. Kukecup kening papa dengan lembut, lalu meletakkan r
“Loh, Non. Biar Bibik saja yang masak,” protes Bik Mirna yang baru saja selesai melakukan rutinitas seperti biasanya, yaitu menyiram bunga di taman.“Tidak apa-apa, Bik. Santai saja. Aku juga mau masak untuk mama kok.”“Tapi kan biar saya saja yang masakin, Non. Nanti tinggal Nona Grace bilang, kalau mau masak bahannya seperti apa.”Aku tersenyum sambil menatap wanita paruh baya yang selalu menjagaku sejak aku pindah ke sini.“Yaudah, kalau begitu, Bibik bantu aku potong-potong sawi hijau dan iris bawang merah saja.”“Siap, Non. Ngomong-ngomong, Nona mau masak apa?” Bik Mirna mengambil sebuah pisau dari laci khusus penyimpanan benda-benda tajam dan mulai memotong sawi hijau.“Aku mau buat capcay untuk mama.” “Pakai daging atau jamur?” tanya Bik Mirna penasaran. Tak lupa tangannya terus bekerja dengan cekatan.“Rencananya aku mau pakai makanan laut saja, seperti udang dan cumi. Mama paling suka seafood soalnya.”Aku lalu membuka laci tempat penyimpanan alat-alat masak yang tajam dan m
“Ingat, siapa pun yang kamu pilih nantinya, aku sudah tidak peduli lagi, tapi apa pun yang terjadi, aku akan mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku.”Tanpa menunggu jawaban, Natalia memutar tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Gabriel yang duduk terpaku di tempat, dengan wajah yang kini penuh sesal tapi kosong. Setelah punggung Natalia menghilang dari balik pintu dan langkah kakinya sudah tidak terdengar lagi, Gabriel seperti diseret kembali pada kenyataan yang ada.Dengan gerakan cepat, dia mengejar Natalia yang memasuki lift di ujung lorong kantor.‘Aku harus melakukan sesuatu,’ pikir Gabriel kalut. Keamanan dan keselamatan Grace ada di tangannya sekarang. Kalau sampai Grace dicelakakan oleh Natalia, maka ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Natalia! Tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku!” Gabriel berhasil mengejar Natalia dan ikut masuk ke dalam lift. Ditatapnya wanita yang sudah menikah dengannya selama bertahun-tahun.“Please, listen to me! Aku mencintaimu,