Aku kembali merintih tak berdaya. Sialan, Gabriel selalu tahu cara membuatku terbang. Belum habis rasa nikmat yang diberikan di bagian dada, aku merasakan tangan Gabriel yang satunya, bergerak dengan perlahan ke arah bawah, menarik gaun tipisku itu ke arah atas, dan meremas lembut paha bagian dalam.“Tolong, aku mohon,” ucapku putus asa. “Kita harus berhenti sekarang juga sebelum kita melangkah terlalu jauh.”"Berhenti?" keluh Gabriel. Namun, kata-kata itu hanya terucap begitu saja di bibirnya. Dia tidak berhenti sama sekali."Gabriel?" panggilku panik. "Maaf, aku tidak tahu cara menghentikan semua ini," bisik Gabriel nakal. Tangannya semakin menggila di bawah sana. Karena tidak kuat, aku menjambak rambutnya dengan kuat. Sialnya, Gabriel malah menggigit puncak kenyalku sehingga tubuhku melengkung dan suara desahan keras lolos tanpa sensor dari bibirku. “Kita tidak bisa melakukan hal ini, please, aaakh ….” Kata-kata penolakanku tidak sesuai dengan hasrat yang bergejolak dalam tubuh i
“Grace, semakin kamu tidak menjawab pertanyaanku, maka hukumanmu akan semakin berat,” ancam Gabriel dengan sinar mata berkilat.“Kamu tidak mempunyai hak untuk menghukumku, lagi pula, aku bukan siapa-siapamu,” ketusku dengan wajah galak. Keberanianku kini sudah kembali. Kutepis tangan Gabriel yang sudah sangat nakal membelai bibirku dari tadi.“Oh, really?”ejeknya dengan sebuah seringai usil di salah satu sudut bibirnya.Aku menutup mata sejenak, seolah mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menjawab, tapi aku tidak menemukan kata-kata yang tepat.'Sial, tubuhnya yang kekar dan menempel dengan panas, membuat aku tidak bisa berpikir jernih.'"Hmm, kira-kira, hukuman apa yang bagus untukmu?" tanyanya sambil menyeringai usil.“Keluar dari kamarku sekarang juga sebelum aku memanggil Matias untuk mengusirmu dari sini.”“Hah! Aku tidak takut dengan bocah tengik itu. Saat bertemu mama nanti, aku akan menyuruh mama untuk mengganti tim sekuriti,” balas Gabriel sambil tangannya beralih ke arah pin
“Sayang, sudah waktunya makan malam,” ajak Gabriel setengah menuntut. Sudah tiga hari berturut-turut, dia berusaha untuk mengajak Natalia agar menemaninya makan malam, tapi wanita itu terlalu sibuk dengan persiapan lomba akhir pekan nanti.Natalia mengangkat wajahnya dari tumpukan kain satin yang berkilau indah di bawah pencahayaan lampu studio ruang kerjanya. Wajahnya yang lelah, tapi penuh tekad, terlihat tetap cantik. Natalia memang sangat pandai mengurus diri. “Sorry, sayang. Aku harus menyelesaikan gaun ini secepat mungkin. Kamu bisa makan duluan, tidak? Kalau aku sudah selesai, aku akan bergabung denganmu, please ...."Gabriel terdiam sebentar setelah mendengar respon istrinya. Masih terngiang kata-kata Grace tiga hari yang lalu saat mereka berdua terlibat dalam permainan panas dan terlarang.‘Jangan pernah menyakiti hati Natalia, biar bagaimanapun, dia adalah istri sahmu.'Gabriel sadar akan kebenaran dari kata-kata Grace, dan ia berniat untuk memperbaiki hubungannya dengan Na
“Kamu tegang?” tanya Sarah sambil menggenggam tangan Natalia yang terlihat gugup dari tadi. Beberapa kali wanita itu meneguk kopi hitam dari cangkir di tangannya. Sesekali dia melirik ke arah Gabriel yang juga menemaninya malam ini.“Ya, aku tidak bisa menghilangkan rasa grogi yang ada.”“Apa perlu aku panggilkan Gabriel agar menemanimu di sini?”“Apakah dia boleh menemaniku di sini?” Natalia balik bertanya. “Tentu saja," ucap Sarah sambil tersenyum lebar, “ingat aku adalah salah satu panitia perlombaan busana ini.” “You are the best!” pekik Natalia sambil memeluk Sarah dengan riang. Wajahnya langsung ceria kembali.Sarah pun segera berlalu dari hadapan Natalia dan menghampiri Gabriel yang duduk di barisan kursi yang pertama. Terlihat mereka berdua berbicara sebentar. Natalia yang melihat dari jauh, menanti dengan tidak sabar, dia berharap agar suaminya bisa menemaninya sebentar saja sebelum perlombaan berlangsung.“Terima kasih, Sarah,” ucap Natalia begitu teman kerjanya dan Gabrie
Decak kagum dari para hadirin yang datang seakan merupakan musik yang indah dalam aula tempat perlombaan busana itu. Natalia melirik ke arah juri yang datang dari berbagai negara tetangga. Empat di antara mereka, datang dari negara Paman Sam dan Eropa. Dia terus berdoa agar mereka juga melirik pada gaunnya yang sangat indah.Perhatiannya kini beralih ke atas panggung, lalu kegugupannya semakin menjadi-jadi saat para model mulai melenggang cantik di atas catwalk. Sorak-sorai penonton terdengar riuh. Namun, Natalia nyaris tak mendengarnya. Ia hanya menatap panggung, matanya terpaku pada setiap gaun yang memutar anggun di tubuh para model.Gaun-gaun itu berkilauan, dihiasi batu permata, mutiara, atau permainan kain yang menjuntai, terlihat seperti karya seni yang tak ternilai harganya. Mata para juri, penonton dan peserta lomba, dimanjakan oleh maha karya para perancang busana. Namun, Natalia tahu, di tengah semua kemegahan itu, gaun putih gadingnya menawarkan sesuatu yang berbeda. Sede
“Pagi, Ma,” sapaku begitu memasuki kamar inap mama. Wanita yang melahirkanku itu sedang duduk di pinggir tempat tidur. Matanya tampak kosong, seperti menyimpan beban yang terlalu berat untuk dibagi.“Ada apa, Ma?” tanyaku kalut. Aku mendekati Mama dengan tergesa-gesa dan memeriksa keadaannya.“Ma?” kusentuh tangannya dengan lembut, tapi mama terlihat begitu gelisah, alisnya sedikit berkerut, memberi bayangan gelap pada wajah mama yang biasanya ceria setiap kali aku datang menjenguknya.“Ma, tolong katakan sesuatu, biar aku tahu apa yang ada di pikiran Mama.”Mama menatapku sepintas, bibirnya terbuka sedikit, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak ada kata yang keluar. Pundaknya lunglai, menunjukkan kelelahannya yang tak hanya fisik, tetapi juga emosional.Hatiku terenyuh, kupeluk mama dengan erat, bisa kurasakan tubuhnya terasa rapuh dalam pelukanku, seperti ranting yang hampir patah oleh angin kencang. Bahunya yang dulu tegar kini bergetar pelan, membawa beban yang tak kasatmata
“Noah?” Suaraku tiba-tiba memecah kesunyian di taman. Aku mendongak, sedikit terkejut mendapati pria itu berdiri di hadapanku, sorot matanya memancarkan sesuatu yang sulit kumengerti. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku pelan, suaraku hampir tak keluar dari tenggorokanku. Kutatap Noah yang berdiri dengan senyum menawannya yang sangat menggoda dan menggemaskan. “Aku melihatmu di lobi tadi. Kamu baik-baik saja?” Tatapannya lembut, tapi membuat tenggorokanku tercekat. Mengapa hari ini semua orang seperti bisa melihat retakan di diriku? Padahal sudah kubungkus rapat, atau setidaknya kupikir begitu. “Hmm, aku baik,” jawabku, memaksakan senyum yang bahkan terasa asing di wajahku. “Bagaimana denganmu?” Dia mengangguk perlahan, tapi sudut bibirnya melengkung tipis, seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan. “Aku baik, dan, kurasa, semakin baik setelah melihatmu di sini.” Aku tertawa kecil, kaku. “Oh, jadi sekarang kamu pakai gombalan untuk menyapa seorang wanita yang sedang duduk sendir
Kulangkahkan kaki memasuki ruang kerja Dokter Mikael."Silahkan masuk, Grace," sapa Dokter muda itu yang rupanya sudah menunggu kedatanganku dari tadi."Terima kasih."“Begini, Nona Grace. Ibu Kristianto sedang mengalami fase-fase yang sangat kelam sekarang ini, "ucap Dokter Mikael sambil menatapku dengan wajah serius.Aku menarik napas berat, beban yang menghimpit dadaku seakan semakin menekanku ke titik terendah. Kapan semua ini akan berakhir? “Apakah terapi yang selama ini mama dapatkan tidak membantu sama sekali, Dokter?”“Itu membantu, tapi tidak permanen. Selama papa dari Nona Grace masih belum sadar, trauma itu akan selamanya di hati dan pikirannya.”“Baik, Dokter. Apakah ada jalan keluar lain yang bisa kita gunakan?” tanyaku penuh harap.“Ada, tapi aku tidak tahu apakah Nona Grace setuju dengan pendapat dari pihak rumah sakit.” “Coba katakan saja, Dok.”“Begini, Nona Grace. Bagaimana kalau kita pindahkan Pak Kristanto ke ruangan lain terlebih dahulu.”“Maksud, Dokter?” tanya
Pria itu mendekati dan meraih wajahku. Aroma tubuh dan mulutnya membuat aku ingin muntah. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Siapa gerangan pria ini sebenarnya."Diam!! bentaknya kasar.“Kenapa aku harus diam, orang jahat?!” sentakku tak mau kalah."Tutup mulutmu, sebelum aku yang menutupnya."Aku tidak peduli, sekuat tenaga, aku berteriak lagi dengan suara yang lebih keras, dan hasilnya si pria itu menutup mulutku dengan telapak tangannya. Dengan kasar, dia memerintah anak buahnya untuk mengambil lakban dan menempelnya secara sembarangan hanya untuk menutup mulutku yang masih ingin berteriak.“Sekali lagi kamu berteriak, maka aku akan menutup bibir seksimu itu dengan cara yang lebih menyenangkan. Akan kubuat rongga mulutmu penuh dengan ciumanku.”Mendengar ancamannya, aku langsung mual, dasar laki-laki mesum. Siapa sih dia sebenarnya? Perasaan selama ini, aku tidak pernah mempunyai musuh. Kenapa tiba-tiba aku disekap seperti ini?Pria itu berjalan mengelilingi kursi yang aku duduki,
"Aku akan mencari tahu siapa kamu sebenarnya," guman Gabriel pelan penuh percaya diri.Ia merapikan jasnya yang sedikit kusut akibat kemarahan tadi, lalu melirik ke jam tangan. ‘Grace pasti sudah menunggu terlalu lama,’ pikirnya. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan taman, pikirannya tetap berputar, merencanakan langkah selanjutnya. Taman itu kembali sunyi, hanya suara angin dan dedaunan yang menjadi saksi. Lampu-lampu taman yang redup, seakan memberikan arah kepadanya, ke mana dia harus melangkah.Gabriel mempercepat langkah kakinya, ia sudah tidak sabar lagi untuk menemui Grace. Begitu tiba di tempat parkir, dari kejauhan, dia tidak melihat sosok Grace di jok depan mobil. Jantung Gabriel seperti berhenti berdetak. Tanpa sadar, langkah kakinya terpacu untuk segera tiba di tempat tujuan.“Grace!” teriak Gabriel saat mendapati wanita itu tidak ada dalam mobil. Dengan kalut, Gabriel memeriksa kursi penumpang, berharap kalau Grace sedang bermain petak umpet atau sekedar menakuti dirinya
“Ayo, aku antarkan kamu pulang,” putus Gabriel sambil berdiri di depanku, lalu mengulurkan salah satu tangannya. Begitu aku hendak menyambut uluran tangan Gabriel, tanpa sengaja, aku melihat bayangan seseorang dari balik pohon besar tidak jauh dari tempat kami berdiri.Deg! Perasaanku tidak enak, aku merasa bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikan kami berdua sedari tadi. Kuraih tangan Gabriel dan memberi kode padanya dengan gerakan bibir yang sangat pelan.‘Ada seseorang di belakang pohon yang sedang memperhatikan kita, Gabriel.’ Awalnya, ia terlihat bingung, tapi kemudian, ia memicingkan matanya berusaha membaca gerakan bibirku.‘Coba ulangi apa yang kamu katakan tadi,' bisiknya nyaris tak terdengar.Aku mengulang kembali ucapanku dengan perlahan sampai kulihat Gabriel memahami apa yang aku maksud. Gabriel mengangguk pelan, tatapan matanya menjadi waspada, dan ia langsung melindungiku dengan cara melingkarkan tangannya ke bahuku. Sikapnya sangat protektif seperti itu membuatku
Begitu keluar dari lobi, aku menemui Gabriel yang sedang menungguku di taman rumah sakit. Dia terlihat begitu tegang dan bingung. “Ada apa?” tanyaku prihatin, Gabriel tidak menjawab pertanyaanku, tapi langsung memelukku erat. Merasakan bahunya bergetar dalam dekapanku, refleks membuatku mengelus kepalanya dengan pelan.“Aku merindukanmu, Grace,” bisik Gabriel nyaris tak terdengar. Pelukan dan belaian tanganku, ternyata mampu membuatnya kembali tenang.Tak lama kemudian, dia melepaskan pelukannya, menangkup wajahku dan membelainya dengan penuh kerinduan. Ya, kerinduan yang mungkin telah tersimpan setelah sekian hari kami tidak bertemu.“Are you alright?” Kutatap netranya dan mendapati ada kegelisahan yang menghantui pikirannya. Ingin rasanya aku menghapus kegelisahan itu dan menggantinya dengan perasaan nyaman dan aman.“Banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini sehingga aku tidak sempat menjengukmu.” “Jangan pikirkan hal itu, Gabriel. Aku baik-baik saja.” Aku tersenyum singkat, be
Aku menahan napas, jantungku berdegup kencang. Aku harus menyembunyikan kehamilan ini. Tak boleh ada seorang pun yang tahu, termasuk mama. Biarlah aku sendiri yang menanggung semua ini.Tangan mama semakin dekat, dan aku tak tahu harus berbuat apa. Satu gerakan salah saja, semuanya bisa terbongkar.Kriiing …. Dering telepon dari dalam tasku, membuat kami berdua kaget, mama mengurungkan niatnya untuk menyentuh perutku. Sambil pura-pura sibuk mencari ponsel di dalam tas, aku melirik mama dengan sudut mataku. Beliau terlihat mengambil rantang makanan dan memeriksa isinya. Untungnya, tangan mama masih berfungsi, kaki beliau saja yang lumpuh total. Aku hanya berharap satu hal, yaitu agar terapi yang sedang mama jalani saat ini, bisa membantu mama keluar dari krisis ini.“Siapa yang telepon?” tanya mama memecah lamunan singkatku.“Emm, teman, Ma,” bohongku saat melihat nama Gabriel yang tertera di layar utama.“Oh, kenapa tidak diangkat?”“Tidak apa-apa, Ma. Paling kalau penting, dia akan
“Aku akan melakukan yang terbaik untuk papa.”“Bagus, Nona. Dalam minggu ini, kami akan memulai terapi saraf, dan memberikan rangsangan otak untuk mengaktifkan kembali jaringan-jaringan otak yang masih berfungsi dari Pak Kristanto.”Aku hanya mengangguk, menahan luapan bahagia yang nyaris pecah. Lalu pintu kamar terbuka perlahan, diikuti derit halus roda kursi. Mama muncul, dibantu oleh seorang suster. Sorot matanya nanar, bingung, mengamati kami yang berdiri dengan tegang di dekat ranjang papa.“Ada apa dengan papa? Kenapa kalian ngumpul di sana?” tanya mama sambil terus mendorong kursi rodanya ke arah kami.Aku berlutut di depan mama, meraih tangannya dan menempelkannya di pipiku, membiarkan dinginnya menenangkan rasa panikku. "Ma …, papa merespon dengan gerakan kecil. Ia merasakan sentuhan dan suara orang-orang di sekitarnya."Mama membeku. Wajahnya, yang selama ini selalu muram, kini cerah sekaligus penuh harap."A-apa?" suara mama tercekat. Dia bergantian menatapku dan Dokter Mik
"Tunggu! Apakah Nona Grace baik-baik saja?""Kenapa?" tanyaku sambil berbalik dengan alis bertaut."Nona terlihat pucat dan letih. Apakah Nona sedang sakit?"“A-aku baik-baik saja.” “Nona bisa tunggu di sini sampai Ibu Kristianto selesai terapi.”“Tidak, terima kasih.”Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera keluar dari ruang kerja Dokter Mikael dan menuju ke kamar inap mama. Bagiku, mendingan aku menunggu mama di sana, sambil menemani papa, dari pada aku duduk di kantor Dokter Mikael. Pandangan penuh curiga terlihat jelas dari sinar matanya.Begitu memasuki kamar, aku menghampiri papa yang seperti biasa, masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Selamat pagi, Papa …,” bisikku pelan sambil mengelus lengannya yang terlihat begitu pucat karena sudah berbulan-bulan tidak terkena sinar matahari. Walaupun kadang-kadang mereka menjemur papa pagi harinya, tapi itu tidak cukup untuknya yang sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam ruang. Kukecup kening papa dengan lembut, lalu meletakkan r
“Loh, Non. Biar Bibik saja yang masak,” protes Bik Mirna yang baru saja selesai melakukan rutinitas seperti biasanya, yaitu menyiram bunga di taman.“Tidak apa-apa, Bik. Santai saja. Aku juga mau masak untuk mama kok.”“Tapi kan biar saya saja yang masakin, Non. Nanti tinggal Nona Grace bilang, kalau mau masak bahannya seperti apa.”Aku tersenyum sambil menatap wanita paruh baya yang selalu menjagaku sejak aku pindah ke sini.“Yaudah, kalau begitu, Bibik bantu aku potong-potong sawi hijau dan iris bawang merah saja.”“Siap, Non. Ngomong-ngomong, Nona mau masak apa?” Bik Mirna mengambil sebuah pisau dari laci khusus penyimpanan benda-benda tajam dan mulai memotong sawi hijau.“Aku mau buat capcay untuk mama.” “Pakai daging atau jamur?” tanya Bik Mirna penasaran. Tak lupa tangannya terus bekerja dengan cekatan.“Rencananya aku mau pakai makanan laut saja, seperti udang dan cumi. Mama paling suka seafood soalnya.”Aku lalu membuka laci tempat penyimpanan alat-alat masak yang tajam dan m
“Ingat, siapa pun yang kamu pilih nantinya, aku sudah tidak peduli lagi, tapi apa pun yang terjadi, aku akan mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku.”Tanpa menunggu jawaban, Natalia memutar tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Gabriel yang duduk terpaku di tempat, dengan wajah yang kini penuh sesal tapi kosong. Setelah punggung Natalia menghilang dari balik pintu dan langkah kakinya sudah tidak terdengar lagi, Gabriel seperti diseret kembali pada kenyataan yang ada.Dengan gerakan cepat, dia mengejar Natalia yang memasuki lift di ujung lorong kantor.‘Aku harus melakukan sesuatu,’ pikir Gabriel kalut. Keamanan dan keselamatan Grace ada di tangannya sekarang. Kalau sampai Grace dicelakakan oleh Natalia, maka ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Natalia! Tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku!” Gabriel berhasil mengejar Natalia dan ikut masuk ke dalam lift. Ditatapnya wanita yang sudah menikah dengannya selama bertahun-tahun.“Please, listen to me! Aku mencintaimu,