“Loh, kita mau ke mana?” tanyaku begitu menyadari bahwa Gabriel tidak memilih jalur yang biasa kami lewati.“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”“Tapi ini sudah malam, Gabriel. Natalia pasti akan mencarimu begitu dia pulang.”“Natalia sedang sibuk dengan perlombaan yang sebentar lagi akan dilaksanakan.”Aku akhirnya diam dan mengikuti kemauan Gabriel. Mobil Gabriel terus melaju menembus kegelapan malam. Tidak lama kemudian, kami tiba di suatu tempat yang, ya sangat indah. Sebuah danau yang begitu tenang, jauh dari kesibukan sehari-hari dan keramaian kota yang gemerlap.Sinar lampu jalan memantulkan cahaya ke dalam mobil yang terparkir, menambah keindahan yang ada.“Indah sekali tempat ini,” celetukku sambil menikmati panorama yang ada. Dari sini, aku bisa melihat lampu kelap-kelip di perkotaan.“Selain rooftop, ini adalah tempat favoritku,” timpal Gabriel. “Di sini, kamu bisa merenung, atau sekedar mengalihkan pikiran dari segala kesibukan hidup sehari-hari.Aku duduk dengan kepala
Beberapa hari telah berlalu sejak aku dan Gabriel menghabiskan waktu bersama di tepi danau itu. Sekuat tenaga kami menahan diri untuk tidak jatuh ke dalam jurang kenikmatan. Malam itu pun berakhir dengan ciuman yang nikmat, pegangan tangan dan pelukan. Kami tidak melakukan lebih dari itu karena aku terus mengingatkan Gabriel untuk tidak melakukannya. Dia menyetujui walaupun itu sangat sulit baginya untuk tidak menyentuhku. Beberapa kali dia memelas dengan putus asa, tapi aku tetap tidak mengijinkannya.“Aku tidak mau tahu! Pokoknya kamu harus mengantarkanku hari ini!” Kudengar teriakan Natalia dari arah tangga, disertai langkah kaki yang dihentakkan. Aku yang masih malas-malasan di tempat tidur, langsung tersentak kaget.“Tapi aku tidak bisa, Natalia!” Kini terdengar suara Gabriel yang cukup keras. Kuraih sebuah bantal dan menutup kupingku. “Tahan, sabar, besok aku akan pindah dari sini,” bisik kepada diriku sendiri. Pagi ini aku malas sekali bangun. Yang kuinginkan hanya satu, yai
Warna segar dan basah karena hujan tipis yang baru saja turun, menambah kesedihan di hatiku. Aku berdiri memandangi koper yang berjejer rapi di sudut ruangan. Ya, hari ini aku akan pindah dari mansion Gabriel dan Natalia. Setelah berbulan-bulan tinggal bersama mereka, kini saatnya aku hidup bebas dan menentukan jalan hidupku sampai bayi di dalam kandunganku lahir dalam beberapa bulan lagi.Jemariku yang lentik, gemetar menahan rasa yang campur aduk di dada ini. Kuelus perutku yang mulai membuncit, sebuah kehidupan kecil berdenyut dalam diriku, mengingatkanku bahwa ada ikatan yang masih terasa hangat antara aku dan Gabriel, walau kini harus aku lepaskan.Kudengar langkah kaki mendekat. Sesuatu bergetar dalam diriku saat Gabriel masuk ke kamar, melangkah pelan seperti menahan napas, seolah tiap bunyi langkahnya bisa merusak keheningan yang telah menutupi kebersamaan kami berdua selama. Kulihat cahaya di matanya yang meredup dan ada bayangan mendung, sama seperti langit di luar jendela y
“Aku akan mengantarkanmu.”“Tidak apa-apa, Gabriel. Aku sudah memesan taksi.” Kutarik koperku yang tiba-tiba terasa berat. 'Aku harus pergi dari sini sekarang juga sebelum hatiku semakin remuk redam.'Gabriel hanya diam, berdiri membatu. Ketika aku akhirnya membuka pintu dan melangkah ke luar, hujan turun perlahan membasahi rambut dan bahuku. Namun, baru beberapa langkah, kudengar bunyi derap kaki seseorang di belakangku. Aku berbalik dan melihat Gabriel berlari sambil membawa sebuah payung yang besar dan lebar. Dia merangkul tubuhku yang ringkih dan berjalan bersamaku yang sudah lelah ini. “Apa pun alasanmu, aku akan mengantarkanmu, Grace,” desak Gabriel di tengah rintikan hujan yang terasa segar dan dingin. Namun, dekapan Gabriel yang hangat, terasa begitu nyaman saat hatiku sedang gundah seperti ini. ‘Tuhan, kenapa Gabriel harus membuat semua ini menjadi terasa sangat sulit untuk dilepas? Aku mohon, berikan aku kekuatan dan iman yang kuat untuk tidak jatuh dalam lubang yang sam
“Aku lelah bertengkar denganmu, Natalia.”“Kamu pikir aku tidak lelah melihat sepak terjang kalian berdua selama ini?”Gabriel menunduk dalam, entah apa yang ada dalam jalan pikirannya saat ini. Ingin rasanya aku bisa membaca isi hati pria itu. “Natalia, maaf, keputusanku sudah bulat, aku akan mengantarkan Grace ke rumah barunya.”“Apa yang baru saja kamu ucapkan?” sentak Natalia. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, matanya menatap tajam seolah bisa menembus Gabriel di depannya. Bibirnya bergetar, menarik napas cepat, seperti menahan sesuatu yang hampir saja pecah di dadanya. “Berani kamu melangkahkan kaki dari sini, maka aku tidak akan segan-segan merusak semua rencanamu.”Kulihat keraguan dia wajah Gabriel. Mungkin dia mengerti apa maksud di balik ucapan Natalia tadi. Jujur, aku tidak tahu apa itu.“Gabriel, tinggallah bersama Natalia, aku bisa berangkat sendiri,” ucapku pelan. Air hujan turun makin deras, menyusup ke dalam jaketku yang basah kuyup. Gabriel berusaha memayungiku, t
Kubayar taksi yang aku tumpangi begitu kami tiba di alamat yang tertera di atas kertas. Mataku langsung melebar ketika menatap rumah di depanku yang terlihat begitu megah. “Apakah aku salah alamat?” desisku pelan sambil meraih membuka pintu taksi dan melangkah keluar dengan ragu. Saking terpesona pada rumah di depanku, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih kepada supir taksi yang sudah mengantarkanku dengan selamat sampai tujuan. Dengan tangan gemetar, aku membuka kantung kecil di tas yang menggantung di pundakku. “Tidak mungkin rumah sebagus ini diberikan padaku,” ucapku tak percaya. Kudekati pintu gerbang dan berusaha membukanya. Aku tersentak kaget, suara dentingan besi terdengar pelan, bergetar halus, tapi tegas. Gerbang perlahan bergerak, memulai dengan desisan rendah seperti mesin yang baru saja bangun dari tidur panjangnya. “Maaf, Nona Grace. Saya tidak sempat membuka pintu karena tidak tahu kalau Nona akan tiba jam segini.” Seorang pemuda berbadan kekar menyapaku, tubuh
“Jam berapa sekarang?” tanyaku pada diriku sendiri.Kulirik jam yang berdetak di dinding., waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. “Mungkin sebaiknya aku bangun sekarang.” Kuputuskan untuk membersihkan wajahku dan menemui Bik Mirna dan Bik Darmi, setelah aku selesai dengan ritual pagiku. Aku bahkan tidak punya keinginan untuk memeriksa ponselku, karena menurutku, sekarang saatnya aku menikmati hidup ini. Sudah cukup selama berbulan-bulan aku ditindas dan diperlakukan semena-mena.Begitu kakiku melangkah keluar dari pintu kamar, netraku disuguhkan dengan pemandangan mansion yang luar biasa. Di ruang tengah, terdapat jendela-jendela kaca lebar, yang langsung menyuguhkan pemandangan ke arah taman yang dipenuhi dengan bunga-bunga cantik. Di samping kiri taman, terdapat sebuah kolam renang yang sangat besar.“Wow, selera Ibu Ariani memang luar biasa dan klasik.”Aku melangkah pelan memasuki dapur, mataku tak lepas dari setiap detail yang tertata sempurna di ruang itu. Rongga hidungku langsun
‘Ma!’ sentak Gabriel kesal. Dia menggenggam ponselnya dengan kuat sehingga buku-buku tangannya memutih. Sudah hampir sepuluh menit dia membujuk Ibu Ariani untuk memberitahu di mana gerangan Grace berada. ‘Tolong, Ma. Kasih tahu aku di mana alamat Grace sekarang.'‘Biarkan wanita itu tenang selama masa kehamilannya.’ Terdengar suara tegas Ibu Ariani di ujung telepon.‘Tapi dia lagi hamil muda, Ma. Aku berhak tahu di mana dia tinggal.’‘Gabriel, dia memang hamil anakmu, tapi dia bukan istri sahmu. Kamu harus ingat akan hal itu!’Gabriel mendengus kesal, kalau saja mamanya tahu bahwa dia sudah jatuh cinta pada wanita yang sedang mengandung anaknya sekarang, entah apa pendapat sang bunda.‘Kenapa sih Mama harus merahasiakan tempat tinggal Grace yang sekarang?’ protes Gabriel yang masih belum menyerah juga. Kalau sudah masalah Grace, dia tidak akan pernah menyerah. Wanita itu harus ia temukan. Membayangkan hidupnya tanpa bertemu Grace saja, sudah membuatnya hampir gila sepanjang hari. Semu