Sambil merapikan barang-barangku yang tersisa, aku menyiapkan dress terbaik yang akan aku kenakan di acara makan malam nanti. Ada rasa gugup dan khawatir yang melandaku sejak beberapa hari yang lalu. Aku cemas kalau harga rumahnya terlalu mahal, takut kalau Gabriel tidak jadi memberikan uang pinjaman padaku. Semua hal itu membuatku tidak bisa tidur dengan lelap. Pling! Sebuah pesan singkat masuk ke dalam inboxku. ‘Hai, Grace! Aku akan menemanimu makan malam di rumah Marcus sore ini.’ Begitu pesan singkat dari Gabriel yang membuat jantungku berdebar dengan kencang. Sudah dua hari aku berhasil menghindar darinya dan ternyata itu tidak semudah yang aku bayangkan. Aku mengacuhkan pesan itu dan terus melanjutkan kegiatanku karena sebentar lagi aku akan mandi dan siap-siap berangkat. Kring …, ponselku berdering, dan ternyata Gabriel yang meneleponku karena aku mengacuhkan pesannya. ‘Kamu di mana sekarang?’ Aku menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Gabriel. ‘Grace?’ ‘A
“Please, hentikan semua sebelum kita melangkah terlalu jauh, Gabriel.” Akal sehatku masih berfungsi walaupun nafsu sudah melanda sel-sel tubuhku.“Aku tidak bisa berhenti, Grace,” keluh Gabriel sambil meraup bibirku dengan rakus. Dengan penuh hasrat dia melumatku habis-habisan sampai kami berdua terengah-engah menahan luapan asmara yang ada. Suara kecupan Gabriel membuatku hasratku kembali bergejolak. Aku tidak kuat kalau dicumbu seintim ini. Terlalu nikmat dan memabukkan.Gabriel menautkan jari-jarinya di jari-jariku sehingga tindihan tubuhnya semakin menekan tubuhku ke bawah.“Aku sangat menginginkanmu, Grace. Ya, teramat sangat.”Kami saling bertatapan dan aku melihat luapan nafsu yang liar di kilatan matanya.“Kita harus berangkat sekarang,” ucapku seolah-olah mengacuhkan hasrat Gabriel yang sedang membara.“Haruskah kita berangkat sekarang?” tanyanya seperti orang linglung.Aku tersenyum lebar. “Ya, Gabriel, aku tidak mau kita datang terlambat.”Gabriel mencebikkan bibirnya dan d
“Kenalkan, ini istriku, Sara,” ucap Marcus dengan senyuman bangga. ‘Sepertinya mereka keluarga yang bahagia,’ pikirku sambil menyambut uluran tangan wanita cantik yang bernama Sara. Tak lupa aku memperkenalkan Gabriel kepadanya.“Senang berkenalan dengan kalian, pasangan yang sangat serasi,” puji Sara yang juga begitu ramah dan sangat welcome. Lagi-lagi orang mengira kami berdua adalah sepasang kekasih.“Ayo, silahkan duduk,” lanjut Sara. Clara anak perempuan mereka yang baru berusia delapan tahun, menatapku dengan bola matanya yang bulat seperti ingin mengatakan sesuatu kepadaku.Aku berjongkok dan mensejajarkan tubuhku dengan Clara.“Kakak, aku boleh duduk di samping, Kakak?” tanyanya sopan membuatku meleleh menatap wajah mungilnya.“Tentu saja!” dengan cekatan aku menarik sebuah kursi untuknya, gadis cilik itu langsung duduk manis.“Silahkan, sayang,” ucap Gabriel yang membuat leherku tiba-tiba terasa kering. Dengan gentle, dia menarik sebuah kursi untukku. Ingin rasanya aku meng-
“Loh, kita mau ke mana?” tanyaku begitu menyadari bahwa Gabriel tidak memilih jalur yang biasa kami lewati.“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”“Tapi ini sudah malam, Gabriel. Natalia pasti akan mencarimu begitu dia pulang.”“Natalia sedang sibuk dengan perlombaan yang sebentar lagi akan dilaksanakan.”Aku akhirnya diam dan mengikuti kemauan Gabriel. Mobil Gabriel terus melaju menembus kegelapan malam. Tidak lama kemudian, kami tiba di suatu tempat yang, ya sangat indah. Sebuah danau yang begitu tenang, jauh dari kesibukan sehari-hari dan keramaian kota yang gemerlap.Sinar lampu jalan memantulkan cahaya ke dalam mobil yang terparkir, menambah keindahan yang ada.“Indah sekali tempat ini,” celetukku sambil menikmati panorama yang ada. Dari sini, aku bisa melihat lampu kelap-kelip di perkotaan.“Selain rooftop, ini adalah tempat favoritku,” timpal Gabriel. “Di sini, kamu bisa merenung, atau sekedar mengalihkan pikiran dari segala kesibukan hidup sehari-hari.Aku duduk dengan kepala
Beberapa hari telah berlalu sejak aku dan Gabriel menghabiskan waktu bersama di tepi danau itu. Sekuat tenaga kami menahan diri untuk tidak jatuh ke dalam jurang kenikmatan. Malam itu pun berakhir dengan ciuman yang nikmat, pegangan tangan dan pelukan. Kami tidak melakukan lebih dari itu karena aku terus mengingatkan Gabriel untuk tidak melakukannya. Dia menyetujui walaupun itu sangat sulit baginya untuk tidak menyentuhku. Beberapa kali dia memelas dengan putus asa, tapi aku tetap tidak mengijinkannya.“Aku tidak mau tahu! Pokoknya kamu harus mengantarkanku hari ini!” Kudengar teriakan Natalia dari arah tangga, disertai langkah kaki yang dihentakkan. Aku yang masih malas-malasan di tempat tidur, langsung tersentak kaget.“Tapi aku tidak bisa, Natalia!” Kini terdengar suara Gabriel yang cukup keras. Kuraih sebuah bantal dan menutup kupingku. “Tahan, sabar, besok aku akan pindah dari sini,” bisik kepada diriku sendiri. Pagi ini aku malas sekali bangun. Yang kuinginkan hanya satu, yai
Warna segar dan basah karena hujan tipis yang baru saja turun, menambah kesedihan di hatiku. Aku berdiri memandangi koper yang berjejer rapi di sudut ruangan. Ya, hari ini aku akan pindah dari mansion Gabriel dan Natalia. Setelah berbulan-bulan tinggal bersama mereka, kini saatnya aku hidup bebas dan menentukan jalan hidupku sampai bayi di dalam kandunganku lahir dalam beberapa bulan lagi.Jemariku yang lentik, gemetar menahan rasa yang campur aduk di dada ini. Kuelus perutku yang mulai membuncit, sebuah kehidupan kecil berdenyut dalam diriku, mengingatkanku bahwa ada ikatan yang masih terasa hangat antara aku dan Gabriel, walau kini harus aku lepaskan.Kudengar langkah kaki mendekat. Sesuatu bergetar dalam diriku saat Gabriel masuk ke kamar, melangkah pelan seperti menahan napas, seolah tiap bunyi langkahnya bisa merusak keheningan yang telah menutupi kebersamaan kami berdua selama. Kulihat cahaya di matanya yang meredup dan ada bayangan mendung, sama seperti langit di luar jendela y
“Aku akan mengantarkanmu.”“Tidak apa-apa, Gabriel. Aku sudah memesan taksi.” Kutarik koperku yang tiba-tiba terasa berat. 'Aku harus pergi dari sini sekarang juga sebelum hatiku semakin remuk redam.'Gabriel hanya diam, berdiri membatu. Ketika aku akhirnya membuka pintu dan melangkah ke luar, hujan turun perlahan membasahi rambut dan bahuku. Namun, baru beberapa langkah, kudengar bunyi derap kaki seseorang di belakangku. Aku berbalik dan melihat Gabriel berlari sambil membawa sebuah payung yang besar dan lebar. Dia merangkul tubuhku yang ringkih dan berjalan bersamaku yang sudah lelah ini. “Apa pun alasanmu, aku akan mengantarkanmu, Grace,” desak Gabriel di tengah rintikan hujan yang terasa segar dan dingin. Namun, dekapan Gabriel yang hangat, terasa begitu nyaman saat hatiku sedang gundah seperti ini. ‘Tuhan, kenapa Gabriel harus membuat semua ini menjadi terasa sangat sulit untuk dilepas? Aku mohon, berikan aku kekuatan dan iman yang kuat untuk tidak jatuh dalam lubang yang sam
“Aku lelah bertengkar denganmu, Natalia.”“Kamu pikir aku tidak lelah melihat sepak terjang kalian berdua selama ini?”Gabriel menunduk dalam, entah apa yang ada dalam jalan pikirannya saat ini. Ingin rasanya aku bisa membaca isi hati pria itu. “Natalia, maaf, keputusanku sudah bulat, aku akan mengantarkan Grace ke rumah barunya.”“Apa yang baru saja kamu ucapkan?” sentak Natalia. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, matanya menatap tajam seolah bisa menembus Gabriel di depannya. Bibirnya bergetar, menarik napas cepat, seperti menahan sesuatu yang hampir saja pecah di dadanya. “Berani kamu melangkahkan kaki dari sini, maka aku tidak akan segan-segan merusak semua rencanamu.”Kulihat keraguan dia wajah Gabriel. Mungkin dia mengerti apa maksud di balik ucapan Natalia tadi. Jujur, aku tidak tahu apa itu.“Gabriel, tinggallah bersama Natalia, aku bisa berangkat sendiri,” ucapku pelan. Air hujan turun makin deras, menyusup ke dalam jaketku yang basah kuyup. Gabriel berusaha memayungiku, t