Selama berminggu-minggu aku menghindari Gabriel dengan berbagai macam alasan. Bahkan aku mencatat jam berapa saja dia biasanya berangkat kantor dan pulang rumah. Sebisa mungkin aku tidak berpapasan dengannya karena aku tahu, setiap ada kesempatan, Gabriel pasti ingin mengajakku berbicara atau sekedar memandangku dengan pancaran matanya yang sarat akan kerinduan yang mendalam.Inboxku dipenuhi oleh pesannya yang memintaku untuk menemaninya sarapan pagi atau pun makan malam. Namun, tidak satu pun aku balas. Aku benar-benar memasang mode cuek, secuek bebek yang sedang berenang di sungai.Tok, tok, tok ….Bunyi ketukan di pintu kamarku, memaksaku untuk keluar dari kamar, setelah seharian menemani mama di rumah sakit. Sore ini, aku menyempatkan diri untuk beristirahat sebentar sebelum membantu Bik Sumi dan Bik Tutik menyiapkan makan malam. Waktu baru menunjukkan pukul empat sore. 'Semoga bukan Gabriel yang mengetuk pintu,’ pintaku dalam hati sambil meraih gagang pintu dan membukanya.“Hel
“Kamu kenapa, sayang?” tanya Ibu Ariani panik melihat wajahku yang tiba-tiba pucat pasi.“Maaf, aku harus ke kamar mandi,” pamitku dan segera berlari kecil menuju kamar mangi. Begitu tiba di sana, kukeluarkan semua isi perutku yang memang tak seberapa. Tubuhku rasanya sangat lemas. Benda-benda yang ada di kamar mandi, seperti berputar-putar di sekitar kepalaku.“Apakah kamu terlambat makan hari ini?” tanya Ibu Ariani panik sambil memijat tengkukku dengan lembut.Aku hanya menggelengkan kepalaku kalut. ‘Apakah aku hamil?’ tanyaku dalam hati.“Kapan kamu terakhir kali datang bulan?” tanya Ibu Ariani lagi sambil memegang dan menahan rambutku ke atas agar tidak terkena muntahan.“Bulan lalu, Bu. Sepertinya aku sudah terlambat sepuluh hari,” bisikku lemas. Kembali perutku bergejolak sehingga aku harus muntah-muntah lagi. “Hah? Benarkah?” suara Ibu Ariani terdengar begitu bersemangat. Kalau saja dia tidak dalam posisi memegang rambutku, pasti wanita paruh baya itu sudah menari-nari dengan
‘Apakah ini yang dirasakan oleh setiap wanita hamil?’ Hatiku berkecamuk tak menentu saat tanganku mengelus perutku yang masih rata. Kugelengkan kepalaku mengusir semua kegalauan yang ada. Dengan tangan gemetar, aku membuka pembungkus alat tes itu, lalu kemudian melakukan semuanya sesuai dengan petunjuk yang ada. Kututup mata sambil menunggu jawabannya. Satu …, dua …, tiga ….” Aku berhitung hingga angka ketiga puluh lalu membuka mataku dengan perlahan.Deg! Jantung seperti hampir lepas. Dua garis merah tercetak dengan sangat jelas di benda pipih yang ada dlaam genggamanku. Ada perasaan aneh yang membuncah di dadaku. Aku kembali menangis bahagia, semuanya terasa indah dan membingungkan. Tak pernah kusangka, dari rahimku, sebentar lagi akan melahirkan sosok mungil yang tiba-tiba ingin aku miliki dan rawat dengan tanganku sendiri.“Tuhan, apakah aku egois kalau aku sampai melakukan hal ini?” rintihku pilu. Tidak, tidak, tidak! Segera kutepis rasa egoisku. Anak ini bukan milikku dan aku
“Ibu sudah menganggap kamu sebagai bagian dari keluarga ini, Grace," ucap Ibu Ariani sambil menatapku dalam.Baru saja aku hendak menanggapi perkataan Ibu Ariani, terdengar suara Natalia yang kencang dari lorong pintu masuk.“Sayang! Yuhuuuu, aku pulang!” Kulihat Gabriel berdiri dan menuju ke ruang tamu. Entahlah, mungkin dia ingin menyambut kepulangan Natalia.“Kamu makan dulu ya, Nak Grace. Mama buatkan telur rebus dan makanan yang tidak terlalu beraroma.”Aku hanya mengangguk menuruti keinginan dari Ibu Ariani yang hari ini menyuruhku untuk memanggilnya ‘mama.’”Dari ruang tamu, aku mendengar suara Gabriel yang sedang menanyakan kenapa Natalia baru pulang. Aku berusaha untuk tidak mendengarkan pembicaraan mereka, dan menyibukkan diri dengan menyantap hidangan yang telah disediakan oleh Ibu Ariani.***“Kok baru pulang jam segini?” tanya Gabriel dengan suara tertahan. “Loh, istri baru pulang, kok tidak disambut dengan senang hati?” rajuk Natalia sambil melepas sepatunya dan mendeka
Begitu mendengar berita kehamilanku, Natalia berdiri dan mendorong kursi yang didudukinya ke arah belakang sehingga menimbulkan bunyi decit yang cukup keras. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung meninggalkan meja makan dan naik ke lantai atas.“Natalia, tunggu!” seru Gabriel panik, lalu buru-buru dia mengejar sang istri yang sudah menghilang di ujung tangga. “Sudah, kamu lanjut makan saja,” ucap Ibu Ariani pelan. Seperti anak kecil, aku menuruti semua permintaan Ibu Ariani. Dengan perlahan, aku mencoba untuk menikmati hidangan di depanku.“Nak Grace, karena kamu sudah hamil, maka lebih baik, kamu pindah di salah satu rumah mama.”Aku menghentikan kegiatanku dan menatapnya tak percaya. “Benarkah, Bu, eh, Ma?” Rasa bahagia membuncah di dada ini. Bagaimana tidak, aku sudah ingin sekali pindah dari sini, dan keluar dari Gabriel’s zone. “Iya, mama juga tidak mau kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu.”“Terima kasih, Ma. Emmm, kira-kira, kapan aku bisa pindah?”“Minggu ini, kalau kamu mau
“Apa-apaan sih kamu?” cicitku kaget begitu menyadari bahwa Gabriel yang menyelinap di kamarku.“Ssst ..., aku hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu,” bisiknya pelan sama membelai rambutku dengan lembut. Salah satu tangannya mengunci pintu kamar mandi sehingga membuat dadaku terasa sesak, dan aku seperti terjebak dalam satu ruang tertutup tanpa oksigen.“Lepaskan aku!” sentakku dengan suara tertahan. Aku benar-benar tidak tahan berada satu ruangan dengan makhluk panas dan macho satu ini. Melihat kepanikanku, Gabriel menjauhkan tubuhnya dan memilih meraih tanganku dengan sopan.“Tolong pikirkan kembali keputusanmu untuk pindah dari sini,” pinta Gabriel dengan wajah penuh harap, seakan dengan cara itu, dia akan mendapat rasa iba dariku.“Maaf, Gabriel. Aku sudah memikirkan hal ini matang-matang dan keputusanku sudah bulat, aku akan pindah dari sini.”“Aku tidak terima!” balas Gabriel keras kepala.“Apa alasanmu sehingga kamu tidak mau aku pindah dari sini?" Aku berusaha untuk mengorek
Aku membuka kelopak mataku yang masih terasa berat, rupanya pagi yang mendung membuatku ingin kembali ke dunia mimpi. Suara gemericik hujan di luar terdengar samar dari dalam kamarku yang cukup luas dan rapi. Tanganku menutupi mulutku yang menguap lebar, seakan mencoba mengusir rasa kantuk yang ada. “Terima kasih, Tuhan untuk anugerahmu hari ini dimana aku masih bisa menghirup udara segar yang Engkau berikan," bisikku pelan.Seperti ada yang memintaku, tanganku mengelus perutku, lalu sebuah lengkungan indah terbentuk di sudut bibirku.“Selamat pagi, sayang,” bisikku lembut sambil terus mengelus perutku dengan pelan. Senyumanku semakin lebar ketika membayangkan makhluk kecil ini akan memanggilku ‘mama’ suatu hari nanti. Kata itu seperti sebuah melodi yang indah di gendang telingaku. Setelah puas mengobrol dengan makhluk kecil di perutkum Aku memutuskan untuk bangun. Dari kamarku kudengar dentingan panci dan sutil yang beradu dari arah luar. Aku tersenyum lebar membayangkan masakan Bi
Aku berbalik dan menatap Gabriel di depanku. Rambutnya sedikit basah, mungkin karena keramas, tapi matanya masih sama, tajam, menembus seperti biasanya.“Kamu mau ke rumah sakit ‘kan? Aku akan mengantarkanmu.” Aku menunduk sebelum memaksakan senyum kecil di bibirku. "Iya, aku …, baru mau berangkat, tapi aku bisa berangkat sendiri. Kamu tidak perlu repot-repot.”Dengan sekali hentakan, Gabriel meraih lenganku dan memaksaku berjalan ke arah pintu keluar.“Dengar, Grace! Kamu sedang hamil dan anak yang di dalam kandunganmu itu adalah anak kita, anakku, darah dagingku. Mulai hari ini, aku tidak akan membiarkan hal-hal buruk terjadi padamu.”“Lepaskan!” sentakku kesal. Kugunakan seluruh kekuatan yang aku punya untuk melepaskan diri dari cengkraman Gabriel. “Ouucchh,” pekikku karena genggaman tangan Gabriel yang bukannya melonggar tapi malah semakin kencang. Menyadari bahwa tindakannya sudah menyakitiku, Gabriel buru-buru melepaskanku. Dengan sengit, aku menatapnya. Kali ini dia benar-