Dengan langkah kaki yang berat, aku menuju ke jalan utama. Aku hanya ingin segera pergi dari mansion itu karena pikiranku hanya dipenuhi dengan tatapan terluka dari Gabriel. Jujur, aku tidak pernah menyakiti hati orang sampai sedalam itu, kata-kataku tadi, pastinya sangat menyakitkan hati Gabriel.“Maafkan aku, Gabriel. Aku hanya ingin kamu bahagia bersama keluarga kecilmu.”Cairan kristal bening hampir mengalir membasahi wajahku, tapi segera kuhapus dengan gerakan kasar. Sudah cukup aku menangis untuk hal-hal yang terjadi padaku belakangan ini. Beep, beeep, beeeep …. Suara klakson di belakangku membuat aku segera menyingkir ke pinggir trotoar. ‘Sialan, siapa sih yang tidak punya kerjaan dan pamer bunyi klakson pagi-pagi?’ umpatku sambil menoleh ke arah mobil yang berhenti di dekatku.“Masuk sekarang!” perintah Gabriel dengan nada yang tegas dan menuntut.Kuhentikan langkah kakiku dan menatapnya tajam dengan alis yang bertaut.“Apa sih mau kamu, Gabriel?” tanyaku kesal, lalu menyila
Gabriel menekan tombol hijau, dan langsung terdengar suara Natalia yang cetar menggelegar separah angin topan yang melanda hutan dan pegunungan.‘Sayang, kamu di mana??? Bukannya kamu sudah berjanji untuk mengantarkan aku setiap hari? Kenapa kamu ingkar janji? Hellooow, kamu sedang dengan siapa saat ini?’Kuangkat kedua tanganku untuk menutupi gendang telingaku, mencegah agar tidak terjadi kerusakan di dalam sana.‘Aku sedang di luar, sebentar lagi aku kembali,’ ucap Gabriel sambil melirik ke arah kaca spion. Kulihat senyum kecut di wajahnya yang tampan.‘Kamu ngapain keluar pagi-pagi begitu? Mau ngapain? Jam berapa kamu balik?’‘Kira-kira tiga puluh menit lagi.’‘Oh, ok!’ Natalia memutuskan panggilan teleponnya sepihak membuat suasana dalam mobil yang tadinya sangat berisik, langsung sunyi mengalahkan tempat pemakaman umum.“Maafkan atas teriakan Natalia tadi,” ucap Gabriel lirih sambil mengambil jalur kanan untuk memasuki kompleks sebuah rumah makan yang buka pagi-pagi untuk melayan
Natalia mengernyitkan keningnya penasaran setelah mendengar penjelasan Bik Sumi. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya dan mengatakan bahwa Gabriel telah membohonginya. Ditambah lagi, Grace tidak sempat sarapan tadi pagi, dari sekarang Gabriel membawa pulang sarapan kesukaannya. Rasanya kebetulan ini terlalu nyata untuk diacuhkan. Sambil menahan dadanya yang mendidih, Natalia duduk dalam diam dan menanti kedatangan Gabriel. Detik waktu yang berlalu terasa begitu lama, Natalia duduk dengan wajah cemberut menanti kedatangan sang suami. “Nyonya, keburu dingin sarapannya kalau cuma dianggurin saja,” celetuk Bik Sumi yang sudah selesai bersih-bersih. Kini dia akan mencuci lantai yang terlihat berminyak, bekas goreng-menggoreng tadi pagi. “Nanti saja, Bik. Tolong buka gorden-gordennya agar cahaya pagi masuk,” perintah Natalia sambil memandang sekeliling. “Baik, Nyonya.” Ruang makan di mansion itu memang sangat luas dan elegan, dengan meja kayu mahoni panjang yang mengkilat di tengahnya.
“Sekarang kamu sudah sibuk dengan wanita sialan itu. Apa sih yang kamu cari dari dia, Gabriel?"“Natalia, Grace bukan wanita sialan, dan dia sedang hamil muda, anak itu adalah darah dagingku, cucu dari keluarga kita.”Natalia mendengus kesal, menahan amarah, matanya memerah, tapi dia menolak menangis. "Jangan bohongi aku, Gabriel. Katakan padaku bahwa posisiku di hatimu sudah terganti oleh pelakor sialan itu! Katakan sekarang juga!"Gabriel menatapnya tajam Natalia.“Berhentilah memanggilnya ‘wanita sialan,’ Natalia. Namanya adalah Grace, dan aku adalah ayah dari anak yang ada dalam kandungannya.”Prang!!! Tembok yang tadinya cerah, kini berwarna merah gelap karena cangkir yang masih berisi teh, berakhir di sana. Kepingan-kepingan cangkir keramik yang pecah berkeping-keping, kini berhamburan dan mengotori lantai yang tadinya baru saja dibersihkan oleh Bik Sumi. Gabriel membelalakkan matanya menatap kelakuan sang istri yang kekanak-kanakan. Hampir saja dia berteriak karena kesal.“Ja
“Ma, terima kasih sudah mau ikut sesi terapi lagi hari ini,” ucapku sambil membetulkan letak selimut di tubuh mama.” Wanita paruh baya yang telah melahirkanku ke dalam dunia ini, tersenyum lembut dan menatapku dengan sinar mata yang ceria. “Sama-sama, sayang. Mama senang sekali karena kamu menemani mama hari ini. Mama jadi lebih semangat dan ingin cepat sembuh.”Aku mengangguk dengan cepat.“Tentu dong, Ma. Aku akan selalu menemani mama kapan pun itu. ”Mama menatapku dengan pandangan aneh, lalu beliau memicingkan matanya seperti berusaha menebak sesuatu di wajahku.“Kamu kok kurusan ya?” tanya mama dengan nada khawatir. “Hah? Kurusan? Perasaan biasa-biasa aja, Ma.” Aku menunduk, jujur saja, sebenarnya aku takut saat mama menanyakan hal itu. Untung saja perutku belum terlihat menonjol. Namun, dalam waktu empat bulan lagi, perut ini pasti akan terlihat di depan mama. Aku tidak tahu harus mencari alasan apa untuk itu. Belum lagi aku harus membeli kembali rumah mama dan papa. Rumah yan
“Terima kasih, Anita,” ucapku penuh haru ketika melihat meja yang dipesan adalah meja tempat kami berdua menghabiskan waktu bersama dulunya.“Sama-sama, sayang. Aku ingin melihat senyum yang pernah hilang, kembali menghiasi wajahmu.”Aku tersenyum lebar sambil menghempaskan bokongku di tempat favoritku.“Grace?” sapa sebuah suara yang sudah tidak asing lagi bagiku. Aku menoleh dan langsung duduk mematung sambil menatap pria di depanku.“Apa kabar?” tanya Noah yang tanpa sungkan langsung menarik kursi di depanku dan mendudukinya.“B-baik,” ucapku sedikit tergagap dan salah tingkah. Astaga, begitu banyaknya hal yang terjadi belakangan ini, aku hampir melupakan sosok pria manis dan tampan di depanku.“Ya, Tuhan. Aku senang banget bisa bertemu denganmu lagi. Tahu, tidak? Waktu aku tanya mama tentang kamu, mama sama sekali tidak memberitahuku sama sekali informasi tentangmu.” Noah mendengus kesal sehingga dia terlihat sangat menggemaskan di mataku.“Eeeehemmm!” Anita yang rupanya menunggu a
Mendengar penolakanku saat Noah menawarkan pekerjaan kepadaku, Vincent hanya menggelengkan kepala tidak percaya. Mungkin dia mengira bahwa aku adalah wanita bodoh yang menolak rejeki. Bodoh amar, aku tidak peduli apa yang ada di otaknya.“Tolong pikirkan lagi, Grace. Beberapa minggu yang lalu, data perusahaan kami dibobol oleh para hacker,” ucap Noah dengan mata berkilat menahan amarah.Aku menunduk menyembunyikan senyumku yang hampir lepas. Tanpa dia beritahu pun, aku sudah mengetahui hal itu.“Oh ya?” tanyaku pura-pura kaget. Kunikmati permainan ini dengan senang hati, dan menunggu respon Noah.“Iya, itu benar-benar mengerikan dan licik.”“Aku setuju denganmu, tapi apakah kalian sudah menangkap orang yang telah melakukan kecurangan itu?”“Aku tidak tahu, tapi sepertinya Gabriel, kakakku sudah mengetahui hal itu.” “Hmm, baguslah kalau begitu,” timpalku sambil kembali menikmati makanan favorite di depanku.”“Karena itu, Grace. Please, please, please …, bekerjalah di perusahaan keluar
“Ladies! Aku siap untuk mengantarkan kalian pulang hari ini,” ucap Noah sambil membungkukkan tubuhnya layaknya seorang pangeran.Anita yang sudah bersemangat dari tadi, langsung menyambar tasnya dan menarik tanganku sehingga aku hampir jatuh terjungkal.Kuikuti langkah kaki mereka berdua sambil berpikir dengan keras cara untuk lepas dari masalah ini. Begitu kami tiba di tempat parkir, dengan cekatan dan gerakan yang cepat, Noah membukakan pintu depan untukku."Silahkan masuk."“Emm, terima kasih, tapi bagaimana kalau Anita saja yang duduk di depan?” tolakku halus. Aku menatap Anita dan berharap agar Anita mau diajak kerja sama kali ini.“Grace, kamu kan sering pusing dan mual kalau duduk di belakang, mending kamu saja yang menemani Noah,” kilah Anita yang membuat aku ingin menjitak kepalanya. Tanpa memperdulikan kekesalanku, Anita langsung membuka kursi penumpang dan menghempaskan bokongnya di sana, lalu duduk dengan manis semanis gula. Aku hanya bisa melotot dengan kesal dari balik
Pria itu mendekati dan meraih wajahku. Aroma tubuh dan mulutnya membuat aku ingin muntah. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Siapa gerangan pria ini sebenarnya."Diam!! bentaknya kasar.“Kenapa aku harus diam, orang jahat?!” sentakku tak mau kalah."Tutup mulutmu, sebelum aku yang menutupnya."Aku tidak peduli, sekuat tenaga, aku berteriak lagi dengan suara yang lebih keras, dan hasilnya si pria itu menutup mulutku dengan telapak tangannya. Dengan kasar, dia memerintah anak buahnya untuk mengambil lakban dan menempelnya secara sembarangan hanya untuk menutup mulutku yang masih ingin berteriak.“Sekali lagi kamu berteriak, maka aku akan menutup bibir seksimu itu dengan cara yang lebih menyenangkan. Akan kubuat rongga mulutmu penuh dengan ciumanku.”Mendengar ancamannya, aku langsung mual, dasar laki-laki mesum. Siapa sih dia sebenarnya? Perasaan selama ini, aku tidak pernah mempunyai musuh. Kenapa tiba-tiba aku disekap seperti ini?Pria itu berjalan mengelilingi kursi yang aku duduki,
"Aku akan mencari tahu siapa kamu sebenarnya," guman Gabriel pelan penuh percaya diri.Ia merapikan jasnya yang sedikit kusut akibat kemarahan tadi, lalu melirik ke jam tangan. ‘Grace pasti sudah menunggu terlalu lama,’ pikirnya. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan taman, pikirannya tetap berputar, merencanakan langkah selanjutnya. Taman itu kembali sunyi, hanya suara angin dan dedaunan yang menjadi saksi. Lampu-lampu taman yang redup, seakan memberikan arah kepadanya, ke mana dia harus melangkah.Gabriel mempercepat langkah kakinya, ia sudah tidak sabar lagi untuk menemui Grace. Begitu tiba di tempat parkir, dari kejauhan, dia tidak melihat sosok Grace di jok depan mobil. Jantung Gabriel seperti berhenti berdetak. Tanpa sadar, langkah kakinya terpacu untuk segera tiba di tempat tujuan.“Grace!” teriak Gabriel saat mendapati wanita itu tidak ada dalam mobil. Dengan kalut, Gabriel memeriksa kursi penumpang, berharap kalau Grace sedang bermain petak umpet atau sekedar menakuti dirinya
“Ayo, aku antarkan kamu pulang,” putus Gabriel sambil berdiri di depanku, lalu mengulurkan salah satu tangannya. Begitu aku hendak menyambut uluran tangan Gabriel, tanpa sengaja, aku melihat bayangan seseorang dari balik pohon besar tidak jauh dari tempat kami berdiri.Deg! Perasaanku tidak enak, aku merasa bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikan kami berdua sedari tadi. Kuraih tangan Gabriel dan memberi kode padanya dengan gerakan bibir yang sangat pelan.‘Ada seseorang di belakang pohon yang sedang memperhatikan kita, Gabriel.’ Awalnya, ia terlihat bingung, tapi kemudian, ia memicingkan matanya berusaha membaca gerakan bibirku.‘Coba ulangi apa yang kamu katakan tadi,' bisiknya nyaris tak terdengar.Aku mengulang kembali ucapanku dengan perlahan sampai kulihat Gabriel memahami apa yang aku maksud. Gabriel mengangguk pelan, tatapan matanya menjadi waspada, dan ia langsung melindungiku dengan cara melingkarkan tangannya ke bahuku. Sikapnya sangat protektif seperti itu membuatku
Begitu keluar dari lobi, aku menemui Gabriel yang sedang menungguku di taman rumah sakit. Dia terlihat begitu tegang dan bingung. “Ada apa?” tanyaku prihatin, Gabriel tidak menjawab pertanyaanku, tapi langsung memelukku erat. Merasakan bahunya bergetar dalam dekapanku, refleks membuatku mengelus kepalanya dengan pelan.“Aku merindukanmu, Grace,” bisik Gabriel nyaris tak terdengar. Pelukan dan belaian tanganku, ternyata mampu membuatnya kembali tenang.Tak lama kemudian, dia melepaskan pelukannya, menangkup wajahku dan membelainya dengan penuh kerinduan. Ya, kerinduan yang mungkin telah tersimpan setelah sekian hari kami tidak bertemu.“Are you alright?” Kutatap netranya dan mendapati ada kegelisahan yang menghantui pikirannya. Ingin rasanya aku menghapus kegelisahan itu dan menggantinya dengan perasaan nyaman dan aman.“Banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini sehingga aku tidak sempat menjengukmu.” “Jangan pikirkan hal itu, Gabriel. Aku baik-baik saja.” Aku tersenyum singkat, be
Aku menahan napas, jantungku berdegup kencang. Aku harus menyembunyikan kehamilan ini. Tak boleh ada seorang pun yang tahu, termasuk mama. Biarlah aku sendiri yang menanggung semua ini.Tangan mama semakin dekat, dan aku tak tahu harus berbuat apa. Satu gerakan salah saja, semuanya bisa terbongkar.Kriiing …. Dering telepon dari dalam tasku, membuat kami berdua kaget, mama mengurungkan niatnya untuk menyentuh perutku. Sambil pura-pura sibuk mencari ponsel di dalam tas, aku melirik mama dengan sudut mataku. Beliau terlihat mengambil rantang makanan dan memeriksa isinya. Untungnya, tangan mama masih berfungsi, kaki beliau saja yang lumpuh total. Aku hanya berharap satu hal, yaitu agar terapi yang sedang mama jalani saat ini, bisa membantu mama keluar dari krisis ini.“Siapa yang telepon?” tanya mama memecah lamunan singkatku.“Emm, teman, Ma,” bohongku saat melihat nama Gabriel yang tertera di layar utama.“Oh, kenapa tidak diangkat?”“Tidak apa-apa, Ma. Paling kalau penting, dia akan
“Aku akan melakukan yang terbaik untuk papa.”“Bagus, Nona. Dalam minggu ini, kami akan memulai terapi saraf, dan memberikan rangsangan otak untuk mengaktifkan kembali jaringan-jaringan otak yang masih berfungsi dari Pak Kristanto.”Aku hanya mengangguk, menahan luapan bahagia yang nyaris pecah. Lalu pintu kamar terbuka perlahan, diikuti derit halus roda kursi. Mama muncul, dibantu oleh seorang suster. Sorot matanya nanar, bingung, mengamati kami yang berdiri dengan tegang di dekat ranjang papa.“Ada apa dengan papa? Kenapa kalian ngumpul di sana?” tanya mama sambil terus mendorong kursi rodanya ke arah kami.Aku berlutut di depan mama, meraih tangannya dan menempelkannya di pipiku, membiarkan dinginnya menenangkan rasa panikku. "Ma …, papa merespon dengan gerakan kecil. Ia merasakan sentuhan dan suara orang-orang di sekitarnya."Mama membeku. Wajahnya, yang selama ini selalu muram, kini cerah sekaligus penuh harap."A-apa?" suara mama tercekat. Dia bergantian menatapku dan Dokter Mik
"Tunggu! Apakah Nona Grace baik-baik saja?""Kenapa?" tanyaku sambil berbalik dengan alis bertaut."Nona terlihat pucat dan letih. Apakah Nona sedang sakit?"“A-aku baik-baik saja.” “Nona bisa tunggu di sini sampai Ibu Kristianto selesai terapi.”“Tidak, terima kasih.”Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera keluar dari ruang kerja Dokter Mikael dan menuju ke kamar inap mama. Bagiku, mendingan aku menunggu mama di sana, sambil menemani papa, dari pada aku duduk di kantor Dokter Mikael. Pandangan penuh curiga terlihat jelas dari sinar matanya.Begitu memasuki kamar, aku menghampiri papa yang seperti biasa, masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Selamat pagi, Papa …,” bisikku pelan sambil mengelus lengannya yang terlihat begitu pucat karena sudah berbulan-bulan tidak terkena sinar matahari. Walaupun kadang-kadang mereka menjemur papa pagi harinya, tapi itu tidak cukup untuknya yang sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam ruang. Kukecup kening papa dengan lembut, lalu meletakkan r
“Loh, Non. Biar Bibik saja yang masak,” protes Bik Mirna yang baru saja selesai melakukan rutinitas seperti biasanya, yaitu menyiram bunga di taman.“Tidak apa-apa, Bik. Santai saja. Aku juga mau masak untuk mama kok.”“Tapi kan biar saya saja yang masakin, Non. Nanti tinggal Nona Grace bilang, kalau mau masak bahannya seperti apa.”Aku tersenyum sambil menatap wanita paruh baya yang selalu menjagaku sejak aku pindah ke sini.“Yaudah, kalau begitu, Bibik bantu aku potong-potong sawi hijau dan iris bawang merah saja.”“Siap, Non. Ngomong-ngomong, Nona mau masak apa?” Bik Mirna mengambil sebuah pisau dari laci khusus penyimpanan benda-benda tajam dan mulai memotong sawi hijau.“Aku mau buat capcay untuk mama.” “Pakai daging atau jamur?” tanya Bik Mirna penasaran. Tak lupa tangannya terus bekerja dengan cekatan.“Rencananya aku mau pakai makanan laut saja, seperti udang dan cumi. Mama paling suka seafood soalnya.”Aku lalu membuka laci tempat penyimpanan alat-alat masak yang tajam dan m
“Ingat, siapa pun yang kamu pilih nantinya, aku sudah tidak peduli lagi, tapi apa pun yang terjadi, aku akan mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku.”Tanpa menunggu jawaban, Natalia memutar tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Gabriel yang duduk terpaku di tempat, dengan wajah yang kini penuh sesal tapi kosong. Setelah punggung Natalia menghilang dari balik pintu dan langkah kakinya sudah tidak terdengar lagi, Gabriel seperti diseret kembali pada kenyataan yang ada.Dengan gerakan cepat, dia mengejar Natalia yang memasuki lift di ujung lorong kantor.‘Aku harus melakukan sesuatu,’ pikir Gabriel kalut. Keamanan dan keselamatan Grace ada di tangannya sekarang. Kalau sampai Grace dicelakakan oleh Natalia, maka ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Natalia! Tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku!” Gabriel berhasil mengejar Natalia dan ikut masuk ke dalam lift. Ditatapnya wanita yang sudah menikah dengannya selama bertahun-tahun.“Please, listen to me! Aku mencintaimu,