Natalia mengernyitkan keningnya penasaran setelah mendengar penjelasan Bik Sumi. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya dan mengatakan bahwa Gabriel telah membohonginya. Ditambah lagi, Grace tidak sempat sarapan tadi pagi, dari sekarang Gabriel membawa pulang sarapan kesukaannya. Rasanya kebetulan ini terlalu nyata untuk diacuhkan. Sambil menahan dadanya yang mendidih, Natalia duduk dalam diam dan menanti kedatangan Gabriel. Detik waktu yang berlalu terasa begitu lama, Natalia duduk dengan wajah cemberut menanti kedatangan sang suami. “Nyonya, keburu dingin sarapannya kalau cuma dianggurin saja,” celetuk Bik Sumi yang sudah selesai bersih-bersih. Kini dia akan mencuci lantai yang terlihat berminyak, bekas goreng-menggoreng tadi pagi. “Nanti saja, Bik. Tolong buka gorden-gordennya agar cahaya pagi masuk,” perintah Natalia sambil memandang sekeliling. “Baik, Nyonya.” Ruang makan di mansion itu memang sangat luas dan elegan, dengan meja kayu mahoni panjang yang mengkilat di tengahnya.
“Sekarang kamu sudah sibuk dengan wanita sialan itu. Apa sih yang kamu cari dari dia, Gabriel?"“Natalia, Grace bukan wanita sialan, dan dia sedang hamil muda, anak itu adalah darah dagingku, cucu dari keluarga kita.”Natalia mendengus kesal, menahan amarah, matanya memerah, tapi dia menolak menangis. "Jangan bohongi aku, Gabriel. Katakan padaku bahwa posisiku di hatimu sudah terganti oleh pelakor sialan itu! Katakan sekarang juga!"Gabriel menatapnya tajam Natalia.“Berhentilah memanggilnya ‘wanita sialan,’ Natalia. Namanya adalah Grace, dan aku adalah ayah dari anak yang ada dalam kandungannya.”Prang!!! Tembok yang tadinya cerah, kini berwarna merah gelap karena cangkir yang masih berisi teh, berakhir di sana. Kepingan-kepingan cangkir keramik yang pecah berkeping-keping, kini berhamburan dan mengotori lantai yang tadinya baru saja dibersihkan oleh Bik Sumi. Gabriel membelalakkan matanya menatap kelakuan sang istri yang kekanak-kanakan. Hampir saja dia berteriak karena kesal.“Ja
“Ma, terima kasih sudah mau ikut sesi terapi lagi hari ini,” ucapku sambil membetulkan letak selimut di tubuh mama.” Wanita paruh baya yang telah melahirkanku ke dalam dunia ini, tersenyum lembut dan menatapku dengan sinar mata yang ceria. “Sama-sama, sayang. Mama senang sekali karena kamu menemani mama hari ini. Mama jadi lebih semangat dan ingin cepat sembuh.”Aku mengangguk dengan cepat.“Tentu dong, Ma. Aku akan selalu menemani mama kapan pun itu. ”Mama menatapku dengan pandangan aneh, lalu beliau memicingkan matanya seperti berusaha menebak sesuatu di wajahku.“Kamu kok kurusan ya?” tanya mama dengan nada khawatir. “Hah? Kurusan? Perasaan biasa-biasa aja, Ma.” Aku menunduk, jujur saja, sebenarnya aku takut saat mama menanyakan hal itu. Untung saja perutku belum terlihat menonjol. Namun, dalam waktu empat bulan lagi, perut ini pasti akan terlihat di depan mama. Aku tidak tahu harus mencari alasan apa untuk itu. Belum lagi aku harus membeli kembali rumah mama dan papa. Rumah yan
“Terima kasih, Anita,” ucapku penuh haru ketika melihat meja yang dipesan adalah meja tempat kami berdua menghabiskan waktu bersama dulunya.“Sama-sama, sayang. Aku ingin melihat senyum yang pernah hilang, kembali menghiasi wajahmu.”Aku tersenyum lebar sambil menghempaskan bokongku di tempat favoritku.“Grace?” sapa sebuah suara yang sudah tidak asing lagi bagiku. Aku menoleh dan langsung duduk mematung sambil menatap pria di depanku.“Apa kabar?” tanya Noah yang tanpa sungkan langsung menarik kursi di depanku dan mendudukinya.“B-baik,” ucapku sedikit tergagap dan salah tingkah. Astaga, begitu banyaknya hal yang terjadi belakangan ini, aku hampir melupakan sosok pria manis dan tampan di depanku.“Ya, Tuhan. Aku senang banget bisa bertemu denganmu lagi. Tahu, tidak? Waktu aku tanya mama tentang kamu, mama sama sekali tidak memberitahuku sama sekali informasi tentangmu.” Noah mendengus kesal sehingga dia terlihat sangat menggemaskan di mataku.“Eeeehemmm!” Anita yang rupanya menunggu a
Mendengar penolakanku saat Noah menawarkan pekerjaan kepadaku, Vincent hanya menggelengkan kepala tidak percaya. Mungkin dia mengira bahwa aku adalah wanita bodoh yang menolak rejeki. Bodoh amar, aku tidak peduli apa yang ada di otaknya.“Tolong pikirkan lagi, Grace. Beberapa minggu yang lalu, data perusahaan kami dibobol oleh para hacker,” ucap Noah dengan mata berkilat menahan amarah.Aku menunduk menyembunyikan senyumku yang hampir lepas. Tanpa dia beritahu pun, aku sudah mengetahui hal itu.“Oh ya?” tanyaku pura-pura kaget. Kunikmati permainan ini dengan senang hati, dan menunggu respon Noah.“Iya, itu benar-benar mengerikan dan licik.”“Aku setuju denganmu, tapi apakah kalian sudah menangkap orang yang telah melakukan kecurangan itu?”“Aku tidak tahu, tapi sepertinya Gabriel, kakakku sudah mengetahui hal itu.” “Hmm, baguslah kalau begitu,” timpalku sambil kembali menikmati makanan favorite di depanku.”“Karena itu, Grace. Please, please, please …, bekerjalah di perusahaan keluar
“Ladies! Aku siap untuk mengantarkan kalian pulang hari ini,” ucap Noah sambil membungkukkan tubuhnya layaknya seorang pangeran.Anita yang sudah bersemangat dari tadi, langsung menyambar tasnya dan menarik tanganku sehingga aku hampir jatuh terjungkal.Kuikuti langkah kaki mereka berdua sambil berpikir dengan keras cara untuk lepas dari masalah ini. Begitu kami tiba di tempat parkir, dengan cekatan dan gerakan yang cepat, Noah membukakan pintu depan untukku."Silahkan masuk."“Emm, terima kasih, tapi bagaimana kalau Anita saja yang duduk di depan?” tolakku halus. Aku menatap Anita dan berharap agar Anita mau diajak kerja sama kali ini.“Grace, kamu kan sering pusing dan mual kalau duduk di belakang, mending kamu saja yang menemani Noah,” kilah Anita yang membuat aku ingin menjitak kepalanya. Tanpa memperdulikan kekesalanku, Anita langsung membuka kursi penumpang dan menghempaskan bokongnya di sana, lalu duduk dengan manis semanis gula. Aku hanya bisa melotot dengan kesal dari balik
“Terima kasih, Noah,” ucap Anita dengan senyum genit.“Sama-sama.”Anita lalu mengecup pipiku dan berbisik pelan, “Awas kalau kamu sampai melepaskan makhluk langka ini,” ancamnya, kemudian menjauh dari mobil sambil melambaikan tangan.“Sekarang giliran-mu,” ucap Noah sambil menyentuh layar di depannya. “Kamu tinggal di mana, Grace?” Tangan Noah terdiam cukup lama di depan layar menunggu jawaban dariku yang tak kunjung aku berikan.“Grace?” panggil Noah mengagetkanku dari lamunanku yang sudah terbang entah ke mana.“Oh, ya, emm ….” Aku menarik napas panjang sebelum menjawab memberikan jawaban yang diinginkan Noah.Dengan pelan dan tidak pasti, aku menyebut alamat rumahku. Ya, alamat rumahku yang sudah kujual karena harus melunasi biaya rumah sakit. Noah segera menulis alamat rumahku dengan semangat empat lima, seakan itu adalah alamat tempat penggalian harta karun leluhur.“Sip, sekarang aku akan mengantarmu pulang.”Aku hanya mengangguk kikuk dan melihat ke arah luar. Rasanya tidak te
“Maaf, Anda mencari siapa?” tegur seorang pria dari dalam mobil. Dadaku berdegup kencang dan berharap pria itu tidak menuduhku telah membobol rumahnya, atau rumah yang pernah menjadi milikku.“M-maaf, aku salah masuk, kukira rumah ini adalah rumah temanku.”Pria itu menautkan alisnya seperti tidak percaya dengan penjelasanku.“Jangan bohong, kamu!” sentaknya kesal. Aku melangkah mundur sampai belakangku menyentuh pintu pagar besi. ‘Sialan, mending ketemu anjing galak dari pada orang galak,’ senyumku kecut.“Benar, Mas, eh, Pak, eh, Bang, aku tidak bohong.”Masih tidak puas, pria itu membuka pintu mobilnya dan mendekatiku.“Ckckckc, wajahnya saja yang cantik, tapi aku tidak akan tertipu dengan wajah secantik ini.” Pria itu menangkap tanganku dan menarikku masuk ke dalam pekarangan rumahnya.“Lepaskan aku!” teriakku kaget.“Heh! Sudah jelas-jelas kamu masuk pekarangan rumah orang tanpa izin. Sekarang kok malah kamu yang teriak-teriak seolah-oleh kamu adalah korbannya.” Pria itu menata