“Terima kasih, Noah,” ucap Anita dengan senyum genit.“Sama-sama.”Anita lalu mengecup pipiku dan berbisik pelan, “Awas kalau kamu sampai melepaskan makhluk langka ini,” ancamnya, kemudian menjauh dari mobil sambil melambaikan tangan.“Sekarang giliran-mu,” ucap Noah sambil menyentuh layar di depannya. “Kamu tinggal di mana, Grace?” Tangan Noah terdiam cukup lama di depan layar menunggu jawaban dariku yang tak kunjung aku berikan.“Grace?” panggil Noah mengagetkanku dari lamunanku yang sudah terbang entah ke mana.“Oh, ya, emm ….” Aku menarik napas panjang sebelum menjawab memberikan jawaban yang diinginkan Noah.Dengan pelan dan tidak pasti, aku menyebut alamat rumahku. Ya, alamat rumahku yang sudah kujual karena harus melunasi biaya rumah sakit. Noah segera menulis alamat rumahku dengan semangat empat lima, seakan itu adalah alamat tempat penggalian harta karun leluhur.“Sip, sekarang aku akan mengantarmu pulang.”Aku hanya mengangguk kikuk dan melihat ke arah luar. Rasanya tidak te
“Maaf, Anda mencari siapa?” tegur seorang pria dari dalam mobil. Dadaku berdegup kencang dan berharap pria itu tidak menuduhku telah membobol rumahnya, atau rumah yang pernah menjadi milikku.“M-maaf, aku salah masuk, kukira rumah ini adalah rumah temanku.”Pria itu menautkan alisnya seperti tidak percaya dengan penjelasanku.“Jangan bohong, kamu!” sentaknya kesal. Aku melangkah mundur sampai belakangku menyentuh pintu pagar besi. ‘Sialan, mending ketemu anjing galak dari pada orang galak,’ senyumku kecut.“Benar, Mas, eh, Pak, eh, Bang, aku tidak bohong.”Masih tidak puas, pria itu membuka pintu mobilnya dan mendekatiku.“Ckckckc, wajahnya saja yang cantik, tapi aku tidak akan tertipu dengan wajah secantik ini.” Pria itu menangkap tanganku dan menarikku masuk ke dalam pekarangan rumahnya.“Lepaskan aku!” teriakku kaget.“Heh! Sudah jelas-jelas kamu masuk pekarangan rumah orang tanpa izin. Sekarang kok malah kamu yang teriak-teriak seolah-oleh kamu adalah korbannya.” Pria itu menata
Begitu duduk di dalam taksi, aku memutuskan untuk menelpon Gabriel. Nada sambung pertama pun terhubung dari ujung sana, lalu terdengar suara Gabriel yang hampir berteriak, menyapaku. “Hello, Grace? Grace? Kamu di mana? Apakah kamu baik-baik saja? Kenapa kamu tidak menjawab pesanku?” Aku terbatuk kecil sambil menjauhkan speaker ponsel dari telingaku. Suara Gabriel memekakkan telingaku. “Grace? Cepat katakan posisi kamu sekarang!” “Aku dalam perjalanan pulang,” ucapku pelan karena tidak ingin menambah kekhawatiran untuknya. “Di mana? Apakah kamu baik-baik saja? Kamu sedang dengan siapa sekarang? Naik apa? Jam berapa sampai rumah?” “Gabriel? Relax, tarik napas yang panjang …, aku baik-baik saja.” Terdengar dengusan napas kesal dari ujung telepon menandakan bahwa Gabriel benar-benar panik. “Aku tunggu kamu di depan pintu gerbang.” “Jangan! Aku bisa masuk sendir ….” Sambungan terputus. “Astaga, dia benar-benar marah besar kali ini,” cetusku sambil mengunci kembali ponse
“Berputarlah dan menghadap cermin,” pinta Gabriel lembut. Karena penasaran, aku segera membalikkan tubuhku. Dari dalam cermin, aku melihat tangan Gabriel membelai leherku dan daerah sekitar tulang selangka. Karena tidak kuat, aku menggigit bibir bawahku menahan hasrat yang ada.“Nah, lakukan sekali lagi,” pinta Gabriel sambil menempelkan dagunya di bahuku. Bibirnya mengecup leherku dan meninggalkan jejak cinta di sana. “A-apa yang harus aku lakukan?” rintihku sambil menekan kepala Gabriel agar dia semakin memperdalam ciumannya.“Gigit bibir bawahmu dan lihat bayanganmu sendiri di dalam cermin.”“Hah?" tanyaku bingung. "Aku tidak mau,” protesku cepat setelah kewarasanku kembali.“Lakukan hal itu tanpa kamu sadari,” goda Gabriel sambil meremas sesuatu di dadaku dengan tiba-tiba. Aku melonjak kaget dan tanpa sadar menggigit bibir bawahku karena kenikmatan dari sentuhan Gabriel. “Kau membuat aku gila, saat sedang terbuai, dan caramu menggigit bibirmu bisa membuat pria mana saja tergoda
Hari kepindahanku dari mansion Gabriel dan Natalia kini sudah semakin mendekati hari H. Beberapa persiapan sudah aku lakukan termasuk dengan mengepak semua barang-barang pribadiku. Kunjungan ke rumah sakit pun terpaksa aku batasi karena aku harus packing-packing, dan hari Sabtunya, aku akan menghadiri acara makan malam di keluarga Tuan Marcus. “Nona, apakah Nona mau makan ikan bakar?” tawar Bik Sumi yang begitu bersemangat sore ini. Dia senang karena aku pulang lebih awal dan akan menemaninya makan malam. “Suka, Bik. Aku doyan semua jenis makanan yang berbahan jenis ikan.” “Yaudah, saya siapkan semuanya dulu ya, Non” “Siap, Bik! Jangan lupa sambal yang pedas,” celetukku dengan air liur yang hampir meleleh. Bagaimana tidak, aku jadi sering lapar akhir-akhir ini. Beruntungnya, aku tidak mengalami morning sickness seperti yang dialami beberapa wanita yang hamil muda. “Siap, Nona. Saya akan buatkan sambal seperti yang Nona suka.” “Terima kasih, Bik.” “Sama-sama.” Aku kembali sibuk
“Kita ke rumah sakit sekarang,” ucap Gabriel sambil mengulurkan tangannya ke arahku. “Tapi ini hanya luka kecil, Gabriel.” “Itu bukan luka kecil, daging di jari telunjuk-mu perlu dijahit agar tidak terjadi infeksi.” Karena tidak mau bertengkar di depan Bik Sumi dan Bik Tutik, dengan berat hati, aku pun mengikuti langkah kaki Gabriel menuju garasi. “Masuk,” perintah Gabriel sambil membuka pintu mobil. Kalau sudah seperti itu, aku jadi seperti kerbau dicucuk hidung. Kuturuti permintaan Gabriel, lalu duduk di bangku depan. Ini untuk pertama kalinya aku duduk di samping Gabriel. Tanpa meminta persetujuanku, dia mendorong tubuhnya melewatiku dan memasang sabuk pengaman. Aku menahan napas, berusaha untuk tidak menghirup aroma Gabriel yang kadang sangat menggoda. “Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Gabriel lembut. Wajah kami begitu dekat, napas kami saling bertabrakan di udara saking dekatnya posisi kami berdua. “Ini hanya luka kecil, Gabriel. Aku baik-baik saja.” “Aku tahu, tapi luka
Sepanjang perjalanan ke dari rumah sakit, aku hanya menatap keluar jendela. Semua perhatian Gabriel membuat aku bingung bagaimana harus bersikap senormal mungkin. Belum lagi pikiranku yang dipenuhi oleh rumah yang akan dijual oleh Tuan Marcus. Ini adalah kesempatan langka bagiku. Membayangkan mama dan papa keluar dari rumah sakit dan kembali berkumpul di rumah yang nyaman dan tenang, itu adalah impianku saat ini.“Kok diam aja? Lagi melamun apa?” tanya Gabriel memecah kesunyian panjang di antara kami berdua.Aku tidak langsung menjawab, tapi menatap wajah pria tampan itu yang sedang sibuk mengendalikan laju mobilnya dengan lincah dan cekatan. “Ceritakan padaku, Grace. Siapa tahu aku bisa membantumu.” Suara Gabriel terdengar begitu lembut dan penuh perhatian, sehingga itu membuat keragu-raguan yang menghampiriku kini mulai berangsur hilang.“Grace, apa pun masalah yang kita hadapi, pasti akan selalu ada jalan keluarnya. Kamu percaya kan akan hal itu?”Aku mengangguk, tapi menyadari ba
“Terima kasih, Grace, karena kamu sudah mau terbuka padaku. Kapan kamu mulai bekerja di perusahaanku? Aku sudah tidak sabar lagi melihatmu memimpin tim IT yang aku punya.”Aku menatap Gabriel dalam-dalam, kemudian tersenyum lembut.“Aku bisa mulai kapan saja kamu mau, tapi ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu.”“Katakan saja," ucap Gabriel sambil memicingkan kedua matanya.“Rumah yang ingin aku beli adalah rumah yang sudah aku jual. Itu bukan rumahku, tapi rumah kedua orang tuaku.”“Hah? Kenapa kamu tidak bilang dari tadi? Maaf kalau sudah membuatmu tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaanku tadi.”“Tidak apa-apa. Aku takut kamu menolak meminjamkan uang padaku kalau aku mengatakan yang sebenarnya," ucapku nyaris berbisik.“Grace, look at me. Aku percaya padamu dan apa pun yang kamu minta, aku akan berusaha untuk memenuhinya.”“Terima kasih, Gabriel. Tapi, kenapa kamu begitu baik padaku? Aku bukan siapa-siapamu.”“Siapa bilang kamu bukan siapa-siapaku?” tanya Gabriel sambil men