Begitu mendengar berita kehamilanku, Natalia berdiri dan mendorong kursi yang didudukinya ke arah belakang sehingga menimbulkan bunyi decit yang cukup keras. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung meninggalkan meja makan dan naik ke lantai atas.“Natalia, tunggu!” seru Gabriel panik, lalu buru-buru dia mengejar sang istri yang sudah menghilang di ujung tangga. “Sudah, kamu lanjut makan saja,” ucap Ibu Ariani pelan. Seperti anak kecil, aku menuruti semua permintaan Ibu Ariani. Dengan perlahan, aku mencoba untuk menikmati hidangan di depanku.“Nak Grace, karena kamu sudah hamil, maka lebih baik, kamu pindah di salah satu rumah mama.”Aku menghentikan kegiatanku dan menatapnya tak percaya. “Benarkah, Bu, eh, Ma?” Rasa bahagia membuncah di dada ini. Bagaimana tidak, aku sudah ingin sekali pindah dari sini, dan keluar dari Gabriel’s zone. “Iya, mama juga tidak mau kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu.”“Terima kasih, Ma. Emmm, kira-kira, kapan aku bisa pindah?”“Minggu ini, kalau kamu mau
“Apa-apaan sih kamu?” cicitku kaget begitu menyadari bahwa Gabriel yang menyelinap di kamarku.“Ssst ..., aku hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu,” bisiknya pelan sama membelai rambutku dengan lembut. Salah satu tangannya mengunci pintu kamar mandi sehingga membuat dadaku terasa sesak, dan aku seperti terjebak dalam satu ruang tertutup tanpa oksigen.“Lepaskan aku!” sentakku dengan suara tertahan. Aku benar-benar tidak tahan berada satu ruangan dengan makhluk panas dan macho satu ini. Melihat kepanikanku, Gabriel menjauhkan tubuhnya dan memilih meraih tanganku dengan sopan.“Tolong pikirkan kembali keputusanmu untuk pindah dari sini,” pinta Gabriel dengan wajah penuh harap, seakan dengan cara itu, dia akan mendapat rasa iba dariku.“Maaf, Gabriel. Aku sudah memikirkan hal ini matang-matang dan keputusanku sudah bulat, aku akan pindah dari sini.”“Aku tidak terima!” balas Gabriel keras kepala.“Apa alasanmu sehingga kamu tidak mau aku pindah dari sini?" Aku berusaha untuk mengorek
Aku membuka kelopak mataku yang masih terasa berat, rupanya pagi yang mendung membuatku ingin kembali ke dunia mimpi. Suara gemericik hujan di luar terdengar samar dari dalam kamarku yang cukup luas dan rapi. Tanganku menutupi mulutku yang menguap lebar, seakan mencoba mengusir rasa kantuk yang ada. “Terima kasih, Tuhan untuk anugerahmu hari ini dimana aku masih bisa menghirup udara segar yang Engkau berikan," bisikku pelan.Seperti ada yang memintaku, tanganku mengelus perutku, lalu sebuah lengkungan indah terbentuk di sudut bibirku.“Selamat pagi, sayang,” bisikku lembut sambil terus mengelus perutku dengan pelan. Senyumanku semakin lebar ketika membayangkan makhluk kecil ini akan memanggilku ‘mama’ suatu hari nanti. Kata itu seperti sebuah melodi yang indah di gendang telingaku. Setelah puas mengobrol dengan makhluk kecil di perutkum Aku memutuskan untuk bangun. Dari kamarku kudengar dentingan panci dan sutil yang beradu dari arah luar. Aku tersenyum lebar membayangkan masakan Bi
Aku berbalik dan menatap Gabriel di depanku. Rambutnya sedikit basah, mungkin karena keramas, tapi matanya masih sama, tajam, menembus seperti biasanya.“Kamu mau ke rumah sakit ‘kan? Aku akan mengantarkanmu.” Aku menunduk sebelum memaksakan senyum kecil di bibirku. "Iya, aku …, baru mau berangkat, tapi aku bisa berangkat sendiri. Kamu tidak perlu repot-repot.”Dengan sekali hentakan, Gabriel meraih lenganku dan memaksaku berjalan ke arah pintu keluar.“Dengar, Grace! Kamu sedang hamil dan anak yang di dalam kandunganmu itu adalah anak kita, anakku, darah dagingku. Mulai hari ini, aku tidak akan membiarkan hal-hal buruk terjadi padamu.”“Lepaskan!” sentakku kesal. Kugunakan seluruh kekuatan yang aku punya untuk melepaskan diri dari cengkraman Gabriel. “Ouucchh,” pekikku karena genggaman tangan Gabriel yang bukannya melonggar tapi malah semakin kencang. Menyadari bahwa tindakannya sudah menyakitiku, Gabriel buru-buru melepaskanku. Dengan sengit, aku menatapnya. Kali ini dia benar-
Dengan langkah kaki yang berat, aku menuju ke jalan utama. Aku hanya ingin segera pergi dari mansion itu karena pikiranku hanya dipenuhi dengan tatapan terluka dari Gabriel. Jujur, aku tidak pernah menyakiti hati orang sampai sedalam itu, kata-kataku tadi, pastinya sangat menyakitkan hati Gabriel.“Maafkan aku, Gabriel. Aku hanya ingin kamu bahagia bersama keluarga kecilmu.”Cairan kristal bening hampir mengalir membasahi wajahku, tapi segera kuhapus dengan gerakan kasar. Sudah cukup aku menangis untuk hal-hal yang terjadi padaku belakangan ini. Beep, beeep, beeeep …. Suara klakson di belakangku membuat aku segera menyingkir ke pinggir trotoar. ‘Sialan, siapa sih yang tidak punya kerjaan dan pamer bunyi klakson pagi-pagi?’ umpatku sambil menoleh ke arah mobil yang berhenti di dekatku.“Masuk sekarang!” perintah Gabriel dengan nada yang tegas dan menuntut.Kuhentikan langkah kakiku dan menatapnya tajam dengan alis yang bertaut.“Apa sih mau kamu, Gabriel?” tanyaku kesal, lalu menyila
Gabriel menekan tombol hijau, dan langsung terdengar suara Natalia yang cetar menggelegar separah angin topan yang melanda hutan dan pegunungan.‘Sayang, kamu di mana??? Bukannya kamu sudah berjanji untuk mengantarkan aku setiap hari? Kenapa kamu ingkar janji? Hellooow, kamu sedang dengan siapa saat ini?’Kuangkat kedua tanganku untuk menutupi gendang telingaku, mencegah agar tidak terjadi kerusakan di dalam sana.‘Aku sedang di luar, sebentar lagi aku kembali,’ ucap Gabriel sambil melirik ke arah kaca spion. Kulihat senyum kecut di wajahnya yang tampan.‘Kamu ngapain keluar pagi-pagi begitu? Mau ngapain? Jam berapa kamu balik?’‘Kira-kira tiga puluh menit lagi.’‘Oh, ok!’ Natalia memutuskan panggilan teleponnya sepihak membuat suasana dalam mobil yang tadinya sangat berisik, langsung sunyi mengalahkan tempat pemakaman umum.“Maafkan atas teriakan Natalia tadi,” ucap Gabriel lirih sambil mengambil jalur kanan untuk memasuki kompleks sebuah rumah makan yang buka pagi-pagi untuk melayan
Natalia mengernyitkan keningnya penasaran setelah mendengar penjelasan Bik Sumi. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya dan mengatakan bahwa Gabriel telah membohonginya. Ditambah lagi, Grace tidak sempat sarapan tadi pagi, dari sekarang Gabriel membawa pulang sarapan kesukaannya. Rasanya kebetulan ini terlalu nyata untuk diacuhkan. Sambil menahan dadanya yang mendidih, Natalia duduk dalam diam dan menanti kedatangan Gabriel. Detik waktu yang berlalu terasa begitu lama, Natalia duduk dengan wajah cemberut menanti kedatangan sang suami. “Nyonya, keburu dingin sarapannya kalau cuma dianggurin saja,” celetuk Bik Sumi yang sudah selesai bersih-bersih. Kini dia akan mencuci lantai yang terlihat berminyak, bekas goreng-menggoreng tadi pagi. “Nanti saja, Bik. Tolong buka gorden-gordennya agar cahaya pagi masuk,” perintah Natalia sambil memandang sekeliling. “Baik, Nyonya.” Ruang makan di mansion itu memang sangat luas dan elegan, dengan meja kayu mahoni panjang yang mengkilat di tengahnya.
“Sekarang kamu sudah sibuk dengan wanita sialan itu. Apa sih yang kamu cari dari dia, Gabriel?"“Natalia, Grace bukan wanita sialan, dan dia sedang hamil muda, anak itu adalah darah dagingku, cucu dari keluarga kita.”Natalia mendengus kesal, menahan amarah, matanya memerah, tapi dia menolak menangis. "Jangan bohongi aku, Gabriel. Katakan padaku bahwa posisiku di hatimu sudah terganti oleh pelakor sialan itu! Katakan sekarang juga!"Gabriel menatapnya tajam Natalia.“Berhentilah memanggilnya ‘wanita sialan,’ Natalia. Namanya adalah Grace, dan aku adalah ayah dari anak yang ada dalam kandungannya.”Prang!!! Tembok yang tadinya cerah, kini berwarna merah gelap karena cangkir yang masih berisi teh, berakhir di sana. Kepingan-kepingan cangkir keramik yang pecah berkeping-keping, kini berhamburan dan mengotori lantai yang tadinya baru saja dibersihkan oleh Bik Sumi. Gabriel membelalakkan matanya menatap kelakuan sang istri yang kekanak-kanakan. Hampir saja dia berteriak karena kesal.“Ja
Pria itu mendekati dan meraih wajahku. Aroma tubuh dan mulutnya membuat aku ingin muntah. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Siapa gerangan pria ini sebenarnya."Diam!! bentaknya kasar.“Kenapa aku harus diam, orang jahat?!” sentakku tak mau kalah."Tutup mulutmu, sebelum aku yang menutupnya."Aku tidak peduli, sekuat tenaga, aku berteriak lagi dengan suara yang lebih keras, dan hasilnya si pria itu menutup mulutku dengan telapak tangannya. Dengan kasar, dia memerintah anak buahnya untuk mengambil lakban dan menempelnya secara sembarangan hanya untuk menutup mulutku yang masih ingin berteriak.“Sekali lagi kamu berteriak, maka aku akan menutup bibir seksimu itu dengan cara yang lebih menyenangkan. Akan kubuat rongga mulutmu penuh dengan ciumanku.”Mendengar ancamannya, aku langsung mual, dasar laki-laki mesum. Siapa sih dia sebenarnya? Perasaan selama ini, aku tidak pernah mempunyai musuh. Kenapa tiba-tiba aku disekap seperti ini?Pria itu berjalan mengelilingi kursi yang aku duduki,
"Aku akan mencari tahu siapa kamu sebenarnya," guman Gabriel pelan penuh percaya diri.Ia merapikan jasnya yang sedikit kusut akibat kemarahan tadi, lalu melirik ke jam tangan. ‘Grace pasti sudah menunggu terlalu lama,’ pikirnya. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan taman, pikirannya tetap berputar, merencanakan langkah selanjutnya. Taman itu kembali sunyi, hanya suara angin dan dedaunan yang menjadi saksi. Lampu-lampu taman yang redup, seakan memberikan arah kepadanya, ke mana dia harus melangkah.Gabriel mempercepat langkah kakinya, ia sudah tidak sabar lagi untuk menemui Grace. Begitu tiba di tempat parkir, dari kejauhan, dia tidak melihat sosok Grace di jok depan mobil. Jantung Gabriel seperti berhenti berdetak. Tanpa sadar, langkah kakinya terpacu untuk segera tiba di tempat tujuan.“Grace!” teriak Gabriel saat mendapati wanita itu tidak ada dalam mobil. Dengan kalut, Gabriel memeriksa kursi penumpang, berharap kalau Grace sedang bermain petak umpet atau sekedar menakuti dirinya
“Ayo, aku antarkan kamu pulang,” putus Gabriel sambil berdiri di depanku, lalu mengulurkan salah satu tangannya. Begitu aku hendak menyambut uluran tangan Gabriel, tanpa sengaja, aku melihat bayangan seseorang dari balik pohon besar tidak jauh dari tempat kami berdiri.Deg! Perasaanku tidak enak, aku merasa bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikan kami berdua sedari tadi. Kuraih tangan Gabriel dan memberi kode padanya dengan gerakan bibir yang sangat pelan.‘Ada seseorang di belakang pohon yang sedang memperhatikan kita, Gabriel.’ Awalnya, ia terlihat bingung, tapi kemudian, ia memicingkan matanya berusaha membaca gerakan bibirku.‘Coba ulangi apa yang kamu katakan tadi,' bisiknya nyaris tak terdengar.Aku mengulang kembali ucapanku dengan perlahan sampai kulihat Gabriel memahami apa yang aku maksud. Gabriel mengangguk pelan, tatapan matanya menjadi waspada, dan ia langsung melindungiku dengan cara melingkarkan tangannya ke bahuku. Sikapnya sangat protektif seperti itu membuatku
Begitu keluar dari lobi, aku menemui Gabriel yang sedang menungguku di taman rumah sakit. Dia terlihat begitu tegang dan bingung. “Ada apa?” tanyaku prihatin, Gabriel tidak menjawab pertanyaanku, tapi langsung memelukku erat. Merasakan bahunya bergetar dalam dekapanku, refleks membuatku mengelus kepalanya dengan pelan.“Aku merindukanmu, Grace,” bisik Gabriel nyaris tak terdengar. Pelukan dan belaian tanganku, ternyata mampu membuatnya kembali tenang.Tak lama kemudian, dia melepaskan pelukannya, menangkup wajahku dan membelainya dengan penuh kerinduan. Ya, kerinduan yang mungkin telah tersimpan setelah sekian hari kami tidak bertemu.“Are you alright?” Kutatap netranya dan mendapati ada kegelisahan yang menghantui pikirannya. Ingin rasanya aku menghapus kegelisahan itu dan menggantinya dengan perasaan nyaman dan aman.“Banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini sehingga aku tidak sempat menjengukmu.” “Jangan pikirkan hal itu, Gabriel. Aku baik-baik saja.” Aku tersenyum singkat, be
Aku menahan napas, jantungku berdegup kencang. Aku harus menyembunyikan kehamilan ini. Tak boleh ada seorang pun yang tahu, termasuk mama. Biarlah aku sendiri yang menanggung semua ini.Tangan mama semakin dekat, dan aku tak tahu harus berbuat apa. Satu gerakan salah saja, semuanya bisa terbongkar.Kriiing …. Dering telepon dari dalam tasku, membuat kami berdua kaget, mama mengurungkan niatnya untuk menyentuh perutku. Sambil pura-pura sibuk mencari ponsel di dalam tas, aku melirik mama dengan sudut mataku. Beliau terlihat mengambil rantang makanan dan memeriksa isinya. Untungnya, tangan mama masih berfungsi, kaki beliau saja yang lumpuh total. Aku hanya berharap satu hal, yaitu agar terapi yang sedang mama jalani saat ini, bisa membantu mama keluar dari krisis ini.“Siapa yang telepon?” tanya mama memecah lamunan singkatku.“Emm, teman, Ma,” bohongku saat melihat nama Gabriel yang tertera di layar utama.“Oh, kenapa tidak diangkat?”“Tidak apa-apa, Ma. Paling kalau penting, dia akan
“Aku akan melakukan yang terbaik untuk papa.”“Bagus, Nona. Dalam minggu ini, kami akan memulai terapi saraf, dan memberikan rangsangan otak untuk mengaktifkan kembali jaringan-jaringan otak yang masih berfungsi dari Pak Kristanto.”Aku hanya mengangguk, menahan luapan bahagia yang nyaris pecah. Lalu pintu kamar terbuka perlahan, diikuti derit halus roda kursi. Mama muncul, dibantu oleh seorang suster. Sorot matanya nanar, bingung, mengamati kami yang berdiri dengan tegang di dekat ranjang papa.“Ada apa dengan papa? Kenapa kalian ngumpul di sana?” tanya mama sambil terus mendorong kursi rodanya ke arah kami.Aku berlutut di depan mama, meraih tangannya dan menempelkannya di pipiku, membiarkan dinginnya menenangkan rasa panikku. "Ma …, papa merespon dengan gerakan kecil. Ia merasakan sentuhan dan suara orang-orang di sekitarnya."Mama membeku. Wajahnya, yang selama ini selalu muram, kini cerah sekaligus penuh harap."A-apa?" suara mama tercekat. Dia bergantian menatapku dan Dokter Mik
"Tunggu! Apakah Nona Grace baik-baik saja?""Kenapa?" tanyaku sambil berbalik dengan alis bertaut."Nona terlihat pucat dan letih. Apakah Nona sedang sakit?"“A-aku baik-baik saja.” “Nona bisa tunggu di sini sampai Ibu Kristianto selesai terapi.”“Tidak, terima kasih.”Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera keluar dari ruang kerja Dokter Mikael dan menuju ke kamar inap mama. Bagiku, mendingan aku menunggu mama di sana, sambil menemani papa, dari pada aku duduk di kantor Dokter Mikael. Pandangan penuh curiga terlihat jelas dari sinar matanya.Begitu memasuki kamar, aku menghampiri papa yang seperti biasa, masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Selamat pagi, Papa …,” bisikku pelan sambil mengelus lengannya yang terlihat begitu pucat karena sudah berbulan-bulan tidak terkena sinar matahari. Walaupun kadang-kadang mereka menjemur papa pagi harinya, tapi itu tidak cukup untuknya yang sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam ruang. Kukecup kening papa dengan lembut, lalu meletakkan r
“Loh, Non. Biar Bibik saja yang masak,” protes Bik Mirna yang baru saja selesai melakukan rutinitas seperti biasanya, yaitu menyiram bunga di taman.“Tidak apa-apa, Bik. Santai saja. Aku juga mau masak untuk mama kok.”“Tapi kan biar saya saja yang masakin, Non. Nanti tinggal Nona Grace bilang, kalau mau masak bahannya seperti apa.”Aku tersenyum sambil menatap wanita paruh baya yang selalu menjagaku sejak aku pindah ke sini.“Yaudah, kalau begitu, Bibik bantu aku potong-potong sawi hijau dan iris bawang merah saja.”“Siap, Non. Ngomong-ngomong, Nona mau masak apa?” Bik Mirna mengambil sebuah pisau dari laci khusus penyimpanan benda-benda tajam dan mulai memotong sawi hijau.“Aku mau buat capcay untuk mama.” “Pakai daging atau jamur?” tanya Bik Mirna penasaran. Tak lupa tangannya terus bekerja dengan cekatan.“Rencananya aku mau pakai makanan laut saja, seperti udang dan cumi. Mama paling suka seafood soalnya.”Aku lalu membuka laci tempat penyimpanan alat-alat masak yang tajam dan m
“Ingat, siapa pun yang kamu pilih nantinya, aku sudah tidak peduli lagi, tapi apa pun yang terjadi, aku akan mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku.”Tanpa menunggu jawaban, Natalia memutar tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan Gabriel yang duduk terpaku di tempat, dengan wajah yang kini penuh sesal tapi kosong. Setelah punggung Natalia menghilang dari balik pintu dan langkah kakinya sudah tidak terdengar lagi, Gabriel seperti diseret kembali pada kenyataan yang ada.Dengan gerakan cepat, dia mengejar Natalia yang memasuki lift di ujung lorong kantor.‘Aku harus melakukan sesuatu,’ pikir Gabriel kalut. Keamanan dan keselamatan Grace ada di tangannya sekarang. Kalau sampai Grace dicelakakan oleh Natalia, maka ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Natalia! Tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku!” Gabriel berhasil mengejar Natalia dan ikut masuk ke dalam lift. Ditatapnya wanita yang sudah menikah dengannya selama bertahun-tahun.“Please, listen to me! Aku mencintaimu,