Beranda / Rumah Tangga / Cinta dalam Bayangan Hutang / Bab 2: Tawaran yang Mengguncang

Share

Bab 2: Tawaran yang Mengguncang

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-12 17:08:45

"Aku ingin menawarkan sebuah solusi, Ara," kata Adrian, tangannya terlipat di atas meja. Mata kelamnya mengunci tatapan Ara, membuat wanita itu tak berani mengalihkan pandangannya. "Hutang suamimu bisa lunas dalam waktu singkat. Tapi, tentu saja, aku punya syarat."

Ara menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Suasana di ruangan itu begitu sunyi, hanya suara detak jam dinding yang menjadi latar belakang. Ia mencoba membaca ekspresi Adrian, tapi wajah pria itu seperti tembok: kokoh, tak bisa ditembus.

"Syarat apa?" tanyanya akhirnya, suara yang keluar sedikit lebih pelan dari yang ia harapkan. Jemarinya mengepal di pangkuan, berusaha meredam getaran yang mulai menjalar.

Adrian bersandar di kursinya, postur tubuhnya santai tetapi penuh kontrol. Ia mengamati Ara seolah-olah sedang menilai barang antik, memeriksa setiap detail sebelum menentukan harga. Setelah jeda yang terasa seperti selamanya, ia berbicara.

"Kau akan menjalin hubungan kontrak denganku," katanya, setiap kata terdengar seperti ketukan palu. "Tiga bulan. Kau menemani aku di acara-acara tertentu, berpura-pura menjadi pendampingku."

Ara mengerutkan kening, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. "Pendamping?" ulangnya, seolah kata itu terlalu asing untuk dipahami.

"Ya," jawab Adrian dengan tenang. "Aku butuh seseorang yang bisa aku percayai untuk memainkan peran ini. Seseorang yang tidak hanya bisa menjaga rahasia, tetapi juga memiliki kejujuran dan integritas." 

Senyumnya muncul tipis, hampir seperti ia sedang menikmati kebingungan Ara. "Dan aku rasa kau adalah orang yang tepat."

Ara menggeleng pelan, otaknya berputar dengan berbagai kemungkinan. "Kenapa aku? Aku... aku cuma orang biasa, Adrian. Tidak ada yang istimewa dariku."

Adrian mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya menjadi lebih intens. 

"Justru karena kau orang biasa, Ara. Karena kau berbeda dari semua wanita yang pernah aku temui. Kau bukan seseorang yang akan mencoba memanfaatkan situasi ini untuk keuntunganmu sendiri. Kau tulus, dan itu sesuatu yang sulit ditemukan di dunia ini."

Pujian itu, meskipun terdengar tulus, tidak mengurangi rasa takut yang kini menghantui Ara. Ia merasakan tengkuknya panas, keringat dingin mulai merembes di bawah kerah bajunya.

"Apa maksudnya hubungan kontrak ini?" tanyanya akhirnya, suaranya sedikit bergetar. "Apakah ini berarti aku harus meninggalkan suamiku?"

Adrian mengangkat satu alis, seolah pertanyaan itu menarik baginya. 

"Tidak, ini tidak ada hubungannya dengan pernikahanmu. Ini hanya urusan bisnis. Aku butuh pendamping untuk menjaga citra publikku, dan kau butuh uang untuk melunasi hutang suamimu. Ini kesepakatan yang saling menguntungkan."

"Tapi... bagaimana jika orang lain tahu? Bagaimana jika—"

"Tidak akan ada yang tahu," potong Adrian dengan tegas. Suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tetapi penuh keyakinan. "Aku akan memastikan segalanya berjalan lancar. Tidak ada yang akan mencurigai apa pun, Ara. Percayalah padaku."

Kata-katanya membuat Ara merasa terjebak. Di satu sisi, tawaran ini bisa menjadi jalan keluar dari mimpi buruk yang sedang ia alami. 

Di sisi lain, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya—rasa bersalah yang perlahan merayap masuk, seperti kabut yang menutupi pikirannya.

"Kalau aku setuju... apa yang terjadi setelah tiga bulan?" tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.

Adrian tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Setelah tiga bulan, kontrak selesai. Hutang suamimu akan lunas, dan kau bebas melanjutkan hidupmu seperti biasa."

Ara menunduk, pikirannya penuh dengan keraguan. Ia memikirkan Raka, yang sekarang tertidur di sofa rumah mereka, tubuhnya lemah akibat tekanan yang ia tanggung. Ia memikirkan hidup mereka yang sederhana, tetapi penuh dengan perjuangan. 

Dan kemudian, ia memikirkan dirinya sendiri—apakah ia mampu menjalani semua ini tanpa kehilangan jati dirinya?

Adrian mengulurkan sebuah amplop di atas meja, mendorongnya ke arah Ara. "Ini adalah draf kontraknya. Baca dengan teliti. Kalau kau setuju, tanda tangani dan kembalikan padaku besok."

Ara memandang amplop itu, merasa seperti sedang melihat jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Tangan Adrian tetap terulur, sabar menunggu. "Ini pilihanmu, Ara. Aku tidak akan memaksamu."

Malam itu, Ara duduk di tepi ranjangnya dengan amplop cokelat di tangan. Raka masih tertidur di sofa, mendengkur pelan. Kertas di dalam amplop terasa berat, seolah membawa seluruh beban hidupnya. Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop itu dan mulai membaca.

Bahasanya formal, hampir seperti kontrak kerja biasa. Tidak ada yang mencurigakan, tidak ada klausa aneh yang menunjukkan sesuatu di luar batas. Tetapi setiap kalimat yang ia baca terasa seperti belenggu yang mulai membungkus tubuhnya.

Ia mengangkat wajah, memandang cermin di depannya. Wanita di dalam cermin tampak lelah, matanya merah akibat kurang tidur. Ia menyentuh pipinya, mencoba mencari jejak dari wanita yang dulu ia kenal. Tetapi yang ia lihat hanyalah seseorang yang hampir kehilangan segalanya.

"Kalau ini untuk menyelamatkan Raka," bisiknya pada bayangannya sendiri, "apakah aku harus melakukannya?"

Namun, jawaban tidak datang. Yang ada hanyalah suara detak jam dinding, mengingatkan bahwa waktu terus berjalan, dan keputusan harus segera dibuat.

Pagi berikutnya, Ara datang ke kantor dengan amplop cokelat itu di dalam tasnya. Setiap langkah menuju lift terasa seperti perjalanan menuju hukuman. 

Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan yang benar, bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Raka. Tetapi rasa bersalah terus menghantuinya, menekan dadanya hingga sulit bernapas.

Ketika ia tiba di lantai tertinggi, pintu ruang kerja Adrian sudah terbuka. Pria itu sedang berdiri di dekat jendela, memandang keluar dengan tangan di saku. Ketika ia mendengar langkah Ara, ia berbalik dan tersenyum kecil.

"Ara," katanya, suaranya hangat tetapi tetap penuh wibawa. "Sudah kau pikirkan?"

Ara mengangguk pelan. Ia membuka tasnya, mengeluarkan amplop itu, dan menyerahkannya pada Adrian. Pria itu mengambilnya dengan satu tangan, lalu membuka dan memeriksa isinya. 

Wajahnya tetap tenang, tetapi ada sedikit lengkungan di sudut bibirnya yang menunjukkan kepuasan.

"Keputusan yang bijak," katanya akhirnya, menutup amplop itu dan meletakkannya di atas meja. "Kita akan mulai minggu depan. Aku akan memberimu detailnya nanti."

Ara hanya bisa mengangguk lagi, meskipun hatinya terasa berat. Ketika ia berbalik untuk pergi, suara Adrian menghentikannya.

"Ara," panggilnya. Ketika ia menoleh, Adrian menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—campuran antara kelembutan dan sesuatu yang lebih dalam. "Kau tidak akan menyesal."

Ara tidak menjawab. Ia hanya melangkah keluar dari ruangan itu, meninggalkan rasa ragu yang terus menghantuinya. Apa yang baru saja ia lakukan? Apakah ini keputusan yang benar, ataukah ia baru saja membuka pintu menuju kehancuran yang lebih besar?

Namun, satu hal yang pasti—kehidupannya tidak akan pernah sama lagi.

Bab terkait

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 3: Pertimbangan Berat

    "Jadi, kau sudah tanda tangan?" Raka bertanya dengan nada yang berusaha terdengar santai, meski matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda—campuran rasa bersalah dan keputusasaan. Ia duduk di meja makan kecil, dengan secangkir kopi yang hampir dingin di depannya.Ara mengangguk pelan, namun tak mampu menatap mata suaminya. Ia memandang meja kayu di antara mereka, seolah mencoba menemukan jawaban di celah-celah serat kayunya. "Aku... aku rasa ini satu-satunya jalan, Raka. Aku hanya ingin kita keluar dari semua ini."Raka mengangguk, wajahnya memucat. Ia meremas jemarinya yang kasar, bibirnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada kata yang keluar. Ruangan itu dipenuhi keheningan yang menyesakkan. Hanya suara tik-tok jam dinding yang mengisi udara, memotong kebisuan dengan detak yang terus berulang, seperti pengingat akan waktu yang tak peduli.Ara berdiri dari kursi, punggungnya kaku. Ia meraih piring kotor di meja dan membawanya ke wastafel. Air keran mengalir, mencip

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 4: Keputusan Ara

    "Jadi, kita mulai malam ini?" suara Adrian memecah keheningan yang menyelimuti mobil mewah itu. Tatapannya sekilas melirik ke arah Ara, mencoba membaca ekspresi wanita yang duduk di sampingnya.Ara mengangguk pelan, meskipun ia tak bisa menyembunyikan ketegangan di wajahnya. Tangannya mencengkeram clutch kecil di pangkuannya, jemarinya bergerak gelisah di atas kain satin yang lembut. "Ya... kalau itu yang harus aku lakukan," jawabnya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk, seolah puas dengan jawaban itu. Ia kembali mengarahkan pandangannya ke jalan, mengemudi dengan tenang. Di luar, lampu-lampu kota Jakarta berpendar seperti bintang-bintang yang terlalu dekat dengan bumi. Namun, di dalam mobil itu, suasana terasa berat, penuh dengan hal-hal yang tak terucapkan."Tak perlu khawatir," kata Adrian akhirnya, memecah keheningan lagi. "Aku sudah mengatur semuanya. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengikutiku dan memainkan peranmu. Sisanya, aku yang urus."Ara menghel

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 5: Pertemuan Pertama

    "Jadi, apa aku sudah sesuai ekspektasimu?" Ara bertanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan yang terperangkap di udara.Adrian menatapnya dari seberang meja makan berlapis marmer itu, mata kelamnya penuh perhatian, tetapi sulit untuk dibaca. Di sekeliling mereka, ruangan restoran mewah itu dipenuhi percakapan lembut, denting gelas anggur, dan musik piano yang mengalun seperti arus sungai. Namun, di antara mereka berdua, keheningan terasa lebih pekat, lebih nyata."Kau lebih dari itu," jawab Adrian akhirnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman tipis yang seolah menyimpan rahasia. Ia meletakkan gelas anggurnya di atas meja dengan gerakan terukur. "Aku tahu dari awal bahwa aku tidak salah memilihmu."Ara menelan ludah, berusaha mengabaikan caranya memandangnya, yang terasa seperti menyelami lapisan-lapisan terdalam dirinya. Tangannya meremas serbet di pangkuannya, mencoba meredam getaran kecil yang menjalar di ujung jari-jarinya."Aku hanya melakukan apa yang kau minta," balas

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 6: Kontrak Dimulai

    "Ara, sebelum kita lanjut, aku ingin memastikan bahwa kau memahami semua ketentuannya."Adrian duduk di kursi kulit hitam di ruang kerjanya yang luas, meja kayu mahoni yang besar memisahkan mereka. Di atas meja itu, sebuah dokumen kontrak terletak terbuka, dengan pena mewah mengilap di sisinya. Tatapan Adrian terfokus pada Ara, seperti seorang pengacara yang ingin memastikan kliennya benar-benar paham apa yang sedang terjadi.Ara, yang duduk di kursi seberang, menggenggam tangan di pangkuannya. Ia berusaha menahan getaran kecil yang menjalar di jemarinya. Ruang itu terasa sunyi, hanya suara jarum jam yang samar terdengar dari sudut ruangan. Dinding kaca di belakang Adrian memamerkan pemandangan langit Jakarta yang mulai gelap."Aku sudah membaca semuanya," jawab Ara dengan nada pelan, tetapi mantap. Matanya menatap dokumen itu dengan tekun, seolah-olah mempelajari setiap barisnya lagi meskipun ia sudah hafal isinya."Bagus," ujar Adrian, mengangguk pelan. Ia menyilangkan jari-jariny

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 7: Kencan Pertama

    "Jadi, apa kau selalu secanggung ini saat diajak makan malam?" suara Adrian terdengar lembut tetapi penuh canda, memecah keheningan di antara mereka.Ara mendongak dari piringnya, menatap Adrian dengan sedikit malu. Ia mencoba tersenyum, meskipun gugup jelas terlihat di matanya. "Maaf, aku... aku tidak terbiasa dengan ini," jawabnya jujur. Matanya beralih ke sekeliling restoran yang berkilauan oleh lampu kristal. Semua terasa terlalu mewah, terlalu jauh dari kehidupannya yang biasa.Adrian tersenyum kecil, mengangkat gelas anggurnya tetapi tidak langsung meminumnya. "Tak perlu minta maaf. Aku justru menyukai itu."Ara mengerutkan kening. "Menyukai apa?""Kejujuranmu," jawab Adrian tanpa ragu. Ia meletakkan gelasnya, tatapannya tertuju langsung pada Ara, seolah ingin memastikan bahwa setiap kata yang ia ucapkan benar-benar sampai padanya. "Kau tidak mencoba menjadi seseorang yang bukan dirimu, dan itu sesuatu yang langka."Ara tersipu, wajahnya memerah. Ia merasa seperti seorang gadi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 8: Kilas Balik Cinta

    "Adrian..." Ara memanggil perlahan, suara lembutnya hampir tenggelam dalam keheningan di dalam mobil yang melaju membelah malam. Adrian, yang tengah fokus pada jalanan, melirik sekilas ke arahnya."Ada apa?" tanyanya, nada suaranya tetap tenang, seperti biasa.Ara menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang berputar-putar di benaknya sejak makan malam mereka. "Aku hanya ingin tahu... bagaimana menurutmu sebuah cinta bisa bertahan? Maksudku, jika semua di dunia ini terus berubah, apa yang membuat cinta tetap ada?"Adrian terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan jawaban yang tepat. "Cinta bertahan bukan karena waktu," katanya akhirnya, matanya tetap tertuju ke depan. "Tapi karena pilihan. Setiap hari, kau harus memilih untuk tetap mencintai seseorang, meskipun dunia seolah memberimu alasan untuk menyerah."Jawabannya membuat Ara terdiam, hatinya terasa seperti tertusuk sesuatu yang halus tetapi menyakitkan. Kata-kata Adrian menggema di pikirannya, membuatnya tak bisa mengabaikan r

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 9: Perhatian yang Menghangatkan

    "Kau selalu menggigit bibirmu seperti itu saat gugup?"Pertanyaan Adrian memecah konsentrasi Ara yang sedang memandang secarik menu di tangannya. Ia mendongak, sedikit bingung, lalu menyadari bahwa bibir bawahnya sedang ia gigit tanpa sadar. Wajahnya memerah seketika."Aku tidak sadar," jawabnya cepat, mencoba menutupi rasa malunya. Tangannya segera turun ke pangkuan, menggenggam erat serbet kain yang tertata rapi di sana.Adrian tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur dalam kegugupan Ara. "Aku hanya memperhatikan," katanya dengan nada santai. "Kebiasaan kecil seperti itu seringkali yang paling jujur. Itu memberitahu banyak tentang seseorang."Ara menunduk, berusaha fokus kembali pada menu di tangannya. Namun, tatapan Adrian tetap tertuju padanya, memberikan sensasi bahwa ia sedang benar-benar dilihat—bukan hanya sebagai bagian dari kesepakatan, tetapi sebagai individu. Sensasi itu membuat Ara merasa hangat, sekaligus bingung.Malam itu, mereka sedang duduk di sebuah

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 10: Ketulusan Adrian

    "Kenapa kau tidak pernah bertanya lebih banyak tentangku?" tanya Adrian tiba-tiba, memecah keheningan yang mengisi ruang di antara mereka. Suaranya terdengar lembut, tetapi ada nada penasaran di dalamnya.Ara menatap Adrian dari seberang meja kecil di teras vila tempat mereka menghabiskan malam itu. Restoran tempat acara tadi berlangsung sudah sepi, tetapi Adrian, dengan gayanya yang khas, memutuskan untuk memesan teh di teras terbuka ini, di bawah langit yang penuh bintang. Aroma teh melati memenuhi udara, bercampur dengan embusan angin malam yang dingin."Aku tidak tahu harus bertanya apa," jawab Ara dengan jujur. "Kau tampak seperti orang yang... sulit ditebak. Mungkin aku takut mengganggu batasanmu."Adrian tertawa kecil, suara tawanya rendah dan berat. "Batasanku," ulangnya dengan senyum samar. "Kau tahu, Ara, kebanyakan orang menganggapku sulit didekati. Tapi aku tidak keberatan jika kau mencoba."Ara mengerutkan kening, sedikit ragu sebelum akhirnya berkata, "Kalau begitu, ken

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14

Bab terbaru

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 94: Raka yang Tak Mau Menyerah

    Dini hari itu, hujan mengguyur dengan deras, menciptakan simfoni monoton di atap apartemen Ara. Ara terbangun dengan suara ketukan keras di pintu. Bukan suara lembut yang biasa Adrian buat, melainkan ketukan kasar, mendesak, yang memaksa denyut nadinya melonjak cepat.Ia duduk di ranjang, menatap pintu dengan mata yang masih mengantuk, tetapi tubuhnya kaku oleh kecemasan. Siapa yang akan datang pada jam seperti ini?Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras.“Ara! Buka pintunya!”Suaranya membuat tubuh Ara gemetar. Itu Raka.Ia segera berdiri, mengenakan cardigan untuk melawan dinginnya malam. Dengan langkah ragu, Ara menuju pintu. Tangannya sudah di kenop pintu ketika sebuah pikiran melintas: jangan lakukan ini. Jangan buka pintu itu.“Aku tahu kau di sana!” Raka berteriak, suaranya serak oleh marah. “Ara! Kalau kau tidak buka pintu ini sekarang, aku akan—”Tiba-tiba, suara lift berbunyi. Langk

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 93: Keputusan Adrian

    Heningnya ruang kerja Adrian pecah oleh suara langkah kakinya yang mantap. Ia berjalan mondar-mandir di lantai kayu yang mengilap, dengan ponsel yang ditempelkan di telinganya. Cahaya dari lampu gantung di langit-langit memantulkan sorotan lembut ke wajahnya yang tegang.“Tidak, aku tidak peduli soal prosedur biasa,” katanya, suaranya dingin dan tajam. “Pastikan surat perintah itu dikeluarkan secepatnya. Aku ingin dia tidak bisa mendekati Ara sejauh apa pun.”Adrian memutus panggilan tanpa menunggu jawaban dari seberang, lalu melempar ponsel itu ke atas meja. Ia memijit pelipisnya, menarik napas panjang seolah mencoba menenangkan badai di dadanya. Matanya gelap, penuh ketegangan yang sulit disembunyikan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Adrian menoleh. Ara berdiri di sana, tubuhnya diselimuti cardigan tipis, dan ekspresinya cemas.“Aku mengetuk beberapa kali,” kata Ara, suaranya pelan. “Kau tidak mendengar?&rd

  • Cinta dalam Bayangan Hutang    Bab 92: Pesan Ancaman

    Ara terbangun dengan detak jantung yang berdentum kencang. Suara notifikasi dari ponsel di samping ranjang kecilnya masih bergema di kepala. Udara dingin pagi menyelinap melalui celah gorden, tetapi keringat dingin justru membasahi pelipisnya.Ia meraih ponsel itu dengan tangan gemetar, layar yang terang memantulkan bayangannya yang lelah. Ada pesan baru, dan nama pengirimnya membuat perut Ara terasa seperti diaduk-aduk.Raka.Pesan itu singkat, tapi setiap kata terasa seperti belati yang menghujam dadanya.“Kalau kau tidak kembali, aku pastikan semuanya berantakan untukmu. Jangan coba-coba melarikan diri dari ini. Kau tahu aku serius, Ara.”Jari-jari Ara perlahan melemah. Ponsel itu nyaris terjatuh dari tangannya. Pesan itu tidak hanya mengancam dirinya, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—kedamaian kecil yang baru saja ia temukan.Di luar, langit mulai memudar dari kelam menjadi abu-abu. Tetapi ruangan

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 91: Hari-Hari Bahagia yang Terusik

    Suara ketukan halus di pintu memecah keheningan. Ara, yang sedang mengaduk saus tomat di panci, menoleh cepat. Sekilas ia melihat cipratan kecil saus menetes ke atas meja marmer, tapi pikirannya teralih oleh ketukan itu.“Sebentar,” serunya, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang tiba-tiba menyeruak.Ia membuka pintu, dan Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja putih sederhana yang lengannya tergulung hingga siku. Wajahnya tampak tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan—seperti kerikil kecil yang membuat riak di air yang tenang.“Aku hanya ingin memastikan kau tidak melupakan makan siang,” katanya ringan sambil melangkah masuk, tanpa menunggu izin.Ara tersenyum kecil, lalu menunjuk panci di dapur. “Aku sedang memasak, Adrian. Kalau aku lupa makan, itu artinya aku gagal menjadi—” Ia menghentikan kata-katanya, merasakan nada itu terlalu berbahaya untuk dilanjutkan.

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 90: Adrian Siap Melindungi

    "Ara, aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu."Suara Adrian terdengar tegas namun hangat saat ia duduk di seberang Ara. Tatapannya tajam, penuh determinasi, tetapi ada kelembutan yang menyelip di sana—perpaduan perlindungan dan kasih sayang.Mereka duduk di meja makan kecil di kabin, sisa-sisa makan malam masih berserakan di atas meja. Ara menatap Adrian, matanya dipenuhi kekhawatiran. Tapi jauh di balik itu, ada kepercayaan yang mulai tumbuh, sebuah keyakinan yang perlahan-lahan menguat.“Tapi dia tidak akan berhenti, Adrian,” bisik Ara, suaranya pelan namun bergetar dengan ketakutan yang nyata. “Raka tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.”Adrian mengepalkan tangannya di atas meja, berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap langsung ke mata Ara.“Kalau begitu, aku akan memastikan dia tidak mendapatkan kesempatan. Aku sudah berbicara

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 89: Ancaman yang Muncul

    Adrian memegang telepon dengan erat, menatap dinding kayu kabin yang diterangi lampu temaram. Suara di seberang sana membuat darahnya mendidih, meskipun ia berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali.“Adrian, kamu pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku selamanya?” suara Raka terdengar dingin, penuh amarah yang terpendam. Adrian melirik ke ruang kerja, di mana Ara tengah sibuk menulis. Ia mundur beberapa langkah ke sudut kabin, memastikan percakapan ini tidak terdengar oleh Ara.“Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan,” jawab Adrian, mencoba membuat suaranya tetap tegas. “Tapi aku sarankan kamu berhenti mencari masalah.”Tawa kecil terdengar dari Raka, tetapi tanpa humor—hanya sisa-sisa dari seseorang yang terobsesi dan penuh kepahitan. “Jangan berpura-pura bodoh. Aku tahu dia bersamamu. Kamu mencuri istriku, dan kamu pikir aku akan membiarkan itu?”Adrian mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 88: Raka yang Terpuruk

    Raka duduk di ruang tamu apartemennya yang berantakan. Botol-botol minuman kosong berserakan di lantai, menjadi saksi bisu malam-malam panjang yang ia habiskan dalam kekacauan pikiran. Matanya merah, wajahnya kusut, seperti seseorang yang tak pernah benar-benar beristirahat.Di meja kecil di depannya, sebuah surat tergeletak terbuka. Itu adalah surat dari Ara, dan setiap kali ia membacanya, kata-katanya seperti menguliti hatinya."Aku pergi bukan karena aku tidak pernah mencintaimu, tetapi karena aku akhirnya menyadari bahwa aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu."Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Bukan hanya karena Ara telah meninggalkannya, tetapi karena ia tahu, dalam-dalam, ada kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. Selama ini, ia tidak hanya kehilangan Ara; ia juga menghancurkan sesuatu yang dulu menjadi inti dari dirinya.Raka tidak pernah tahu bagaimana harus menjaga apa yang berharga, dan kini, semua itu telah lepas dari

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 87: Kebebasan yang Baru Ditemukan

    “Adrian, aku rasa... aku ingin mencoba bekerja lagi.”Ara duduk di bangku kayu di teras kabin, memandangi hutan yang terbentang di depannya. Udara pagi membawa aroma segar tanah basah setelah hujan malam sebelumnya. Ia menggenggam secangkir teh di kedua tangannya, mencoba menenangkan debaran kecil di dadanya saat ia menyuarakan keinginan yang baru tumbuh.Adrian, yang sedang menyiram tanaman kecil di samping kabin, menoleh dengan senyum hangat. “Itu ide yang bagus, Ara. Kamu sudah lama memikirkan ini?”Ara mengangguk perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Aku rasa aku butuh sesuatu untuk menyibukkan diri, sesuatu yang membuatku merasa produktif. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.”

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 86: Babak Baru Bersama Adrian

    “Ara, lihat ini.”Adrian berdiri di dekat jendela kabin, pandangannya tertuju ke arah hutan yang mulai diterangi cahaya pagi. Matahari baru saja terbit, sinarnya lembut menembus sela-sela pepohonan yang basah oleh embun. Di kejauhan, seekor rusa muncul dengan gerakan anggun, melangkah perlahan di antara dedaunan.Ara, yang baru saja selesai menyeduh teh, mendekati jendela dengan hati-hati. Wajahnya dipenuhi kehangatan saat ia melihat pemandangan itu. “Indah sekali,” bisiknya, seolah takut mengganggu ketenangan pagi.Dalam tatapannya, ada rasa kagum yang sudah lama tidak ia rasakan—sebuah kedamaian yang hampir asing baginya.Adrian melirik Ara, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Aku ingin setiap pagi seperti ini untukmu, Ara. Tenang, damai, tanpa rasa takut.”Ara menoleh ke arah Adrian, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. “Ini seperti mimpi. Aku tidak pernah membayangkan bisa merasakan ketenan

DMCA.com Protection Status