Share

 Cinta dalam Bayangan Hutang
Cinta dalam Bayangan Hutang
Author: Rizki Adinda

Bab 1: Malam Pengakuan

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2024-11-12 16:07:21

"Aku nggak tahu harus bagaimana lagi, Ara. Dia... dia bisa menghancurkan hidup kita kalau aku nggak bayar utangnya."

Raka duduk di kursi ruang tamu yang usang, dengan kepala tertunduk dan bahu merosot seperti membawa beban dunia di atasnya. Tangannya meremas rambut hitamnya yang kusut, seolah mencoba menggenggam sesuatu yang tak terlihat. 

Ara, yang sejak tadi duduk diam di sofa dengan selimut di pangkuannya, tak mampu berkata apa-apa. Suaranya, bahkan napasnya, terasa tertahan oleh udara dingin malam itu.

"Berapa besar utangnya?" tanya Ara akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Hanya gerakan bibirnya yang menunjukkan ia telah berbicara.

Raka mendongak dengan ragu, mata cokelat gelapnya dipenuhi rasa bersalah dan keputusasaan. "Dua ratus juta," jawabnya dengan suara yang pecah.

Ara membelalak, seolah kata-kata itu menusuk dadanya tanpa peringatan. Matanya mencari jawaban di wajah Raka, berharap bahwa ini semua hanyalah salah paham atau lelucon yang buruk. Namun, tatapan Raka yang penuh kepedihan menghapus semua harapannya.

"Dua ratus juta?" ulang Ara, mencoba mencerna jumlah itu. Angka tersebut bergema di pikirannya, seperti gaung yang tak kunjung berhenti. 

Rumah kecil mereka, gaji bulanannya sebagai admin kantor, bahkan tabungan tipis yang telah mereka kumpulkan bersama—semuanya tak sebanding dengan jumlah yang disebutkan Raka.

Raka mengangguk pelan. Tangannya masih memegang rambutnya, menciptakan kesan bahwa ia ingin menghilang dari pandangan. "Sebagian besar untuk pengobatan ayah," katanya lirih. "Tapi... sebagian lainnya aku... aku coba investasikan."

"Investasikan?" Mata Ara menyipit, suaranya mulai bergetar. "Kau main judi dengan uang itu?"

Raka menggeleng cepat, lalu mengangkat kedua tangannya seperti melindungi diri dari tuduhan. 

"Bukan judi, Ara. Aku ikut investasi kecil-kecilan. Ada yang bilang bisa menggandakan uang dengan cepat. Aku pikir kalau berhasil, kita nggak perlu khawatir lagi soal biaya rumah sakit atau kebutuhan lainnya."

Ara menatap suaminya, tubuhnya mulai bergetar. "Dan kau pikir itu keputusan yang bijak? Dengan kondisi kita sekarang?"

Raka tak menjawab, hanya menunduk lebih dalam. Diamnya berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Ara berdiri dari sofa, selimut jatuh ke lantai tanpa ia pedulikan. 

Langkahnya gelisah, bolak-balik di ruang tamu yang sempit itu, seperti singa yang terkunci dalam kandang. Tangannya mencengkram sisi roknya, mencoba menenangkan amarah yang mulai membakar.

"Kau tahu kita tidak punya uang sebanyak itu, Raka," katanya akhirnya. "Bagaimana kau bisa berpikir melakukan hal seperti ini tanpa memberitahuku? Kau tahu aku pasti akan membantumu."

"Aku hanya ingin menyelesaikannya sendiri," Raka menjawab dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. Ia bangkit berdiri, mendekati Ara dengan tatapan penuh frustasi. "Aku ingin kau nggak perlu khawatir! Aku ingin jadi suami yang bisa kau andalkan, Ara."

"Dan sekarang?" Ara berbalik, matanya yang biasanya lembut kini penuh dengan kemarahan yang terpendam. "Apa yang kau lakukan sekarang? Mengandalkan aku untuk memperbaiki semuanya?"

Raka terdiam. Napasnya terdengar berat, seolah kata-kata Ara menamparnya dengan keras. Dalam keheningan itu, Ara memperhatikan suaminya yang tampak rapuh. Dulu, ia mencintai pria ini karena keberaniannya. 

Karena semangatnya untuk selalu berusaha, meskipun hidup tak pernah mudah bagi mereka. Namun malam ini, Ara melihat seseorang yang hampir menyerah, dan entah kenapa, itu membuat hatinya lebih sakit daripada marah.

"Adrian bilang dia mau bicara denganmu," kata Raka tiba-tiba, memecah keheningan.

Ara membeku. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan dahi mengernyit. Nama Adrian terasa asing dan sekaligus familiar di telinganya. Pria itu adalah bos besar di kantor tempat Ara bekerja—seseorang yang jarang ia temui, namun keberadaannya selalu terasa.

"Dia pemilik utangku," lanjut Raka, suaranya penuh keraguan. "Dia bilang... kalau aku nggak bisa bayar, dia mau kau datang menemuinya. Mungkin dia punya solusi."

Ara merasa seolah lantai di bawahnya runtuh. Adrian? Pria yang ia tahu sebagai sosok dingin dan penuh wibawa itu? Kenapa ia harus ikut terlibat?

"Apa yang dia inginkan dariku?" tanya Ara, nadanya penuh kecurigaan.

"Aku nggak tahu, Ara," jawab Raka, mengangkat tangan dengan putus asa. "Tapi aku nggak punya pilihan. Kita nggak punya pilihan. Kalau aku nggak bayar utang itu, dia bisa mengambil segalanya. Rumah ini, motor, bahkan barang-barang kecil yang kita miliki."

Ara menatap suaminya lama, mencoba mencari tanda bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Namun yang ia lihat hanyalah bayangan pria yang terjebak di sudut tanpa jalan keluar.

"Jadi... aku yang harus menghadapi ini sekarang?" bisiknya. Ada luka dalam suaranya yang membuat Raka menunduk lagi, tak mampu membalas.

Malam itu terasa panjang bagi Ara. Setelah percakapan mereka, Raka tertidur di sofa, terlalu lelah untuk masuk ke kamar. Ara duduk di tepi ranjang mereka, memandangi telepon di tangannya. 

Sebuah pesan singkat dari Adrian telah ia terima beberapa jam yang lalu: "Besok, jam 7 malam. Kita bicara di ruang kerjaku."

Ara meremas telepon itu erat-erat. Perasaannya berkecamuk. Di satu sisi, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menyelamatkan Raka dari kehancuran yang lebih dalam. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan rasa takut yang menyelinap di hatinya. 

Adrian adalah pria yang penuh misteri. Selalu berbicara dengan nada yang tenang, tetapi tajam seperti pisau. Apa yang sebenarnya ia inginkan?

Ketika pagi datang, Ara mencoba melanjutkan rutinitas seperti biasa. Ia memasak sarapan sederhana dan meninggalkan piring untuk Raka sebelum pergi ke kantor. Namun, sepanjang hari, pikirannya terus melayang ke pertemuan yang akan ia hadapi nanti. 

Adrian, bosnya, pria yang jarang bicara tetapi selalu hadir dalam setiap langkah penting di perusahaan. Apa yang akan ia katakan? Dan lebih penting lagi, apa yang akan ia minta?

Jam di dinding ruang kerjanya bergerak lambat, seolah-olah waktu sengaja mempermainkannya. Ketika akhirnya pukul 6:30 tiba, Ara merasa perutnya melilit. Ia naik ke lantai tertinggi gedung tempat ruang kerja Adrian berada, kakinya gemetar setiap langkah.

Ketukan kecil di pintu ruang kerjanya terasa seperti lonceng yang memulai pertandingan tinju. "Masuk," suara Adrian terdengar dari dalam, tenang dan tegas.

Ara membuka pintu dan melangkah masuk. Ruang kerja Adrian adalah ruangan luas dengan dinding kaca yang memamerkan pemandangan kota. Meja besar dari kayu gelap berdiri kokoh di tengah, dan di belakangnya, Adrian duduk dengan jas abu-abu yang sempurna. 

Ia menatap Ara dengan pandangan tajam, tetapi ada sedikit senyum di sudut bibirnya.

"Silakan duduk," katanya, menunjuk ke kursi di depannya.

Ara mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Namun, ia tahu bahwa Adrian dapat membaca setiap gerakan kecilnya.

"Aku tahu ini bukan situasi yang mudah," Adrian memulai, suaranya lembut tetapi tegas. "Namun, aku pikir kita bisa menemukan solusi yang saling menguntungkan."

Ara hanya bisa menatapnya dengan bingung, belum tahu apa yang sebenarnya ingin Adrian katakan.

Dan di situlah, ia menyadari bahwa malam ini akan menjadi titik awal dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 2: Tawaran yang Mengguncang

    "Aku ingin menawarkan sebuah solusi, Ara," kata Adrian, tangannya terlipat di atas meja. Mata kelamnya mengunci tatapan Ara, membuat wanita itu tak berani mengalihkan pandangannya. "Hutang suamimu bisa lunas dalam waktu singkat. Tapi, tentu saja, aku punya syarat."Ara menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Suasana di ruangan itu begitu sunyi, hanya suara detak jam dinding yang menjadi latar belakang. Ia mencoba membaca ekspresi Adrian, tapi wajah pria itu seperti tembok: kokoh, tak bisa ditembus."Syarat apa?" tanyanya akhirnya, suara yang keluar sedikit lebih pelan dari yang ia harapkan. Jemarinya mengepal di pangkuan, berusaha meredam getaran yang mulai menjalar.Adrian bersandar di kursinya, postur tubuhnya santai tetapi penuh kontrol. Ia mengamati Ara seolah-olah sedang menilai barang antik, memeriksa setiap detail sebelum menentukan harga. Setelah jeda yang terasa seperti selamanya, ia berbicara."Kau akan menjalin hubungan kontrak denganku," katanya, setiap kata terdengar

    Last Updated : 2024-11-12
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 3: Pertimbangan Berat

    "Jadi, kau sudah tanda tangan?" Raka bertanya dengan nada yang berusaha terdengar santai, meski matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda—campuran rasa bersalah dan keputusasaan. Ia duduk di meja makan kecil, dengan secangkir kopi yang hampir dingin di depannya.Ara mengangguk pelan, namun tak mampu menatap mata suaminya. Ia memandang meja kayu di antara mereka, seolah mencoba menemukan jawaban di celah-celah serat kayunya. "Aku... aku rasa ini satu-satunya jalan, Raka. Aku hanya ingin kita keluar dari semua ini."Raka mengangguk, wajahnya memucat. Ia meremas jemarinya yang kasar, bibirnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada kata yang keluar. Ruangan itu dipenuhi keheningan yang menyesakkan. Hanya suara tik-tok jam dinding yang mengisi udara, memotong kebisuan dengan detak yang terus berulang, seperti pengingat akan waktu yang tak peduli.Ara berdiri dari kursi, punggungnya kaku. Ia meraih piring kotor di meja dan membawanya ke wastafel. Air keran mengalir, mencip

    Last Updated : 2024-11-12
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 4: Keputusan Ara

    "Jadi, kita mulai malam ini?" suara Adrian memecah keheningan yang menyelimuti mobil mewah itu. Tatapannya sekilas melirik ke arah Ara, mencoba membaca ekspresi wanita yang duduk di sampingnya.Ara mengangguk pelan, meskipun ia tak bisa menyembunyikan ketegangan di wajahnya. Tangannya mencengkeram clutch kecil di pangkuannya, jemarinya bergerak gelisah di atas kain satin yang lembut. "Ya... kalau itu yang harus aku lakukan," jawabnya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk, seolah puas dengan jawaban itu. Ia kembali mengarahkan pandangannya ke jalan, mengemudi dengan tenang. Di luar, lampu-lampu kota Jakarta berpendar seperti bintang-bintang yang terlalu dekat dengan bumi. Namun, di dalam mobil itu, suasana terasa berat, penuh dengan hal-hal yang tak terucapkan."Tak perlu khawatir," kata Adrian akhirnya, memecah keheningan lagi. "Aku sudah mengatur semuanya. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengikutiku dan memainkan peranmu. Sisanya, aku yang urus."Ara menghel

    Last Updated : 2024-11-12
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 5: Pertemuan Pertama

    "Jadi, apa aku sudah sesuai ekspektasimu?" Ara bertanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan yang terperangkap di udara.Adrian menatapnya dari seberang meja makan berlapis marmer itu, mata kelamnya penuh perhatian, tetapi sulit untuk dibaca. Di sekeliling mereka, ruangan restoran mewah itu dipenuhi percakapan lembut, denting gelas anggur, dan musik piano yang mengalun seperti arus sungai. Namun, di antara mereka berdua, keheningan terasa lebih pekat, lebih nyata."Kau lebih dari itu," jawab Adrian akhirnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman tipis yang seolah menyimpan rahasia. Ia meletakkan gelas anggurnya di atas meja dengan gerakan terukur. "Aku tahu dari awal bahwa aku tidak salah memilihmu."Ara menelan ludah, berusaha mengabaikan caranya memandangnya, yang terasa seperti menyelami lapisan-lapisan terdalam dirinya. Tangannya meremas serbet di pangkuannya, mencoba meredam getaran kecil yang menjalar di ujung jari-jarinya."Aku hanya melakukan apa yang kau minta," balas

    Last Updated : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 6: Kontrak Dimulai

    "Ara, sebelum kita lanjut, aku ingin memastikan bahwa kau memahami semua ketentuannya."Adrian duduk di kursi kulit hitam di ruang kerjanya yang luas, meja kayu mahoni yang besar memisahkan mereka. Di atas meja itu, sebuah dokumen kontrak terletak terbuka, dengan pena mewah mengilap di sisinya. Tatapan Adrian terfokus pada Ara, seperti seorang pengacara yang ingin memastikan kliennya benar-benar paham apa yang sedang terjadi.Ara, yang duduk di kursi seberang, menggenggam tangan di pangkuannya. Ia berusaha menahan getaran kecil yang menjalar di jemarinya. Ruang itu terasa sunyi, hanya suara jarum jam yang samar terdengar dari sudut ruangan. Dinding kaca di belakang Adrian memamerkan pemandangan langit Jakarta yang mulai gelap."Aku sudah membaca semuanya," jawab Ara dengan nada pelan, tetapi mantap. Matanya menatap dokumen itu dengan tekun, seolah-olah mempelajari setiap barisnya lagi meskipun ia sudah hafal isinya."Bagus," ujar Adrian, mengangguk pelan. Ia menyilangkan jari-jariny

    Last Updated : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 7: Kencan Pertama

    "Jadi, apa kau selalu secanggung ini saat diajak makan malam?" suara Adrian terdengar lembut tetapi penuh canda, memecah keheningan di antara mereka.Ara mendongak dari piringnya, menatap Adrian dengan sedikit malu. Ia mencoba tersenyum, meskipun gugup jelas terlihat di matanya. "Maaf, aku... aku tidak terbiasa dengan ini," jawabnya jujur. Matanya beralih ke sekeliling restoran yang berkilauan oleh lampu kristal. Semua terasa terlalu mewah, terlalu jauh dari kehidupannya yang biasa.Adrian tersenyum kecil, mengangkat gelas anggurnya tetapi tidak langsung meminumnya. "Tak perlu minta maaf. Aku justru menyukai itu."Ara mengerutkan kening. "Menyukai apa?""Kejujuranmu," jawab Adrian tanpa ragu. Ia meletakkan gelasnya, tatapannya tertuju langsung pada Ara, seolah ingin memastikan bahwa setiap kata yang ia ucapkan benar-benar sampai padanya. "Kau tidak mencoba menjadi seseorang yang bukan dirimu, dan itu sesuatu yang langka."Ara tersipu, wajahnya memerah. Ia merasa seperti seorang gadi

    Last Updated : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 8: Kilas Balik Cinta

    "Adrian..." Ara memanggil perlahan, suara lembutnya hampir tenggelam dalam keheningan di dalam mobil yang melaju membelah malam. Adrian, yang tengah fokus pada jalanan, melirik sekilas ke arahnya."Ada apa?" tanyanya, nada suaranya tetap tenang, seperti biasa.Ara menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang berputar-putar di benaknya sejak makan malam mereka. "Aku hanya ingin tahu... bagaimana menurutmu sebuah cinta bisa bertahan? Maksudku, jika semua di dunia ini terus berubah, apa yang membuat cinta tetap ada?"Adrian terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan jawaban yang tepat. "Cinta bertahan bukan karena waktu," katanya akhirnya, matanya tetap tertuju ke depan. "Tapi karena pilihan. Setiap hari, kau harus memilih untuk tetap mencintai seseorang, meskipun dunia seolah memberimu alasan untuk menyerah."Jawabannya membuat Ara terdiam, hatinya terasa seperti tertusuk sesuatu yang halus tetapi menyakitkan. Kata-kata Adrian menggema di pikirannya, membuatnya tak bisa mengabaikan r

    Last Updated : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 9: Perhatian yang Menghangatkan

    "Kau selalu menggigit bibirmu seperti itu saat gugup?"Pertanyaan Adrian memecah konsentrasi Ara yang sedang memandang secarik menu di tangannya. Ia mendongak, sedikit bingung, lalu menyadari bahwa bibir bawahnya sedang ia gigit tanpa sadar. Wajahnya memerah seketika."Aku tidak sadar," jawabnya cepat, mencoba menutupi rasa malunya. Tangannya segera turun ke pangkuan, menggenggam erat serbet kain yang tertata rapi di sana.Adrian tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur dalam kegugupan Ara. "Aku hanya memperhatikan," katanya dengan nada santai. "Kebiasaan kecil seperti itu seringkali yang paling jujur. Itu memberitahu banyak tentang seseorang."Ara menunduk, berusaha fokus kembali pada menu di tangannya. Namun, tatapan Adrian tetap tertuju padanya, memberikan sensasi bahwa ia sedang benar-benar dilihat—bukan hanya sebagai bagian dari kesepakatan, tetapi sebagai individu. Sensasi itu membuat Ara merasa hangat, sekaligus bingung.Malam itu, mereka sedang duduk di sebuah

    Last Updated : 2024-11-14

Latest chapter

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 130: Bahagia Selamanya

    Pagi di desa itu selalu dimulai dengan keheningan yang damai, diselingi oleh kicauan burung yang terdengar dari pepohonan di belakang rumah mereka. Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara.Ara berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa buah stroberi yang baru dipetik dari kebun kecil mereka. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela, membungkus tubuhnya dengan sinar hangat yang lembut.Dari ruang tamu, terdengar langkah kaki kecil yang mendekat. Ara menoleh dan tersenyum lebar saat melihat seorang anak kecil dengan rambut ikal berwarna cokelat berlari ke arahnya. Anak itu mengenakan piyama dengan motif dinosaurus, dan tawa kecilnya memenuhi ruangan."Ibu! Lihat apa yang aku temukan!" seru anak itu dengan suara ceria, memperlihatkan sebuah daun kecil yang ia bawa dengan hati-hati.Ara membungkuk, mengambil daun itu dari tangan anaknya. "Oh, ini indah sekali, sayang. Kau menemukannya di mana?""Di bawah pohon besar!" jawab anak itu, m

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 129: Cinta Sejati yang Terlambat

    Cahaya senja menyelimuti desa kecil itu, membawa kehangatan pada rumah-rumah kecil yang berbaris rapi di sepanjang jalan berbatu. Langit dihiasi semburat warna oranye, merah muda, dan ungu, seolah-olah semesta sengaja melukis kanvasnya untuk merayakan hari yang damai.Di halaman belakang rumah, Ara duduk di bangku kayu dengan secangkir teh di tangannya, tubuhnya terbalut sweater rajut yang melindunginya dari udara sore yang mulai dingin.Ia memandangi bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu. Tanaman itu tumbuh dengan gagah, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar. Kepala bunga yang cerah menghadap ke arah matahari yang mulai tenggelam.Ara tersenyum kecil, merasa bahwa bunga itu melambangkan kehidupannya sendiri—perlahan-lahan tumbuh dari tanah yang dulu terasa tandus, mencari cahaya yang akhirnya ia temukan dalam hidupnya bersama Adrian.Pintu belakang berderit pelan, dan suara langkah Adrian di atas lantai kayu terdengar sebelum ia m

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 128: Kehidupan Baru yang Damai

    Pagi itu, sinar matahari menyapu pelan rumah kecil mereka, membawa kehangatan ke dalam setiap sudut ruangan. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Aroma rumput basah dan bunga-bunga liar dari taman belakang melayang lembut di udara.Ia berdiri sejenak, memandang ke luar dengan senyum kecil di wajahnya. Di halaman belakang, bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu mulai tumbuh, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar."Duduklah dulu," kata Adrian dari dapur, suaranya terdengar ringan tetapi sedikit menggoda. "Kau tidak bisa terus sibuk sejak pagi. Sarapan sudah siap."Ara menoleh, tertawa kecil. "Aku hanya menikmati pemandangan. Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan bisa bangun dengan perasaan selega ini."Adrian muncul dari balik pintu dapur dengan dua piring di tangannya. Sepiring telur dadar lembut dengan irisan alpukat dan roti panggang di satu piring lainnya. Ia meletakkan semuanya di meja keci

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 127: Mimpi yang Menjadi Nyata

    Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar rumah baru mereka, memantulkan sinarnya di lantai kayu yang mengilap. Rumah itu sederhana tetapi terasa hangat, dengan dinding bercat krem dan perabotan kayu yang dipilih dengan penuh cinta.Di luar, angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon maple, dan suara burung-burung terdengar lembut, menjadi latar belakang kehidupan baru yang mereka mulai bersama.Ara berdiri di dapur kecil mereka, aroma kopi menguar dari mesin yang baru saja Adrian belikan. Ia mengenakan kaus longgar berwarna putih dan celana katun, kakinya telanjang di atas lantai dingin.Ia memandangi jendela yang menghadap ke taman belakang, di mana Adrian sedang menggali tanah untuk menanam bunga matahari yang dibawanya dari pasar minggu lalu.Ara tersenyum kecil, menyandarkan pinggulnya di meja dapur sambil memegang secangkir kopi. Setiap gerakan Adrian di luar terlihat penuh semangat—wajahnya yang serius saat ia mencangkul tanah, seseka

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 126: Pernikahan Intim

    Pagi itu, langit cerah tanpa awan. Cahaya matahari lembut membasuh taman kecil di belakang rumah keluarga Adrian, tempat acara sederhana mereka akan diadakan.Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga mawar dan lavender yang menghiasi setiap sudut taman, menciptakan suasana hangat yang sempurna.Ara berdiri di depan cermin di kamar tamu rumah Adrian. Gaun putih sederhana melekat di tubuhnya, terbuat dari bahan satin yang jatuh dengan indah, memeluk tubuhnya dengan cara yang anggun.Tidak ada renda berlebihan atau kilauan mencolok, hanya detail kecil di sekitar leher yang membuatnya terlihat elegan dan alami.Lila berdiri di belakangnya, membantu menyematkan peniti kecil di ujung kerudung Ara. "Kau terlihat... luar biasa," kata Lila dengan mata berbinar, senyumnya lebar.Ara tersenyum melalui pantulan cermin, mencoba menahan perasaan gugup yang merayap di dadanya. "Terima kasih, Lila. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasa benar-benar seperti pengantin

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 125: Langkah Pertama Bersama

    Pagi itu dimulai dengan keheningan yang damai. Sinar matahari pagi menerobos melalui tirai jendela, menyelimuti ruang tamu rumah kecil mereka dengan cahaya hangat keemasan. Ara berdiri di dapur, mengenakan sweater tipis berwarna krem yang sedikit kebesaran.Ia sedang memotong beberapa buah untuk sarapan, menikmati aroma segar jeruk yang menguar.Adrian muncul dari belakang, rambutnya masih sedikit berantakan, namun senyum lembut yang biasa menghiasi wajahnya tetap ada. "Kau bangun lebih pagi dari biasanya," katanya sambil mengambil cangkir dari rak dan menuangkan kopi.Ara menoleh dan tersenyum kecil. "Aku suka pagi-pagi seperti ini. Tenang dan terasa ringan."Adrian mengangguk, berjalan ke meja dan duduk di kursi, memperhatikan Ara yang sibuk di dapur. "Ada sesuatu yang berbeda pada dirimu akhir-akhir ini," ujarnya pelan, tetapi dengan nada penuh perhatian.Ara berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk menatap Adrian. "Apa maksudmu?"Adrian

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 124: Memperbaiki Luka Lama

    Pagi itu, rumah kecil mereka diselimuti keheningan yang damai. Matahari pagi menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan bayangan hangat di lantai kayu. Ara duduk di meja dekat jendela, secangkir teh hijau mengepul di sebelahnya. Di depan Ara, ada selembar kertas kosong dan sebuah pena sederhana.Adrian berjalan masuk dari dapur, membawa piring berisi irisan roti panggang dan buah-buahan. Ia berhenti di ambang pintu ketika melihat Ara yang tampak termenung di depan kertas itu."Apa yang kau pikirkan?" tanyanya pelan, meletakkan piring di meja kecil di dekat Ara.Ara menoleh ke arahnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman kecil yang hampir tidak terlihat. "Aku berpikir untuk menulis sesuatu. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana."Adrian menarik kursi di depannya dan duduk. "Sesuatu seperti apa?"Ara mengambil pena itu, menggenggamnya dengan kedua tangan. "Aku ingin menulis surat untuk Raka."Adrian menatapnya, tetapi tidak langsung men

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 123: Pertemuan dengan Keluarga Adrian

    Angin sejuk pegunungan membelai wajah Ara, membawa aroma pinus dan bunga liar yang mekar di sepanjang jalan menuju rumah keluarga Adrian.Mobil Adrian meluncur mulus di jalanan kecil yang berkelok-kelok, dikelilingi oleh hutan hijau yang terasa seperti melindungi mereka dari hiruk pikuk dunia luar. Ara memandang keluar jendela, matanya menangkap pemandangan pegunungan yang menjulang megah di kejauhan.Namun, di tengah keindahan itu, dadanya terasa sesak oleh kegugupan. Jemarinya memainkan ujung sweater yang ia kenakan, menggulungnya dengan canggung."Berhenti menggulung sweatermu," suara Adrian terdengar ringan, tetapi penuh kehangatan, memecah keheningan. Matanya melirik ke arah Ara sambil tetap memperhatikan jalan.Ara meliriknya, setengah tersipu. "Aku tidak bisa menahannya. Aku... aku gugup."Adrian tertawa kecil, nada suaranya santai seperti biasanya. Ia mengulurkan satu tangan dari kemudi, menggenggam jemari Ara dengan lembut. "Kau tidak perl

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 122: Hari yang Bahagia

    Matahari pagi menyelimuti rumah kecil mereka dengan sinar keemasan. Udara di kota kecil itu sejuk dan segar, membawa aroma embun dan dedaunan basah. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan angin pagi masuk, meniup lembut rambutnya yang tergerai.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sungai kecil di kejauhan, mengalir tenang di bawah bayang-bayang pohon yang rimbun.Di dapur, suara denting piring terdengar pelan. Adrian tengah mengaduk adonan pancake, lengan bajunya digulung hingga siku. Ia sesekali menoleh ke arah Ara, memastikan dia baik-baik saja."Apa kau lapar?" tanya Adrian, suaranya terdengar ringan dan santai, seperti pagi itu.Ara menoleh, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Aku selalu lapar untuk pancake," balasnya sambil berjalan mendekat.Adrian tertawa pelan, mengangkat wajan untuk menuangkan adonan ke panci panas. "Pancake spesial pagi ini. Dengan ekstra cinta."Ara duduk di bangku dapur, menopang dagunya dengan tang

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status