Home / Rumah Tangga / Cinta dalam Bayangan Hutang / Bab 3: Pertimbangan Berat

Share

Bab 3: Pertimbangan Berat

Author: Rizki Adinda
last update Huling Na-update: 2024-11-12 18:21:53

"Jadi, kau sudah tanda tangan?" Raka bertanya dengan nada yang berusaha terdengar santai, meski matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda—campuran rasa bersalah dan keputusasaan. 

Ia duduk di meja makan kecil, dengan secangkir kopi yang hampir dingin di depannya.

Ara mengangguk pelan, namun tak mampu menatap mata suaminya. Ia memandang meja kayu di antara mereka, seolah mencoba menemukan jawaban di celah-celah serat kayunya. "Aku... aku rasa ini satu-satunya jalan, Raka. Aku hanya ingin kita keluar dari semua ini."

Raka mengangguk, wajahnya memucat. Ia meremas jemarinya yang kasar, bibirnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada kata yang keluar. Ruangan itu dipenuhi keheningan yang menyesakkan. 

Hanya suara tik-tok jam dinding yang mengisi udara, memotong kebisuan dengan detak yang terus berulang, seperti pengingat akan waktu yang tak peduli.

Ara berdiri dari kursi, punggungnya kaku. Ia meraih piring kotor di meja dan membawanya ke wastafel. Air keran mengalir, menciptakan suara gemericik yang kontras dengan keheningan di rumah mereka. 

Tangannya bekerja tanpa sadar, menggosok piring dengan gerakan monoton. Namun, pikirannya jauh dari dapur kecil itu.

Di sudut hatinya, Ara tahu ia sedang membohongi dirinya sendiri. Keputusan yang ia ambil bukan hanya karena uang atau hutang. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang lebih sulit ia jelaskan bahkan pada dirinya sendiri—ketertarikan aneh yang ia rasakan terhadap Adrian. 

Pria itu begitu berbeda dari Raka: tenang, penuh kendali, tetapi juga penuh perhatian dengan cara yang halus. Adrian tidak memohon atau memaksa; ia memberi Ara pilihan, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan dari pernikahannya dengan Raka.

"Terima kasih, Ara," suara Raka memecah lamunannya. Ia masih duduk di kursi yang sama, pandangannya terarah ke lantai. "Aku tahu ini berat untukmu. Aku janji, aku akan berusaha lebih keras setelah ini. Aku akan berubah."

Ara mengangguk tanpa menoleh, punggungnya tetap menghadap Raka. Kata-katanya terdengar tulus, tetapi Ara sudah sering mendengarnya. Ia ingin percaya—sungguh. Namun, keyakinan itu terasa seperti pasir yang terus merosot dari genggamannya.

Setelah Raka pergi bekerja, Ara duduk sendirian di ruang tamu. Rumah kecil mereka terasa lebih sunyi dari biasanya, dan kesunyian itu menekan dadanya seperti beban yang tak terlihat. 

Di meja kopi, amplop kontrak yang telah ditandatanganinya masih tergeletak, seolah mengejeknya.

Ia meraih amplop itu dan menarik keluar salinan kontraknya. Matanya melintasi kalimat-kalimat di atas kertas, meskipun ia sudah membaca semuanya malam sebelumnya. 

Kata-kata seperti "hubungan profesional" dan "kesepakatan bisnis" terpampang di sana, memberi jaminan bahwa ini bukan sesuatu yang melampaui batas. Tetapi hati kecilnya tetap tidak bisa tenang. 

Setiap kalimat terasa dingin, kaku, dan jauh dari kenyataan emosional yang ia rasakan.

Ara memejamkan mata. Ia mencoba membayangkan seperti apa tiga bulan ke depan. Apakah Adrian benar-benar akan menghormati batasan-batasan yang telah mereka sepakati? 

Atau apakah ia akan mendapati dirinya tenggelam lebih dalam dalam dunia pria itu, sebuah dunia yang terasa asing dan menggoda pada saat bersamaan?

Bayangan Raka muncul di pikirannya. Pria itu bukan suami yang sempurna; ia tahu itu lebih dari siapa pun. Namun, ia juga tahu alasan di balik semua kelemahan dan keputusannya yang buruk. 

Kehilangan pekerjaan, tekanan dari keluarga, dan rasa takut mengecewakan orang-orang yang ia cintai—semua itu telah mengubah Raka menjadi seseorang yang hampir tidak dikenalnya lagi. 

Ara merasa bertanggung jawab untuk tetap berada di sisinya, meskipun kadang ia bertanya-tanya, apakah itu adil untuk dirinya sendiri?

Ara membuka matanya, menatap jendela yang memamerkan langit mendung di luar. Di luar semua keraguannya, ada satu fakta yang tak bisa ia abaikan: ia telah menandatangani kontrak itu. Tidak ada jalan untuk kembali.

Malam itu, Ara pergi tidur lebih awal. Namun, matanya tetap terbuka di kegelapan kamar, memandangi langit-langit yang retaknya terlihat jelas di bawah cahaya bulan. Ia mendengar langkah Raka dari ruang tamu, mondar-mandir seperti seseorang yang kehilangan arah. 

Ia ingin bangun, ingin menenangkannya, tetapi tubuhnya terasa terlalu berat.

Ketika akhirnya Raka masuk ke kamar, ia hanya berdiri di ambang pintu. Siluetnya terlihat samar di bawah lampu lorong. "Ara, aku tahu aku bukan suami yang baik," katanya tiba-tiba. Suaranya lembut, seperti seseorang yang berbicara pada dirinya sendiri.

Ara tetap diam, meskipun hatinya berdenyut nyeri mendengar kata-kata itu. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi takut suaranya akan pecah. Jadi, ia hanya memejamkan mata, berpura-pura sudah tertidur.

Keesokan harinya, Adrian menghubungi Ara melalui pesan singkat. "Kita akan mulai minggu depan. Persiapkan dirimu." Pesan itu singkat, tetapi Ara bisa merasakan nada otoritas di dalamnya.

Di kantor, Ara mencoba menjalani harinya seperti biasa. Namun, kolega-koleganya seolah-olah bisa mencium kegelisahan yang ia rasakan. Rini, rekan kerja yang duduk di sebelahnya, mencondongkan tubuh dan berbisik, "Kau baik-baik saja, Ra? Kau terlihat... tegang hari ini."

Ara memaksakan senyum. "Aku baik-baik saja, Rini. Mungkin hanya kurang tidur."

Namun, di balik wajahnya yang tenang, pikirannya berputar. Setiap kali ia berpikir tentang Adrian, bayangan pria itu muncul di kepalanya—tatapannya yang tajam, senyumnya yang samar, dan caranya berbicara yang penuh kendali. 

Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ada sesuatu dalam diri Adrian yang membuatnya merasa hidup, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.

Minggu itu berlalu dengan lambat tetapi penuh kecemasan. Ketika akhirnya hari pertama kontrak tiba, Ara merasa seperti akan menghadapi sesuatu yang lebih besar dari dirinya. 

Ia berdiri di depan cermin, mengenakan gaun hitam sederhana yang telah dipilih Adrian untuknya. Gaun itu pas di tubuhnya, menonjolkan sisi dirinya yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun.

Ketika Adrian menjemputnya di depan kantor dengan mobil mewahnya, Ara merasa seolah-olah ia melangkah ke dunia lain. Pria itu keluar dari mobil, mengenakan jas hitam yang sempurna, dan membukakan pintu untuknya. 

"Kau siap?" tanyanya, suaranya rendah tetapi lembut.

Ara mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. Ia melangkah masuk ke dalam mobil, menyadari bahwa ia baru saja mengambil langkah pertama ke dalam sesuatu yang tidak sepenuhnya ia pahami.

Di dalam mobil, suasana terasa canggung. Ara mencuri pandang ke arah Adrian, yang duduk di sampingnya dengan ekspresi tenang. Cahaya lampu jalan memantul di wajahnya, mempertegas garis rahang yang tegas dan mata yang tampak penuh misteri.

"Aku tahu ini tidak mudah bagimu," kata Adrian tiba-tiba, memecah keheningan. Ia menoleh ke Ara, matanya melembut. "Tapi aku ingin kau tahu, aku akan memastikan semuanya berjalan lancar."

Ara mengangguk lagi, tetapi ia tidak bisa berkata-kata. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang uang atau hutang Raka. Ini tentang dirinya sendiri—tentang sesuatu yang ia tahu akan berubah selamanya setelah malam ini.

Dan saat mobil melaju ke dalam kegelapan malam, Ara tidak bisa menahan perasaan bahwa hidupnya baru saja memasuki babak baru yang penuh ketidakpastian.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 4: Keputusan Ara

    "Jadi, kita mulai malam ini?" suara Adrian memecah keheningan yang menyelimuti mobil mewah itu. Tatapannya sekilas melirik ke arah Ara, mencoba membaca ekspresi wanita yang duduk di sampingnya.Ara mengangguk pelan, meskipun ia tak bisa menyembunyikan ketegangan di wajahnya. Tangannya mencengkeram clutch kecil di pangkuannya, jemarinya bergerak gelisah di atas kain satin yang lembut. "Ya... kalau itu yang harus aku lakukan," jawabnya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk, seolah puas dengan jawaban itu. Ia kembali mengarahkan pandangannya ke jalan, mengemudi dengan tenang. Di luar, lampu-lampu kota Jakarta berpendar seperti bintang-bintang yang terlalu dekat dengan bumi. Namun, di dalam mobil itu, suasana terasa berat, penuh dengan hal-hal yang tak terucapkan."Tak perlu khawatir," kata Adrian akhirnya, memecah keheningan lagi. "Aku sudah mengatur semuanya. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengikutiku dan memainkan peranmu. Sisanya, aku yang urus."Ara menghel

    Huling Na-update : 2024-11-12
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 5: Pertemuan Pertama

    "Jadi, apa aku sudah sesuai ekspektasimu?" Ara bertanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan yang terperangkap di udara.Adrian menatapnya dari seberang meja makan berlapis marmer itu, mata kelamnya penuh perhatian, tetapi sulit untuk dibaca. Di sekeliling mereka, ruangan restoran mewah itu dipenuhi percakapan lembut, denting gelas anggur, dan musik piano yang mengalun seperti arus sungai. Namun, di antara mereka berdua, keheningan terasa lebih pekat, lebih nyata."Kau lebih dari itu," jawab Adrian akhirnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman tipis yang seolah menyimpan rahasia. Ia meletakkan gelas anggurnya di atas meja dengan gerakan terukur. "Aku tahu dari awal bahwa aku tidak salah memilihmu."Ara menelan ludah, berusaha mengabaikan caranya memandangnya, yang terasa seperti menyelami lapisan-lapisan terdalam dirinya. Tangannya meremas serbet di pangkuannya, mencoba meredam getaran kecil yang menjalar di ujung jari-jarinya."Aku hanya melakukan apa yang kau minta," balas

    Huling Na-update : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 6: Kontrak Dimulai

    "Ara, sebelum kita lanjut, aku ingin memastikan bahwa kau memahami semua ketentuannya."Adrian duduk di kursi kulit hitam di ruang kerjanya yang luas, meja kayu mahoni yang besar memisahkan mereka. Di atas meja itu, sebuah dokumen kontrak terletak terbuka, dengan pena mewah mengilap di sisinya. Tatapan Adrian terfokus pada Ara, seperti seorang pengacara yang ingin memastikan kliennya benar-benar paham apa yang sedang terjadi.Ara, yang duduk di kursi seberang, menggenggam tangan di pangkuannya. Ia berusaha menahan getaran kecil yang menjalar di jemarinya. Ruang itu terasa sunyi, hanya suara jarum jam yang samar terdengar dari sudut ruangan. Dinding kaca di belakang Adrian memamerkan pemandangan langit Jakarta yang mulai gelap."Aku sudah membaca semuanya," jawab Ara dengan nada pelan, tetapi mantap. Matanya menatap dokumen itu dengan tekun, seolah-olah mempelajari setiap barisnya lagi meskipun ia sudah hafal isinya."Bagus," ujar Adrian, mengangguk pelan. Ia menyilangkan jari-jariny

    Huling Na-update : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 7: Kencan Pertama

    "Jadi, apa kau selalu secanggung ini saat diajak makan malam?" suara Adrian terdengar lembut tetapi penuh canda, memecah keheningan di antara mereka.Ara mendongak dari piringnya, menatap Adrian dengan sedikit malu. Ia mencoba tersenyum, meskipun gugup jelas terlihat di matanya. "Maaf, aku... aku tidak terbiasa dengan ini," jawabnya jujur. Matanya beralih ke sekeliling restoran yang berkilauan oleh lampu kristal. Semua terasa terlalu mewah, terlalu jauh dari kehidupannya yang biasa.Adrian tersenyum kecil, mengangkat gelas anggurnya tetapi tidak langsung meminumnya. "Tak perlu minta maaf. Aku justru menyukai itu."Ara mengerutkan kening. "Menyukai apa?""Kejujuranmu," jawab Adrian tanpa ragu. Ia meletakkan gelasnya, tatapannya tertuju langsung pada Ara, seolah ingin memastikan bahwa setiap kata yang ia ucapkan benar-benar sampai padanya. "Kau tidak mencoba menjadi seseorang yang bukan dirimu, dan itu sesuatu yang langka."Ara tersipu, wajahnya memerah. Ia merasa seperti seorang gadi

    Huling Na-update : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 8: Kilas Balik Cinta

    "Adrian..." Ara memanggil perlahan, suara lembutnya hampir tenggelam dalam keheningan di dalam mobil yang melaju membelah malam. Adrian, yang tengah fokus pada jalanan, melirik sekilas ke arahnya."Ada apa?" tanyanya, nada suaranya tetap tenang, seperti biasa.Ara menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang berputar-putar di benaknya sejak makan malam mereka. "Aku hanya ingin tahu... bagaimana menurutmu sebuah cinta bisa bertahan? Maksudku, jika semua di dunia ini terus berubah, apa yang membuat cinta tetap ada?"Adrian terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan jawaban yang tepat. "Cinta bertahan bukan karena waktu," katanya akhirnya, matanya tetap tertuju ke depan. "Tapi karena pilihan. Setiap hari, kau harus memilih untuk tetap mencintai seseorang, meskipun dunia seolah memberimu alasan untuk menyerah."Jawabannya membuat Ara terdiam, hatinya terasa seperti tertusuk sesuatu yang halus tetapi menyakitkan. Kata-kata Adrian menggema di pikirannya, membuatnya tak bisa mengabaikan r

    Huling Na-update : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 9: Perhatian yang Menghangatkan

    "Kau selalu menggigit bibirmu seperti itu saat gugup?"Pertanyaan Adrian memecah konsentrasi Ara yang sedang memandang secarik menu di tangannya. Ia mendongak, sedikit bingung, lalu menyadari bahwa bibir bawahnya sedang ia gigit tanpa sadar. Wajahnya memerah seketika."Aku tidak sadar," jawabnya cepat, mencoba menutupi rasa malunya. Tangannya segera turun ke pangkuan, menggenggam erat serbet kain yang tertata rapi di sana.Adrian tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur dalam kegugupan Ara. "Aku hanya memperhatikan," katanya dengan nada santai. "Kebiasaan kecil seperti itu seringkali yang paling jujur. Itu memberitahu banyak tentang seseorang."Ara menunduk, berusaha fokus kembali pada menu di tangannya. Namun, tatapan Adrian tetap tertuju padanya, memberikan sensasi bahwa ia sedang benar-benar dilihat—bukan hanya sebagai bagian dari kesepakatan, tetapi sebagai individu. Sensasi itu membuat Ara merasa hangat, sekaligus bingung.Malam itu, mereka sedang duduk di sebuah

    Huling Na-update : 2024-11-14
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 10: Ketulusan Adrian

    "Kenapa kau tidak pernah bertanya lebih banyak tentangku?" tanya Adrian tiba-tiba, memecah keheningan yang mengisi ruang di antara mereka. Suaranya terdengar lembut, tetapi ada nada penasaran di dalamnya.Ara menatap Adrian dari seberang meja kecil di teras vila tempat mereka menghabiskan malam itu. Restoran tempat acara tadi berlangsung sudah sepi, tetapi Adrian, dengan gayanya yang khas, memutuskan untuk memesan teh di teras terbuka ini, di bawah langit yang penuh bintang. Aroma teh melati memenuhi udara, bercampur dengan embusan angin malam yang dingin."Aku tidak tahu harus bertanya apa," jawab Ara dengan jujur. "Kau tampak seperti orang yang... sulit ditebak. Mungkin aku takut mengganggu batasanmu."Adrian tertawa kecil, suara tawanya rendah dan berat. "Batasanku," ulangnya dengan senyum samar. "Kau tahu, Ara, kebanyakan orang menganggapku sulit didekati. Tapi aku tidak keberatan jika kau mencoba."Ara mengerutkan kening, sedikit ragu sebelum akhirnya berkata, "Kalau begitu, ken

    Huling Na-update : 2024-11-14
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 11: Pertengkaran dengan Raka

    "Ara," suara Raka terdengar tajam begitu Ara melangkah masuk ke ruang tamu. "Kau bisa menjelaskan kenapa belakangan ini kau lebih banyak di luar daripada di rumah?"Ara tertegun. Langkahnya yang semula ringan berubah berat. Ia menatap Raka yang duduk di sofa dengan postur tegang. Mata suaminya menyipit, penuh dengan kecurigaan yang tidak ia sembunyikan.Di meja kopi di depannya, ada secangkir kopi yang sudah dingin, menandakan bahwa Raka sudah menunggu cukup lama."Aku sudah bilang, aku bekerja," jawab Ara dengan nada hati-hati. Ia menurunkan tasnya ke atas meja kecil di dekat pintu. "Ada banyak hal yang harus aku urus.""Kerja?" Raka berdiri, melangkah mendekat dengan gerakan yang terlalu cepat, terlalu kasar. "Kerja seperti apa sampai kau harus pulang larut malam

    Huling Na-update : 2024-12-12

Pinakabagong kabanata

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 130: Bahagia Selamanya

    Pagi di desa itu selalu dimulai dengan keheningan yang damai, diselingi oleh kicauan burung yang terdengar dari pepohonan di belakang rumah mereka. Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara.Ara berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa buah stroberi yang baru dipetik dari kebun kecil mereka. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela, membungkus tubuhnya dengan sinar hangat yang lembut.Dari ruang tamu, terdengar langkah kaki kecil yang mendekat. Ara menoleh dan tersenyum lebar saat melihat seorang anak kecil dengan rambut ikal berwarna cokelat berlari ke arahnya. Anak itu mengenakan piyama dengan motif dinosaurus, dan tawa kecilnya memenuhi ruangan."Ibu! Lihat apa yang aku temukan!" seru anak itu dengan suara ceria, memperlihatkan sebuah daun kecil yang ia bawa dengan hati-hati.Ara membungkuk, mengambil daun itu dari tangan anaknya. "Oh, ini indah sekali, sayang. Kau menemukannya di mana?""Di bawah pohon besar!" jawab anak itu, m

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 129: Cinta Sejati yang Terlambat

    Cahaya senja menyelimuti desa kecil itu, membawa kehangatan pada rumah-rumah kecil yang berbaris rapi di sepanjang jalan berbatu. Langit dihiasi semburat warna oranye, merah muda, dan ungu, seolah-olah semesta sengaja melukis kanvasnya untuk merayakan hari yang damai.Di halaman belakang rumah, Ara duduk di bangku kayu dengan secangkir teh di tangannya, tubuhnya terbalut sweater rajut yang melindunginya dari udara sore yang mulai dingin.Ia memandangi bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu. Tanaman itu tumbuh dengan gagah, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar. Kepala bunga yang cerah menghadap ke arah matahari yang mulai tenggelam.Ara tersenyum kecil, merasa bahwa bunga itu melambangkan kehidupannya sendiri—perlahan-lahan tumbuh dari tanah yang dulu terasa tandus, mencari cahaya yang akhirnya ia temukan dalam hidupnya bersama Adrian.Pintu belakang berderit pelan, dan suara langkah Adrian di atas lantai kayu terdengar sebelum ia m

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 128: Kehidupan Baru yang Damai

    Pagi itu, sinar matahari menyapu pelan rumah kecil mereka, membawa kehangatan ke dalam setiap sudut ruangan. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Aroma rumput basah dan bunga-bunga liar dari taman belakang melayang lembut di udara.Ia berdiri sejenak, memandang ke luar dengan senyum kecil di wajahnya. Di halaman belakang, bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu mulai tumbuh, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar."Duduklah dulu," kata Adrian dari dapur, suaranya terdengar ringan tetapi sedikit menggoda. "Kau tidak bisa terus sibuk sejak pagi. Sarapan sudah siap."Ara menoleh, tertawa kecil. "Aku hanya menikmati pemandangan. Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan bisa bangun dengan perasaan selega ini."Adrian muncul dari balik pintu dapur dengan dua piring di tangannya. Sepiring telur dadar lembut dengan irisan alpukat dan roti panggang di satu piring lainnya. Ia meletakkan semuanya di meja keci

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 127: Mimpi yang Menjadi Nyata

    Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar rumah baru mereka, memantulkan sinarnya di lantai kayu yang mengilap. Rumah itu sederhana tetapi terasa hangat, dengan dinding bercat krem dan perabotan kayu yang dipilih dengan penuh cinta.Di luar, angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon maple, dan suara burung-burung terdengar lembut, menjadi latar belakang kehidupan baru yang mereka mulai bersama.Ara berdiri di dapur kecil mereka, aroma kopi menguar dari mesin yang baru saja Adrian belikan. Ia mengenakan kaus longgar berwarna putih dan celana katun, kakinya telanjang di atas lantai dingin.Ia memandangi jendela yang menghadap ke taman belakang, di mana Adrian sedang menggali tanah untuk menanam bunga matahari yang dibawanya dari pasar minggu lalu.Ara tersenyum kecil, menyandarkan pinggulnya di meja dapur sambil memegang secangkir kopi. Setiap gerakan Adrian di luar terlihat penuh semangat—wajahnya yang serius saat ia mencangkul tanah, seseka

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 126: Pernikahan Intim

    Pagi itu, langit cerah tanpa awan. Cahaya matahari lembut membasuh taman kecil di belakang rumah keluarga Adrian, tempat acara sederhana mereka akan diadakan.Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga mawar dan lavender yang menghiasi setiap sudut taman, menciptakan suasana hangat yang sempurna.Ara berdiri di depan cermin di kamar tamu rumah Adrian. Gaun putih sederhana melekat di tubuhnya, terbuat dari bahan satin yang jatuh dengan indah, memeluk tubuhnya dengan cara yang anggun.Tidak ada renda berlebihan atau kilauan mencolok, hanya detail kecil di sekitar leher yang membuatnya terlihat elegan dan alami.Lila berdiri di belakangnya, membantu menyematkan peniti kecil di ujung kerudung Ara. "Kau terlihat... luar biasa," kata Lila dengan mata berbinar, senyumnya lebar.Ara tersenyum melalui pantulan cermin, mencoba menahan perasaan gugup yang merayap di dadanya. "Terima kasih, Lila. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasa benar-benar seperti pengantin

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 125: Langkah Pertama Bersama

    Pagi itu dimulai dengan keheningan yang damai. Sinar matahari pagi menerobos melalui tirai jendela, menyelimuti ruang tamu rumah kecil mereka dengan cahaya hangat keemasan. Ara berdiri di dapur, mengenakan sweater tipis berwarna krem yang sedikit kebesaran.Ia sedang memotong beberapa buah untuk sarapan, menikmati aroma segar jeruk yang menguar.Adrian muncul dari belakang, rambutnya masih sedikit berantakan, namun senyum lembut yang biasa menghiasi wajahnya tetap ada. "Kau bangun lebih pagi dari biasanya," katanya sambil mengambil cangkir dari rak dan menuangkan kopi.Ara menoleh dan tersenyum kecil. "Aku suka pagi-pagi seperti ini. Tenang dan terasa ringan."Adrian mengangguk, berjalan ke meja dan duduk di kursi, memperhatikan Ara yang sibuk di dapur. "Ada sesuatu yang berbeda pada dirimu akhir-akhir ini," ujarnya pelan, tetapi dengan nada penuh perhatian.Ara berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk menatap Adrian. "Apa maksudmu?"Adrian

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 124: Memperbaiki Luka Lama

    Pagi itu, rumah kecil mereka diselimuti keheningan yang damai. Matahari pagi menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan bayangan hangat di lantai kayu. Ara duduk di meja dekat jendela, secangkir teh hijau mengepul di sebelahnya. Di depan Ara, ada selembar kertas kosong dan sebuah pena sederhana.Adrian berjalan masuk dari dapur, membawa piring berisi irisan roti panggang dan buah-buahan. Ia berhenti di ambang pintu ketika melihat Ara yang tampak termenung di depan kertas itu."Apa yang kau pikirkan?" tanyanya pelan, meletakkan piring di meja kecil di dekat Ara.Ara menoleh ke arahnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman kecil yang hampir tidak terlihat. "Aku berpikir untuk menulis sesuatu. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana."Adrian menarik kursi di depannya dan duduk. "Sesuatu seperti apa?"Ara mengambil pena itu, menggenggamnya dengan kedua tangan. "Aku ingin menulis surat untuk Raka."Adrian menatapnya, tetapi tidak langsung men

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 123: Pertemuan dengan Keluarga Adrian

    Angin sejuk pegunungan membelai wajah Ara, membawa aroma pinus dan bunga liar yang mekar di sepanjang jalan menuju rumah keluarga Adrian.Mobil Adrian meluncur mulus di jalanan kecil yang berkelok-kelok, dikelilingi oleh hutan hijau yang terasa seperti melindungi mereka dari hiruk pikuk dunia luar. Ara memandang keluar jendela, matanya menangkap pemandangan pegunungan yang menjulang megah di kejauhan.Namun, di tengah keindahan itu, dadanya terasa sesak oleh kegugupan. Jemarinya memainkan ujung sweater yang ia kenakan, menggulungnya dengan canggung."Berhenti menggulung sweatermu," suara Adrian terdengar ringan, tetapi penuh kehangatan, memecah keheningan. Matanya melirik ke arah Ara sambil tetap memperhatikan jalan.Ara meliriknya, setengah tersipu. "Aku tidak bisa menahannya. Aku... aku gugup."Adrian tertawa kecil, nada suaranya santai seperti biasanya. Ia mengulurkan satu tangan dari kemudi, menggenggam jemari Ara dengan lembut. "Kau tidak perl

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 122: Hari yang Bahagia

    Matahari pagi menyelimuti rumah kecil mereka dengan sinar keemasan. Udara di kota kecil itu sejuk dan segar, membawa aroma embun dan dedaunan basah. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan angin pagi masuk, meniup lembut rambutnya yang tergerai.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sungai kecil di kejauhan, mengalir tenang di bawah bayang-bayang pohon yang rimbun.Di dapur, suara denting piring terdengar pelan. Adrian tengah mengaduk adonan pancake, lengan bajunya digulung hingga siku. Ia sesekali menoleh ke arah Ara, memastikan dia baik-baik saja."Apa kau lapar?" tanya Adrian, suaranya terdengar ringan dan santai, seperti pagi itu.Ara menoleh, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Aku selalu lapar untuk pancake," balasnya sambil berjalan mendekat.Adrian tertawa pelan, mengangkat wajan untuk menuangkan adonan ke panci panas. "Pancake spesial pagi ini. Dengan ekstra cinta."Ara duduk di bangku dapur, menopang dagunya dengan tang

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status