"Jadi, apa aku sudah sesuai ekspektasimu?" Ara bertanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan yang terperangkap di udara.
Adrian menatapnya dari seberang meja makan berlapis marmer itu, mata kelamnya penuh perhatian, tetapi sulit untuk dibaca.
Di sekeliling mereka, ruangan restoran mewah itu dipenuhi percakapan lembut, denting gelas anggur, dan musik piano yang mengalun seperti arus sungai. Namun, di antara mereka berdua, keheningan terasa lebih pekat, lebih nyata.
"Kau lebih dari itu," jawab Adrian akhirnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman tipis yang seolah menyimpan rahasia. Ia meletakkan gelas anggurnya di atas meja dengan gerakan terukur. "Aku tahu dari awal bahwa aku tidak salah memilihmu."
Ara menelan ludah, berusaha mengabaikan caranya memandangnya, yang terasa seperti menyelami lapisan-lapisan terdalam dirinya. Tangannya meremas serbet di pangkuannya, mencoba meredam getaran kecil yang menjalar di ujung jari-jarinya.
"Aku hanya melakukan apa yang kau minta," balas Ara, mencoba mempertahankan ketenangan meski suaranya sedikit gemetar. "Kalau itu cukup bagimu, maka aku senang."
Adrian mengangguk pelan, senyumnya tak berubah. Namun, matanya terus memperhatikan Ara, seperti seorang seniman yang mengamati lukisan yang belum selesai.
"Kau mungkin tidak menyadarinya, Ara," katanya dengan nada lembut tetapi tegas, "tapi kau punya sesuatu yang tidak dimiliki banyak orang. Ketulusan. Dan itu adalah hal yang tak ternilai di tempat seperti ini."
Ara merasakan panas menjalari pipinya. Pujian itu terdengar tulus, tetapi ia tidak bisa sepenuhnya mempercayainya. Pria di depannya ini terlalu penuh rahasia, terlalu terampil dalam memilih kata-katanya.
"Jadi," Adrian melanjutkan, nada suaranya bergeser menjadi lebih santai, "malam ini hanya permulaan. Ada beberapa acara penting yang akan kita hadiri bersama dalam waktu dekat. Aku ingin memastikan kau siap untuk itu."
Ara mengangguk, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan. "Aku akan melakukan yang terbaik."
Pertemuan pertama ini berlangsung seperti sebuah latihan—sebuah ujian bagi Ara untuk menyesuaikan diri dengan dunia Adrian yang jauh dari kehidupannya yang biasa.
Setelah makan malam selesai, Adrian mengantarnya pulang seperti sebelumnya, tetapi kali ini suasana di antara mereka lebih santai, meski masih diselimuti formalitas.
Saat mereka tiba di depan rumah Ara, Adrian tidak langsung mengucapkan selamat malam. Sebaliknya, ia tetap duduk di dalam mobil, memandangnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
"Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan padaku?" tanyanya tiba-tiba, nada suaranya penuh perhatian.
Ara menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaannya. "Kenapa kau bertanya begitu?"
Adrian menyandarkan punggungnya ke kursi, senyuman tipis muncul di wajahnya. "Karena aku bisa melihat bahwa ada banyak hal yang kau pikirkan. Dan aku tidak ingin kau merasa terbebani dengan sesuatu yang bisa aku jelaskan."
Ara menatapnya sejenak, ragu apakah ia harus jujur. Namun, akhirnya ia menghela napas. "Kenapa aku? Dari semua orang yang bisa kau pilih, kenapa harus aku?"
Adrian terdiam sejenak, tatapannya tetap pada Ara.
"Karena aku membutuhkan seseorang yang berbeda dari semua yang aku temui sebelumnya. Seseorang yang tidak hanya berpura-pura, tetapi benar-benar bisa menjadi dirinya sendiri. Dan aku melihat itu dalam dirimu, Ara."
Kata-katanya terdengar tulus, tetapi ada sesuatu dalam cara ia mengucapkannya yang membuat Ara merasa bahwa itu bukan seluruh kebenarannya. Namun, ia memilih untuk tidak mendesak lebih jauh.
"Terima kasih," katanya akhirnya, meskipun ia tidak yakin apa yang ia syukuri—kesempatan ini atau cara Adrian memperlakukannya sejauh ini.
Adrian mengangguk, lalu tersenyum lembut. "Selamat malam, Ara. Sampai jumpa lagi."
Ara turun dari mobil, berjalan menuju pintu rumahnya. Ketika ia menoleh, ia melihat Adrian masih di sana, menunggunya masuk sebelum akhirnya mobil itu melaju pergi.
Di dalam rumah, Ara bersandar di pintu yang baru saja ia tutup. Napasnya terasa berat, dan pikirannya penuh dengan berbagai emosi yang saling bertentangan. Ia tidak bisa memahami sepenuhnya perasaannya terhadap Adrian.
Pria itu membuatnya merasa nyaman, tetapi pada saat yang sama, ada sesuatu yang membuatnya tetap waspada. Seolah-olah ia berdiri di tepi jurang, tidak yakin apakah ia akan melangkah maju atau mundur.
Ketika ia masuk ke kamar, ia menemukan Raka sudah tertidur di sofa ruang tamu. Wajahnya yang biasanya penuh kekhawatiran kini tampak lebih tenang. Ara berdiri sejenak, memperhatikan suaminya.
Ia tahu semua yang ia lakukan ini adalah untuk Raka—untuk mereka. Tetapi mengapa hatinya terasa semakin jauh dari pria ini?
Beberapa hari kemudian, Adrian mengirimkan pesan singkat pada Ara: "Bersiaplah untuk malam Sabtu. Kita akan menghadiri gala amal. Aku akan menjemputmu pukul tujuh."
Ara membaca pesan itu dengan hati berdebar. Ia tahu bahwa acara ini akan menjadi ujian sebenarnya—malam di mana ia benar-benar harus menunjukkan bahwa ia bisa menjalani peran ini. Namun, di dalam hatinya, ia masih diliputi oleh perasaan cemas dan keraguan.
Malam itu, Ara mempersiapkan dirinya dengan cermat. Adrian telah mengirimkan sebuah gaun malam yang indah, berwarna biru tua dengan detail payet yang berkilauan di bawah cahaya.
Ketika Ara mengenakan gaun itu dan memandang dirinya di cermin, ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Wanita yang ia lihat di cermin tampak seperti orang lain—seseorang yang lebih percaya diri, lebih kuat, tetapi juga lebih asing.
Ketika Adrian tiba, ia tampak mengesankan seperti biasa. Jas hitamnya pas di tubuhnya, dan ia membawa aura tenang yang seolah mampu mengendalikan seluruh ruangan. Ketika melihat Ara, matanya sedikit membelalak, dan senyum kecil muncul di wajahnya.
"Kau tampak luar biasa," katanya dengan nada lembut.
Ara merasa pipinya memerah, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Terima kasih. Gaun ini... pilihan yang bagus."
"Pilihan yang sempurna," balas Adrian sambil mengulurkan lengannya.
Acara gala amal itu berlangsung di sebuah ballroom besar dengan lampu kristal yang berkilauan di langit-langit. Suasana dipenuhi dengan kemewahan: gaun-gaun mahal, pria-pria dengan jas sempurna, dan meja-meja yang dihiasi lilin dan bunga segar.
Musik klasik mengisi udara, menciptakan suasana yang anggun dan elegan.
Adrian memimpin Ara melalui keramaian, memperkenalkannya pada berbagai tamu dengan cara yang membuat Ara merasa dihargai.
Namun, di antara semua itu, Ara menyadari sesuatu—setiap kali Adrian berbicara dengan seseorang, ia selalu menjaga agar Ara tetap dekat dengannya. Seolah-olah ia melindunginya dari dunia luar.
Namun, di tengah malam, seseorang menghampiri mereka—seorang pria dengan rambut keperakan dan senyuman yang licik. Ia menatap Adrian dengan pandangan tajam sebelum mengalihkan perhatiannya pada Ara.
"Jadi, ini pendamping barumu?" tanyanya dengan nada mengejek. "Kau selalu tahu cara memilih, Adrian."
Adrian tersenyum tipis, tetapi tatapannya berubah dingin. "Dia adalah tamuku malam ini. Kuharap kau bisa bersikap sopan."
Pria itu tertawa kecil, tetapi ada sesuatu dalam tawanya yang membuat Ara merasa tidak nyaman. Ketika pria itu akhirnya pergi, Ara menoleh pada Adrian, matanya penuh dengan pertanyaan.
"Siapa dia?" tanyanya pelan.
Adrian menghela napas, tatapannya melembut saat ia menatap Ara. "Seseorang dari masa lalu yang tidak perlu kau khawatirkan."
Namun, dari nada suaranya, Ara tahu bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Ada sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi di balik semua ini, sesuatu yang belum Adrian ceritakan padanya.
Dan meskipun ia tahu seharusnya ia tidak terlibat lebih jauh, rasa penasarannya mulai tumbuh.
Malam itu, ketika mereka meninggalkan acara, Ara tidak bisa menghilangkan pikiran tentang pria misterius itu dan cara Adrian bereaksi terhadapnya. Ia tahu bahwa ada rahasia yang lebih besar di balik semua ini—rahasia yang mungkin akan mengubah segalanya.
"Ara, sebelum kita lanjut, aku ingin memastikan bahwa kau memahami semua ketentuannya."Adrian duduk di kursi kulit hitam di ruang kerjanya yang luas, meja kayu mahoni yang besar memisahkan mereka. Di atas meja itu, sebuah dokumen kontrak terletak terbuka, dengan pena mewah mengilap di sisinya. Tatapan Adrian terfokus pada Ara, seperti seorang pengacara yang ingin memastikan kliennya benar-benar paham apa yang sedang terjadi.Ara, yang duduk di kursi seberang, menggenggam tangan di pangkuannya. Ia berusaha menahan getaran kecil yang menjalar di jemarinya. Ruang itu terasa sunyi, hanya suara jarum jam yang samar terdengar dari sudut ruangan. Dinding kaca di belakang Adrian memamerkan pemandangan langit Jakarta yang mulai gelap."Aku sudah membaca semuanya," jawab Ara dengan nada pelan, tetapi mantap. Matanya menatap dokumen itu dengan tekun, seolah-olah mempelajari setiap barisnya lagi meskipun ia sudah hafal isinya."Bagus," ujar Adrian, mengangguk pelan. Ia menyilangkan jari-jariny
"Jadi, apa kau selalu secanggung ini saat diajak makan malam?" suara Adrian terdengar lembut tetapi penuh canda, memecah keheningan di antara mereka.Ara mendongak dari piringnya, menatap Adrian dengan sedikit malu. Ia mencoba tersenyum, meskipun gugup jelas terlihat di matanya. "Maaf, aku... aku tidak terbiasa dengan ini," jawabnya jujur. Matanya beralih ke sekeliling restoran yang berkilauan oleh lampu kristal. Semua terasa terlalu mewah, terlalu jauh dari kehidupannya yang biasa.Adrian tersenyum kecil, mengangkat gelas anggurnya tetapi tidak langsung meminumnya. "Tak perlu minta maaf. Aku justru menyukai itu."Ara mengerutkan kening. "Menyukai apa?""Kejujuranmu," jawab Adrian tanpa ragu. Ia meletakkan gelasnya, tatapannya tertuju langsung pada Ara, seolah ingin memastikan bahwa setiap kata yang ia ucapkan benar-benar sampai padanya. "Kau tidak mencoba menjadi seseorang yang bukan dirimu, dan itu sesuatu yang langka."Ara tersipu, wajahnya memerah. Ia merasa seperti seorang gadi
"Adrian..." Ara memanggil perlahan, suara lembutnya hampir tenggelam dalam keheningan di dalam mobil yang melaju membelah malam. Adrian, yang tengah fokus pada jalanan, melirik sekilas ke arahnya."Ada apa?" tanyanya, nada suaranya tetap tenang, seperti biasa.Ara menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang berputar-putar di benaknya sejak makan malam mereka. "Aku hanya ingin tahu... bagaimana menurutmu sebuah cinta bisa bertahan? Maksudku, jika semua di dunia ini terus berubah, apa yang membuat cinta tetap ada?"Adrian terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan jawaban yang tepat. "Cinta bertahan bukan karena waktu," katanya akhirnya, matanya tetap tertuju ke depan. "Tapi karena pilihan. Setiap hari, kau harus memilih untuk tetap mencintai seseorang, meskipun dunia seolah memberimu alasan untuk menyerah."Jawabannya membuat Ara terdiam, hatinya terasa seperti tertusuk sesuatu yang halus tetapi menyakitkan. Kata-kata Adrian menggema di pikirannya, membuatnya tak bisa mengabaikan r
"Kau selalu menggigit bibirmu seperti itu saat gugup?"Pertanyaan Adrian memecah konsentrasi Ara yang sedang memandang secarik menu di tangannya. Ia mendongak, sedikit bingung, lalu menyadari bahwa bibir bawahnya sedang ia gigit tanpa sadar. Wajahnya memerah seketika."Aku tidak sadar," jawabnya cepat, mencoba menutupi rasa malunya. Tangannya segera turun ke pangkuan, menggenggam erat serbet kain yang tertata rapi di sana.Adrian tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur dalam kegugupan Ara. "Aku hanya memperhatikan," katanya dengan nada santai. "Kebiasaan kecil seperti itu seringkali yang paling jujur. Itu memberitahu banyak tentang seseorang."Ara menunduk, berusaha fokus kembali pada menu di tangannya. Namun, tatapan Adrian tetap tertuju padanya, memberikan sensasi bahwa ia sedang benar-benar dilihat—bukan hanya sebagai bagian dari kesepakatan, tetapi sebagai individu. Sensasi itu membuat Ara merasa hangat, sekaligus bingung.Malam itu, mereka sedang duduk di sebuah
"Kenapa kau tidak pernah bertanya lebih banyak tentangku?" tanya Adrian tiba-tiba, memecah keheningan yang mengisi ruang di antara mereka. Suaranya terdengar lembut, tetapi ada nada penasaran di dalamnya.Ara menatap Adrian dari seberang meja kecil di teras vila tempat mereka menghabiskan malam itu. Restoran tempat acara tadi berlangsung sudah sepi, tetapi Adrian, dengan gayanya yang khas, memutuskan untuk memesan teh di teras terbuka ini, di bawah langit yang penuh bintang. Aroma teh melati memenuhi udara, bercampur dengan embusan angin malam yang dingin."Aku tidak tahu harus bertanya apa," jawab Ara dengan jujur. "Kau tampak seperti orang yang... sulit ditebak. Mungkin aku takut mengganggu batasanmu."Adrian tertawa kecil, suara tawanya rendah dan berat. "Batasanku," ulangnya dengan senyum samar. "Kau tahu, Ara, kebanyakan orang menganggapku sulit didekati. Tapi aku tidak keberatan jika kau mencoba."Ara mengerutkan kening, sedikit ragu sebelum akhirnya berkata, "Kalau begitu, ken
"Ara," suara Raka terdengar tajam begitu Ara melangkah masuk ke ruang tamu. "Kau bisa menjelaskan kenapa belakangan ini kau lebih banyak di luar daripada di rumah?"Ara tertegun. Langkahnya yang semula ringan berubah berat. Ia menatap Raka yang duduk di sofa dengan postur tegang. Mata suaminya menyipit, penuh dengan kecurigaan yang tidak ia sembunyikan.Di meja kopi di depannya, ada secangkir kopi yang sudah dingin, menandakan bahwa Raka sudah menunggu cukup lama."Aku sudah bilang, aku bekerja," jawab Ara dengan nada hati-hati. Ia menurunkan tasnya ke atas meja kecil di dekat pintu. "Ada banyak hal yang harus aku urus.""Kerja?" Raka berdiri, melangkah mendekat dengan gerakan yang terlalu cepat, terlalu kasar. "Kerja seperti apa sampai kau harus pulang larut malam
Ara memandangi pesan yang baru saja ia kirimkan ke Adrian. Jari-jarinya masih menggenggam telepon dengan erat, sementara pikirannya terus bergolak.Hati kecilnya mengatakan bahwa ini adalah langkah yang berbahaya, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa hanya Adrian yang bisa memberinya sedikit ketenangan di tengah kekacauan yang melanda hidupnya.Teleponnya berbunyi. Nama Adrian muncul di layar, membuat jantung Ara berdetak lebih cepat. Ia tertegun sejenak, meragu, sebelum akhirnya menekan tombol hijau."Halo?" suaranya terdengar serak, lemah."Ara," suara Adrian di ujung telepon begitu lembut tetapi penuh perhatian. "Apa kau baik-baik saja?"Ara menutup matanya, merasakan kehangatan dalam nada suara Adrian. "Aku... tidak t
"Aku tidak tahu apakah ini ide yang baik," kata Ara pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara mesin kopi di kafe kecil itu. Ia duduk di sudut ruangan dengan kepala sedikit tertunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya dari pandangan siapa pun yang mungkin mengenalnya.Adrian, yang duduk di seberangnya, menatapnya dengan tenang. Cangkir kopinya masih penuh, dan tangan kanannya menyentuh tepi cangkir itu, tetapi ia tidak meminumnya. "Kenapa tidak?" tanyanya, nada suaranya lembut tetapi penuh perhatian.Ara menghela napas, menatap ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan jalanan Jakarta yang ramai."Karena ini terasa salah," jawabnya akhirnya. "Aku... aku seorang istri, Adrian. Dan meskipun aku merasa bahwa hubunganku dengan Raka semakin jauh, aku tidak tahu apakah ini—bertemu denganmu seperti ini—adalah sesuatu
Pagi di desa itu selalu dimulai dengan keheningan yang damai, diselingi oleh kicauan burung yang terdengar dari pepohonan di belakang rumah mereka. Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara.Ara berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa buah stroberi yang baru dipetik dari kebun kecil mereka. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela, membungkus tubuhnya dengan sinar hangat yang lembut.Dari ruang tamu, terdengar langkah kaki kecil yang mendekat. Ara menoleh dan tersenyum lebar saat melihat seorang anak kecil dengan rambut ikal berwarna cokelat berlari ke arahnya. Anak itu mengenakan piyama dengan motif dinosaurus, dan tawa kecilnya memenuhi ruangan."Ibu! Lihat apa yang aku temukan!" seru anak itu dengan suara ceria, memperlihatkan sebuah daun kecil yang ia bawa dengan hati-hati.Ara membungkuk, mengambil daun itu dari tangan anaknya. "Oh, ini indah sekali, sayang. Kau menemukannya di mana?""Di bawah pohon besar!" jawab anak itu, m
Cahaya senja menyelimuti desa kecil itu, membawa kehangatan pada rumah-rumah kecil yang berbaris rapi di sepanjang jalan berbatu. Langit dihiasi semburat warna oranye, merah muda, dan ungu, seolah-olah semesta sengaja melukis kanvasnya untuk merayakan hari yang damai.Di halaman belakang rumah, Ara duduk di bangku kayu dengan secangkir teh di tangannya, tubuhnya terbalut sweater rajut yang melindunginya dari udara sore yang mulai dingin.Ia memandangi bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu. Tanaman itu tumbuh dengan gagah, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar. Kepala bunga yang cerah menghadap ke arah matahari yang mulai tenggelam.Ara tersenyum kecil, merasa bahwa bunga itu melambangkan kehidupannya sendiri—perlahan-lahan tumbuh dari tanah yang dulu terasa tandus, mencari cahaya yang akhirnya ia temukan dalam hidupnya bersama Adrian.Pintu belakang berderit pelan, dan suara langkah Adrian di atas lantai kayu terdengar sebelum ia m
Pagi itu, sinar matahari menyapu pelan rumah kecil mereka, membawa kehangatan ke dalam setiap sudut ruangan. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Aroma rumput basah dan bunga-bunga liar dari taman belakang melayang lembut di udara.Ia berdiri sejenak, memandang ke luar dengan senyum kecil di wajahnya. Di halaman belakang, bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu mulai tumbuh, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar."Duduklah dulu," kata Adrian dari dapur, suaranya terdengar ringan tetapi sedikit menggoda. "Kau tidak bisa terus sibuk sejak pagi. Sarapan sudah siap."Ara menoleh, tertawa kecil. "Aku hanya menikmati pemandangan. Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan bisa bangun dengan perasaan selega ini."Adrian muncul dari balik pintu dapur dengan dua piring di tangannya. Sepiring telur dadar lembut dengan irisan alpukat dan roti panggang di satu piring lainnya. Ia meletakkan semuanya di meja keci
Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar rumah baru mereka, memantulkan sinarnya di lantai kayu yang mengilap. Rumah itu sederhana tetapi terasa hangat, dengan dinding bercat krem dan perabotan kayu yang dipilih dengan penuh cinta.Di luar, angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon maple, dan suara burung-burung terdengar lembut, menjadi latar belakang kehidupan baru yang mereka mulai bersama.Ara berdiri di dapur kecil mereka, aroma kopi menguar dari mesin yang baru saja Adrian belikan. Ia mengenakan kaus longgar berwarna putih dan celana katun, kakinya telanjang di atas lantai dingin.Ia memandangi jendela yang menghadap ke taman belakang, di mana Adrian sedang menggali tanah untuk menanam bunga matahari yang dibawanya dari pasar minggu lalu.Ara tersenyum kecil, menyandarkan pinggulnya di meja dapur sambil memegang secangkir kopi. Setiap gerakan Adrian di luar terlihat penuh semangat—wajahnya yang serius saat ia mencangkul tanah, seseka
Pagi itu, langit cerah tanpa awan. Cahaya matahari lembut membasuh taman kecil di belakang rumah keluarga Adrian, tempat acara sederhana mereka akan diadakan.Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga mawar dan lavender yang menghiasi setiap sudut taman, menciptakan suasana hangat yang sempurna.Ara berdiri di depan cermin di kamar tamu rumah Adrian. Gaun putih sederhana melekat di tubuhnya, terbuat dari bahan satin yang jatuh dengan indah, memeluk tubuhnya dengan cara yang anggun.Tidak ada renda berlebihan atau kilauan mencolok, hanya detail kecil di sekitar leher yang membuatnya terlihat elegan dan alami.Lila berdiri di belakangnya, membantu menyematkan peniti kecil di ujung kerudung Ara. "Kau terlihat... luar biasa," kata Lila dengan mata berbinar, senyumnya lebar.Ara tersenyum melalui pantulan cermin, mencoba menahan perasaan gugup yang merayap di dadanya. "Terima kasih, Lila. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasa benar-benar seperti pengantin
Pagi itu dimulai dengan keheningan yang damai. Sinar matahari pagi menerobos melalui tirai jendela, menyelimuti ruang tamu rumah kecil mereka dengan cahaya hangat keemasan. Ara berdiri di dapur, mengenakan sweater tipis berwarna krem yang sedikit kebesaran.Ia sedang memotong beberapa buah untuk sarapan, menikmati aroma segar jeruk yang menguar.Adrian muncul dari belakang, rambutnya masih sedikit berantakan, namun senyum lembut yang biasa menghiasi wajahnya tetap ada. "Kau bangun lebih pagi dari biasanya," katanya sambil mengambil cangkir dari rak dan menuangkan kopi.Ara menoleh dan tersenyum kecil. "Aku suka pagi-pagi seperti ini. Tenang dan terasa ringan."Adrian mengangguk, berjalan ke meja dan duduk di kursi, memperhatikan Ara yang sibuk di dapur. "Ada sesuatu yang berbeda pada dirimu akhir-akhir ini," ujarnya pelan, tetapi dengan nada penuh perhatian.Ara berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk menatap Adrian. "Apa maksudmu?"Adrian
Pagi itu, rumah kecil mereka diselimuti keheningan yang damai. Matahari pagi menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan bayangan hangat di lantai kayu. Ara duduk di meja dekat jendela, secangkir teh hijau mengepul di sebelahnya. Di depan Ara, ada selembar kertas kosong dan sebuah pena sederhana.Adrian berjalan masuk dari dapur, membawa piring berisi irisan roti panggang dan buah-buahan. Ia berhenti di ambang pintu ketika melihat Ara yang tampak termenung di depan kertas itu."Apa yang kau pikirkan?" tanyanya pelan, meletakkan piring di meja kecil di dekat Ara.Ara menoleh ke arahnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman kecil yang hampir tidak terlihat. "Aku berpikir untuk menulis sesuatu. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana."Adrian menarik kursi di depannya dan duduk. "Sesuatu seperti apa?"Ara mengambil pena itu, menggenggamnya dengan kedua tangan. "Aku ingin menulis surat untuk Raka."Adrian menatapnya, tetapi tidak langsung men
Angin sejuk pegunungan membelai wajah Ara, membawa aroma pinus dan bunga liar yang mekar di sepanjang jalan menuju rumah keluarga Adrian.Mobil Adrian meluncur mulus di jalanan kecil yang berkelok-kelok, dikelilingi oleh hutan hijau yang terasa seperti melindungi mereka dari hiruk pikuk dunia luar. Ara memandang keluar jendela, matanya menangkap pemandangan pegunungan yang menjulang megah di kejauhan.Namun, di tengah keindahan itu, dadanya terasa sesak oleh kegugupan. Jemarinya memainkan ujung sweater yang ia kenakan, menggulungnya dengan canggung."Berhenti menggulung sweatermu," suara Adrian terdengar ringan, tetapi penuh kehangatan, memecah keheningan. Matanya melirik ke arah Ara sambil tetap memperhatikan jalan.Ara meliriknya, setengah tersipu. "Aku tidak bisa menahannya. Aku... aku gugup."Adrian tertawa kecil, nada suaranya santai seperti biasanya. Ia mengulurkan satu tangan dari kemudi, menggenggam jemari Ara dengan lembut. "Kau tidak perl
Matahari pagi menyelimuti rumah kecil mereka dengan sinar keemasan. Udara di kota kecil itu sejuk dan segar, membawa aroma embun dan dedaunan basah. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan angin pagi masuk, meniup lembut rambutnya yang tergerai.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sungai kecil di kejauhan, mengalir tenang di bawah bayang-bayang pohon yang rimbun.Di dapur, suara denting piring terdengar pelan. Adrian tengah mengaduk adonan pancake, lengan bajunya digulung hingga siku. Ia sesekali menoleh ke arah Ara, memastikan dia baik-baik saja."Apa kau lapar?" tanya Adrian, suaranya terdengar ringan dan santai, seperti pagi itu.Ara menoleh, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Aku selalu lapar untuk pancake," balasnya sambil berjalan mendekat.Adrian tertawa pelan, mengangkat wajan untuk menuangkan adonan ke panci panas. "Pancake spesial pagi ini. Dengan ekstra cinta."Ara duduk di bangku dapur, menopang dagunya dengan tang