Share

Bab 5: Pertemuan Pertama

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-13 16:27:33

"Jadi, apa aku sudah sesuai ekspektasimu?" Ara bertanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan yang terperangkap di udara.

Adrian menatapnya dari seberang meja makan berlapis marmer itu, mata kelamnya penuh perhatian, tetapi sulit untuk dibaca. 

Di sekeliling mereka, ruangan restoran mewah itu dipenuhi percakapan lembut, denting gelas anggur, dan musik piano yang mengalun seperti arus sungai. Namun, di antara mereka berdua, keheningan terasa lebih pekat, lebih nyata.

"Kau lebih dari itu," jawab Adrian akhirnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman tipis yang seolah menyimpan rahasia. Ia meletakkan gelas anggurnya di atas meja dengan gerakan terukur. "Aku tahu dari awal bahwa aku tidak salah memilihmu."

Ara menelan ludah, berusaha mengabaikan caranya memandangnya, yang terasa seperti menyelami lapisan-lapisan terdalam dirinya. Tangannya meremas serbet di pangkuannya, mencoba meredam getaran kecil yang menjalar di ujung jari-jarinya.

"Aku hanya melakukan apa yang kau minta," balas Ara, mencoba mempertahankan ketenangan meski suaranya sedikit gemetar. "Kalau itu cukup bagimu, maka aku senang."

Adrian mengangguk pelan, senyumnya tak berubah. Namun, matanya terus memperhatikan Ara, seperti seorang seniman yang mengamati lukisan yang belum selesai. 

"Kau mungkin tidak menyadarinya, Ara," katanya dengan nada lembut tetapi tegas, "tapi kau punya sesuatu yang tidak dimiliki banyak orang. Ketulusan. Dan itu adalah hal yang tak ternilai di tempat seperti ini."

Ara merasakan panas menjalari pipinya. Pujian itu terdengar tulus, tetapi ia tidak bisa sepenuhnya mempercayainya. Pria di depannya ini terlalu penuh rahasia, terlalu terampil dalam memilih kata-katanya.

"Jadi," Adrian melanjutkan, nada suaranya bergeser menjadi lebih santai, "malam ini hanya permulaan. Ada beberapa acara penting yang akan kita hadiri bersama dalam waktu dekat. Aku ingin memastikan kau siap untuk itu."

Ara mengangguk, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan. "Aku akan melakukan yang terbaik."

Pertemuan pertama ini berlangsung seperti sebuah latihan—sebuah ujian bagi Ara untuk menyesuaikan diri dengan dunia Adrian yang jauh dari kehidupannya yang biasa. 

Setelah makan malam selesai, Adrian mengantarnya pulang seperti sebelumnya, tetapi kali ini suasana di antara mereka lebih santai, meski masih diselimuti formalitas.

Saat mereka tiba di depan rumah Ara, Adrian tidak langsung mengucapkan selamat malam. Sebaliknya, ia tetap duduk di dalam mobil, memandangnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

"Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan padaku?" tanyanya tiba-tiba, nada suaranya penuh perhatian.

Ara menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaannya. "Kenapa kau bertanya begitu?"

Adrian menyandarkan punggungnya ke kursi, senyuman tipis muncul di wajahnya. "Karena aku bisa melihat bahwa ada banyak hal yang kau pikirkan. Dan aku tidak ingin kau merasa terbebani dengan sesuatu yang bisa aku jelaskan."

Ara menatapnya sejenak, ragu apakah ia harus jujur. Namun, akhirnya ia menghela napas. "Kenapa aku? Dari semua orang yang bisa kau pilih, kenapa harus aku?"

Adrian terdiam sejenak, tatapannya tetap pada Ara. 

"Karena aku membutuhkan seseorang yang berbeda dari semua yang aku temui sebelumnya. Seseorang yang tidak hanya berpura-pura, tetapi benar-benar bisa menjadi dirinya sendiri. Dan aku melihat itu dalam dirimu, Ara."

Kata-katanya terdengar tulus, tetapi ada sesuatu dalam cara ia mengucapkannya yang membuat Ara merasa bahwa itu bukan seluruh kebenarannya. Namun, ia memilih untuk tidak mendesak lebih jauh.

"Terima kasih," katanya akhirnya, meskipun ia tidak yakin apa yang ia syukuri—kesempatan ini atau cara Adrian memperlakukannya sejauh ini.

Adrian mengangguk, lalu tersenyum lembut. "Selamat malam, Ara. Sampai jumpa lagi."

Ara turun dari mobil, berjalan menuju pintu rumahnya. Ketika ia menoleh, ia melihat Adrian masih di sana, menunggunya masuk sebelum akhirnya mobil itu melaju pergi.

Di dalam rumah, Ara bersandar di pintu yang baru saja ia tutup. Napasnya terasa berat, dan pikirannya penuh dengan berbagai emosi yang saling bertentangan. Ia tidak bisa memahami sepenuhnya perasaannya terhadap Adrian. 

Pria itu membuatnya merasa nyaman, tetapi pada saat yang sama, ada sesuatu yang membuatnya tetap waspada. Seolah-olah ia berdiri di tepi jurang, tidak yakin apakah ia akan melangkah maju atau mundur.

Ketika ia masuk ke kamar, ia menemukan Raka sudah tertidur di sofa ruang tamu. Wajahnya yang biasanya penuh kekhawatiran kini tampak lebih tenang. Ara berdiri sejenak, memperhatikan suaminya. 

Ia tahu semua yang ia lakukan ini adalah untuk Raka—untuk mereka. Tetapi mengapa hatinya terasa semakin jauh dari pria ini?

Beberapa hari kemudian, Adrian mengirimkan pesan singkat pada Ara: "Bersiaplah untuk malam Sabtu. Kita akan menghadiri gala amal. Aku akan menjemputmu pukul tujuh."

Ara membaca pesan itu dengan hati berdebar. Ia tahu bahwa acara ini akan menjadi ujian sebenarnya—malam di mana ia benar-benar harus menunjukkan bahwa ia bisa menjalani peran ini. Namun, di dalam hatinya, ia masih diliputi oleh perasaan cemas dan keraguan.

Malam itu, Ara mempersiapkan dirinya dengan cermat. Adrian telah mengirimkan sebuah gaun malam yang indah, berwarna biru tua dengan detail payet yang berkilauan di bawah cahaya. 

Ketika Ara mengenakan gaun itu dan memandang dirinya di cermin, ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Wanita yang ia lihat di cermin tampak seperti orang lain—seseorang yang lebih percaya diri, lebih kuat, tetapi juga lebih asing.

Ketika Adrian tiba, ia tampak mengesankan seperti biasa. Jas hitamnya pas di tubuhnya, dan ia membawa aura tenang yang seolah mampu mengendalikan seluruh ruangan. Ketika melihat Ara, matanya sedikit membelalak, dan senyum kecil muncul di wajahnya.

"Kau tampak luar biasa," katanya dengan nada lembut.

Ara merasa pipinya memerah, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Terima kasih. Gaun ini... pilihan yang bagus."

"Pilihan yang sempurna," balas Adrian sambil mengulurkan lengannya.

Acara gala amal itu berlangsung di sebuah ballroom besar dengan lampu kristal yang berkilauan di langit-langit. Suasana dipenuhi dengan kemewahan: gaun-gaun mahal, pria-pria dengan jas sempurna, dan meja-meja yang dihiasi lilin dan bunga segar. 

Musik klasik mengisi udara, menciptakan suasana yang anggun dan elegan.

Adrian memimpin Ara melalui keramaian, memperkenalkannya pada berbagai tamu dengan cara yang membuat Ara merasa dihargai. 

Namun, di antara semua itu, Ara menyadari sesuatu—setiap kali Adrian berbicara dengan seseorang, ia selalu menjaga agar Ara tetap dekat dengannya. Seolah-olah ia melindunginya dari dunia luar.

Namun, di tengah malam, seseorang menghampiri mereka—seorang pria dengan rambut keperakan dan senyuman yang licik. Ia menatap Adrian dengan pandangan tajam sebelum mengalihkan perhatiannya pada Ara.

"Jadi, ini pendamping barumu?" tanyanya dengan nada mengejek. "Kau selalu tahu cara memilih, Adrian."

Adrian tersenyum tipis, tetapi tatapannya berubah dingin. "Dia adalah tamuku malam ini. Kuharap kau bisa bersikap sopan."

Pria itu tertawa kecil, tetapi ada sesuatu dalam tawanya yang membuat Ara merasa tidak nyaman. Ketika pria itu akhirnya pergi, Ara menoleh pada Adrian, matanya penuh dengan pertanyaan.

"Siapa dia?" tanyanya pelan.

Adrian menghela napas, tatapannya melembut saat ia menatap Ara. "Seseorang dari masa lalu yang tidak perlu kau khawatirkan."

Namun, dari nada suaranya, Ara tahu bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Ada sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi di balik semua ini, sesuatu yang belum Adrian ceritakan padanya. 

Dan meskipun ia tahu seharusnya ia tidak terlibat lebih jauh, rasa penasarannya mulai tumbuh.

Malam itu, ketika mereka meninggalkan acara, Ara tidak bisa menghilangkan pikiran tentang pria misterius itu dan cara Adrian bereaksi terhadapnya. Ia tahu bahwa ada rahasia yang lebih besar di balik semua ini—rahasia yang mungkin akan mengubah segalanya.

Bab terkait

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 6: Kontrak Dimulai

    "Ara, sebelum kita lanjut, aku ingin memastikan bahwa kau memahami semua ketentuannya."Adrian duduk di kursi kulit hitam di ruang kerjanya yang luas, meja kayu mahoni yang besar memisahkan mereka. Di atas meja itu, sebuah dokumen kontrak terletak terbuka, dengan pena mewah mengilap di sisinya. Tatapan Adrian terfokus pada Ara, seperti seorang pengacara yang ingin memastikan kliennya benar-benar paham apa yang sedang terjadi.Ara, yang duduk di kursi seberang, menggenggam tangan di pangkuannya. Ia berusaha menahan getaran kecil yang menjalar di jemarinya. Ruang itu terasa sunyi, hanya suara jarum jam yang samar terdengar dari sudut ruangan. Dinding kaca di belakang Adrian memamerkan pemandangan langit Jakarta yang mulai gelap."Aku sudah membaca semuanya," jawab Ara dengan nada pelan, tetapi mantap. Matanya menatap dokumen itu dengan tekun, seolah-olah mempelajari setiap barisnya lagi meskipun ia sudah hafal isinya."Bagus," ujar Adrian, mengangguk pelan. Ia menyilangkan jari-jariny

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 7: Kencan Pertama

    "Jadi, apa kau selalu secanggung ini saat diajak makan malam?" suara Adrian terdengar lembut tetapi penuh canda, memecah keheningan di antara mereka.Ara mendongak dari piringnya, menatap Adrian dengan sedikit malu. Ia mencoba tersenyum, meskipun gugup jelas terlihat di matanya. "Maaf, aku... aku tidak terbiasa dengan ini," jawabnya jujur. Matanya beralih ke sekeliling restoran yang berkilauan oleh lampu kristal. Semua terasa terlalu mewah, terlalu jauh dari kehidupannya yang biasa.Adrian tersenyum kecil, mengangkat gelas anggurnya tetapi tidak langsung meminumnya. "Tak perlu minta maaf. Aku justru menyukai itu."Ara mengerutkan kening. "Menyukai apa?""Kejujuranmu," jawab Adrian tanpa ragu. Ia meletakkan gelasnya, tatapannya tertuju langsung pada Ara, seolah ingin memastikan bahwa setiap kata yang ia ucapkan benar-benar sampai padanya. "Kau tidak mencoba menjadi seseorang yang bukan dirimu, dan itu sesuatu yang langka."Ara tersipu, wajahnya memerah. Ia merasa seperti seorang gadi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 8: Kilas Balik Cinta

    "Adrian..." Ara memanggil perlahan, suara lembutnya hampir tenggelam dalam keheningan di dalam mobil yang melaju membelah malam. Adrian, yang tengah fokus pada jalanan, melirik sekilas ke arahnya."Ada apa?" tanyanya, nada suaranya tetap tenang, seperti biasa.Ara menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang berputar-putar di benaknya sejak makan malam mereka. "Aku hanya ingin tahu... bagaimana menurutmu sebuah cinta bisa bertahan? Maksudku, jika semua di dunia ini terus berubah, apa yang membuat cinta tetap ada?"Adrian terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan jawaban yang tepat. "Cinta bertahan bukan karena waktu," katanya akhirnya, matanya tetap tertuju ke depan. "Tapi karena pilihan. Setiap hari, kau harus memilih untuk tetap mencintai seseorang, meskipun dunia seolah memberimu alasan untuk menyerah."Jawabannya membuat Ara terdiam, hatinya terasa seperti tertusuk sesuatu yang halus tetapi menyakitkan. Kata-kata Adrian menggema di pikirannya, membuatnya tak bisa mengabaikan r

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 9: Perhatian yang Menghangatkan

    "Kau selalu menggigit bibirmu seperti itu saat gugup?"Pertanyaan Adrian memecah konsentrasi Ara yang sedang memandang secarik menu di tangannya. Ia mendongak, sedikit bingung, lalu menyadari bahwa bibir bawahnya sedang ia gigit tanpa sadar. Wajahnya memerah seketika."Aku tidak sadar," jawabnya cepat, mencoba menutupi rasa malunya. Tangannya segera turun ke pangkuan, menggenggam erat serbet kain yang tertata rapi di sana.Adrian tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur dalam kegugupan Ara. "Aku hanya memperhatikan," katanya dengan nada santai. "Kebiasaan kecil seperti itu seringkali yang paling jujur. Itu memberitahu banyak tentang seseorang."Ara menunduk, berusaha fokus kembali pada menu di tangannya. Namun, tatapan Adrian tetap tertuju padanya, memberikan sensasi bahwa ia sedang benar-benar dilihat—bukan hanya sebagai bagian dari kesepakatan, tetapi sebagai individu. Sensasi itu membuat Ara merasa hangat, sekaligus bingung.Malam itu, mereka sedang duduk di sebuah

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 10: Ketulusan Adrian

    "Kenapa kau tidak pernah bertanya lebih banyak tentangku?" tanya Adrian tiba-tiba, memecah keheningan yang mengisi ruang di antara mereka. Suaranya terdengar lembut, tetapi ada nada penasaran di dalamnya.Ara menatap Adrian dari seberang meja kecil di teras vila tempat mereka menghabiskan malam itu. Restoran tempat acara tadi berlangsung sudah sepi, tetapi Adrian, dengan gayanya yang khas, memutuskan untuk memesan teh di teras terbuka ini, di bawah langit yang penuh bintang. Aroma teh melati memenuhi udara, bercampur dengan embusan angin malam yang dingin."Aku tidak tahu harus bertanya apa," jawab Ara dengan jujur. "Kau tampak seperti orang yang... sulit ditebak. Mungkin aku takut mengganggu batasanmu."Adrian tertawa kecil, suara tawanya rendah dan berat. "Batasanku," ulangnya dengan senyum samar. "Kau tahu, Ara, kebanyakan orang menganggapku sulit didekati. Tapi aku tidak keberatan jika kau mencoba."Ara mengerutkan kening, sedikit ragu sebelum akhirnya berkata, "Kalau begitu, ken

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 11: Pertengkaran dengan Raka

    "Ara," suara Raka terdengar tajam begitu Ara melangkah masuk ke ruang tamu. "Kau bisa menjelaskan kenapa belakangan ini kau lebih banyak di luar daripada di rumah?"Ara tertegun. Langkahnya yang semula ringan berubah berat. Ia menatap Raka yang duduk di sofa dengan postur tegang. Mata suaminya menyipit, penuh dengan kecurigaan yang tidak ia sembunyikan.Di meja kopi di depannya, ada secangkir kopi yang sudah dingin, menandakan bahwa Raka sudah menunggu cukup lama."Aku sudah bilang, aku bekerja," jawab Ara dengan nada hati-hati. Ia menurunkan tasnya ke atas meja kecil di dekat pintu. "Ada banyak hal yang harus aku urus.""Kerja?" Raka berdiri, melangkah mendekat dengan gerakan yang terlalu cepat, terlalu kasar. "Kerja seperti apa sampai kau harus pulang larut malam

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 12: Pelukan yang Tak Terduga

    Ara memandangi pesan yang baru saja ia kirimkan ke Adrian. Jari-jarinya masih menggenggam telepon dengan erat, sementara pikirannya terus bergolak.Hati kecilnya mengatakan bahwa ini adalah langkah yang berbahaya, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa hanya Adrian yang bisa memberinya sedikit ketenangan di tengah kekacauan yang melanda hidupnya.Teleponnya berbunyi. Nama Adrian muncul di layar, membuat jantung Ara berdetak lebih cepat. Ia tertegun sejenak, meragu, sebelum akhirnya menekan tombol hijau."Halo?" suaranya terdengar serak, lemah."Ara," suara Adrian di ujung telepon begitu lembut tetapi penuh perhatian. "Apa kau baik-baik saja?"Ara menutup matanya, merasakan kehangatan dalam nada suara Adrian. "Aku... tidak t

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 13: Pertemuan Rahasia

    "Aku tidak tahu apakah ini ide yang baik," kata Ara pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara mesin kopi di kafe kecil itu. Ia duduk di sudut ruangan dengan kepala sedikit tertunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya dari pandangan siapa pun yang mungkin mengenalnya.Adrian, yang duduk di seberangnya, menatapnya dengan tenang. Cangkir kopinya masih penuh, dan tangan kanannya menyentuh tepi cangkir itu, tetapi ia tidak meminumnya. "Kenapa tidak?" tanyanya, nada suaranya lembut tetapi penuh perhatian.Ara menghela napas, menatap ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan jalanan Jakarta yang ramai."Karena ini terasa salah," jawabnya akhirnya. "Aku... aku seorang istri, Adrian. Dan meskipun aku merasa bahwa hubunganku dengan Raka semakin jauh, aku tidak tahu apakah ini—bertemu denganmu seperti ini—adalah sesuatu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12

Bab terbaru

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 94: Raka yang Tak Mau Menyerah

    Dini hari itu, hujan mengguyur dengan deras, menciptakan simfoni monoton di atap apartemen Ara. Ara terbangun dengan suara ketukan keras di pintu. Bukan suara lembut yang biasa Adrian buat, melainkan ketukan kasar, mendesak, yang memaksa denyut nadinya melonjak cepat.Ia duduk di ranjang, menatap pintu dengan mata yang masih mengantuk, tetapi tubuhnya kaku oleh kecemasan. Siapa yang akan datang pada jam seperti ini?Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras.“Ara! Buka pintunya!”Suaranya membuat tubuh Ara gemetar. Itu Raka.Ia segera berdiri, mengenakan cardigan untuk melawan dinginnya malam. Dengan langkah ragu, Ara menuju pintu. Tangannya sudah di kenop pintu ketika sebuah pikiran melintas: jangan lakukan ini. Jangan buka pintu itu.“Aku tahu kau di sana!” Raka berteriak, suaranya serak oleh marah. “Ara! Kalau kau tidak buka pintu ini sekarang, aku akan—”Tiba-tiba, suara lift berbunyi. Langk

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 93: Keputusan Adrian

    Heningnya ruang kerja Adrian pecah oleh suara langkah kakinya yang mantap. Ia berjalan mondar-mandir di lantai kayu yang mengilap, dengan ponsel yang ditempelkan di telinganya. Cahaya dari lampu gantung di langit-langit memantulkan sorotan lembut ke wajahnya yang tegang.“Tidak, aku tidak peduli soal prosedur biasa,” katanya, suaranya dingin dan tajam. “Pastikan surat perintah itu dikeluarkan secepatnya. Aku ingin dia tidak bisa mendekati Ara sejauh apa pun.”Adrian memutus panggilan tanpa menunggu jawaban dari seberang, lalu melempar ponsel itu ke atas meja. Ia memijit pelipisnya, menarik napas panjang seolah mencoba menenangkan badai di dadanya. Matanya gelap, penuh ketegangan yang sulit disembunyikan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Adrian menoleh. Ara berdiri di sana, tubuhnya diselimuti cardigan tipis, dan ekspresinya cemas.“Aku mengetuk beberapa kali,” kata Ara, suaranya pelan. “Kau tidak mendengar?&rd

  • Cinta dalam Bayangan Hutang    Bab 92: Pesan Ancaman

    Ara terbangun dengan detak jantung yang berdentum kencang. Suara notifikasi dari ponsel di samping ranjang kecilnya masih bergema di kepala. Udara dingin pagi menyelinap melalui celah gorden, tetapi keringat dingin justru membasahi pelipisnya.Ia meraih ponsel itu dengan tangan gemetar, layar yang terang memantulkan bayangannya yang lelah. Ada pesan baru, dan nama pengirimnya membuat perut Ara terasa seperti diaduk-aduk.Raka.Pesan itu singkat, tapi setiap kata terasa seperti belati yang menghujam dadanya.“Kalau kau tidak kembali, aku pastikan semuanya berantakan untukmu. Jangan coba-coba melarikan diri dari ini. Kau tahu aku serius, Ara.”Jari-jari Ara perlahan melemah. Ponsel itu nyaris terjatuh dari tangannya. Pesan itu tidak hanya mengancam dirinya, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—kedamaian kecil yang baru saja ia temukan.Di luar, langit mulai memudar dari kelam menjadi abu-abu. Tetapi ruangan

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 91: Hari-Hari Bahagia yang Terusik

    Suara ketukan halus di pintu memecah keheningan. Ara, yang sedang mengaduk saus tomat di panci, menoleh cepat. Sekilas ia melihat cipratan kecil saus menetes ke atas meja marmer, tapi pikirannya teralih oleh ketukan itu.“Sebentar,” serunya, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang tiba-tiba menyeruak.Ia membuka pintu, dan Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja putih sederhana yang lengannya tergulung hingga siku. Wajahnya tampak tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan—seperti kerikil kecil yang membuat riak di air yang tenang.“Aku hanya ingin memastikan kau tidak melupakan makan siang,” katanya ringan sambil melangkah masuk, tanpa menunggu izin.Ara tersenyum kecil, lalu menunjuk panci di dapur. “Aku sedang memasak, Adrian. Kalau aku lupa makan, itu artinya aku gagal menjadi—” Ia menghentikan kata-katanya, merasakan nada itu terlalu berbahaya untuk dilanjutkan.

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 90: Adrian Siap Melindungi

    "Ara, aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu."Suara Adrian terdengar tegas namun hangat saat ia duduk di seberang Ara. Tatapannya tajam, penuh determinasi, tetapi ada kelembutan yang menyelip di sana—perpaduan perlindungan dan kasih sayang.Mereka duduk di meja makan kecil di kabin, sisa-sisa makan malam masih berserakan di atas meja. Ara menatap Adrian, matanya dipenuhi kekhawatiran. Tapi jauh di balik itu, ada kepercayaan yang mulai tumbuh, sebuah keyakinan yang perlahan-lahan menguat.“Tapi dia tidak akan berhenti, Adrian,” bisik Ara, suaranya pelan namun bergetar dengan ketakutan yang nyata. “Raka tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.”Adrian mengepalkan tangannya di atas meja, berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap langsung ke mata Ara.“Kalau begitu, aku akan memastikan dia tidak mendapatkan kesempatan. Aku sudah berbicara

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 89: Ancaman yang Muncul

    Adrian memegang telepon dengan erat, menatap dinding kayu kabin yang diterangi lampu temaram. Suara di seberang sana membuat darahnya mendidih, meskipun ia berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali.“Adrian, kamu pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku selamanya?” suara Raka terdengar dingin, penuh amarah yang terpendam. Adrian melirik ke ruang kerja, di mana Ara tengah sibuk menulis. Ia mundur beberapa langkah ke sudut kabin, memastikan percakapan ini tidak terdengar oleh Ara.“Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan,” jawab Adrian, mencoba membuat suaranya tetap tegas. “Tapi aku sarankan kamu berhenti mencari masalah.”Tawa kecil terdengar dari Raka, tetapi tanpa humor—hanya sisa-sisa dari seseorang yang terobsesi dan penuh kepahitan. “Jangan berpura-pura bodoh. Aku tahu dia bersamamu. Kamu mencuri istriku, dan kamu pikir aku akan membiarkan itu?”Adrian mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 88: Raka yang Terpuruk

    Raka duduk di ruang tamu apartemennya yang berantakan. Botol-botol minuman kosong berserakan di lantai, menjadi saksi bisu malam-malam panjang yang ia habiskan dalam kekacauan pikiran. Matanya merah, wajahnya kusut, seperti seseorang yang tak pernah benar-benar beristirahat.Di meja kecil di depannya, sebuah surat tergeletak terbuka. Itu adalah surat dari Ara, dan setiap kali ia membacanya, kata-katanya seperti menguliti hatinya."Aku pergi bukan karena aku tidak pernah mencintaimu, tetapi karena aku akhirnya menyadari bahwa aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu."Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Bukan hanya karena Ara telah meninggalkannya, tetapi karena ia tahu, dalam-dalam, ada kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. Selama ini, ia tidak hanya kehilangan Ara; ia juga menghancurkan sesuatu yang dulu menjadi inti dari dirinya.Raka tidak pernah tahu bagaimana harus menjaga apa yang berharga, dan kini, semua itu telah lepas dari

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 87: Kebebasan yang Baru Ditemukan

    “Adrian, aku rasa... aku ingin mencoba bekerja lagi.”Ara duduk di bangku kayu di teras kabin, memandangi hutan yang terbentang di depannya. Udara pagi membawa aroma segar tanah basah setelah hujan malam sebelumnya. Ia menggenggam secangkir teh di kedua tangannya, mencoba menenangkan debaran kecil di dadanya saat ia menyuarakan keinginan yang baru tumbuh.Adrian, yang sedang menyiram tanaman kecil di samping kabin, menoleh dengan senyum hangat. “Itu ide yang bagus, Ara. Kamu sudah lama memikirkan ini?”Ara mengangguk perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Aku rasa aku butuh sesuatu untuk menyibukkan diri, sesuatu yang membuatku merasa produktif. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.”

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 86: Babak Baru Bersama Adrian

    “Ara, lihat ini.”Adrian berdiri di dekat jendela kabin, pandangannya tertuju ke arah hutan yang mulai diterangi cahaya pagi. Matahari baru saja terbit, sinarnya lembut menembus sela-sela pepohonan yang basah oleh embun. Di kejauhan, seekor rusa muncul dengan gerakan anggun, melangkah perlahan di antara dedaunan.Ara, yang baru saja selesai menyeduh teh, mendekati jendela dengan hati-hati. Wajahnya dipenuhi kehangatan saat ia melihat pemandangan itu. “Indah sekali,” bisiknya, seolah takut mengganggu ketenangan pagi.Dalam tatapannya, ada rasa kagum yang sudah lama tidak ia rasakan—sebuah kedamaian yang hampir asing baginya.Adrian melirik Ara, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Aku ingin setiap pagi seperti ini untukmu, Ara. Tenang, damai, tanpa rasa takut.”Ara menoleh ke arah Adrian, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. “Ini seperti mimpi. Aku tidak pernah membayangkan bisa merasakan ketenan

DMCA.com Protection Status