"Aku tidak tahu apakah ini ide yang baik," kata Ara pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara mesin kopi di kafe kecil itu. Ia duduk di sudut ruangan dengan kepala sedikit tertunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya dari pandangan siapa pun yang mungkin mengenalnya.
Adrian, yang duduk di seberangnya, menatapnya dengan tenang. Cangkir kopinya masih penuh, dan tangan kanannya menyentuh tepi cangkir itu, tetapi ia tidak meminumnya. "Kenapa tidak?" tanyanya, nada suaranya lembut tetapi penuh perhatian.
Ara menghela napas, menatap ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan jalanan Jakarta yang ramai.
"Karena ini terasa salah," jawabnya akhirnya. "Aku... aku seorang istri, Adrian. Dan meskipun aku merasa bahwa hubunganku dengan Raka semakin jauh, aku tidak tahu apakah ini—bertemu denganmu seperti ini—adalah sesuatu
"Ara, kau di mana sekarang?" Suara Adrian di ujung telepon terdengar tegas namun penuh perhatian, mengatasi suara derasnya hujan yang memukul trotoar.Ara memeluk tubuhnya sendiri, menggigil di bawah kanopi kecil di depan sebuah toko yang sudah tutup. Hujan turun begitu deras sejak satu jam yang lalu, membanjiri jalanan dan membuat udara malam menjadi dingin menggigit."Aku... aku masih di sini," jawabnya dengan suara gemetar. "Di depan toko dekat stasiun. Hujannya terlalu deras, aku tidak bisa ke mana-mana.""Aku akan datang," kata Adrian tanpa ragu. "Tunggu di sana."Ara hendak menolak, tetapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, panggilan sudah terputus. Ia menatap teleponnya dengan perasaan campur aduk.Setengah dari dirinya ingin mengatakan bahwa ia tidak membutuhkan pertolongan, tetapi separuh lainnya lega mengetahui bahwa Adrian akan segera datang.Hujan semakin deras ketika lampu depan mobil Adrian menyinari jalan sempit it
"Ara," Adrian memanggil dengan suara lembut, tetapi ada nada yang lebih serius dalam panggilannya kali ini. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam di sebuah restoran kecil, jauh dari pusat kota, tempat mereka bisa berbicara tanpa khawatir dilihat oleh siapa pun.Ara menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Adrian yang teduh tetapi tajam. "Ya?" jawabnya pelan, masih mencoba memahami perubahan dalam ekspresi pria itu."Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," kata Adrian, matanya tetap fokus pada wajah Ara. "Ikutlah denganku."Ara ragu sejenak. Di dalam dirinya, berbagai pertanyaan berputar: ke mana Adrian akan membawanya? Apa yang ia maksud? Tetapi sebelum ia sempat menolak, Adrian sudah berdiri, menyodorkan tangan kepadanya."Percayalah padaku," katanya, senyum kecil muncul di sudut bibirnya.Ara mengangguk perlahan. Ia mengambil tangan Adrian, merasakan kehangatan yang menyebar dari sentuhan itu, lalu membiarkan dirinya dibimbing keluar dari rest
"Ara, kau yakin baik-baik saja?" suara Adrian membuyarkan lamunan Ara saat mereka berada di dalam mobil yang berhenti di depan rumahnya. Malam itu, suasana di antara mereka terasa lebih berat dari biasanya, seperti ada sesuatu yang ingin diucapkan tetapi tertahan.Ara menoleh, menatap wajah Adrian yang diterangi cahaya remang dari dashboard. Ada kekhawatiran di matanya, tetapi juga kehangatan yang membuat Ara merasa nyaman sekaligus terganggu. Ia mengangguk pelan, mencoba tersenyum meskipun hatinya bergejolak."Aku baik-baik saja," jawab Ara dengan suara rendah, meski ia tahu itu jauh dari kebenaran.Adrian tidak tampak yakin, tetapi ia tidak memaksa. "Kalau ada sesuatu yang ingin kau bicarakan, Ara, kau tahu aku ada di sini, kan?"Kata-kata itu membuat hati Ara bergetar. Ia tahu bahwa Adrian tulus, tetapi justru itulah yang membuat segalanya lebih sulit. "Aku tahu," katanya akhirnya. "Terima kasih, Adrian. Untuk semuanya."Adrian hanya mengangguk,
Ara memandangi ruang tamu rumah kecilnya dengan pandangan kosong. Cahaya pagi yang masuk melalui celah tirai menciptakan bayangan lembut di lantai, tetapi kehangatan sinar matahari itu tidak mampu mengusir dingin yang ia rasakan dalam hatinya.Setelah malam yang penuh kebingungan bersama Adrian, ia merasa seperti dua dunia sedang menariknya ke arah yang berlawanan."Aku tidak bisa terus seperti ini," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tenggelam oleh keheningan rumah itu.Raka baru saja pergi untuk bekerja, meninggalkan tumpukan pakaian kotor dan meja makan yang penuh dengan remah roti. Ara memutuskan untuk membereskan rumah, berharap aktivitas itu bisa mengalihkan pikirannya meski hanya sejenak.Tetapi saat ia membuka laci di lemari tua di ruang t
"Apa kau percaya, Ara," suara Adrian terdengar tenang namun menusuk keheningan malam, "bahwa seseorang bisa menemukan dirinya yang sebenarnya melalui orang lain?"Pertanyaan itu menghentikan langkah Ara yang sedang berdiri di dekat jendela ruang tamu rumah Adrian. Ia memandang keluar, mencoba mencari ketenangan di balik pemandangan hujan yang perlahan berhenti.Namun, kata-kata Adrian seperti membawa badai ke dalam pikirannya."Aku tidak tahu," jawab Ara pelan, memutar tubuhnya untuk menatap Adrian yang duduk di sofa. Pria itu tampak santai, tetapi ada ketegangan di matanya yang tidak bisa ia sembunyikan. "Aku rasa... kita menemukan siapa diri kita dari pilihan-pilihan yang kita buat."Adrian mengangguk pelan, seolah menyerap jawaban itu. "Lalu, apa pilihan yang membuatmu merasa seperti dirimu sendiri, Ara?" tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih lembut, hampir seperti bisikan.Ara terdiam. Pertanyaan itu menusuk tepat ke inti kebingungannya.
"Aku tidak tahu bagaimana kau bisa selalu terlihat begitu tenang," kata Ara sambil menatap Adrian. Mereka sedang duduk di teras rumah Adrian, menikmati segelas teh di sore yang cerah.Udara segar membawa aroma tanah basah setelah hujan, dan cahaya matahari yang lembut memantulkan sinarnya di jendela besar di belakang mereka.Adrian tersenyum tipis, senyuman yang seolah menyimpan rahasia dunia. Ia memandang Ara dengan mata yang penuh ketenangan, tetapi juga menyalurkan kehangatan yang sulit diabaikan."Mungkin karena aku sudah belajar untuk tidak mencoba mengendalikan segalanya," jawabnya akhirnya, nada suaranya rendah tetapi penuh makna.Ara mengalihkan pandangannya ke cangkir di tangannya, mencoba menghindari tatapan Adrian yang begitu dalam. Tetapi senyuman
Ara duduk di ruang tamu Adrian, tangannya memegang cangkir teh hangat yang uapnya melayang lembut di udara. Sore itu, hujan kembali turun, membasahi kota dengan ritme yang menenangkan.Suasana di rumah Adrian terasa hangat, tetapi di antara mereka, ada ketegangan yang sulit dijelaskan—sesuatu yang tidak bisa lagi mereka abaikan.Adrian duduk di sofa seberang, tatapannya tidak pernah benar-benar meninggalkan wajah Ara. Ia tampak lebih pendiam dari biasanya, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang sulit untuk diucapkan."Kau ingin mengatakan sesuatu, Adrian?" tanya Ara akhirnya, memecah keheningan. Suaranya pelan, tetapi penuh dengan rasa ingin tahu yang hati-hati.Adrian mengangguk, menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke belakang. "Ara," katanya,
"Apa kau pernah merasa seperti sedang berjalan di atas tali, Adrian?" Ara bertanya sambil menatap cangkir kopi di tangannya. Mereka sedang duduk di teras belakang rumah Adrian, suasana senyap kecuali suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin sore.Pertanyaan itu keluar dengan nada pelan, tetapi penuh beban.Adrian menatapnya, memiringkan kepalanya sedikit, ekspresinya penuh perhatian. "Apa maksudmu, Ara?"Ara menghela napas panjang, menatap ke arah taman kecil di belakang rumah Adrian yang ditata dengan rapi. "Aku merasa seperti aku sedang berjalan di atas tali yang sangat tipis. Satu langkah salah, dan aku akan jatuh."Adrian tidak langsung menjawab. Ia menunggu, membiarkan Ara melanjutkan."Aku tahu apa yang aku ras
Dini hari itu, hujan mengguyur dengan deras, menciptakan simfoni monoton di atap apartemen Ara. Ara terbangun dengan suara ketukan keras di pintu. Bukan suara lembut yang biasa Adrian buat, melainkan ketukan kasar, mendesak, yang memaksa denyut nadinya melonjak cepat.Ia duduk di ranjang, menatap pintu dengan mata yang masih mengantuk, tetapi tubuhnya kaku oleh kecemasan. Siapa yang akan datang pada jam seperti ini?Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras.“Ara! Buka pintunya!”Suaranya membuat tubuh Ara gemetar. Itu Raka.Ia segera berdiri, mengenakan cardigan untuk melawan dinginnya malam. Dengan langkah ragu, Ara menuju pintu. Tangannya sudah di kenop pintu ketika sebuah pikiran melintas: jangan lakukan ini. Jangan buka pintu itu.“Aku tahu kau di sana!” Raka berteriak, suaranya serak oleh marah. “Ara! Kalau kau tidak buka pintu ini sekarang, aku akan—”Tiba-tiba, suara lift berbunyi. Langk
Heningnya ruang kerja Adrian pecah oleh suara langkah kakinya yang mantap. Ia berjalan mondar-mandir di lantai kayu yang mengilap, dengan ponsel yang ditempelkan di telinganya. Cahaya dari lampu gantung di langit-langit memantulkan sorotan lembut ke wajahnya yang tegang.“Tidak, aku tidak peduli soal prosedur biasa,” katanya, suaranya dingin dan tajam. “Pastikan surat perintah itu dikeluarkan secepatnya. Aku ingin dia tidak bisa mendekati Ara sejauh apa pun.”Adrian memutus panggilan tanpa menunggu jawaban dari seberang, lalu melempar ponsel itu ke atas meja. Ia memijit pelipisnya, menarik napas panjang seolah mencoba menenangkan badai di dadanya. Matanya gelap, penuh ketegangan yang sulit disembunyikan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Adrian menoleh. Ara berdiri di sana, tubuhnya diselimuti cardigan tipis, dan ekspresinya cemas.“Aku mengetuk beberapa kali,” kata Ara, suaranya pelan. “Kau tidak mendengar?&rd
Ara terbangun dengan detak jantung yang berdentum kencang. Suara notifikasi dari ponsel di samping ranjang kecilnya masih bergema di kepala. Udara dingin pagi menyelinap melalui celah gorden, tetapi keringat dingin justru membasahi pelipisnya.Ia meraih ponsel itu dengan tangan gemetar, layar yang terang memantulkan bayangannya yang lelah. Ada pesan baru, dan nama pengirimnya membuat perut Ara terasa seperti diaduk-aduk.Raka.Pesan itu singkat, tapi setiap kata terasa seperti belati yang menghujam dadanya.“Kalau kau tidak kembali, aku pastikan semuanya berantakan untukmu. Jangan coba-coba melarikan diri dari ini. Kau tahu aku serius, Ara.”Jari-jari Ara perlahan melemah. Ponsel itu nyaris terjatuh dari tangannya. Pesan itu tidak hanya mengancam dirinya, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—kedamaian kecil yang baru saja ia temukan.Di luar, langit mulai memudar dari kelam menjadi abu-abu. Tetapi ruangan
Suara ketukan halus di pintu memecah keheningan. Ara, yang sedang mengaduk saus tomat di panci, menoleh cepat. Sekilas ia melihat cipratan kecil saus menetes ke atas meja marmer, tapi pikirannya teralih oleh ketukan itu.“Sebentar,” serunya, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang tiba-tiba menyeruak.Ia membuka pintu, dan Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja putih sederhana yang lengannya tergulung hingga siku. Wajahnya tampak tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan—seperti kerikil kecil yang membuat riak di air yang tenang.“Aku hanya ingin memastikan kau tidak melupakan makan siang,” katanya ringan sambil melangkah masuk, tanpa menunggu izin.Ara tersenyum kecil, lalu menunjuk panci di dapur. “Aku sedang memasak, Adrian. Kalau aku lupa makan, itu artinya aku gagal menjadi—” Ia menghentikan kata-katanya, merasakan nada itu terlalu berbahaya untuk dilanjutkan.
"Ara, aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu."Suara Adrian terdengar tegas namun hangat saat ia duduk di seberang Ara. Tatapannya tajam, penuh determinasi, tetapi ada kelembutan yang menyelip di sana—perpaduan perlindungan dan kasih sayang.Mereka duduk di meja makan kecil di kabin, sisa-sisa makan malam masih berserakan di atas meja. Ara menatap Adrian, matanya dipenuhi kekhawatiran. Tapi jauh di balik itu, ada kepercayaan yang mulai tumbuh, sebuah keyakinan yang perlahan-lahan menguat.“Tapi dia tidak akan berhenti, Adrian,” bisik Ara, suaranya pelan namun bergetar dengan ketakutan yang nyata. “Raka tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.”Adrian mengepalkan tangannya di atas meja, berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap langsung ke mata Ara.“Kalau begitu, aku akan memastikan dia tidak mendapatkan kesempatan. Aku sudah berbicara
Adrian memegang telepon dengan erat, menatap dinding kayu kabin yang diterangi lampu temaram. Suara di seberang sana membuat darahnya mendidih, meskipun ia berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali.“Adrian, kamu pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku selamanya?” suara Raka terdengar dingin, penuh amarah yang terpendam. Adrian melirik ke ruang kerja, di mana Ara tengah sibuk menulis. Ia mundur beberapa langkah ke sudut kabin, memastikan percakapan ini tidak terdengar oleh Ara.“Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan,” jawab Adrian, mencoba membuat suaranya tetap tegas. “Tapi aku sarankan kamu berhenti mencari masalah.”Tawa kecil terdengar dari Raka, tetapi tanpa humor—hanya sisa-sisa dari seseorang yang terobsesi dan penuh kepahitan. “Jangan berpura-pura bodoh. Aku tahu dia bersamamu. Kamu mencuri istriku, dan kamu pikir aku akan membiarkan itu?”Adrian mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir
Raka duduk di ruang tamu apartemennya yang berantakan. Botol-botol minuman kosong berserakan di lantai, menjadi saksi bisu malam-malam panjang yang ia habiskan dalam kekacauan pikiran. Matanya merah, wajahnya kusut, seperti seseorang yang tak pernah benar-benar beristirahat.Di meja kecil di depannya, sebuah surat tergeletak terbuka. Itu adalah surat dari Ara, dan setiap kali ia membacanya, kata-katanya seperti menguliti hatinya."Aku pergi bukan karena aku tidak pernah mencintaimu, tetapi karena aku akhirnya menyadari bahwa aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu."Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Bukan hanya karena Ara telah meninggalkannya, tetapi karena ia tahu, dalam-dalam, ada kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. Selama ini, ia tidak hanya kehilangan Ara; ia juga menghancurkan sesuatu yang dulu menjadi inti dari dirinya.Raka tidak pernah tahu bagaimana harus menjaga apa yang berharga, dan kini, semua itu telah lepas dari
“Adrian, aku rasa... aku ingin mencoba bekerja lagi.”Ara duduk di bangku kayu di teras kabin, memandangi hutan yang terbentang di depannya. Udara pagi membawa aroma segar tanah basah setelah hujan malam sebelumnya. Ia menggenggam secangkir teh di kedua tangannya, mencoba menenangkan debaran kecil di dadanya saat ia menyuarakan keinginan yang baru tumbuh.Adrian, yang sedang menyiram tanaman kecil di samping kabin, menoleh dengan senyum hangat. “Itu ide yang bagus, Ara. Kamu sudah lama memikirkan ini?”Ara mengangguk perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Aku rasa aku butuh sesuatu untuk menyibukkan diri, sesuatu yang membuatku merasa produktif. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.”
“Ara, lihat ini.”Adrian berdiri di dekat jendela kabin, pandangannya tertuju ke arah hutan yang mulai diterangi cahaya pagi. Matahari baru saja terbit, sinarnya lembut menembus sela-sela pepohonan yang basah oleh embun. Di kejauhan, seekor rusa muncul dengan gerakan anggun, melangkah perlahan di antara dedaunan.Ara, yang baru saja selesai menyeduh teh, mendekati jendela dengan hati-hati. Wajahnya dipenuhi kehangatan saat ia melihat pemandangan itu. “Indah sekali,” bisiknya, seolah takut mengganggu ketenangan pagi.Dalam tatapannya, ada rasa kagum yang sudah lama tidak ia rasakan—sebuah kedamaian yang hampir asing baginya.Adrian melirik Ara, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Aku ingin setiap pagi seperti ini untukmu, Ara. Tenang, damai, tanpa rasa takut.”Ara menoleh ke arah Adrian, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. “Ini seperti mimpi. Aku tidak pernah membayangkan bisa merasakan ketenan