"Ara, sebelum kita lanjut, aku ingin memastikan bahwa kau memahami semua ketentuannya."
Adrian duduk di kursi kulit hitam di ruang kerjanya yang luas, meja kayu mahoni yang besar memisahkan mereka. Di atas meja itu, sebuah dokumen kontrak terletak terbuka, dengan pena mewah mengilap di sisinya.
Tatapan Adrian terfokus pada Ara, seperti seorang pengacara yang ingin memastikan kliennya benar-benar paham apa yang sedang terjadi.
Ara, yang duduk di kursi seberang, menggenggam tangan di pangkuannya. Ia berusaha menahan getaran kecil yang menjalar di jemarinya. Ruang itu terasa sunyi, hanya suara jarum jam yang samar terdengar dari sudut ruangan.
Dinding kaca di belakang Adrian memamerkan pemandangan langit Jakarta yang mulai gelap.
"Aku sudah membaca semuanya," jawab Ara dengan nada pelan, tetapi mantap. Matanya menatap dokumen itu dengan tekun, seolah-olah mempelajari setiap barisnya lagi meskipun ia sudah hafal isinya.
"Bagus," ujar Adrian, mengangguk pelan. Ia menyilangkan jari-jarinya di atas meja, posturnya santai tetapi penuh kendali.
"Hanya untuk memperjelas, ini adalah kontrak profesional. Tidak ada kewajiban di luar peran yang sudah kita sepakati. Kau adalah pendampingku di berbagai acara. Apa pun yang terjadi di luar acara itu, adalah urusan pribadimu."
Ara mengangguk, meskipun perasaan aneh masih menyelimuti dirinya. "Jadi... tidak ada batasan tentang hidupku di luar hubungan ini?"
Adrian tersenyum kecil, seolah menemukan pertanyaan itu menarik. "Tidak ada. Hidup pribadimu tetap milikmu. Aku tidak akan mencampurinya, kecuali jika itu berpotensi memengaruhi kesepakatan kita."
Ara menggigit bibir bawahnya, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mulai merayap. Ia tahu ini adalah kesempatan untuk menyelamatkan keluarganya, tetapi hatinya masih dipenuhi dengan pertanyaan yang belum terjawab.
"Dan," Adrian melanjutkan, nadanya menjadi lebih serius, "satu hal lagi. Hubungan ini hanya ada di depan publik. Aku tidak mengharapkan—dan tidak akan memaksakan—apa pun yang bersifat pribadi di luar itu."
Mendengar kata-kata itu, Ara merasakan sedikit kelegaan. Namun, tatapan Adrian yang tetap fokus padanya membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang lebih dalam yang tidak diungkapkan. Ia mengangguk lagi, kali ini lebih mantap.
"Kalau begitu, aku rasa kita sudah sepakat," kata Adrian sambil meraih pena dan menyerahkannya kepada Ara. "Tandatangani di sini."
Ara mengambil pena itu, jari-jarinya sedikit gemetar. Matanya tertuju pada tanda tangan Adrian yang sudah tertulis di bagian bawah dokumen. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum akhirnya menandatangani namanya di atas kertas.
Saat tinta menyentuh halaman terakhir, Ara merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Sebuah titik akhir, sekaligus awal baru. Ia baru saja menutup satu bab hidupnya dan membuka yang lain—bab yang penuh ketidakpastian.
Adrian mengambil dokumen itu, memeriksanya dengan saksama sebelum mengangguk puas. "Selamat datang dalam kesepakatan ini, Ara," katanya, senyumnya kembali muncul. "Kita akan mulai minggu depan."
Malam itu, Ara pulang dengan perasaan campur aduk. Angin malam yang dingin menyambutnya ketika ia turun dari mobil Adrian di depan rumahnya. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki rumah, membawa beban pikiran yang terus menghantui.
Di ruang tamu, Raka sedang duduk di sofa dengan mata terpaku pada layar televisi. Ia menoleh ketika Ara masuk, tetapi hanya sekilas, sebelum kembali memusatkan perhatian pada acara yang sedang ia tonton.
"Kau pulang terlambat," komentarnya, tanpa nada marah tetapi juga tanpa kehangatan.
"Aku ada urusan kerja," jawab Ara singkat. Ia melepaskan sepatu dan menggantung tasnya di gantungan dekat pintu. Raka tidak bertanya lebih lanjut, seolah-olah apa pun yang Ara lakukan tidak cukup penting untuk didiskusikan.
Ara menghela napas panjang. Ia tahu Raka sedang berusaha, tetapi hubungan mereka semakin terasa seperti rutinitas yang kosong. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada pelukan penyambut. Hanya keheningan yang semakin mengisi ruang di antara mereka.
Hari pertama dalam kontrak resmi mereka tiba dengan cepat. Ara menerima undangan untuk menghadiri sebuah gala amal, kali ini lebih besar dari acara sebelumnya.
Adrian mengirimkan gaun yang memukau—gaun merah dengan potongan elegan yang memancarkan keberanian tetapi tetap menjaga kesopanan. Ara berdiri di depan cermin di kamarnya, mengenakan gaun itu, mencoba mengenali wanita yang ia lihat di sana.
Wanita itu tampak berbeda dari dirinya yang biasa. Gaun itu tidak hanya membalut tubuhnya, tetapi juga memberinya aura yang selama ini tidak ia sadari ia miliki—keanggunan, kekuatan, dan sedikit keberanian.
Ketika Adrian tiba untuk menjemputnya, ia mengamati Ara dari kepala hingga kaki dengan tatapan yang sulit ditebak. "Kau tampak... luar biasa," katanya, suaranya lebih pelan dari biasanya.
Ara tersenyum tipis, meskipun rasa canggung masih ada. "Terima kasih. Gaun ini pilihanmu, jadi mungkin itu pujian untuk dirimu sendiri."
Adrian tersenyum kecil, tetapi tidak menjawab. Sebaliknya, ia membukakan pintu mobil untuknya dan membiarkannya masuk sebelum ia mengikuti dari sisi lain.
Gala malam itu berlangsung di sebuah gedung megah dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal yang memancarkan kemewahan. Para tamu, yang terdiri dari tokoh-tokoh terkenal, politikus, dan pengusaha, bercampur dalam suasana elegan.
Adrian berjalan di samping Ara, memimpin dengan tenang, sementara Ara berusaha menyesuaikan dirinya dengan dunia yang terasa begitu jauh dari kehidupannya sehari-hari.
Mereka bertemu dengan beberapa kolega Adrian, yang memperkenalkan diri mereka dengan senyum sopan tetapi penuh rasa ingin tahu. Ara merasa seperti sedang diperhatikan di bawah mikroskop, setiap gerakannya dianalisis oleh mata-mata tajam di ruangan itu.
Namun, setiap kali Ara mulai merasa gugup, Adrian akan menyentuh lengannya dengan lembut—sentuhan yang cukup untuk menenangkannya tetapi tidak mencolok. Itu adalah pengingat bahwa ia tidak sendirian.
Di tengah malam, seorang pria paruh baya mendekati mereka. Rambutnya keperakan, dan senyumnya yang lebar terlihat tidak sepenuhnya tulus. Ia menyapa Adrian dengan nada santai, tetapi matanya tertuju pada Ara.
"Jadi, ini pendamping barumu?" tanyanya, suaranya dipenuhi nada sindiran yang halus. "Kau selalu punya selera yang bagus, Adrian."
Adrian tersenyum kecil, tetapi matanya tetap dingin. "Ara adalah tamu kehormatanku malam ini. Kuharap kau bisa bersikap sopan."
Pria itu terkekeh, tetapi kemudian melangkah lebih dekat ke Ara, seolah ingin menguji batasan. "Kau tahu, Adrian bukan pria biasa, Nona. Jika kau ada di sini bersamanya, itu berarti kau cukup istimewa."
Ara merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Tatapan pria itu membuatnya merasa tidak nyaman, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Saya hanya di sini untuk mendukungnya," katanya singkat, dengan senyum kecil yang ia paksakan.
Adrian segera melangkah maju, tubuhnya sedikit menghalangi pria itu dari Ara. "Cukup, Victor," katanya dengan nada yang dingin tetapi tegas. "Kami masih punya banyak tamu untuk ditemui."
Pria itu mengangkat tangan, seolah meminta maaf. "Baik, baik. Jangan terlalu serius, Adrian. Kita lihat saja bagaimana ini berjalan." Dengan senyum liciknya, ia melangkah pergi, meninggalkan mereka.
Adrian menoleh pada Ara, matanya penuh perhatian. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.
Ara mengangguk, meskipun tangannya sedikit gemetar. "Aku baik-baik saja. Hanya... dia membuatku merasa tidak nyaman."
Adrian menghela napas, seolah menyesali sesuatu. "Dia hanya seseorang dari masa lalu yang tidak perlu kau pikirkan. Tapi jika dia mengganggumu lagi, beri tahu aku."
Malam itu berakhir dengan sukses, tetapi kejadian dengan Victor terus terngiang di kepala Ara. Ia tahu bahwa kontrak ini hanyalah permulaan, dan dunia Adrian ternyata jauh lebih kompleks dan penuh intrik daripada yang pernah ia bayangkan.
Ketika ia pulang malam itu, Ara merasa bahwa sesuatu yang lebih besar sedang menantinya. Dan meskipun ia tidak tahu apa itu, ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
"Jadi, apa kau selalu secanggung ini saat diajak makan malam?" suara Adrian terdengar lembut tetapi penuh canda, memecah keheningan di antara mereka.Ara mendongak dari piringnya, menatap Adrian dengan sedikit malu. Ia mencoba tersenyum, meskipun gugup jelas terlihat di matanya. "Maaf, aku... aku tidak terbiasa dengan ini," jawabnya jujur. Matanya beralih ke sekeliling restoran yang berkilauan oleh lampu kristal. Semua terasa terlalu mewah, terlalu jauh dari kehidupannya yang biasa.Adrian tersenyum kecil, mengangkat gelas anggurnya tetapi tidak langsung meminumnya. "Tak perlu minta maaf. Aku justru menyukai itu."Ara mengerutkan kening. "Menyukai apa?""Kejujuranmu," jawab Adrian tanpa ragu. Ia meletakkan gelasnya, tatapannya tertuju langsung pada Ara, seolah ingin memastikan bahwa setiap kata yang ia ucapkan benar-benar sampai padanya. "Kau tidak mencoba menjadi seseorang yang bukan dirimu, dan itu sesuatu yang langka."Ara tersipu, wajahnya memerah. Ia merasa seperti seorang gadi
"Adrian..." Ara memanggil perlahan, suara lembutnya hampir tenggelam dalam keheningan di dalam mobil yang melaju membelah malam. Adrian, yang tengah fokus pada jalanan, melirik sekilas ke arahnya."Ada apa?" tanyanya, nada suaranya tetap tenang, seperti biasa.Ara menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang berputar-putar di benaknya sejak makan malam mereka. "Aku hanya ingin tahu... bagaimana menurutmu sebuah cinta bisa bertahan? Maksudku, jika semua di dunia ini terus berubah, apa yang membuat cinta tetap ada?"Adrian terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan jawaban yang tepat. "Cinta bertahan bukan karena waktu," katanya akhirnya, matanya tetap tertuju ke depan. "Tapi karena pilihan. Setiap hari, kau harus memilih untuk tetap mencintai seseorang, meskipun dunia seolah memberimu alasan untuk menyerah."Jawabannya membuat Ara terdiam, hatinya terasa seperti tertusuk sesuatu yang halus tetapi menyakitkan. Kata-kata Adrian menggema di pikirannya, membuatnya tak bisa mengabaikan r
"Kau selalu menggigit bibirmu seperti itu saat gugup?"Pertanyaan Adrian memecah konsentrasi Ara yang sedang memandang secarik menu di tangannya. Ia mendongak, sedikit bingung, lalu menyadari bahwa bibir bawahnya sedang ia gigit tanpa sadar. Wajahnya memerah seketika."Aku tidak sadar," jawabnya cepat, mencoba menutupi rasa malunya. Tangannya segera turun ke pangkuan, menggenggam erat serbet kain yang tertata rapi di sana.Adrian tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur dalam kegugupan Ara. "Aku hanya memperhatikan," katanya dengan nada santai. "Kebiasaan kecil seperti itu seringkali yang paling jujur. Itu memberitahu banyak tentang seseorang."Ara menunduk, berusaha fokus kembali pada menu di tangannya. Namun, tatapan Adrian tetap tertuju padanya, memberikan sensasi bahwa ia sedang benar-benar dilihat—bukan hanya sebagai bagian dari kesepakatan, tetapi sebagai individu. Sensasi itu membuat Ara merasa hangat, sekaligus bingung.Malam itu, mereka sedang duduk di sebuah
"Kenapa kau tidak pernah bertanya lebih banyak tentangku?" tanya Adrian tiba-tiba, memecah keheningan yang mengisi ruang di antara mereka. Suaranya terdengar lembut, tetapi ada nada penasaran di dalamnya.Ara menatap Adrian dari seberang meja kecil di teras vila tempat mereka menghabiskan malam itu. Restoran tempat acara tadi berlangsung sudah sepi, tetapi Adrian, dengan gayanya yang khas, memutuskan untuk memesan teh di teras terbuka ini, di bawah langit yang penuh bintang. Aroma teh melati memenuhi udara, bercampur dengan embusan angin malam yang dingin."Aku tidak tahu harus bertanya apa," jawab Ara dengan jujur. "Kau tampak seperti orang yang... sulit ditebak. Mungkin aku takut mengganggu batasanmu."Adrian tertawa kecil, suara tawanya rendah dan berat. "Batasanku," ulangnya dengan senyum samar. "Kau tahu, Ara, kebanyakan orang menganggapku sulit didekati. Tapi aku tidak keberatan jika kau mencoba."Ara mengerutkan kening, sedikit ragu sebelum akhirnya berkata, "Kalau begitu, ken
"Ara," suara Raka terdengar tajam begitu Ara melangkah masuk ke ruang tamu. "Kau bisa menjelaskan kenapa belakangan ini kau lebih banyak di luar daripada di rumah?"Ara tertegun. Langkahnya yang semula ringan berubah berat. Ia menatap Raka yang duduk di sofa dengan postur tegang. Mata suaminya menyipit, penuh dengan kecurigaan yang tidak ia sembunyikan.Di meja kopi di depannya, ada secangkir kopi yang sudah dingin, menandakan bahwa Raka sudah menunggu cukup lama."Aku sudah bilang, aku bekerja," jawab Ara dengan nada hati-hati. Ia menurunkan tasnya ke atas meja kecil di dekat pintu. "Ada banyak hal yang harus aku urus.""Kerja?" Raka berdiri, melangkah mendekat dengan gerakan yang terlalu cepat, terlalu kasar. "Kerja seperti apa sampai kau harus pulang larut malam
Ara memandangi pesan yang baru saja ia kirimkan ke Adrian. Jari-jarinya masih menggenggam telepon dengan erat, sementara pikirannya terus bergolak.Hati kecilnya mengatakan bahwa ini adalah langkah yang berbahaya, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa hanya Adrian yang bisa memberinya sedikit ketenangan di tengah kekacauan yang melanda hidupnya.Teleponnya berbunyi. Nama Adrian muncul di layar, membuat jantung Ara berdetak lebih cepat. Ia tertegun sejenak, meragu, sebelum akhirnya menekan tombol hijau."Halo?" suaranya terdengar serak, lemah."Ara," suara Adrian di ujung telepon begitu lembut tetapi penuh perhatian. "Apa kau baik-baik saja?"Ara menutup matanya, merasakan kehangatan dalam nada suara Adrian. "Aku... tidak t
"Aku tidak tahu apakah ini ide yang baik," kata Ara pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara mesin kopi di kafe kecil itu. Ia duduk di sudut ruangan dengan kepala sedikit tertunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya dari pandangan siapa pun yang mungkin mengenalnya.Adrian, yang duduk di seberangnya, menatapnya dengan tenang. Cangkir kopinya masih penuh, dan tangan kanannya menyentuh tepi cangkir itu, tetapi ia tidak meminumnya. "Kenapa tidak?" tanyanya, nada suaranya lembut tetapi penuh perhatian.Ara menghela napas, menatap ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan jalanan Jakarta yang ramai."Karena ini terasa salah," jawabnya akhirnya. "Aku... aku seorang istri, Adrian. Dan meskipun aku merasa bahwa hubunganku dengan Raka semakin jauh, aku tidak tahu apakah ini—bertemu denganmu seperti ini—adalah sesuatu
"Ara, kau di mana sekarang?" Suara Adrian di ujung telepon terdengar tegas namun penuh perhatian, mengatasi suara derasnya hujan yang memukul trotoar.Ara memeluk tubuhnya sendiri, menggigil di bawah kanopi kecil di depan sebuah toko yang sudah tutup. Hujan turun begitu deras sejak satu jam yang lalu, membanjiri jalanan dan membuat udara malam menjadi dingin menggigit."Aku... aku masih di sini," jawabnya dengan suara gemetar. "Di depan toko dekat stasiun. Hujannya terlalu deras, aku tidak bisa ke mana-mana.""Aku akan datang," kata Adrian tanpa ragu. "Tunggu di sana."Ara hendak menolak, tetapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, panggilan sudah terputus. Ia menatap teleponnya dengan perasaan campur aduk.Setengah dari dirinya ingin mengatakan bahwa ia tidak membutuhkan pertolongan, tetapi separuh lainnya lega mengetahui bahwa Adrian akan segera datang.Hujan semakin deras ketika lampu depan mobil Adrian menyinari jalan sempit it
Dini hari itu, hujan mengguyur dengan deras, menciptakan simfoni monoton di atap apartemen Ara. Ara terbangun dengan suara ketukan keras di pintu. Bukan suara lembut yang biasa Adrian buat, melainkan ketukan kasar, mendesak, yang memaksa denyut nadinya melonjak cepat.Ia duduk di ranjang, menatap pintu dengan mata yang masih mengantuk, tetapi tubuhnya kaku oleh kecemasan. Siapa yang akan datang pada jam seperti ini?Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras.“Ara! Buka pintunya!”Suaranya membuat tubuh Ara gemetar. Itu Raka.Ia segera berdiri, mengenakan cardigan untuk melawan dinginnya malam. Dengan langkah ragu, Ara menuju pintu. Tangannya sudah di kenop pintu ketika sebuah pikiran melintas: jangan lakukan ini. Jangan buka pintu itu.“Aku tahu kau di sana!” Raka berteriak, suaranya serak oleh marah. “Ara! Kalau kau tidak buka pintu ini sekarang, aku akan—”Tiba-tiba, suara lift berbunyi. Langk
Heningnya ruang kerja Adrian pecah oleh suara langkah kakinya yang mantap. Ia berjalan mondar-mandir di lantai kayu yang mengilap, dengan ponsel yang ditempelkan di telinganya. Cahaya dari lampu gantung di langit-langit memantulkan sorotan lembut ke wajahnya yang tegang.“Tidak, aku tidak peduli soal prosedur biasa,” katanya, suaranya dingin dan tajam. “Pastikan surat perintah itu dikeluarkan secepatnya. Aku ingin dia tidak bisa mendekati Ara sejauh apa pun.”Adrian memutus panggilan tanpa menunggu jawaban dari seberang, lalu melempar ponsel itu ke atas meja. Ia memijit pelipisnya, menarik napas panjang seolah mencoba menenangkan badai di dadanya. Matanya gelap, penuh ketegangan yang sulit disembunyikan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Adrian menoleh. Ara berdiri di sana, tubuhnya diselimuti cardigan tipis, dan ekspresinya cemas.“Aku mengetuk beberapa kali,” kata Ara, suaranya pelan. “Kau tidak mendengar?&rd
Ara terbangun dengan detak jantung yang berdentum kencang. Suara notifikasi dari ponsel di samping ranjang kecilnya masih bergema di kepala. Udara dingin pagi menyelinap melalui celah gorden, tetapi keringat dingin justru membasahi pelipisnya.Ia meraih ponsel itu dengan tangan gemetar, layar yang terang memantulkan bayangannya yang lelah. Ada pesan baru, dan nama pengirimnya membuat perut Ara terasa seperti diaduk-aduk.Raka.Pesan itu singkat, tapi setiap kata terasa seperti belati yang menghujam dadanya.“Kalau kau tidak kembali, aku pastikan semuanya berantakan untukmu. Jangan coba-coba melarikan diri dari ini. Kau tahu aku serius, Ara.”Jari-jari Ara perlahan melemah. Ponsel itu nyaris terjatuh dari tangannya. Pesan itu tidak hanya mengancam dirinya, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—kedamaian kecil yang baru saja ia temukan.Di luar, langit mulai memudar dari kelam menjadi abu-abu. Tetapi ruangan
Suara ketukan halus di pintu memecah keheningan. Ara, yang sedang mengaduk saus tomat di panci, menoleh cepat. Sekilas ia melihat cipratan kecil saus menetes ke atas meja marmer, tapi pikirannya teralih oleh ketukan itu.“Sebentar,” serunya, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang tiba-tiba menyeruak.Ia membuka pintu, dan Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja putih sederhana yang lengannya tergulung hingga siku. Wajahnya tampak tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan—seperti kerikil kecil yang membuat riak di air yang tenang.“Aku hanya ingin memastikan kau tidak melupakan makan siang,” katanya ringan sambil melangkah masuk, tanpa menunggu izin.Ara tersenyum kecil, lalu menunjuk panci di dapur. “Aku sedang memasak, Adrian. Kalau aku lupa makan, itu artinya aku gagal menjadi—” Ia menghentikan kata-katanya, merasakan nada itu terlalu berbahaya untuk dilanjutkan.
"Ara, aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu."Suara Adrian terdengar tegas namun hangat saat ia duduk di seberang Ara. Tatapannya tajam, penuh determinasi, tetapi ada kelembutan yang menyelip di sana—perpaduan perlindungan dan kasih sayang.Mereka duduk di meja makan kecil di kabin, sisa-sisa makan malam masih berserakan di atas meja. Ara menatap Adrian, matanya dipenuhi kekhawatiran. Tapi jauh di balik itu, ada kepercayaan yang mulai tumbuh, sebuah keyakinan yang perlahan-lahan menguat.“Tapi dia tidak akan berhenti, Adrian,” bisik Ara, suaranya pelan namun bergetar dengan ketakutan yang nyata. “Raka tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.”Adrian mengepalkan tangannya di atas meja, berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap langsung ke mata Ara.“Kalau begitu, aku akan memastikan dia tidak mendapatkan kesempatan. Aku sudah berbicara
Adrian memegang telepon dengan erat, menatap dinding kayu kabin yang diterangi lampu temaram. Suara di seberang sana membuat darahnya mendidih, meskipun ia berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali.“Adrian, kamu pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku selamanya?” suara Raka terdengar dingin, penuh amarah yang terpendam. Adrian melirik ke ruang kerja, di mana Ara tengah sibuk menulis. Ia mundur beberapa langkah ke sudut kabin, memastikan percakapan ini tidak terdengar oleh Ara.“Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan,” jawab Adrian, mencoba membuat suaranya tetap tegas. “Tapi aku sarankan kamu berhenti mencari masalah.”Tawa kecil terdengar dari Raka, tetapi tanpa humor—hanya sisa-sisa dari seseorang yang terobsesi dan penuh kepahitan. “Jangan berpura-pura bodoh. Aku tahu dia bersamamu. Kamu mencuri istriku, dan kamu pikir aku akan membiarkan itu?”Adrian mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir
Raka duduk di ruang tamu apartemennya yang berantakan. Botol-botol minuman kosong berserakan di lantai, menjadi saksi bisu malam-malam panjang yang ia habiskan dalam kekacauan pikiran. Matanya merah, wajahnya kusut, seperti seseorang yang tak pernah benar-benar beristirahat.Di meja kecil di depannya, sebuah surat tergeletak terbuka. Itu adalah surat dari Ara, dan setiap kali ia membacanya, kata-katanya seperti menguliti hatinya."Aku pergi bukan karena aku tidak pernah mencintaimu, tetapi karena aku akhirnya menyadari bahwa aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu."Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Bukan hanya karena Ara telah meninggalkannya, tetapi karena ia tahu, dalam-dalam, ada kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. Selama ini, ia tidak hanya kehilangan Ara; ia juga menghancurkan sesuatu yang dulu menjadi inti dari dirinya.Raka tidak pernah tahu bagaimana harus menjaga apa yang berharga, dan kini, semua itu telah lepas dari
“Adrian, aku rasa... aku ingin mencoba bekerja lagi.”Ara duduk di bangku kayu di teras kabin, memandangi hutan yang terbentang di depannya. Udara pagi membawa aroma segar tanah basah setelah hujan malam sebelumnya. Ia menggenggam secangkir teh di kedua tangannya, mencoba menenangkan debaran kecil di dadanya saat ia menyuarakan keinginan yang baru tumbuh.Adrian, yang sedang menyiram tanaman kecil di samping kabin, menoleh dengan senyum hangat. “Itu ide yang bagus, Ara. Kamu sudah lama memikirkan ini?”Ara mengangguk perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Aku rasa aku butuh sesuatu untuk menyibukkan diri, sesuatu yang membuatku merasa produktif. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.”
“Ara, lihat ini.”Adrian berdiri di dekat jendela kabin, pandangannya tertuju ke arah hutan yang mulai diterangi cahaya pagi. Matahari baru saja terbit, sinarnya lembut menembus sela-sela pepohonan yang basah oleh embun. Di kejauhan, seekor rusa muncul dengan gerakan anggun, melangkah perlahan di antara dedaunan.Ara, yang baru saja selesai menyeduh teh, mendekati jendela dengan hati-hati. Wajahnya dipenuhi kehangatan saat ia melihat pemandangan itu. “Indah sekali,” bisiknya, seolah takut mengganggu ketenangan pagi.Dalam tatapannya, ada rasa kagum yang sudah lama tidak ia rasakan—sebuah kedamaian yang hampir asing baginya.Adrian melirik Ara, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Aku ingin setiap pagi seperti ini untukmu, Ara. Tenang, damai, tanpa rasa takut.”Ara menoleh ke arah Adrian, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. “Ini seperti mimpi. Aku tidak pernah membayangkan bisa merasakan ketenan