Share

Bab 6: Kontrak Dimulai

Author: Rizki Adinda
last update Huling Na-update: 2024-11-13 17:29:17

"Ara, sebelum kita lanjut, aku ingin memastikan bahwa kau memahami semua ketentuannya."

Adrian duduk di kursi kulit hitam di ruang kerjanya yang luas, meja kayu mahoni yang besar memisahkan mereka. Di atas meja itu, sebuah dokumen kontrak terletak terbuka, dengan pena mewah mengilap di sisinya. 

Tatapan Adrian terfokus pada Ara, seperti seorang pengacara yang ingin memastikan kliennya benar-benar paham apa yang sedang terjadi.

Ara, yang duduk di kursi seberang, menggenggam tangan di pangkuannya. Ia berusaha menahan getaran kecil yang menjalar di jemarinya. Ruang itu terasa sunyi, hanya suara jarum jam yang samar terdengar dari sudut ruangan. 

Dinding kaca di belakang Adrian memamerkan pemandangan langit Jakarta yang mulai gelap.

"Aku sudah membaca semuanya," jawab Ara dengan nada pelan, tetapi mantap. Matanya menatap dokumen itu dengan tekun, seolah-olah mempelajari setiap barisnya lagi meskipun ia sudah hafal isinya.

"Bagus," ujar Adrian, mengangguk pelan. Ia menyilangkan jari-jarinya di atas meja, posturnya santai tetapi penuh kendali. 

"Hanya untuk memperjelas, ini adalah kontrak profesional. Tidak ada kewajiban di luar peran yang sudah kita sepakati. Kau adalah pendampingku di berbagai acara. Apa pun yang terjadi di luar acara itu, adalah urusan pribadimu."

Ara mengangguk, meskipun perasaan aneh masih menyelimuti dirinya. "Jadi... tidak ada batasan tentang hidupku di luar hubungan ini?"

Adrian tersenyum kecil, seolah menemukan pertanyaan itu menarik. "Tidak ada. Hidup pribadimu tetap milikmu. Aku tidak akan mencampurinya, kecuali jika itu berpotensi memengaruhi kesepakatan kita."

Ara menggigit bibir bawahnya, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mulai merayap. Ia tahu ini adalah kesempatan untuk menyelamatkan keluarganya, tetapi hatinya masih dipenuhi dengan pertanyaan yang belum terjawab.

"Dan," Adrian melanjutkan, nadanya menjadi lebih serius, "satu hal lagi. Hubungan ini hanya ada di depan publik. Aku tidak mengharapkan—dan tidak akan memaksakan—apa pun yang bersifat pribadi di luar itu."

Mendengar kata-kata itu, Ara merasakan sedikit kelegaan. Namun, tatapan Adrian yang tetap fokus padanya membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang lebih dalam yang tidak diungkapkan. Ia mengangguk lagi, kali ini lebih mantap.

"Kalau begitu, aku rasa kita sudah sepakat," kata Adrian sambil meraih pena dan menyerahkannya kepada Ara. "Tandatangani di sini."

Ara mengambil pena itu, jari-jarinya sedikit gemetar. Matanya tertuju pada tanda tangan Adrian yang sudah tertulis di bagian bawah dokumen. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum akhirnya menandatangani namanya di atas kertas.

Saat tinta menyentuh halaman terakhir, Ara merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Sebuah titik akhir, sekaligus awal baru. Ia baru saja menutup satu bab hidupnya dan membuka yang lain—bab yang penuh ketidakpastian.

Adrian mengambil dokumen itu, memeriksanya dengan saksama sebelum mengangguk puas. "Selamat datang dalam kesepakatan ini, Ara," katanya, senyumnya kembali muncul. "Kita akan mulai minggu depan."

Malam itu, Ara pulang dengan perasaan campur aduk. Angin malam yang dingin menyambutnya ketika ia turun dari mobil Adrian di depan rumahnya. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki rumah, membawa beban pikiran yang terus menghantui.

Di ruang tamu, Raka sedang duduk di sofa dengan mata terpaku pada layar televisi. Ia menoleh ketika Ara masuk, tetapi hanya sekilas, sebelum kembali memusatkan perhatian pada acara yang sedang ia tonton.

"Kau pulang terlambat," komentarnya, tanpa nada marah tetapi juga tanpa kehangatan.

"Aku ada urusan kerja," jawab Ara singkat. Ia melepaskan sepatu dan menggantung tasnya di gantungan dekat pintu. Raka tidak bertanya lebih lanjut, seolah-olah apa pun yang Ara lakukan tidak cukup penting untuk didiskusikan.

Ara menghela napas panjang. Ia tahu Raka sedang berusaha, tetapi hubungan mereka semakin terasa seperti rutinitas yang kosong. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada pelukan penyambut. Hanya keheningan yang semakin mengisi ruang di antara mereka.

Hari pertama dalam kontrak resmi mereka tiba dengan cepat. Ara menerima undangan untuk menghadiri sebuah gala amal, kali ini lebih besar dari acara sebelumnya. 

Adrian mengirimkan gaun yang memukau—gaun merah dengan potongan elegan yang memancarkan keberanian tetapi tetap menjaga kesopanan. Ara berdiri di depan cermin di kamarnya, mengenakan gaun itu, mencoba mengenali wanita yang ia lihat di sana.

Wanita itu tampak berbeda dari dirinya yang biasa. Gaun itu tidak hanya membalut tubuhnya, tetapi juga memberinya aura yang selama ini tidak ia sadari ia miliki—keanggunan, kekuatan, dan sedikit keberanian.

Ketika Adrian tiba untuk menjemputnya, ia mengamati Ara dari kepala hingga kaki dengan tatapan yang sulit ditebak. "Kau tampak... luar biasa," katanya, suaranya lebih pelan dari biasanya.

Ara tersenyum tipis, meskipun rasa canggung masih ada. "Terima kasih. Gaun ini pilihanmu, jadi mungkin itu pujian untuk dirimu sendiri."

Adrian tersenyum kecil, tetapi tidak menjawab. Sebaliknya, ia membukakan pintu mobil untuknya dan membiarkannya masuk sebelum ia mengikuti dari sisi lain.

Gala malam itu berlangsung di sebuah gedung megah dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal yang memancarkan kemewahan. Para tamu, yang terdiri dari tokoh-tokoh terkenal, politikus, dan pengusaha, bercampur dalam suasana elegan. 

Adrian berjalan di samping Ara, memimpin dengan tenang, sementara Ara berusaha menyesuaikan dirinya dengan dunia yang terasa begitu jauh dari kehidupannya sehari-hari.

Mereka bertemu dengan beberapa kolega Adrian, yang memperkenalkan diri mereka dengan senyum sopan tetapi penuh rasa ingin tahu. Ara merasa seperti sedang diperhatikan di bawah mikroskop, setiap gerakannya dianalisis oleh mata-mata tajam di ruangan itu.

Namun, setiap kali Ara mulai merasa gugup, Adrian akan menyentuh lengannya dengan lembut—sentuhan yang cukup untuk menenangkannya tetapi tidak mencolok. Itu adalah pengingat bahwa ia tidak sendirian.

Di tengah malam, seorang pria paruh baya mendekati mereka. Rambutnya keperakan, dan senyumnya yang lebar terlihat tidak sepenuhnya tulus. Ia menyapa Adrian dengan nada santai, tetapi matanya tertuju pada Ara.

"Jadi, ini pendamping barumu?" tanyanya, suaranya dipenuhi nada sindiran yang halus. "Kau selalu punya selera yang bagus, Adrian."

Adrian tersenyum kecil, tetapi matanya tetap dingin. "Ara adalah tamu kehormatanku malam ini. Kuharap kau bisa bersikap sopan."

Pria itu terkekeh, tetapi kemudian melangkah lebih dekat ke Ara, seolah ingin menguji batasan. "Kau tahu, Adrian bukan pria biasa, Nona. Jika kau ada di sini bersamanya, itu berarti kau cukup istimewa."

Ara merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Tatapan pria itu membuatnya merasa tidak nyaman, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Saya hanya di sini untuk mendukungnya," katanya singkat, dengan senyum kecil yang ia paksakan.

Adrian segera melangkah maju, tubuhnya sedikit menghalangi pria itu dari Ara. "Cukup, Victor," katanya dengan nada yang dingin tetapi tegas. "Kami masih punya banyak tamu untuk ditemui."

Pria itu mengangkat tangan, seolah meminta maaf. "Baik, baik. Jangan terlalu serius, Adrian. Kita lihat saja bagaimana ini berjalan." Dengan senyum liciknya, ia melangkah pergi, meninggalkan mereka.

Adrian menoleh pada Ara, matanya penuh perhatian. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pelan.

Ara mengangguk, meskipun tangannya sedikit gemetar. "Aku baik-baik saja. Hanya... dia membuatku merasa tidak nyaman."

Adrian menghela napas, seolah menyesali sesuatu. "Dia hanya seseorang dari masa lalu yang tidak perlu kau pikirkan. Tapi jika dia mengganggumu lagi, beri tahu aku."

Malam itu berakhir dengan sukses, tetapi kejadian dengan Victor terus terngiang di kepala Ara. Ia tahu bahwa kontrak ini hanyalah permulaan, dan dunia Adrian ternyata jauh lebih kompleks dan penuh intrik daripada yang pernah ia bayangkan.

Ketika ia pulang malam itu, Ara merasa bahwa sesuatu yang lebih besar sedang menantinya. Dan meskipun ia tidak tahu apa itu, ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 7: Kencan Pertama

    "Jadi, apa kau selalu secanggung ini saat diajak makan malam?" suara Adrian terdengar lembut tetapi penuh canda, memecah keheningan di antara mereka.Ara mendongak dari piringnya, menatap Adrian dengan sedikit malu. Ia mencoba tersenyum, meskipun gugup jelas terlihat di matanya. "Maaf, aku... aku tidak terbiasa dengan ini," jawabnya jujur. Matanya beralih ke sekeliling restoran yang berkilauan oleh lampu kristal. Semua terasa terlalu mewah, terlalu jauh dari kehidupannya yang biasa.Adrian tersenyum kecil, mengangkat gelas anggurnya tetapi tidak langsung meminumnya. "Tak perlu minta maaf. Aku justru menyukai itu."Ara mengerutkan kening. "Menyukai apa?""Kejujuranmu," jawab Adrian tanpa ragu. Ia meletakkan gelasnya, tatapannya tertuju langsung pada Ara, seolah ingin memastikan bahwa setiap kata yang ia ucapkan benar-benar sampai padanya. "Kau tidak mencoba menjadi seseorang yang bukan dirimu, dan itu sesuatu yang langka."Ara tersipu, wajahnya memerah. Ia merasa seperti seorang gadi

    Huling Na-update : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 8: Kilas Balik Cinta

    "Adrian..." Ara memanggil perlahan, suara lembutnya hampir tenggelam dalam keheningan di dalam mobil yang melaju membelah malam. Adrian, yang tengah fokus pada jalanan, melirik sekilas ke arahnya."Ada apa?" tanyanya, nada suaranya tetap tenang, seperti biasa.Ara menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang berputar-putar di benaknya sejak makan malam mereka. "Aku hanya ingin tahu... bagaimana menurutmu sebuah cinta bisa bertahan? Maksudku, jika semua di dunia ini terus berubah, apa yang membuat cinta tetap ada?"Adrian terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan jawaban yang tepat. "Cinta bertahan bukan karena waktu," katanya akhirnya, matanya tetap tertuju ke depan. "Tapi karena pilihan. Setiap hari, kau harus memilih untuk tetap mencintai seseorang, meskipun dunia seolah memberimu alasan untuk menyerah."Jawabannya membuat Ara terdiam, hatinya terasa seperti tertusuk sesuatu yang halus tetapi menyakitkan. Kata-kata Adrian menggema di pikirannya, membuatnya tak bisa mengabaikan r

    Huling Na-update : 2024-11-13
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 9: Perhatian yang Menghangatkan

    "Kau selalu menggigit bibirmu seperti itu saat gugup?"Pertanyaan Adrian memecah konsentrasi Ara yang sedang memandang secarik menu di tangannya. Ia mendongak, sedikit bingung, lalu menyadari bahwa bibir bawahnya sedang ia gigit tanpa sadar. Wajahnya memerah seketika."Aku tidak sadar," jawabnya cepat, mencoba menutupi rasa malunya. Tangannya segera turun ke pangkuan, menggenggam erat serbet kain yang tertata rapi di sana.Adrian tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur dalam kegugupan Ara. "Aku hanya memperhatikan," katanya dengan nada santai. "Kebiasaan kecil seperti itu seringkali yang paling jujur. Itu memberitahu banyak tentang seseorang."Ara menunduk, berusaha fokus kembali pada menu di tangannya. Namun, tatapan Adrian tetap tertuju padanya, memberikan sensasi bahwa ia sedang benar-benar dilihat—bukan hanya sebagai bagian dari kesepakatan, tetapi sebagai individu. Sensasi itu membuat Ara merasa hangat, sekaligus bingung.Malam itu, mereka sedang duduk di sebuah

    Huling Na-update : 2024-11-14
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 10: Ketulusan Adrian

    "Kenapa kau tidak pernah bertanya lebih banyak tentangku?" tanya Adrian tiba-tiba, memecah keheningan yang mengisi ruang di antara mereka. Suaranya terdengar lembut, tetapi ada nada penasaran di dalamnya.Ara menatap Adrian dari seberang meja kecil di teras vila tempat mereka menghabiskan malam itu. Restoran tempat acara tadi berlangsung sudah sepi, tetapi Adrian, dengan gayanya yang khas, memutuskan untuk memesan teh di teras terbuka ini, di bawah langit yang penuh bintang. Aroma teh melati memenuhi udara, bercampur dengan embusan angin malam yang dingin."Aku tidak tahu harus bertanya apa," jawab Ara dengan jujur. "Kau tampak seperti orang yang... sulit ditebak. Mungkin aku takut mengganggu batasanmu."Adrian tertawa kecil, suara tawanya rendah dan berat. "Batasanku," ulangnya dengan senyum samar. "Kau tahu, Ara, kebanyakan orang menganggapku sulit didekati. Tapi aku tidak keberatan jika kau mencoba."Ara mengerutkan kening, sedikit ragu sebelum akhirnya berkata, "Kalau begitu, ken

    Huling Na-update : 2024-11-14
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 11: Pertengkaran dengan Raka

    "Ara," suara Raka terdengar tajam begitu Ara melangkah masuk ke ruang tamu. "Kau bisa menjelaskan kenapa belakangan ini kau lebih banyak di luar daripada di rumah?"Ara tertegun. Langkahnya yang semula ringan berubah berat. Ia menatap Raka yang duduk di sofa dengan postur tegang. Mata suaminya menyipit, penuh dengan kecurigaan yang tidak ia sembunyikan.Di meja kopi di depannya, ada secangkir kopi yang sudah dingin, menandakan bahwa Raka sudah menunggu cukup lama."Aku sudah bilang, aku bekerja," jawab Ara dengan nada hati-hati. Ia menurunkan tasnya ke atas meja kecil di dekat pintu. "Ada banyak hal yang harus aku urus.""Kerja?" Raka berdiri, melangkah mendekat dengan gerakan yang terlalu cepat, terlalu kasar. "Kerja seperti apa sampai kau harus pulang larut malam

    Huling Na-update : 2024-12-12
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 12: Pelukan yang Tak Terduga

    Ara memandangi pesan yang baru saja ia kirimkan ke Adrian. Jari-jarinya masih menggenggam telepon dengan erat, sementara pikirannya terus bergolak.Hati kecilnya mengatakan bahwa ini adalah langkah yang berbahaya, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa hanya Adrian yang bisa memberinya sedikit ketenangan di tengah kekacauan yang melanda hidupnya.Teleponnya berbunyi. Nama Adrian muncul di layar, membuat jantung Ara berdetak lebih cepat. Ia tertegun sejenak, meragu, sebelum akhirnya menekan tombol hijau."Halo?" suaranya terdengar serak, lemah."Ara," suara Adrian di ujung telepon begitu lembut tetapi penuh perhatian. "Apa kau baik-baik saja?"Ara menutup matanya, merasakan kehangatan dalam nada suara Adrian. "Aku... tidak t

    Huling Na-update : 2024-12-12
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 13: Pertemuan Rahasia

    "Aku tidak tahu apakah ini ide yang baik," kata Ara pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara mesin kopi di kafe kecil itu. Ia duduk di sudut ruangan dengan kepala sedikit tertunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya dari pandangan siapa pun yang mungkin mengenalnya.Adrian, yang duduk di seberangnya, menatapnya dengan tenang. Cangkir kopinya masih penuh, dan tangan kanannya menyentuh tepi cangkir itu, tetapi ia tidak meminumnya. "Kenapa tidak?" tanyanya, nada suaranya lembut tetapi penuh perhatian.Ara menghela napas, menatap ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan jalanan Jakarta yang ramai."Karena ini terasa salah," jawabnya akhirnya. "Aku... aku seorang istri, Adrian. Dan meskipun aku merasa bahwa hubunganku dengan Raka semakin jauh, aku tidak tahu apakah ini—bertemu denganmu seperti ini—adalah sesuatu

    Huling Na-update : 2024-12-12
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 14: Bisikan dalam Hujan

    "Ara, kau di mana sekarang?" Suara Adrian di ujung telepon terdengar tegas namun penuh perhatian, mengatasi suara derasnya hujan yang memukul trotoar.Ara memeluk tubuhnya sendiri, menggigil di bawah kanopi kecil di depan sebuah toko yang sudah tutup. Hujan turun begitu deras sejak satu jam yang lalu, membanjiri jalanan dan membuat udara malam menjadi dingin menggigit."Aku... aku masih di sini," jawabnya dengan suara gemetar. "Di depan toko dekat stasiun. Hujannya terlalu deras, aku tidak bisa ke mana-mana.""Aku akan datang," kata Adrian tanpa ragu. "Tunggu di sana."Ara hendak menolak, tetapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, panggilan sudah terputus. Ia menatap teleponnya dengan perasaan campur aduk.Setengah dari dirinya ingin mengatakan bahwa ia tidak membutuhkan pertolongan, tetapi separuh lainnya lega mengetahui bahwa Adrian akan segera datang.Hujan semakin deras ketika lampu depan mobil Adrian menyinari jalan sempit it

    Huling Na-update : 2024-12-13

Pinakabagong kabanata

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 130: Bahagia Selamanya

    Pagi di desa itu selalu dimulai dengan keheningan yang damai, diselingi oleh kicauan burung yang terdengar dari pepohonan di belakang rumah mereka. Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara.Ara berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa buah stroberi yang baru dipetik dari kebun kecil mereka. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela, membungkus tubuhnya dengan sinar hangat yang lembut.Dari ruang tamu, terdengar langkah kaki kecil yang mendekat. Ara menoleh dan tersenyum lebar saat melihat seorang anak kecil dengan rambut ikal berwarna cokelat berlari ke arahnya. Anak itu mengenakan piyama dengan motif dinosaurus, dan tawa kecilnya memenuhi ruangan."Ibu! Lihat apa yang aku temukan!" seru anak itu dengan suara ceria, memperlihatkan sebuah daun kecil yang ia bawa dengan hati-hati.Ara membungkuk, mengambil daun itu dari tangan anaknya. "Oh, ini indah sekali, sayang. Kau menemukannya di mana?""Di bawah pohon besar!" jawab anak itu, m

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 129: Cinta Sejati yang Terlambat

    Cahaya senja menyelimuti desa kecil itu, membawa kehangatan pada rumah-rumah kecil yang berbaris rapi di sepanjang jalan berbatu. Langit dihiasi semburat warna oranye, merah muda, dan ungu, seolah-olah semesta sengaja melukis kanvasnya untuk merayakan hari yang damai.Di halaman belakang rumah, Ara duduk di bangku kayu dengan secangkir teh di tangannya, tubuhnya terbalut sweater rajut yang melindunginya dari udara sore yang mulai dingin.Ia memandangi bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu. Tanaman itu tumbuh dengan gagah, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar. Kepala bunga yang cerah menghadap ke arah matahari yang mulai tenggelam.Ara tersenyum kecil, merasa bahwa bunga itu melambangkan kehidupannya sendiri—perlahan-lahan tumbuh dari tanah yang dulu terasa tandus, mencari cahaya yang akhirnya ia temukan dalam hidupnya bersama Adrian.Pintu belakang berderit pelan, dan suara langkah Adrian di atas lantai kayu terdengar sebelum ia m

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 128: Kehidupan Baru yang Damai

    Pagi itu, sinar matahari menyapu pelan rumah kecil mereka, membawa kehangatan ke dalam setiap sudut ruangan. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Aroma rumput basah dan bunga-bunga liar dari taman belakang melayang lembut di udara.Ia berdiri sejenak, memandang ke luar dengan senyum kecil di wajahnya. Di halaman belakang, bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu mulai tumbuh, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar."Duduklah dulu," kata Adrian dari dapur, suaranya terdengar ringan tetapi sedikit menggoda. "Kau tidak bisa terus sibuk sejak pagi. Sarapan sudah siap."Ara menoleh, tertawa kecil. "Aku hanya menikmati pemandangan. Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan bisa bangun dengan perasaan selega ini."Adrian muncul dari balik pintu dapur dengan dua piring di tangannya. Sepiring telur dadar lembut dengan irisan alpukat dan roti panggang di satu piring lainnya. Ia meletakkan semuanya di meja keci

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 127: Mimpi yang Menjadi Nyata

    Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar rumah baru mereka, memantulkan sinarnya di lantai kayu yang mengilap. Rumah itu sederhana tetapi terasa hangat, dengan dinding bercat krem dan perabotan kayu yang dipilih dengan penuh cinta.Di luar, angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon maple, dan suara burung-burung terdengar lembut, menjadi latar belakang kehidupan baru yang mereka mulai bersama.Ara berdiri di dapur kecil mereka, aroma kopi menguar dari mesin yang baru saja Adrian belikan. Ia mengenakan kaus longgar berwarna putih dan celana katun, kakinya telanjang di atas lantai dingin.Ia memandangi jendela yang menghadap ke taman belakang, di mana Adrian sedang menggali tanah untuk menanam bunga matahari yang dibawanya dari pasar minggu lalu.Ara tersenyum kecil, menyandarkan pinggulnya di meja dapur sambil memegang secangkir kopi. Setiap gerakan Adrian di luar terlihat penuh semangat—wajahnya yang serius saat ia mencangkul tanah, seseka

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 126: Pernikahan Intim

    Pagi itu, langit cerah tanpa awan. Cahaya matahari lembut membasuh taman kecil di belakang rumah keluarga Adrian, tempat acara sederhana mereka akan diadakan.Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga mawar dan lavender yang menghiasi setiap sudut taman, menciptakan suasana hangat yang sempurna.Ara berdiri di depan cermin di kamar tamu rumah Adrian. Gaun putih sederhana melekat di tubuhnya, terbuat dari bahan satin yang jatuh dengan indah, memeluk tubuhnya dengan cara yang anggun.Tidak ada renda berlebihan atau kilauan mencolok, hanya detail kecil di sekitar leher yang membuatnya terlihat elegan dan alami.Lila berdiri di belakangnya, membantu menyematkan peniti kecil di ujung kerudung Ara. "Kau terlihat... luar biasa," kata Lila dengan mata berbinar, senyumnya lebar.Ara tersenyum melalui pantulan cermin, mencoba menahan perasaan gugup yang merayap di dadanya. "Terima kasih, Lila. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasa benar-benar seperti pengantin

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 125: Langkah Pertama Bersama

    Pagi itu dimulai dengan keheningan yang damai. Sinar matahari pagi menerobos melalui tirai jendela, menyelimuti ruang tamu rumah kecil mereka dengan cahaya hangat keemasan. Ara berdiri di dapur, mengenakan sweater tipis berwarna krem yang sedikit kebesaran.Ia sedang memotong beberapa buah untuk sarapan, menikmati aroma segar jeruk yang menguar.Adrian muncul dari belakang, rambutnya masih sedikit berantakan, namun senyum lembut yang biasa menghiasi wajahnya tetap ada. "Kau bangun lebih pagi dari biasanya," katanya sambil mengambil cangkir dari rak dan menuangkan kopi.Ara menoleh dan tersenyum kecil. "Aku suka pagi-pagi seperti ini. Tenang dan terasa ringan."Adrian mengangguk, berjalan ke meja dan duduk di kursi, memperhatikan Ara yang sibuk di dapur. "Ada sesuatu yang berbeda pada dirimu akhir-akhir ini," ujarnya pelan, tetapi dengan nada penuh perhatian.Ara berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk menatap Adrian. "Apa maksudmu?"Adrian

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 124: Memperbaiki Luka Lama

    Pagi itu, rumah kecil mereka diselimuti keheningan yang damai. Matahari pagi menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan bayangan hangat di lantai kayu. Ara duduk di meja dekat jendela, secangkir teh hijau mengepul di sebelahnya. Di depan Ara, ada selembar kertas kosong dan sebuah pena sederhana.Adrian berjalan masuk dari dapur, membawa piring berisi irisan roti panggang dan buah-buahan. Ia berhenti di ambang pintu ketika melihat Ara yang tampak termenung di depan kertas itu."Apa yang kau pikirkan?" tanyanya pelan, meletakkan piring di meja kecil di dekat Ara.Ara menoleh ke arahnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman kecil yang hampir tidak terlihat. "Aku berpikir untuk menulis sesuatu. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana."Adrian menarik kursi di depannya dan duduk. "Sesuatu seperti apa?"Ara mengambil pena itu, menggenggamnya dengan kedua tangan. "Aku ingin menulis surat untuk Raka."Adrian menatapnya, tetapi tidak langsung men

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 123: Pertemuan dengan Keluarga Adrian

    Angin sejuk pegunungan membelai wajah Ara, membawa aroma pinus dan bunga liar yang mekar di sepanjang jalan menuju rumah keluarga Adrian.Mobil Adrian meluncur mulus di jalanan kecil yang berkelok-kelok, dikelilingi oleh hutan hijau yang terasa seperti melindungi mereka dari hiruk pikuk dunia luar. Ara memandang keluar jendela, matanya menangkap pemandangan pegunungan yang menjulang megah di kejauhan.Namun, di tengah keindahan itu, dadanya terasa sesak oleh kegugupan. Jemarinya memainkan ujung sweater yang ia kenakan, menggulungnya dengan canggung."Berhenti menggulung sweatermu," suara Adrian terdengar ringan, tetapi penuh kehangatan, memecah keheningan. Matanya melirik ke arah Ara sambil tetap memperhatikan jalan.Ara meliriknya, setengah tersipu. "Aku tidak bisa menahannya. Aku... aku gugup."Adrian tertawa kecil, nada suaranya santai seperti biasanya. Ia mengulurkan satu tangan dari kemudi, menggenggam jemari Ara dengan lembut. "Kau tidak perl

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 122: Hari yang Bahagia

    Matahari pagi menyelimuti rumah kecil mereka dengan sinar keemasan. Udara di kota kecil itu sejuk dan segar, membawa aroma embun dan dedaunan basah. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan angin pagi masuk, meniup lembut rambutnya yang tergerai.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sungai kecil di kejauhan, mengalir tenang di bawah bayang-bayang pohon yang rimbun.Di dapur, suara denting piring terdengar pelan. Adrian tengah mengaduk adonan pancake, lengan bajunya digulung hingga siku. Ia sesekali menoleh ke arah Ara, memastikan dia baik-baik saja."Apa kau lapar?" tanya Adrian, suaranya terdengar ringan dan santai, seperti pagi itu.Ara menoleh, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Aku selalu lapar untuk pancake," balasnya sambil berjalan mendekat.Adrian tertawa pelan, mengangkat wajan untuk menuangkan adonan ke panci panas. "Pancake spesial pagi ini. Dengan ekstra cinta."Ara duduk di bangku dapur, menopang dagunya dengan tang

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status