“Ayah gak mau ada perdebatan lagi. Sudah cukup, terima tidak terima Andre akan menikah dengan Valen.” Ayah mendekat dan meraih tanganku. “Cinta, maaf, ayah sebenarnya berat sekali karena ayah tahu mungkin cuma Andre yang bisa nerima kamu, tapi mau bagaimana lagi, adikmu sudah mengandung. Ayah sudah berusaha mencari jalan sama ibumu tetapi tetap saja ini yang terbaik.”
Aku tersenyum getir, entah ingin menggambarkan perasaan seperti apa saat ayah mengucapkannya, tetap saja aku tak senang dengan ucapan ayah. Memang benar, selama aku sekolah dasar hingga SMA bahkan sampai saat ini tak ada satupun laki-laki yang mau mendekat denganku, entah karena aku yang terlalu pendiam atau terlalu jelek, tetapi memang hanya Andre yang mau dekat denganku. Mungkin saat itu matanya tak dapat melihat dengar benar atau ia sakit mata saat mendekatiku.Kulihat senyum mengembang di wajah Valen, sementara Andre hanya menunduk.“Baiklah, terserah kalian. Menikahlah.” Kutinggalkan ruang tamu dan memilih masuk ke kamar.Di depan cermin kutatap diri ini, masih menggunakan kebaya putih dnegan riasan yang sudah berantakan. Air mata tak dapat kutahan lagi, jatuh begitu deras membasahi pipi. Meski aku meraung ibu tak datang untuk menenangkanku, padahal saat ini aku butuh sekali seseorang yang memelukku, menenangkan, dan sejenak menghapus air mataku, tetapi kenapa wanita yang sangat kuharapkan itu tak datang untuk sekedar memeluk atau memberikan ketenangan padaku. Begitu jelas perbedaan kasih sayang yang ibu berikan. Dulu, aku selalu menyangkal dan berusaha meyakinkan diri bahwa ibu juga sangat menyayangiku. Saat itu aku berpikir mungkin perlakuannya berbeda hanya karena aku ini seorang kakak yang harus terlihat lebih kuat tanpa pembelaan didepan adikku. Namun, hari ini cukup terlihat nyata dan aku harus sadar, kasih ibu lebih besar untuk adikku.….“Cinta ayo makan, gak usah ngurung diri di kamar, kamu harus mulai menerima kenyataan dan menerima Andre udah jadi adik iparmu.”Kudengar suara ibu sembari mengetuk pintu. Rsanya enggan sekali untuk keluar apalagi bertemu dnegan dua manusia itu.“Ayo cepat, kita sarapan, kamu jangan terus begini. Keluar, kamu tahu hari ini akan ada pesta pernikahan adikmu.”Dimana hati perempuan yang telah melahirkanku itu? Bagaimana aku bisa tegar melihat orang yang kucinta bersanding di pelaminan bersama adikku. Dekor pelaminan yang kupilih, gaun pengantin yang sangat kudambakan bahkan sepatu cantik yang telah kupilih dan kuidam-idamkan akan dipakai wanita lain bersanding dengan lelaki yang sampai saat ini masih menjadi raja di singgasana hatiku. Haruskah aku merelakan itu semua?“Cinta, sadar Cinta, kamu gak boleh begini. Andre gak pantas buat kamu. Yakin, kamu bisa hidup lebih baik sekalipun gak sama lelaki itu. Lagipula kamu gak perlu menyesali lelaki seperti itu.” Kuhapus air mata, gegas menuju kamar mandi, rasanya sudah cukup semalaman aku menangis, aku harus sadar dan bangkit, setidaknya menunjukkan kepada adik dan adik iparku itu, aku bisa lebih baik. Tak membutuhkan lelaki seperti dia.Kubuka kebaya putih yang masih kukenakan, karena memang semalaman aku menangis hingga ketiduran sampai tak sempat membuka baju kebaya yang masih menempel di tubuhku, bahkan hijab pengantin belum sempat kulepas. Perlahan air dari shower mulai membasahi tubuh. Kupejamkan mata, kenangan-kenangan indah bersama Andre menari dalam benak. Kenangan lima tahun bersama tentu saja itu bukan waktu yang singkat sehingga dapat dilupakan dalam semalam. Tak ingin berlama-lama mengingat kenangan itu, gegas kuselesaikan mandi.….Kulihat sekeliling, sudah ramai rupanya. Kutarik nafas perlahan melihat semuanya. Andai aku tak memikirkan temanku, tempat dimana aku memesan catering untuk acara ini mungkin aku akan membatalkannya, tetapi aku tidak ingin, hanya karena aku sakit hati kepada keluarga lalu aku merugikan orang lain pula.Baru saja melangkah ibu sudah menghadangku.“Mana hantaran emas dari keluarga Andre? Biar dipakai adikmu, kan gak enak kalau ditanya teman-teman arisan Ibuk,” pinta ibu tanpa basa-basi.“Hantaran itu hasil aku nabung sama Andre, Buk. Bukan sepenuhnya punya Andre aau dari keluarganya. Ibuk tahu itu hasil usaha aku sama Andre, kenapa harus aku kasih sama Valen, kalau dia mau minta aja sama Om dan Tante.” Aku melenggang pergi meninggalkan ibu. Enak saja, harusnya ibu sedikit saja simpati denganku. Aku dan Andre mengumpulkan uang untuk menikah, emas hantaran dan mahar semuanya murni dari hasil usaha kami berdua, bagaimana aku akan rela memberikannya kepada Valen begitu saja.Ibu menarik tanganku, tak membiarkan aku pergi begitu saja. Aku sudah paham dengan sikap ibu. Jika belum dapat ia tidak akan pernah membiarkan mangsanya lolos begitu saja. Berbagai cara akan dia lakukan untuk mendapat apa yang dia inginkan.“Tunggu Cinta, kamu enggak bisa gitu dong! Itu kan usaha Andre juga. Kalian harus bagi rata, seenggaknya setengah beri untuk Valen juga, kasihan dia. Masa dia cuma dapat mas kawin dua ratus ribu.”Memang benar semua yang kudapat hasil bersama Andre, tapi Valen tak berhak mendapatkannya. Bahkan untuk membayar sakit hatiku saja tak cukup dan dia ingin menikmati begitu saja. Oh tidak, aku tidak akan membiarkannya. Semua yang telah kukumpulkan bersama Andre tak akan pernah jatuh ketangannya sepeserpun.Tak ingin berdebat dengan ibu terlalu lama lebih baik aku pergi, mencari udara segar. Pun tak ingin menyaksikan senyum Valen di pelaminan. Namun, sekalipun aku tak ingin menyaksikan adikku itu duduk bersanding di pelaminan bersama Andre tetap saja untuk keluar aku harus melewati tenda pelaminan. Tak bisa dipungkiri sesak masih menyusup di dada, harusnya aku yang duduk mengunakan gaun indah disana, harusnya aku yang bercanda mesra disana. Harusnya aku yang berbahagia menikmati megahnya pesta yang telah kupersiapkan.Sudahlah, tak ingin berlama-lama berdiri bagai patung dan menjadi bisikan tetangga lebih baik aku segera pergi. Sengaja kutinggalkan ponsel tak ingin meladeni teman-teman kerjaku yang mungkin akan bertanya banyak hal melalui pesan, bahkan mungkin akan menjadi pembicaraan trending di group kantor. Undangan atas namaku sudah tersebar bersama foto yang jelas wajahku terpampang didalam kartu undangan, tetapi ketika mereka datang dan menyaksikan bukan diriku yang ada di pelaminan, entah mereka akan menertawakan atau merasa iba kepadaku jika tahu cerita menyedihkan ini.….Duduk seorang diri di tepi danau, kenapa air mata ini kembali jatuh.“Cinta, ngapain sih kamu nangis lagi.” Kuhapus cepat air mata yang menetes di pipi.“Iya ngapain sih kamu nangis lagi, laki-laki seperti Andre enggak pantes kamu tangisin.”Rania duduk di sampingku, entah sejak kapan gadis itu berada disini.Melihatnya menatapku justru semakin membuat air mata ini kian deras mengalir. Rania sigap memelukku, tak mengatakan apapun, ia hanya menepuk pelan pundakku yang terguncang akibat menangis.“Aku bukannya nangisin Andre, Ran. Kamu tahu perjuangan aku semuanya, kenapa aku bisa bodoh banget kayak gini, aku percaya gitu aja, kenapa aku percaya sampai sejauh ini Ran sampai enggak sadar mereka mainin aku?”“Aku ngerti. Udah, sekarang kamu tenangin dulu hati kamu, nanti urus kalau pikiran kamu udah adem, oke? Jangan sampai gegabah.”Rania, sepupu yang paling dekat denganku. Aku sering berbagi cerita dengannya, dia orang yang selalu menjadi teman curhatku. Dia tahu apa yang telah kulakukan untuk Andre selama ini, dia memang gadis yang paling tahu sakit hatiku kini.Rania mengajakku pulang setelah hari semakin terik, meskipun aku masih ingin berlama-lama menatap air danau dan bercerita dengannya, tetapi aku tetap menurut dan mengikuti dia. Aku mengendarai motor seorang diri begitupun Rania, rupanya ia tadi mengikutiku ketika melihat aku keluar seorang diri. Tidak ingin terjadi apa-apa denganku ia membuntutiku hingga kesini. Ya, hanya dia yang ada di sampingku saat ini, saat semua keluarga tak mempedulikanku.Mengendarai motor dalam keadaan pikiran kacau membuatku tak fokus dan sedikit melamun, saat akan berbelok masuk gang yang menuju rumahku tiba-tiba saja mobil dari arah berlawanan hendak menabrakku, reflek saja membuatku terkejut dan membelokkan arah laju motor sehingga aku terjatuh, dan sialnya aku terjatuh tepat diatas genangan air yang membuat bajuku kotor hingga wajah.“Kalau nyetir mobil yang bener dong, emang enggak lihat ada orang mau nyebrang,” umpatku kesal. Pikiran yang tidak karuan semakin membuat emosiku tak terkontrol, ingin sekali aku melampiaskannya pada pengemudi mobil itu.“Sial, jadi kotor semua nih baju.” kubersihkan baju yang terkena lumpur, tetapi semua sia-sia lumpur masih menempel.“Bukannya kamu yang gak lihat jalan mau nyebrang, mata tuh dipakai masih untung enggak patah tuh kaki,” ucap seorang lelaki yang kini telah berdiri di belakangku.Ucapannya membuatku secepat kilat memutar badan, bukankah harusnya dia meminta maaf, apa dia mau merasakan umpatanku lagi?“Apa kamu bil .…” Aku tak dapat melanjutkan ucapanku setelah sadar seratus persen siapa pemuda yang berdiri di depanku. “Ka … kamu …. “Regantara Dirga, mimpi apa aku semalam bertemu pemuda itu, sudah pasti hari ini akan semakin buruk.Regan tertawa terbahak melihatku dari atas hingga bawah. “Kamu si kuper,” ucapnya sembari menunjukku.Sial, benar-benar sial. Kenapa harus bertemu Regan, aku bahkan tidak bisa melupakan saat dia membullyku habis-habisan waktu SMA bersama teman satu gengnya.“Ya ampun Cin, kamu gak papa?” Rania datang menghampiriku. “Kok bisa kotor semua? Kamu jatuh? Pasti dia kan yang nabrak kamu.” Tunjukknya pada Regan.Tak ingin menambah masalah dengan Regan atau lebih tepatnya malas menghadapi cowok idiot seperti Regan aku lebih memilih mengajak Rania pergi, membiarkan Regan masih tertawa memandangku.“Kalau ada yang patah hubungi asistenku,” ejeknya masih dengan tawa.Entah kesalahan apa yang kuperbuat sehingga hidupku seperti ini. Pernikahan gagal dan kembali bertemu lelaki yang sangat kubenci.…Sampai di rumah, kembali bibir-bibir tetangga berbisik melihat kedatanganku, terlebih bajuku kotor dengan lumpur. Entah apa yang mereka bicarakan tetapi yang pasti itu bukan hal baik.“Ya ampun, Cinta! kamu dari mana, sih? Baju kotor begitu, seharusnya kamu enggak usah keluyuran dan temenin adikmu itu, kalau dia butuh sesuatu enggak repot ibuk.”Baru saja akan masuk kamar ibu sudah datang menghampiri dengan omelan. Harusnya dia bertanya apa yang terjadi denganku atau bagaimana keadaanku. Bukankah begitu fitur ibu yang baik.“Cukup Buk, aku bukan Cinta gadis tujuh tahun yang bisa Ibuk omelin di depan banyak orang. Aku udah dewasa Buk, apa Ibuk gak malu di depan orang berlaku seperti ini? Apa Ibuk enggak mikirin perasaanku di depan orang banyak selalu diperlakukan seperti ini?”Kutinggalkan ibu, genangan air mata sudah memenuhi pelupuk mata. Sebenarnya aku ini putri mereka atau bukan? Kenapa memperlakukanku seperti anak tiri.Rasanya malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur, dan pastinya aku akan menghadapi drama yang lebih menyakitkan mulai saat ini. Satu rumah bersama mantan kekasih yang telah menjadi adik ipar, apa aku mampu menata hati untuk tegar? Susah sekali bukan.Biasanya pagi-pagi aku sudah mendengar omelan ibu, kenapa hari ini tak ada ketukan pintu. Lebih baik aku keluar dan mulai masuk kerja secepat mungkin. Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk bersiap, setelah selesai gegas aku keluar.“Cin, makan dulu Nak,” ajak ibu. Ibu yang berada di ruang makan menyambutku yang baru saja keluar dari kamar. Kamarku memang tak jauh dari ruang makan, aku memilih kamar lantai bawah karena memang lebih enak dan tak perlu naik turun tangga.Aku mengerutkan dahi, tidak seperti biasanya, tetapi aku sudah paham, jika ibu bersikap manis pasti ada yang ia inginkan. Ah, aku tidak boleh berpikiran buruk terhadap ibuku, mungkin saja ia telah berubah atau merasa iba dan menyesal dengan perlakuannya selama ini.
Aku menghela nafas saat hendak memasuki kantor, kembali mengumpulkan energi untuk melawan hujatan satu kantor. Aku sengaja menonaktifkan ponsel hingga kini, sebelum datang ke kantor aku tidak ingin melihat pesan di grup kantor karena itu akan membuat awal hariku menjadi berantakan, walau sebenarnya morning day-ku sudah cukup berantakan.Kupaksa bibir tersenyum lebar saat menarik daun pintu. Kantor tempat aku bekerja merupakan open plan untuk setiap divisi, sehingga tak ada privasi atau penyekat antara satu pegawai dengan pegawai lainnya. Semua mata tertuju padaku, kulirik jam yang berada di dinding, padahal aku belum telat kenapa sudah ramai, harusnya hari ini aku datang lebih pagi lagi.“Bukannya kamu masih cuti, Cin?” tanya Stella, kami tidak dekat, hanya cukup baik menjadi teman kantor saja.“Hust.” Andini mencubit pelan lengannya. “Kenapa? Dia kan baru merid kemarin. Emanggnya enggak sakit lu jalan. Gue aja yang udah lama kadang-kadang masih ngilu, lemes, tapi maunya deket terus
“Aku mencintainya tanpa pamrih, tanpa sebab. Kuterima kurangnya, kuterima buruknya, aku tak memandang latar belakangnya. Aku menggenggam tangannya saat dia jatuh. Aku mencintainya apa adanya, tetapi kenyataanya dia lebih memilih menanam benih di rahim adikku, melupakan janji kita. Membiarkan hatiku yang semula penuh keyakinan kini terluka, luka yang begitu lebar. Aku Cinta, yang ingin menabur cinta untuk semua orang, tetapi kenyataannya aku ini Cinta yang tak diinginkan dan tak ada orang yang mencintai Cinta.”…..Rania memelukku, mati-matian kutahan air mata agar tak menetes, tetapi tetap saja, air mata jatuh membasahi pipiku hingga pundak Rania.“Aku tahu ini berat buat kamu Cin, kalau aku jadi kamu mungkin aku udah stress, udah gak kuat ngadepin ini semua, Allah pilih kamu karena yakin kamu bisa, kamu kuat hadapi ini semua.”Aku mengangguk, mengusap sisa-sisa air mata yang menetes di pipi, aku tidak ingin terpuruk begitu lama, aku harus bangkit bukan.“Ayo, move on.” Kuberikan seny
Aku sudah tak sabar lagi, kenapa ponsel ini lama sekali menyala. Setelah menunggu, akhirnya ponselku menyala. Baru saja membuka whatsapp, tak sengaja aku melihat stroy milik Valen. Emosiku semakin tak terkontrol. Bukankah sudah kukatakan aku tak berniat memberikan rumah itu, sepertinya ucapanku itu tak dihiraukannya.Valen membagikan foto kamar dan memberi caption. “Enaknya warna apa untuk pengantin baru?” Selain itu ia juga membagikan sebuah vidoe dengan caption. “Dapat hadiah rumah dari misua.” Aku mengepalkan jari-jemari melihat tingkahnya. Kuraih tas yang berada di meja, secepatnya aku ingin menghampiri keduanya, bila perlu akan kukatakan semua didepan ayah dan ibu. Aku sudah memberikan kesempatan untuk Andre agar ia jujur, tetapi bukannya mengatakan semuanya bisa-bisanya ia mengajak Valen kesana. Rumah itu memang hanya aku dan Andre yang pernah kesana, sementara Valen, ayah atau ibu sama sekali belum pernah menginjakkan kaki disana.Baru saja keluar kudengar ada keributan, dari
“Andre apa maksudnya ini? Kamu harus jelasin,” ucap ibu yang masih bisa kudengar.Kuhapus darah yang mengalir di siku. “Aku enggak bisa lagi tinggal disini,” ucapku seorang diri.Entah kenapa air mataku menetes begitu saja, aku ingin kasih sayang sempurna dari ayah dan ibu tetapi sepertinya sampai seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan hal itu. Tidak ada ruang untukku di hati ibu, aku hanya diperlukan jika aku memiliki uang, maka dari itu aku harus banyak uang agar diterima baik oleh ibu. Kurapikan satu persatu bajuku, setelah semuanya masuk ke dalam koper, aku hanya membawa satu koper sementara lainya aku akan meminta jasa orang untuk mengambilnya nanti. “Oh, udah bikin ribut, bikin Valen syok terus kamu mau pergi gitu aja, bagus banget ya.” Ibu menghadangku. Sementara kulihat Valen dan Andre duduk di kursi.“Aku pengen hidup tenang, Ibuk bukannya enggak pengen aku disini, jadi biarin aku tinggal di luar.”“Memangnya s
“Apa kamu bilang, bukan aku yang wanita murahan, tapi ibumu, ibumu wanita murahan, kamu bukan anakku,” ucap ibu sembari menunjuk wajahku.Aku diam mematung, apa yang ibu katakan? Aku bukan anaknya? Apa yang dibicarakan sungguh-sungguh. Lantas aku ini anak siapa? Wanita murahan seperti apa yang melahirkanku.Ibu tertawa. “Apa kamu terkejut, kamu memang bukan anakku, harusnya kamu berterima kasih karena selama ini aku telah membesarkanmu, dan kamu seharusnya menuruti semua permintaanku atau Valen, maka semua ini tidak akan terjadi, kamu akan tetap menjadi putriku. Ini karena kamu sendiri yang besar kepala tak mau menurut dan sekarang kamu harus tahu kamu adalah anak dari wanita murahan,” ibu mencaciku tanpa henti, sementara aku hanya bisa berdiri lemas, bahkan kaki ini terasa mati tak bisa bergerak. “Ningsih!” panggil ayah yang baru saja masuk, ia berlari menghampiriku, meraih tubuhku yang hendak ambruk. “Keterlaluan kamu Ningsih, bukannya kamu sudah berjanji tidak akan mengungkapkan h
Kepalaku sakit, sakit sekali. Perlahan kubuka mata, bau menyengat obat-obatan menerpa indra penciuman. Kulihat sekeliling, tembok dengan cat berwarna putih aku tahu ini dimana, kutatap langit-langit ruangan sejenak, mencoba sepenuhnya mengumpulkan kesadaran. “Kamu udah bangun, Cin?” suara Rania pertama kali kudengar.“Minum,” pintaku lemah.Rania mengambil segelas air yang berada di meja, perlahan memberikan padaku.“Pelan-pelan.”Rania membantuku. Kuteguk air dalam gelas hingga tandas. “Aku panggil perawat dulu, ya? Kamu tunggu disini.”Aku mengangguk mengiyakan ucapan Rania, dia meninggalkanku sendiri.Kutatap jendela, cuaca begitu cerah. Ucapan ibu kembali terngiang di telingaku, air mata kembali menetes. Kenapa dengan cara seperti ini Tuhan memberitahukan fakta menyedihkan ini?Kuhapus air mata setelah kudengar Rania bersama seorang perawat datang, rupanya di belakang ayah berjalan mengikuti Rania. Setelah perawat memeriksa dan memberikan obat yang harus kuminum ia pergi meningg
“Apa karena aku terlahir dari wanita yang buruk sehingga aku pantas di pandang dan diperlakukan buruk. Apa karena aku terlahir dari rahim wanita simpanan sehingga aku pantas diperlakukan seperti tak memiliki dunia. Bukankah orang tua yang menginginkan anak, anak tak pernah bisa memilih dari rahim mana ia dilahirkan, tetapi seorang ibu dapat memilih untuk melahirkannya. Lantas pantaskah mereka menyalahkanku yang tidak tahu apa-apa ini.”….“Makan yang banyak Cin, jangan sakit lagi.” Rania terus menyuap bubur padaku.“Siapa yang bawa aku kesini? Harusnya dia biarin aja aku mati di pinggir jalan Ran, lagian buat apa aku hidup? Aku udah enggak punya tujuan lagi.”Aku masih menatap jendela, hari semakin cerah, burung-burung berkicau tanpa henti seolah bernyanyi diatas penderitaanku. Apakah alam begitu bahagia?“Kamu kok ngomongnya gitu, jangan gitu, jangan punya pikiran seperti itu, kamu punya banyak alasan untuk hidup sekalipun jalanmu berat.”“Kamu udah denger kan, kamu pasti udah tahu s
“Dimana ibuku? Jangan bilang kamu cuma ngerjain aku.” Aku berdiri di depan Regan dengan penuh emosi, entahlah jika bicara dengannya aku seperti tak bisa mengendalikan emosiku.“Ngapain aku ngerjain kamu, emang kamu pikir aku masih anak SMA yang suka ngerjain kamu? Udah enggak lucu lagi, aku juga udah enggak tertarik sama kamu.”Aku terbahak mendengar ucapan Regan, “Jadi dulu kamu tertarik sama aku makannya suka benget ngusilin aku.”Regan membenarkan dasi dan posisinya yang semula bersandar di pintu mobil. “Ge er banget kamu, maksudku dulu memang kamu enak banget diejek. Udahlah jadi kamu mau enggak ketemu ibu kandungmu?”“Gak usah basa-basi deh Regan, aku enggak punya waktu buat debat sama kamu, langsung aja.”Regan mengeluarkan dompetnya dan menarik selembar foto lalu menunjukkan tepat di depan wajahku. “Ibumu, kan.” Senyum miring menghiasi bibir tipisnya.Aku ingin merebut foto yang lebih jelas dari milikku itu, tetapi Regan dengan cepat menyimpannya kembali. Entah darimana ia bisa
Aku membencinya karena tak bisa bersikap tegas, karena membiarkanku hidup dalam ketidakadilan, tetapi tetap saja aku tak bisa membuang rasa sayang yang bersemayam di sebagian hati ini.“Jangan pikirkan Ayah, kamu harus hidup lebih baik, Nak.”Tangisku pecah setelah mendengar ucapan ayah, setelah sekian puluh tahun kenapa baru sekarang ia mengatakan itu?“Aku akan hidup lebih baik jika tahu keberadaan ibu kandungku, Yah.”Ayah diam mendengar ucapanku, tak ada lagi jawabannya hingga beberapa saat. Aku masih setia menunggu sampai ia mengatakan sedikit saja informasi tentang Ibu Ratih.“Ibumu …. "“Oh, gini ya, dibelakang masih aja nelponin anak itu, kamu emang enggak pernah mikirin perasaan aku, Mas. Bisa-bisanya kamu ngumpet-ngumpet nelpon anak itu.” Kudengar suara ibu menyela ucapan ayah, membuatnya tak melanjutkan ucapan.“Cinta cuma nanyain kabarku. Lagian dia enggak minta apa-apa, emang apa salahnya kalau dia nelpon? Aku ini juga ayahnya, seandainya aku kasih uang makan juga itu ud
“Oh begini, seharian nggak pulang ternyata disini nungguin dia!” seru Valen sembari menunjukku.“Dasar pelakor, ngapain sih kamu masih aja hubungin suamiku? Oh ya, kamu kan enggak laku makannya masih ngarepin suamiku,” sambungnya.“Kamu ngapain kesini? Andre berusaha menghentikan Valen yang hendak menarik rambutku.“Kamu tanyain tuh sama suamimu, ngapain dia disini. Aku udah usir dia tapi tetep aja enggak mau pergi, sepertinya dia nyesel banget enggak jadi nikah sama aku, makannya betah seharian disini cuma buat lihatin aku, bahkan dia sampe bela-belain nungguin aku dari pagi,” ucapku sembari tersenyum mengejek kepada Valen.“Apa! Heh, gatel, aku tahu kamu yang duluan godain dia, kan!”“Udah-udah! Valen, kamu ngapain kesini? Aku udah bilang mau nganterin uangnya Cinta, kamu bisa tunggu di rumah.” Andre menengahi.“Jadi kamu enggak dengerin aku, Kak? Aku udah bilang jangan kasih uang itu, lagian dia juga udah banyak uangnnya.” Valen menghentakkan kakinya.“Udah, kalau mau ribut jangan
Aku memesan grab berniat ke rumah sakit ingin memberitahu semuanya kepada Mama Clara dan memberikan gelangnya lagi. Aku tak bisa menerima barang turun temurun yang seharusnya akan dipakai menantu yang sesungguhnya.….Sampai di rumah sakit gegas aku menuju ruangan Mama Clara, tetapi sampai di ruangan itu hanya ada barang-barangnya saja, mungkin sedang keluar pikirku. Saat aku hendak berbalik kebetulan bertemu dengan salah satu perawat yang hendak masuk ruangan tersebut. “Maaf Sus, apa pasien di kamar ini sedang keluar?” tanyaku.“Oh, Ibu Clara sedang berada di UGD, semalam keadaannya drop lagi dan harus dibawa ke UGD,” jawab perawat itu. Setelah selesai menjawab pertanyaanku ia permisi untuk melanjutkan pekerjaannya sementara aku masih mematung di depan pintu.Aku termenung beberapa saat, bagaimana jika nanti aku memberitahukan semuanya kepadanya, apa aku jahat karena membunuh harapan seseorang? Namun, anaknya itu tidak mungkin akan berlaku baik kepadaku, ia selalu saja memperlakuka
Pemuda itu membawaku ke sebuah ruangan, dari dalam seorang wanita cantik membuka pintu dan tersenyum menyambutku, Regan duduk sembari memainkan ponselnya.“Ini dia,” ucap pemuda yang berdiri di sampingku.Regan tersenyum melihatku, meskipun dia tersenyum tetapi justru membuatku semakin takut.“Ngapain kamu, kamu itu udah nyulik aku kesini, aku bisa laporin kamu ke kantor polisi.” Aku kesal sekali melihat senyumnya.“Laporin aja, lagian aku enggak butuh kamu lama-lama,” jawabnya angkuh.Aku mengambil nafas dalam. Awas saja, kalau ibu kandungku sudah kudapatkan aku tidak akan membantunya, apalagi sampai bertemu dengannya lagi.“Ada perlu apa? Kamu bisa hubungin aku enggak perlu nyuruh orang buat nyeret aku kayak gini, kamu pikir aku ini apa? Kayak aku ini punya utang sama kamu sampe diseret-sere.” Aku memalingkan wajah, semakin kesal jika melihat ia tersenyum.“Udahlah, enggak usah debat, lagian males aku hubungin kamu, kalau enggak karena Mama juga aku enggak bakalan minta abangku buat
Rania berlari menghampiriku seperti anak kecil. “Kamu gak papa,kan? Gak diapa-apain? Kenapa pulang malem banget? Nggak jawab telepon aku, chat enggak dibales. Aku khawatir tahu,” ucapnya kesal sembari memutar badanku.“Apa sih, lihat ini aku masih utuh.” Aku tertawa melihat tingkahnya.“Aku takut kamu kenapa-kenapa Cinta, selain kamu aku udah enggak punya temen lagi.” Rania memelukku.“Udah ih. Kamu ini, kayak anak kecil.” Aku melepaskan pelukan Rania dan menariknya untuk masuk.“Kenapa lama banget, kamu kenal sama orang itu?” tanya Rania. Kami sudah berada di kamar atas. Toko bungaku dua lantai, bagian atas kamar, dapur, toilet, serta tempat santai.“Dulu kami satu SMA.”“Hah, terus kenapa tadi dia nahan kamu. Apa ada masalah?” Rania menatapku.Aku menceritakan semuanya kepada Rania, Regan yang telah mengejekku semasa SMA lalu sekarang meminta bantuanku agar menjadi calon istri tipuannya.“Apa? Yang bener aja? Terus kamu mau?” tanya Rania setelah mendengar ceritaku.Aku mengangguk
“Calon istri … calon istri, calon istri dari mana, yang bener kamu kalau ngomong.” Kulepaskan secara kasar pegangan tangan Regan ditanganku.“Maaf, tapi ini urgent banget dan kebetulan aja kamu yang nongol jadi aku enggak punya pilihan,” terangnya santai.“Kamu enggak bisa gitu, bilang calon istri sama aja kamu nipu mama kamu. Aku enggak mau terlibat sama kebohongan kamu, kamu harus jujur sekarang, kita itu enggak kenal.” Aku mendengus kesal. Enak saja, dulu dia mengejekku habis-habisan.“Udah terlanjur, enggak bisa diputar lagi,” jawabnya seperti tak merasa bersalah sedikitpun.“Biar aku aja yang jujur sama mamamu kalau kamu enggak mau ngomong.” Aku bersiap meraih handle pintu hendak masuk, tetapi Regan lebih cepat menghentikanku.“Tunggu … tunggu dulu … kamu harus bantu aku.” Aku tidak tahu itu kalimat ancaman atau sebuah permohonan. Dari nada bicaranya sama sekali tak menunjukkan kata permintaan tolong.“Ogah banget.” Kuputar handle pintu lagi dan lagi Regan menghentikanku.“Pokok
“Apa yang kamu pikirin? Ayo pergi.” Rania menepuk pelan pundakku, menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk dan mengikuti Rania yang lebih dulu berjalan menuju parkiran motor. Gegas kami mengendarai motor berdua. Ada pesanan buket besar yang harus kami persiapkan untuk malam ini.“Kamu mikirin apa sih? Kamu gak seneng udah bales ini sama Valen?” tanya Rania.Memang sejak tadi aku hanya diam saja, jika biasanya kami akan bercanda di atas motor sembari tertawa kali ini aku lebih memilih diam, tetapi tetap tidak fokus mengendarai motor.“Enggak papa kok Ran, aku cuma mikirin ucapan Ibuk tadi, dia bilang mau celakain ibu kandungku kalau aku nekat. Aku kepikiran itu. Apa mungkin selama ini Ibuk tahu dimana ibu kandungku?”“Hmm … besok coba aku bantu cari tahu kalau pas nganter jatah bulanan yang kamu kasih, itu sih kalau kamu masih mau jatah mereka, ya. Biasanya kalau udah lihat duit Bude kalap dan lupa segalanya.” Rania tertawa tipis.“Terus menurutmu apa perlu aku kasih uang satu kope
Kulepaskan cengkraman tangan ibu secara kasar. “Aku tidak peduli, dia menelantarkan aku buat apa aku peduli,” ucapku lalu meninggalkan ibu.Tentu saja yang kukatakan hanya kebohongan, mana mungkin aku tidak peduli dengan wanita yang melahirkanku. Sekalipun ia tidak pernah membesarkanku, tetapi ia tetap merawatku walau beberapa bulan, ia tetap ingin aku hidup. Aku mengatakan itu agar ibu tak menindasku, jika ia tahu aku peduli kepada Bu Ratih, bisa saja ia akan menggunakannya untuk mengancam terus menerus.Aku mendekati Valen yang masih sibuk menjelaskan semuanya kepada teman-temannya.“Mana uang pembayarannya.” Aku menyodorkan tangan tepat di depan wajah Valen.Valen menepis tanganku. “Kamu enggak berhak Kak, kalaupuan aku harus bayar semua ini itu kepada Rania bukan sama kamu, kamu itu siapa? Pasti Rania kasihan lihat kamu makannya selama ini nampung dan ngajakin kamu kerja, kan?”Aku tertawa mendengar ucapan valen. “Oh iya, aku kan cuma babu,” jawabkku.“Enggak, kalian salah, toko b