“Kamu harus terima semuanya Cinta, kamu harus rela Andre menikah dengan Valen.”
Aku tersenyum miris mendengar ucapan ibu, selama ini ibu tahu hubunganku dengan Andre sudah terjalin begitu lama, tetapi kenapa harus berakhir seperti ini? Aku dan Andre pun sudah menyiapkan semuanya, tidak mungkin aku mau mengalah.….Senyum di bibirku terlihat begitu indah hari ini. Bagaimana tidak, setelah lima tahun akhirnya aku dan Andre akan menikah. Hari yang telah kutunggu-tunggu begitu lama setelah kami bisa mengumpulkan satu persatu mimpi kami.“Mbaknya gak pernah dandan, ya, manglingi banget,” ucap perias yang meriasku hari ini.“Ah, mbak bisa aja. Tapi aku memang enggak bisa dandan Mbak, palingan juga cuma pakai lip tint sama bedak tabur, itu pun kalau ingat saja,” jawabku diikuti dengan tawa malu.Aku memang bukan gadis yang suka dandan, atau gila outfit. Cukup baju seadanya itu sudah cukup, lagipula selama ini Andre tidak pernah protes mau bagaimanapun gayaku.“Beneran loh, cantik banget. Manten lakinya nanti pasti gak kedip lihatnya.”Aku ikut tertawa mendengar ucapan mbak perias.“Foto dulu Mbak, mau aku upload,” ajak mbak perias.Jika biasanya aku malu dengan kamera, kali ini rasanya aku pun ingin menunjukkan senyum bahagiaku di depan kamera.Jantungku berdegup tidak karuan, sebentar lagi Andre akan mengucapkan kalimat sakral yang akan mengikat kami menjadi pasangan halal, rasanya ini seperti mimpi. Mempertahankan hubungan hingga bertahun-tahun dan kini sampai di pelaminan.Kutarik nafas dan melepaskannya secara perlahan setelah mendengar suara pak penghulu.“Huft, tinggal beberapa detik lagi Cin, dia akan benar-benar menjadi imamku,” aku berbicara sendiri di depan cermin, masih dengan senyuman manis.Kutajamkan telinga, mendengar jawaban dari Andre, tetapi ucapan Andre terhenti. Bukan karena jawaban ijab sudah selesai dan disambut dengan jawaban sah.“Tunggu! Kak Andre, kamu enggak bisa nikah sama Kak Cinta.”Degup jantungku berubah semakin kencang, mengapa dia menghentikan pernikahanku. Kenapa?Valen, bukannya dia sedang berada diluar kota dan tidak bisa datang? Lalu apa maksudnya menghentikan pernikahanku.Tak ingin menunggu lama lagi, gegas kuraih handle pintu dan menariknya kasar. Kulihat ia berdiri dengan kaki gemetar sembari memegang sebuah amplop berwarna coklat. Ibu gegas berlari menghampiri anak bungsunya yang berdiri dengan uraian air mata itu.“Kenapa Valen?” tanyaku yang kini telah berdiri pula di sampingnya.“Kakak tidak bisa menikah dengannya,” jawabnya sembari menatapku tajam, linangan air mata masih terus membasahi pipinya.“Apa maksudmu, Valen? Aku dan Andre .…”“Valen, apa-apaan, berhenti.” Andre menarikku perlahan dan kembali duduk di depan penghulu. “Ayo Pak, lanjutkan.”Ia tak menghiraukan Valen dan kerabat yang memandangnya penuh tanya.Acara akad hari ini kami memang hanya mengundang kerabat dekat saja.“Tidak, Kakak tidak bisa menikah dengan Kak Cinta dan ngabaiin aku gitu aja, kamu lihat ini. Ini hasil perbuatan kita.”Aku masih tidak mengerti sebenarnya ada apa, perbuatan apa? Kenapa Valen tidak ingin aku menikah dengan Andre.“Itu hanya kesalahan, kesalahan kecil,” jawab Andre.Ibu yang semula diam saja meraih amplop coklat yang ada di tangan Valen, membukanya dengan kasar. Aku yang sangat penasaran dengan isi amplop itu akhirnya ikut mendekat dengan ibu dan melihat isinya.Kakiku gemetar setelah melihat isinya, sebuah foto USG. Apa maksudnya ini? Apa mereka diam-diam bermain di belakangku?“Valen, bisa-bisanya kamu … katamu tidak terjadi apa-apa!” seru ibu menatap tajam valen. “Kamu katakan sama ibu dan bapak, kalian cuma suka biasa, tapi apa ini!”Ibu tahu, mereka semua tahu bahkan bapak yang diam saja masih duduk di posisinya juga tahu semua ini? Apa mereka semua menipuku? Bersekongkol membodohiku?Tubuhku begitu lemas, kakiku seperti tak bertulang tak lagi mampu menopang berat badanku. Entah tangan siapa yang menangkap tubuhku, saat aku tak sanggup lagi menerima kenyataan pahit ini. Nafasku terasa begitu sesak sebelum semuanya gelap, aku tak sadar lagi.… Suara berisik dan kegaduhan sudah tak terdengar lagi, entah berapa lama aku tak sadarkan diri, mungkin kerabat sudah meninggalkan kediaman orang tuaku. Kupaksa mata untuk terbuka sepenuhnya, aku harus mendapat penjelasan dari mereka semua. Tidak, bukankah semuanya sudah jelas, lalu apa yang harus aku lakukan? Menerima perlakuan mereka dan diam saja begitu atau bolehkah aku setidaknya menjambak rambut adikku tersayang itu? Haruskah kuteriaki dia seorang pelakor? Tidak, aku bahkan belum sah menikah dengan Andre lalu bagaimana aku akan meneriakinya sebagai pelakor?Kutarik daun pintu kasar, kulihat sekeliling. Benar saja kerabatku sudah tak ada. Hanya menyisakan kedua orang tuaku dan kedua orang tua Andre beserta Valen. Acara hari ini memang hanya akad yang hanya dihadiri oleh keluarga besar sementara pesta pernikahan akan digelar besok hari. Namun, semua rencana itu hanya akan menjadi tontonan menyedihkan bagiku.“Cinta, duduk dulu.” Ayah menghampiriku, menarik perlahan tanganku.Gontai aku melangkah menghampiri mereka semua yang berkumpul di ruang tamu.“Cinta, maaf.” Andre hendak meraih tanganku, tetapi secepat kilat aku menepis tangannya. Sangat menjijikkan jika tangan itu sampai menyentuh kulitku.“Cinta, kamu harus rela Andre menikah dengan Valen. Kamu harus terima semuanya Cinta, kamu harus rela melihat Andre menikah dengan Valen.”Aku tersenyum miris mendengar ucapan ibu, selama ini ibu tahu hubunganku dengan Andre sudah terjalin begitu lama tetapi kenapa harus berakhir seperti ini? Aku dan Andre pun sudah menyiapkan semuanya, tidak mungkin aku mau mengalah. Namun, mana mungkin pula aku menerima lelaki yang menghamili adikku sendiri.“Iya Kak, bagaimanapun anakku butuh bapaknya,” Valen ikut menimpali.Gadis itu benar-benar tak tahu malu, apa sekarang dia bangga dengan perbuatannya, perbuatan hina yang mereka lakukan.“Terus gimana kalau aku gak mau? Kalau aku mau tetep nikah sama Andre gimana? Mengingat semua yang udah kami capai bersama.” Aku tersenyum kecut menatap Valen.“Gak bisa gitu dong Kak, Kakakharus ngalah. Aku lebih berhak karena sekarang aku udah hamil anaknya Anre,” pungkasnya tak mau kalah.“Aku enggak keberatan kalau Cinta mau nerima aku lagi, lagipula aku memang cinta sama Cinta. Sedangkan sama Valen itu cuma kesalahan,” ujar Andre.Entah dimana otak laki-laki itu, beruntungnya aku dan dia belum menikah. Tuhan benar-benar masih sayang kepadaku sehingga tak membiarkan aku jatuh kedalam pelukan lelaki tak bertanggung jawab seperti Andre.“Loh, enggak bisa gitu. Kamu harus menikah sama Valen. Cinta kamu harus mengalah sama adikkmu.”Mengalah? Bukankah dulu aku sudah selalu mengalah. Mainan, baju, tas bahkan biaya kuliah yang harus kuberikan kepadanya hanya untuk membiayai Valen pergi keluar negeri dan sekarang ibu memintaku untuk mengalah kembali? Hah, rasanya lucu sekali. Ini bukan tentang mainan dan segala hal lain yang dianggap mudah untuk dibeli, tetapi ini tentang hidupku, bagaimana orang tua bertindak seperti itu?“Tapi Tante, aku memang mencintai Cinta dan bukan Valen,” ungkap Andre.Aku tersenyum kecut menatap Valen yang terlihat begitu kesal.“Apa Kak Andre gak mau tanggung jawab sama anak ini, Kakak bilang sayang sama aku dan kita ngelakuin itu sama-sama sadar, Kakak harus tanggung jawab.” Valen menarik tangan Andre menjauh dariku.“Oh begitu, jadi selama ini kalian semua mendukung dua manusia tak tahu malu ini untuk bermain di belakangku? Ibu tahu aku dan Andre sudah lama berhubungan, apa Tante dan Om juga tahu tentang ini?” Aku menatap tajam kedua orang tua Andre.“Cinta, kami tahu perbuatan anak kami salah, kami pikir mereka dekat karena akan menjadi kakak dan adik ipar enggak lebih, Tante juga kaget saat tahu semua ini.”“Cinta udahlah, kamu masih bisa cari orang lain. Sementara adikmu jika sampai dia melahirkan tanpa suami apa kamu tidak kasihan.”“Itu … itu buah dari didikan ayah sama ibu, begitulah menjadi wanita yang tidak paham adab dan mengorbankan kesuciannya begitu saja, apa sekarang ayah dan ibu bangga dengan prestasi anak kesayangan kalian, pezina!”Tamparan mendarat di pipiku, tidak menyangka jika ayah sampai hati menampar wajahku.“Jaga ucapanmu, Cinta!” serunya.“Apa yang salah? Bukankah itu semua benar!” Aku tersenyum getir menatap lelaki yang selalu kuhormati dan sangat kusayangi itu.Cinta yang dulu selalu menurut, Cinta yang dulu selalu mengalah, Cinta yang tak pernah dianggap kehadirannya, mulai hari ini tak akan ada lagi Cinta yang seperti itu. Cinta yang dulu sangat mengagungkan cinta mulai hari ini Cinta tak akan pernah percaya dengan cinta.“Ayah gak mau ada perdebatan lagi. Sudah cukup, terima tidak terima Andre akan menikah dengan Valen.” Ayah mendekat dan meraih tanganku. “Cinta, maaf, ayah sebenarnya berat sekali karena ayah tahu mungkin cuma Andre yang bisa nerima kamu, tapi mau bagaimana lagi, adikmu sudah mengandung. Ayah sudah berusaha mencari jalan sama ibumu tetapi tetap saja ini yang terbaik.”Aku tersenyum getir, entah ingin menggambarkan perasaan seperti apa saat ayah mengucapkannya, tetap saja aku tak senang dengan ucapan ayah. Memang benar, selama aku sekolah dasar hingga SMA bahkan sampai saat ini tak ada satupun laki-laki yang mau mendekat denganku, entah karena aku yang terlalu pendiam atau terlalu jelek, tetapi memang hanya Andre yang mau dekat denganku. Mungkin saat itu matanya tak dapat melihat dengar benar atau ia sakit mata saat mendekatiku.Kulihat senyum mengembang di wajah Valen, sementara Andre hanya menunduk. “Baiklah, terserah kalian. Menikahlah.” Kutinggalkan ruang tamu dan memilih masuk ke
Rasanya malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur, dan pastinya aku akan menghadapi drama yang lebih menyakitkan mulai saat ini. Satu rumah bersama mantan kekasih yang telah menjadi adik ipar, apa aku mampu menata hati untuk tegar? Susah sekali bukan.Biasanya pagi-pagi aku sudah mendengar omelan ibu, kenapa hari ini tak ada ketukan pintu. Lebih baik aku keluar dan mulai masuk kerja secepat mungkin. Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk bersiap, setelah selesai gegas aku keluar.“Cin, makan dulu Nak,” ajak ibu. Ibu yang berada di ruang makan menyambutku yang baru saja keluar dari kamar. Kamarku memang tak jauh dari ruang makan, aku memilih kamar lantai bawah karena memang lebih enak dan tak perlu naik turun tangga.Aku mengerutkan dahi, tidak seperti biasanya, tetapi aku sudah paham, jika ibu bersikap manis pasti ada yang ia inginkan. Ah, aku tidak boleh berpikiran buruk terhadap ibuku, mungkin saja ia telah berubah atau merasa iba dan menyesal dengan perlakuannya selama ini.
Aku menghela nafas saat hendak memasuki kantor, kembali mengumpulkan energi untuk melawan hujatan satu kantor. Aku sengaja menonaktifkan ponsel hingga kini, sebelum datang ke kantor aku tidak ingin melihat pesan di grup kantor karena itu akan membuat awal hariku menjadi berantakan, walau sebenarnya morning day-ku sudah cukup berantakan.Kupaksa bibir tersenyum lebar saat menarik daun pintu. Kantor tempat aku bekerja merupakan open plan untuk setiap divisi, sehingga tak ada privasi atau penyekat antara satu pegawai dengan pegawai lainnya. Semua mata tertuju padaku, kulirik jam yang berada di dinding, padahal aku belum telat kenapa sudah ramai, harusnya hari ini aku datang lebih pagi lagi.“Bukannya kamu masih cuti, Cin?” tanya Stella, kami tidak dekat, hanya cukup baik menjadi teman kantor saja.“Hust.” Andini mencubit pelan lengannya. “Kenapa? Dia kan baru merid kemarin. Emanggnya enggak sakit lu jalan. Gue aja yang udah lama kadang-kadang masih ngilu, lemes, tapi maunya deket terus
“Aku mencintainya tanpa pamrih, tanpa sebab. Kuterima kurangnya, kuterima buruknya, aku tak memandang latar belakangnya. Aku menggenggam tangannya saat dia jatuh. Aku mencintainya apa adanya, tetapi kenyataanya dia lebih memilih menanam benih di rahim adikku, melupakan janji kita. Membiarkan hatiku yang semula penuh keyakinan kini terluka, luka yang begitu lebar. Aku Cinta, yang ingin menabur cinta untuk semua orang, tetapi kenyataannya aku ini Cinta yang tak diinginkan dan tak ada orang yang mencintai Cinta.”…..Rania memelukku, mati-matian kutahan air mata agar tak menetes, tetapi tetap saja, air mata jatuh membasahi pipiku hingga pundak Rania.“Aku tahu ini berat buat kamu Cin, kalau aku jadi kamu mungkin aku udah stress, udah gak kuat ngadepin ini semua, Allah pilih kamu karena yakin kamu bisa, kamu kuat hadapi ini semua.”Aku mengangguk, mengusap sisa-sisa air mata yang menetes di pipi, aku tidak ingin terpuruk begitu lama, aku harus bangkit bukan.“Ayo, move on.” Kuberikan seny
Aku sudah tak sabar lagi, kenapa ponsel ini lama sekali menyala. Setelah menunggu, akhirnya ponselku menyala. Baru saja membuka whatsapp, tak sengaja aku melihat stroy milik Valen. Emosiku semakin tak terkontrol. Bukankah sudah kukatakan aku tak berniat memberikan rumah itu, sepertinya ucapanku itu tak dihiraukannya.Valen membagikan foto kamar dan memberi caption. “Enaknya warna apa untuk pengantin baru?” Selain itu ia juga membagikan sebuah vidoe dengan caption. “Dapat hadiah rumah dari misua.” Aku mengepalkan jari-jemari melihat tingkahnya. Kuraih tas yang berada di meja, secepatnya aku ingin menghampiri keduanya, bila perlu akan kukatakan semua didepan ayah dan ibu. Aku sudah memberikan kesempatan untuk Andre agar ia jujur, tetapi bukannya mengatakan semuanya bisa-bisanya ia mengajak Valen kesana. Rumah itu memang hanya aku dan Andre yang pernah kesana, sementara Valen, ayah atau ibu sama sekali belum pernah menginjakkan kaki disana.Baru saja keluar kudengar ada keributan, dari
“Andre apa maksudnya ini? Kamu harus jelasin,” ucap ibu yang masih bisa kudengar.Kuhapus darah yang mengalir di siku. “Aku enggak bisa lagi tinggal disini,” ucapku seorang diri.Entah kenapa air mataku menetes begitu saja, aku ingin kasih sayang sempurna dari ayah dan ibu tetapi sepertinya sampai seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan hal itu. Tidak ada ruang untukku di hati ibu, aku hanya diperlukan jika aku memiliki uang, maka dari itu aku harus banyak uang agar diterima baik oleh ibu. Kurapikan satu persatu bajuku, setelah semuanya masuk ke dalam koper, aku hanya membawa satu koper sementara lainya aku akan meminta jasa orang untuk mengambilnya nanti. “Oh, udah bikin ribut, bikin Valen syok terus kamu mau pergi gitu aja, bagus banget ya.” Ibu menghadangku. Sementara kulihat Valen dan Andre duduk di kursi.“Aku pengen hidup tenang, Ibuk bukannya enggak pengen aku disini, jadi biarin aku tinggal di luar.”“Memangnya s
“Apa kamu bilang, bukan aku yang wanita murahan, tapi ibumu, ibumu wanita murahan, kamu bukan anakku,” ucap ibu sembari menunjuk wajahku.Aku diam mematung, apa yang ibu katakan? Aku bukan anaknya? Apa yang dibicarakan sungguh-sungguh. Lantas aku ini anak siapa? Wanita murahan seperti apa yang melahirkanku.Ibu tertawa. “Apa kamu terkejut, kamu memang bukan anakku, harusnya kamu berterima kasih karena selama ini aku telah membesarkanmu, dan kamu seharusnya menuruti semua permintaanku atau Valen, maka semua ini tidak akan terjadi, kamu akan tetap menjadi putriku. Ini karena kamu sendiri yang besar kepala tak mau menurut dan sekarang kamu harus tahu kamu adalah anak dari wanita murahan,” ibu mencaciku tanpa henti, sementara aku hanya bisa berdiri lemas, bahkan kaki ini terasa mati tak bisa bergerak. “Ningsih!” panggil ayah yang baru saja masuk, ia berlari menghampiriku, meraih tubuhku yang hendak ambruk. “Keterlaluan kamu Ningsih, bukannya kamu sudah berjanji tidak akan mengungkapkan h
Kepalaku sakit, sakit sekali. Perlahan kubuka mata, bau menyengat obat-obatan menerpa indra penciuman. Kulihat sekeliling, tembok dengan cat berwarna putih aku tahu ini dimana, kutatap langit-langit ruangan sejenak, mencoba sepenuhnya mengumpulkan kesadaran. “Kamu udah bangun, Cin?” suara Rania pertama kali kudengar.“Minum,” pintaku lemah.Rania mengambil segelas air yang berada di meja, perlahan memberikan padaku.“Pelan-pelan.”Rania membantuku. Kuteguk air dalam gelas hingga tandas. “Aku panggil perawat dulu, ya? Kamu tunggu disini.”Aku mengangguk mengiyakan ucapan Rania, dia meninggalkanku sendiri.Kutatap jendela, cuaca begitu cerah. Ucapan ibu kembali terngiang di telingaku, air mata kembali menetes. Kenapa dengan cara seperti ini Tuhan memberitahukan fakta menyedihkan ini?Kuhapus air mata setelah kudengar Rania bersama seorang perawat datang, rupanya di belakang ayah berjalan mengikuti Rania. Setelah perawat memeriksa dan memberikan obat yang harus kuminum ia pergi meningg
“Dimana ibuku? Jangan bilang kamu cuma ngerjain aku.” Aku berdiri di depan Regan dengan penuh emosi, entahlah jika bicara dengannya aku seperti tak bisa mengendalikan emosiku.“Ngapain aku ngerjain kamu, emang kamu pikir aku masih anak SMA yang suka ngerjain kamu? Udah enggak lucu lagi, aku juga udah enggak tertarik sama kamu.”Aku terbahak mendengar ucapan Regan, “Jadi dulu kamu tertarik sama aku makannya suka benget ngusilin aku.”Regan membenarkan dasi dan posisinya yang semula bersandar di pintu mobil. “Ge er banget kamu, maksudku dulu memang kamu enak banget diejek. Udahlah jadi kamu mau enggak ketemu ibu kandungmu?”“Gak usah basa-basi deh Regan, aku enggak punya waktu buat debat sama kamu, langsung aja.”Regan mengeluarkan dompetnya dan menarik selembar foto lalu menunjukkan tepat di depan wajahku. “Ibumu, kan.” Senyum miring menghiasi bibir tipisnya.Aku ingin merebut foto yang lebih jelas dari milikku itu, tetapi Regan dengan cepat menyimpannya kembali. Entah darimana ia bisa
Aku membencinya karena tak bisa bersikap tegas, karena membiarkanku hidup dalam ketidakadilan, tetapi tetap saja aku tak bisa membuang rasa sayang yang bersemayam di sebagian hati ini.“Jangan pikirkan Ayah, kamu harus hidup lebih baik, Nak.”Tangisku pecah setelah mendengar ucapan ayah, setelah sekian puluh tahun kenapa baru sekarang ia mengatakan itu?“Aku akan hidup lebih baik jika tahu keberadaan ibu kandungku, Yah.”Ayah diam mendengar ucapanku, tak ada lagi jawabannya hingga beberapa saat. Aku masih setia menunggu sampai ia mengatakan sedikit saja informasi tentang Ibu Ratih.“Ibumu …. "“Oh, gini ya, dibelakang masih aja nelponin anak itu, kamu emang enggak pernah mikirin perasaan aku, Mas. Bisa-bisanya kamu ngumpet-ngumpet nelpon anak itu.” Kudengar suara ibu menyela ucapan ayah, membuatnya tak melanjutkan ucapan.“Cinta cuma nanyain kabarku. Lagian dia enggak minta apa-apa, emang apa salahnya kalau dia nelpon? Aku ini juga ayahnya, seandainya aku kasih uang makan juga itu ud
“Oh begini, seharian nggak pulang ternyata disini nungguin dia!” seru Valen sembari menunjukku.“Dasar pelakor, ngapain sih kamu masih aja hubungin suamiku? Oh ya, kamu kan enggak laku makannya masih ngarepin suamiku,” sambungnya.“Kamu ngapain kesini? Andre berusaha menghentikan Valen yang hendak menarik rambutku.“Kamu tanyain tuh sama suamimu, ngapain dia disini. Aku udah usir dia tapi tetep aja enggak mau pergi, sepertinya dia nyesel banget enggak jadi nikah sama aku, makannya betah seharian disini cuma buat lihatin aku, bahkan dia sampe bela-belain nungguin aku dari pagi,” ucapku sembari tersenyum mengejek kepada Valen.“Apa! Heh, gatel, aku tahu kamu yang duluan godain dia, kan!”“Udah-udah! Valen, kamu ngapain kesini? Aku udah bilang mau nganterin uangnya Cinta, kamu bisa tunggu di rumah.” Andre menengahi.“Jadi kamu enggak dengerin aku, Kak? Aku udah bilang jangan kasih uang itu, lagian dia juga udah banyak uangnnya.” Valen menghentakkan kakinya.“Udah, kalau mau ribut jangan
Aku memesan grab berniat ke rumah sakit ingin memberitahu semuanya kepada Mama Clara dan memberikan gelangnya lagi. Aku tak bisa menerima barang turun temurun yang seharusnya akan dipakai menantu yang sesungguhnya.….Sampai di rumah sakit gegas aku menuju ruangan Mama Clara, tetapi sampai di ruangan itu hanya ada barang-barangnya saja, mungkin sedang keluar pikirku. Saat aku hendak berbalik kebetulan bertemu dengan salah satu perawat yang hendak masuk ruangan tersebut. “Maaf Sus, apa pasien di kamar ini sedang keluar?” tanyaku.“Oh, Ibu Clara sedang berada di UGD, semalam keadaannya drop lagi dan harus dibawa ke UGD,” jawab perawat itu. Setelah selesai menjawab pertanyaanku ia permisi untuk melanjutkan pekerjaannya sementara aku masih mematung di depan pintu.Aku termenung beberapa saat, bagaimana jika nanti aku memberitahukan semuanya kepadanya, apa aku jahat karena membunuh harapan seseorang? Namun, anaknya itu tidak mungkin akan berlaku baik kepadaku, ia selalu saja memperlakuka
Pemuda itu membawaku ke sebuah ruangan, dari dalam seorang wanita cantik membuka pintu dan tersenyum menyambutku, Regan duduk sembari memainkan ponselnya.“Ini dia,” ucap pemuda yang berdiri di sampingku.Regan tersenyum melihatku, meskipun dia tersenyum tetapi justru membuatku semakin takut.“Ngapain kamu, kamu itu udah nyulik aku kesini, aku bisa laporin kamu ke kantor polisi.” Aku kesal sekali melihat senyumnya.“Laporin aja, lagian aku enggak butuh kamu lama-lama,” jawabnya angkuh.Aku mengambil nafas dalam. Awas saja, kalau ibu kandungku sudah kudapatkan aku tidak akan membantunya, apalagi sampai bertemu dengannya lagi.“Ada perlu apa? Kamu bisa hubungin aku enggak perlu nyuruh orang buat nyeret aku kayak gini, kamu pikir aku ini apa? Kayak aku ini punya utang sama kamu sampe diseret-sere.” Aku memalingkan wajah, semakin kesal jika melihat ia tersenyum.“Udahlah, enggak usah debat, lagian males aku hubungin kamu, kalau enggak karena Mama juga aku enggak bakalan minta abangku buat
Rania berlari menghampiriku seperti anak kecil. “Kamu gak papa,kan? Gak diapa-apain? Kenapa pulang malem banget? Nggak jawab telepon aku, chat enggak dibales. Aku khawatir tahu,” ucapnya kesal sembari memutar badanku.“Apa sih, lihat ini aku masih utuh.” Aku tertawa melihat tingkahnya.“Aku takut kamu kenapa-kenapa Cinta, selain kamu aku udah enggak punya temen lagi.” Rania memelukku.“Udah ih. Kamu ini, kayak anak kecil.” Aku melepaskan pelukan Rania dan menariknya untuk masuk.“Kenapa lama banget, kamu kenal sama orang itu?” tanya Rania. Kami sudah berada di kamar atas. Toko bungaku dua lantai, bagian atas kamar, dapur, toilet, serta tempat santai.“Dulu kami satu SMA.”“Hah, terus kenapa tadi dia nahan kamu. Apa ada masalah?” Rania menatapku.Aku menceritakan semuanya kepada Rania, Regan yang telah mengejekku semasa SMA lalu sekarang meminta bantuanku agar menjadi calon istri tipuannya.“Apa? Yang bener aja? Terus kamu mau?” tanya Rania setelah mendengar ceritaku.Aku mengangguk
“Calon istri … calon istri, calon istri dari mana, yang bener kamu kalau ngomong.” Kulepaskan secara kasar pegangan tangan Regan ditanganku.“Maaf, tapi ini urgent banget dan kebetulan aja kamu yang nongol jadi aku enggak punya pilihan,” terangnya santai.“Kamu enggak bisa gitu, bilang calon istri sama aja kamu nipu mama kamu. Aku enggak mau terlibat sama kebohongan kamu, kamu harus jujur sekarang, kita itu enggak kenal.” Aku mendengus kesal. Enak saja, dulu dia mengejekku habis-habisan.“Udah terlanjur, enggak bisa diputar lagi,” jawabnya seperti tak merasa bersalah sedikitpun.“Biar aku aja yang jujur sama mamamu kalau kamu enggak mau ngomong.” Aku bersiap meraih handle pintu hendak masuk, tetapi Regan lebih cepat menghentikanku.“Tunggu … tunggu dulu … kamu harus bantu aku.” Aku tidak tahu itu kalimat ancaman atau sebuah permohonan. Dari nada bicaranya sama sekali tak menunjukkan kata permintaan tolong.“Ogah banget.” Kuputar handle pintu lagi dan lagi Regan menghentikanku.“Pokok
“Apa yang kamu pikirin? Ayo pergi.” Rania menepuk pelan pundakku, menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk dan mengikuti Rania yang lebih dulu berjalan menuju parkiran motor. Gegas kami mengendarai motor berdua. Ada pesanan buket besar yang harus kami persiapkan untuk malam ini.“Kamu mikirin apa sih? Kamu gak seneng udah bales ini sama Valen?” tanya Rania.Memang sejak tadi aku hanya diam saja, jika biasanya kami akan bercanda di atas motor sembari tertawa kali ini aku lebih memilih diam, tetapi tetap tidak fokus mengendarai motor.“Enggak papa kok Ran, aku cuma mikirin ucapan Ibuk tadi, dia bilang mau celakain ibu kandungku kalau aku nekat. Aku kepikiran itu. Apa mungkin selama ini Ibuk tahu dimana ibu kandungku?”“Hmm … besok coba aku bantu cari tahu kalau pas nganter jatah bulanan yang kamu kasih, itu sih kalau kamu masih mau jatah mereka, ya. Biasanya kalau udah lihat duit Bude kalap dan lupa segalanya.” Rania tertawa tipis.“Terus menurutmu apa perlu aku kasih uang satu kope
Kulepaskan cengkraman tangan ibu secara kasar. “Aku tidak peduli, dia menelantarkan aku buat apa aku peduli,” ucapku lalu meninggalkan ibu.Tentu saja yang kukatakan hanya kebohongan, mana mungkin aku tidak peduli dengan wanita yang melahirkanku. Sekalipun ia tidak pernah membesarkanku, tetapi ia tetap merawatku walau beberapa bulan, ia tetap ingin aku hidup. Aku mengatakan itu agar ibu tak menindasku, jika ia tahu aku peduli kepada Bu Ratih, bisa saja ia akan menggunakannya untuk mengancam terus menerus.Aku mendekati Valen yang masih sibuk menjelaskan semuanya kepada teman-temannya.“Mana uang pembayarannya.” Aku menyodorkan tangan tepat di depan wajah Valen.Valen menepis tanganku. “Kamu enggak berhak Kak, kalaupuan aku harus bayar semua ini itu kepada Rania bukan sama kamu, kamu itu siapa? Pasti Rania kasihan lihat kamu makannya selama ini nampung dan ngajakin kamu kerja, kan?”Aku tertawa mendengar ucapan valen. “Oh iya, aku kan cuma babu,” jawabkku.“Enggak, kalian salah, toko b