Aku sudah tak sabar lagi, kenapa ponsel ini lama sekali menyala. Setelah menunggu, akhirnya ponselku menyala. Baru saja membuka w******p, tak sengaja aku melihat stroy milik Valen. Emosiku semakin tak terkontrol. Bukankah sudah kukatakan aku tak berniat memberikan rumah itu, sepertinya ucapanku itu tak dihiraukannya.
Valen membagikan foto kamar dan memberi caption. “Enaknya warna apa untuk pengantin baru?” Selain itu ia juga membagikan sebuah vidoe dengan caption. “Dapat hadiah rumah dari misua.” Aku mengepalkan jari-jemari melihat tingkahnya.Kuraih tas yang berada di meja, secepatnya aku ingin menghampiri keduanya, bila perlu akan kukatakan semua didepan ayah dan ibu. Aku sudah memberikan kesempatan untuk Andre agar ia jujur, tetapi bukannya mengatakan semuanya bisa-bisanya ia mengajak Valen kesana. Rumah itu memang hanya aku dan Andre yang pernah kesana, sementara Valen, ayah atau ibu sama sekali belum pernah menginjakkan kaki disana.Baru saja keluar kudengar ada keributan, dari dalam aku bisa mendengar Valen berbicara keras kepada ibu.“Kan, aku udah bilang suruh langsung kesana, ngapain Ibuk pakek nunggu Kak Cinta segala,” ucapnya dengan nada kesal.“Kalau gak nunggu kakakmu mana bisa turun, sekarang enggak bisa kayak dulu lagi harus kakakmu yang tanda tangan,” jawab ibu.“Sekarang gimana? Aku enggak mau tahu, pokoknya rumah itu harus penuh,” rengeknya seperti anak kecil.“Udahlah Sayang, kita bisa isi perabotan satu persatu ngapain maksa Ibuk,” andre ikut membujuk, menarik pelan bahu Valen.“Aku malu dong Sayang nanti kalau acara empat bulanan disana rumah masih kosong, aku mau undang temen-temenku, aku gak mau mereka ngetawain aku.”“Mau empat bulanan dimana?” Aku ikut bicara, ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama.“Kak Cinta, itu … Ibuk ngomong dong sama Kak Cinta,” bisiknya pada ibu yang masih berdiri di samping Valen.“Cinta, ini … kan kemarin udah dibicarakan, Ibuk udah bilang sama kamu kalau Valen mau rumah yang kamu beli sama Andre.”“Hah, apa aku kasih ijin?” aku melotot menatap Valen dan Andre bergantian.“Sayang, ayo dong ngomong sama Kak Cinta, kok kamu diem aja sih,” valen merengek di samping Andre, menggoyang-goyang lengannya seperti anak kecil.“Itu, aku enggak yakin Cinta setuju, kan aku udah bilang ke kamu,” jawab Andre pelan.“Cinta, kamu ini keras kepala banget sih, kalau adikmu mau rumah itu seharusnya kamu ngalah, kan itu juga enggak sepenuhnya kamu yang beli, nanti biar Andre cicil buat balikin uang kamu. Lagian warung kopi itu kata Andre buat kamu kalau rumah itu kamu kasih mereka,” ujar ibu yang membuatku tertawa lepas.“Jadi Andre ngomong gitu?” Aku masih menatap tajam Andre.“Enggak, itu sebenarnya .… ”“Loh, Yang, kan emang kamu kemarin bilang gitu di depan Ayah dan Ibuk.” Valen menghentikan ucapan Andre.“Andre itu gak berhak atas semuanya, cofee shop dan rumah itu semuanya milik aku,” jawabku.“Apa?” Valen tertawa keras. “Kakak enggak ngimpi disiang bolong kan? Apa Kakak terlalu frustasi enggak jadi nikah sama Andre sampai ngaku-ngaku gitu, Kakak terlalu menghayal mungkin karena saking stressnya karena enggak laku,” ejek valen.“Oke, kita buktiin, dan satu lagi, biar aku belum laku tapi aku enggak murahan kayak kamu.” Aku tertawa dan bersiap hendak meninggalkannya, rencana akan mengambil surat rumah dan segala buktinya.Namun, baru saja satu kaki melangkah Valen menarik rambutku hingga membuat aku hampir jatuh.“Apa Kakak bilang? Aku murahan, Kakak ini enggak tahu diri, ya! Kakak itu yang murahan!” serunya masih terus menjambakku.“Kamu memang murahan, buktinya mau ditidurin laki-laki calon orang.” Meskipun rambutku terasa sakit tetapi aku tak ingin berhenti menghina Valen, kapan lagi bisa kulakukan dan aku bisa menjambak Valen kembali.“Sudah hentikan, kalian ini apa-apaan. Cinta kamu kenapa sih, bukannya ngalah sama adikmu malah ngatainn dia. Dia itu lagi hamil kalau terjadi apa-apa awas aja kamu. Andre, ayo dong pisahin mereka.”“Hah, anak haram enggak bakalan kenapa-kenapa Buk, karena banyak setan yang jaga.” Karena terlalu kesal aku sampai tidak dapat mengontrol ucapanku.“Cukup Cinta, istriku lagi hamil kamu bisa nyakitin dia!” seru Andre sembari mendorongku hingga aku jatuh terbentur pintu.Aku tersenyum sinis menatapnya, merapikan rambutku lalu kembali berdiri.“Beresin semua barang-barangmu yang ada di coffee shop, jangan sampai satu barangpun tertinggal disana, aku mau jual malam ini juga.” Kutunjuk Andre, selama ini dia tinggal disana sembari mengelola coffee shop itu, tak ada lagi belas kasih untuknya.“Cinta … tunggu, kamu enggak bisa gitu, selama ini aku yang mengelola. Cinta, buka pintunya kita harus bicara baik-baik, bukannya kamu bilang kita bisa bicarakan baik-baik soal itu?” Andre berulang kali mengetuk pintu kamarku, tetapi aku tidak peduli. Mereka harus mendapatkan hasil atas perbuatan mereka.“Andre apa maksudnya ini? Kamu harus jelasin,” ucap ibu yang masih bisa kudengar.“Andre apa maksudnya ini? Kamu harus jelasin,” ucap ibu yang masih bisa kudengar.Kuhapus darah yang mengalir di siku. “Aku enggak bisa lagi tinggal disini,” ucapku seorang diri.Entah kenapa air mataku menetes begitu saja, aku ingin kasih sayang sempurna dari ayah dan ibu tetapi sepertinya sampai seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan hal itu. Tidak ada ruang untukku di hati ibu, aku hanya diperlukan jika aku memiliki uang, maka dari itu aku harus banyak uang agar diterima baik oleh ibu. Kurapikan satu persatu bajuku, setelah semuanya masuk ke dalam koper, aku hanya membawa satu koper sementara lainya aku akan meminta jasa orang untuk mengambilnya nanti. “Oh, udah bikin ribut, bikin Valen syok terus kamu mau pergi gitu aja, bagus banget ya.” Ibu menghadangku. Sementara kulihat Valen dan Andre duduk di kursi.“Aku pengen hidup tenang, Ibuk bukannya enggak pengen aku disini, jadi biarin aku tinggal di luar.”“Memangnya s
“Apa kamu bilang, bukan aku yang wanita murahan, tapi ibumu, ibumu wanita murahan, kamu bukan anakku,” ucap ibu sembari menunjuk wajahku.Aku diam mematung, apa yang ibu katakan? Aku bukan anaknya? Apa yang dibicarakan sungguh-sungguh. Lantas aku ini anak siapa? Wanita murahan seperti apa yang melahirkanku.Ibu tertawa. “Apa kamu terkejut, kamu memang bukan anakku, harusnya kamu berterima kasih karena selama ini aku telah membesarkanmu, dan kamu seharusnya menuruti semua permintaanku atau Valen, maka semua ini tidak akan terjadi, kamu akan tetap menjadi putriku. Ini karena kamu sendiri yang besar kepala tak mau menurut dan sekarang kamu harus tahu kamu adalah anak dari wanita murahan,” ibu mencaciku tanpa henti, sementara aku hanya bisa berdiri lemas, bahkan kaki ini terasa mati tak bisa bergerak. “Ningsih!” panggil ayah yang baru saja masuk, ia berlari menghampiriku, meraih tubuhku yang hendak ambruk. “Keterlaluan kamu Ningsih, bukannya kamu sudah berjanji tidak akan mengungkapkan h
Kepalaku sakit, sakit sekali. Perlahan kubuka mata, bau menyengat obat-obatan menerpa indra penciuman. Kulihat sekeliling, tembok dengan cat berwarna putih aku tahu ini dimana, kutatap langit-langit ruangan sejenak, mencoba sepenuhnya mengumpulkan kesadaran. “Kamu udah bangun, Cin?” suara Rania pertama kali kudengar.“Minum,” pintaku lemah.Rania mengambil segelas air yang berada di meja, perlahan memberikan padaku.“Pelan-pelan.”Rania membantuku. Kuteguk air dalam gelas hingga tandas. “Aku panggil perawat dulu, ya? Kamu tunggu disini.”Aku mengangguk mengiyakan ucapan Rania, dia meninggalkanku sendiri.Kutatap jendela, cuaca begitu cerah. Ucapan ibu kembali terngiang di telingaku, air mata kembali menetes. Kenapa dengan cara seperti ini Tuhan memberitahukan fakta menyedihkan ini?Kuhapus air mata setelah kudengar Rania bersama seorang perawat datang, rupanya di belakang ayah berjalan mengikuti Rania. Setelah perawat memeriksa dan memberikan obat yang harus kuminum ia pergi meningg
“Apa karena aku terlahir dari wanita yang buruk sehingga aku pantas di pandang dan diperlakukan buruk. Apa karena aku terlahir dari rahim wanita simpanan sehingga aku pantas diperlakukan seperti tak memiliki dunia. Bukankah orang tua yang menginginkan anak, anak tak pernah bisa memilih dari rahim mana ia dilahirkan, tetapi seorang ibu dapat memilih untuk melahirkannya. Lantas pantaskah mereka menyalahkanku yang tidak tahu apa-apa ini.”….“Makan yang banyak Cin, jangan sakit lagi.” Rania terus menyuap bubur padaku.“Siapa yang bawa aku kesini? Harusnya dia biarin aja aku mati di pinggir jalan Ran, lagian buat apa aku hidup? Aku udah enggak punya tujuan lagi.”Aku masih menatap jendela, hari semakin cerah, burung-burung berkicau tanpa henti seolah bernyanyi diatas penderitaanku. Apakah alam begitu bahagia?“Kamu kok ngomongnya gitu, jangan gitu, jangan punya pikiran seperti itu, kamu punya banyak alasan untuk hidup sekalipun jalanmu berat.”“Kamu udah denger kan, kamu pasti udah tahu s
“Apa seperti ini anak wanita murahan Buk?”Aku mendekat kepada ibu, menatapnya tajam tanpa rasa takut. “Ya, seperti ini, seperti kamu yang tidak tahu balas budi, sudah dibesarkan dengan baik, seharusnya kamu balas budi dan kasih apa yang aku mau.”Aku tersenyum getir. “Bukannya dari dulu aku udah kasih semua yang Ibuk mau, bahkan sampai celana dalam Ibuk saja jika aku yang tidak membelikan apa anak Ibuk itu mau beliin?” “Oh, kamu mau itung-itungan? Itu udah kewajiban kamu balas budi sama aku. Kamu itu aku kasih makan, udah aku besarin jadi wajar aja.”“Bukankah itu udah kewajiban ayah nafkahin aku, lagian aku enggak pernah minta kalian buat besarin aku, kalian sendiri yang mau? Kalau enggak ikhlas ngapain dulu nerima dan ngerawat aku enggak biarin aja aku di jalanan mati," jawabku enteng sembari melipat tangan didada.“Bener-bener kamu ya, Cin …. " Ibu mengangkat tangannya hendak menamparku, tetapi aku menepisnya. Jangan anggap aku Cinta yang lemah seperti dulu, jika menurutnya aku
Aku menarik nafas dalam. “Entahlah apa aku bisa memaafkan Ayah.” Aku menyesap secangkir kopi, kopi yang masih sangat terasa pahit karena hanya sedikit gula yang ditambahkan. Pahitnya kopi tidak ada seberapa dibanding kisah hidupku. “Karena setelah aku pikir Ayahlah orang yang jahat.”“Ya kamu benar, ayah memang orang jahat, harusnya ayah menjadi laki-laki yang tegas dan bertanggung jawab,” jawab ayah menundukkan wajah.“Dimana ibu kandungku? Siapa dia?”Ayah menghela nafas panjang, diam sejenak, mungkin pikirannya sedang memutar kejadian berpuluh tahun lamanya.“Baiklah jika ini memang sudah waktunya kamu tahu, tapi apapun yang terjadi nanti tolong jangan tinggalkan ayah, Cinta. Bagaimana ayah bisa menebus kesalahan ayah kepada ibumu jika kamu meninggalkan ayah.”Aku diam tak menjawab ucapan ayah, ada rasa kecewa yang begitu mendalam setiap kali melihat ayah, bagaimana mungkin lelaki yang sangat kucintai itu ternyata seorang pengkhianat, rasanya aku tidak ingin mempercayai hal itu.Ay
“Dimana Ibu Ratih?” Aku ingin tahu sekali seperti apa rupa wanita yang melahirkanku itu, wanita yang selalu ibu sebut murahan padahal dia sendiri juga korban dari ayah.“Ayah tidak tahu, pernah ayah cari tapi tidak pernah ketemu,” jawab ayah sembari menunduk.Aku menarik nafas panjang. “Lalu kenapa ibu tidak membesarkanku sendiri, kenapa harus kirim aku ke rumah Ayah. Bukannya bagi ibu anak adalah segalanya, lalu kenapa Ibu kirim aku ke rumah orang yang jelas sekali sangat membencinya?” Air mataku menetes, aku tak kuasa menahan tangis, sakit sekali rasanya. Aku tidak tahu hal berat apa yang menimpa ibu kandungku sampai ia tega membiarkan anaknya dibesarkan wanita yang mungkin bisa melukainya.“Aqyah bodoh Cinta, saat itu ayah benar-benar tak bisa berpikir, nenekmu sakit parah memikirkan ayah, tak membiarkan ayah meninggalkan Ibu Ningsih. Sementara Ibu Ningsih pun dalam keadaan tidak stabil, ayah harus merawatnya. Ayah meninggalkan ibumu, tak bertanya kabar kalian, bahkan tidak perna
Acara tujuh bulanan Valen terlihat begitu mewah. Dekorasi ia meminta jasa Rania. Sampai saat ini Valen juga ayah dan ibu masih mengira toko bunga itu milik Rania, toko bunga yang sekarang telah berkembang merangkap dekor organizer yang lebih besar. Pesta Valen digelar di rumah besar dua lantai di kawasan elit, rumah sewaan atas kemauan Valen, hal itu aku tahu dari Rania, semua itu ia lakukan agar tak malu dengan teman-teman kuliahnya.Aku sengaja datang diakhir acara, dari kejauhan kulihat meriahnya pesta. Semua dekorasi belum ada pembayaran. Aku menunggu acara untuk meminta hal itu. Jika aku mau, bisa saja kuhancurkan pestanya, tetapi tak kulakukan mengingat ayah dan ibu, sedikit saja aku masih memiliki hati nurani.Sementara menunggu pesta usai aku melihat sekeliling, mungkin ada tempat untuk menghilangkan bosan. Mataku tertuju di sebuah restoran outdoor tak jauh dari tempat aku memarkirkan motor. Kuputuskan untuk berjalan kaki ke restoran tersebut, kulepas helm dan memakai kacam
“Dimana ibuku? Jangan bilang kamu cuma ngerjain aku.” Aku berdiri di depan Regan dengan penuh emosi, entahlah jika bicara dengannya aku seperti tak bisa mengendalikan emosiku.“Ngapain aku ngerjain kamu, emang kamu pikir aku masih anak SMA yang suka ngerjain kamu? Udah enggak lucu lagi, aku juga udah enggak tertarik sama kamu.”Aku terbahak mendengar ucapan Regan, “Jadi dulu kamu tertarik sama aku makannya suka benget ngusilin aku.”Regan membenarkan dasi dan posisinya yang semula bersandar di pintu mobil. “Ge er banget kamu, maksudku dulu memang kamu enak banget diejek. Udahlah jadi kamu mau enggak ketemu ibu kandungmu?”“Gak usah basa-basi deh Regan, aku enggak punya waktu buat debat sama kamu, langsung aja.”Regan mengeluarkan dompetnya dan menarik selembar foto lalu menunjukkan tepat di depan wajahku. “Ibumu, kan.” Senyum miring menghiasi bibir tipisnya.Aku ingin merebut foto yang lebih jelas dari milikku itu, tetapi Regan dengan cepat menyimpannya kembali. Entah darimana ia bisa
Aku membencinya karena tak bisa bersikap tegas, karena membiarkanku hidup dalam ketidakadilan, tetapi tetap saja aku tak bisa membuang rasa sayang yang bersemayam di sebagian hati ini.“Jangan pikirkan Ayah, kamu harus hidup lebih baik, Nak.”Tangisku pecah setelah mendengar ucapan ayah, setelah sekian puluh tahun kenapa baru sekarang ia mengatakan itu?“Aku akan hidup lebih baik jika tahu keberadaan ibu kandungku, Yah.”Ayah diam mendengar ucapanku, tak ada lagi jawabannya hingga beberapa saat. Aku masih setia menunggu sampai ia mengatakan sedikit saja informasi tentang Ibu Ratih.“Ibumu …. "“Oh, gini ya, dibelakang masih aja nelponin anak itu, kamu emang enggak pernah mikirin perasaan aku, Mas. Bisa-bisanya kamu ngumpet-ngumpet nelpon anak itu.” Kudengar suara ibu menyela ucapan ayah, membuatnya tak melanjutkan ucapan.“Cinta cuma nanyain kabarku. Lagian dia enggak minta apa-apa, emang apa salahnya kalau dia nelpon? Aku ini juga ayahnya, seandainya aku kasih uang makan juga itu ud
“Oh begini, seharian nggak pulang ternyata disini nungguin dia!” seru Valen sembari menunjukku.“Dasar pelakor, ngapain sih kamu masih aja hubungin suamiku? Oh ya, kamu kan enggak laku makannya masih ngarepin suamiku,” sambungnya.“Kamu ngapain kesini? Andre berusaha menghentikan Valen yang hendak menarik rambutku.“Kamu tanyain tuh sama suamimu, ngapain dia disini. Aku udah usir dia tapi tetep aja enggak mau pergi, sepertinya dia nyesel banget enggak jadi nikah sama aku, makannya betah seharian disini cuma buat lihatin aku, bahkan dia sampe bela-belain nungguin aku dari pagi,” ucapku sembari tersenyum mengejek kepada Valen.“Apa! Heh, gatel, aku tahu kamu yang duluan godain dia, kan!”“Udah-udah! Valen, kamu ngapain kesini? Aku udah bilang mau nganterin uangnya Cinta, kamu bisa tunggu di rumah.” Andre menengahi.“Jadi kamu enggak dengerin aku, Kak? Aku udah bilang jangan kasih uang itu, lagian dia juga udah banyak uangnnya.” Valen menghentakkan kakinya.“Udah, kalau mau ribut jangan
Aku memesan grab berniat ke rumah sakit ingin memberitahu semuanya kepada Mama Clara dan memberikan gelangnya lagi. Aku tak bisa menerima barang turun temurun yang seharusnya akan dipakai menantu yang sesungguhnya.….Sampai di rumah sakit gegas aku menuju ruangan Mama Clara, tetapi sampai di ruangan itu hanya ada barang-barangnya saja, mungkin sedang keluar pikirku. Saat aku hendak berbalik kebetulan bertemu dengan salah satu perawat yang hendak masuk ruangan tersebut. “Maaf Sus, apa pasien di kamar ini sedang keluar?” tanyaku.“Oh, Ibu Clara sedang berada di UGD, semalam keadaannya drop lagi dan harus dibawa ke UGD,” jawab perawat itu. Setelah selesai menjawab pertanyaanku ia permisi untuk melanjutkan pekerjaannya sementara aku masih mematung di depan pintu.Aku termenung beberapa saat, bagaimana jika nanti aku memberitahukan semuanya kepadanya, apa aku jahat karena membunuh harapan seseorang? Namun, anaknya itu tidak mungkin akan berlaku baik kepadaku, ia selalu saja memperlakuka
Pemuda itu membawaku ke sebuah ruangan, dari dalam seorang wanita cantik membuka pintu dan tersenyum menyambutku, Regan duduk sembari memainkan ponselnya.“Ini dia,” ucap pemuda yang berdiri di sampingku.Regan tersenyum melihatku, meskipun dia tersenyum tetapi justru membuatku semakin takut.“Ngapain kamu, kamu itu udah nyulik aku kesini, aku bisa laporin kamu ke kantor polisi.” Aku kesal sekali melihat senyumnya.“Laporin aja, lagian aku enggak butuh kamu lama-lama,” jawabnya angkuh.Aku mengambil nafas dalam. Awas saja, kalau ibu kandungku sudah kudapatkan aku tidak akan membantunya, apalagi sampai bertemu dengannya lagi.“Ada perlu apa? Kamu bisa hubungin aku enggak perlu nyuruh orang buat nyeret aku kayak gini, kamu pikir aku ini apa? Kayak aku ini punya utang sama kamu sampe diseret-sere.” Aku memalingkan wajah, semakin kesal jika melihat ia tersenyum.“Udahlah, enggak usah debat, lagian males aku hubungin kamu, kalau enggak karena Mama juga aku enggak bakalan minta abangku buat
Rania berlari menghampiriku seperti anak kecil. “Kamu gak papa,kan? Gak diapa-apain? Kenapa pulang malem banget? Nggak jawab telepon aku, chat enggak dibales. Aku khawatir tahu,” ucapnya kesal sembari memutar badanku.“Apa sih, lihat ini aku masih utuh.” Aku tertawa melihat tingkahnya.“Aku takut kamu kenapa-kenapa Cinta, selain kamu aku udah enggak punya temen lagi.” Rania memelukku.“Udah ih. Kamu ini, kayak anak kecil.” Aku melepaskan pelukan Rania dan menariknya untuk masuk.“Kenapa lama banget, kamu kenal sama orang itu?” tanya Rania. Kami sudah berada di kamar atas. Toko bungaku dua lantai, bagian atas kamar, dapur, toilet, serta tempat santai.“Dulu kami satu SMA.”“Hah, terus kenapa tadi dia nahan kamu. Apa ada masalah?” Rania menatapku.Aku menceritakan semuanya kepada Rania, Regan yang telah mengejekku semasa SMA lalu sekarang meminta bantuanku agar menjadi calon istri tipuannya.“Apa? Yang bener aja? Terus kamu mau?” tanya Rania setelah mendengar ceritaku.Aku mengangguk
“Calon istri … calon istri, calon istri dari mana, yang bener kamu kalau ngomong.” Kulepaskan secara kasar pegangan tangan Regan ditanganku.“Maaf, tapi ini urgent banget dan kebetulan aja kamu yang nongol jadi aku enggak punya pilihan,” terangnya santai.“Kamu enggak bisa gitu, bilang calon istri sama aja kamu nipu mama kamu. Aku enggak mau terlibat sama kebohongan kamu, kamu harus jujur sekarang, kita itu enggak kenal.” Aku mendengus kesal. Enak saja, dulu dia mengejekku habis-habisan.“Udah terlanjur, enggak bisa diputar lagi,” jawabnya seperti tak merasa bersalah sedikitpun.“Biar aku aja yang jujur sama mamamu kalau kamu enggak mau ngomong.” Aku bersiap meraih handle pintu hendak masuk, tetapi Regan lebih cepat menghentikanku.“Tunggu … tunggu dulu … kamu harus bantu aku.” Aku tidak tahu itu kalimat ancaman atau sebuah permohonan. Dari nada bicaranya sama sekali tak menunjukkan kata permintaan tolong.“Ogah banget.” Kuputar handle pintu lagi dan lagi Regan menghentikanku.“Pokok
“Apa yang kamu pikirin? Ayo pergi.” Rania menepuk pelan pundakku, menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk dan mengikuti Rania yang lebih dulu berjalan menuju parkiran motor. Gegas kami mengendarai motor berdua. Ada pesanan buket besar yang harus kami persiapkan untuk malam ini.“Kamu mikirin apa sih? Kamu gak seneng udah bales ini sama Valen?” tanya Rania.Memang sejak tadi aku hanya diam saja, jika biasanya kami akan bercanda di atas motor sembari tertawa kali ini aku lebih memilih diam, tetapi tetap tidak fokus mengendarai motor.“Enggak papa kok Ran, aku cuma mikirin ucapan Ibuk tadi, dia bilang mau celakain ibu kandungku kalau aku nekat. Aku kepikiran itu. Apa mungkin selama ini Ibuk tahu dimana ibu kandungku?”“Hmm … besok coba aku bantu cari tahu kalau pas nganter jatah bulanan yang kamu kasih, itu sih kalau kamu masih mau jatah mereka, ya. Biasanya kalau udah lihat duit Bude kalap dan lupa segalanya.” Rania tertawa tipis.“Terus menurutmu apa perlu aku kasih uang satu kope
Kulepaskan cengkraman tangan ibu secara kasar. “Aku tidak peduli, dia menelantarkan aku buat apa aku peduli,” ucapku lalu meninggalkan ibu.Tentu saja yang kukatakan hanya kebohongan, mana mungkin aku tidak peduli dengan wanita yang melahirkanku. Sekalipun ia tidak pernah membesarkanku, tetapi ia tetap merawatku walau beberapa bulan, ia tetap ingin aku hidup. Aku mengatakan itu agar ibu tak menindasku, jika ia tahu aku peduli kepada Bu Ratih, bisa saja ia akan menggunakannya untuk mengancam terus menerus.Aku mendekati Valen yang masih sibuk menjelaskan semuanya kepada teman-temannya.“Mana uang pembayarannya.” Aku menyodorkan tangan tepat di depan wajah Valen.Valen menepis tanganku. “Kamu enggak berhak Kak, kalaupuan aku harus bayar semua ini itu kepada Rania bukan sama kamu, kamu itu siapa? Pasti Rania kasihan lihat kamu makannya selama ini nampung dan ngajakin kamu kerja, kan?”Aku tertawa mendengar ucapan valen. “Oh iya, aku kan cuma babu,” jawabkku.“Enggak, kalian salah, toko b