“Aku mencintainya tanpa pamrih, tanpa sebab. Kuterima kurangnya, kuterima buruknya, aku tak memandang latar belakangnya. Aku menggenggam tangannya saat dia jatuh. Aku mencintainya apa adanya, tetapi kenyataanya dia lebih memilih menanam benih di rahim adikku, melupakan janji kita. Membiarkan hatiku yang semula penuh keyakinan kini terluka, luka yang begitu lebar. Aku Cinta, yang ingin menabur cinta untuk semua orang, tetapi kenyataannya aku ini Cinta yang tak diinginkan dan tak ada orang yang mencintai Cinta.”
…..Rania memelukku, mati-matian kutahan air mata agar tak menetes, tetapi tetap saja, air mata jatuh membasahi pipiku hingga pundak Rania.“Aku tahu ini berat buat kamu Cin, kalau aku jadi kamu mungkin aku udah stress, udah gak kuat ngadepin ini semua, Allah pilih kamu karena yakin kamu bisa, kamu kuat hadapi ini semua.”Aku mengangguk, mengusap sisa-sisa air mata yang menetes di pipi, aku tidak ingin terpuruk begitu lama, aku harus bangkit bukan.“Ayo, move on.” Kuberikan senyum untuk Rania.“Pasti ada hadiah besar buat kamu Cin, mungkin harus sabar sedikit lagi.”Aku tertawa tipis mendengar ucapan Rania. “Jadi deg-degan aku, kira-kira dapet hadiah apa aku.”Rania ikut tertawa. “Aku serius, ih.”“Udah ah, ayo lanjutin aku bantuin, malem ini aku nginep di sini aja, ya?” Aku mengambil bunga dan membuat rangkaian yang sebagian sudah dirangkai Rania.“Ya ngapain pakek ijin, punya sendiri juga.” Rania tertawa.“Mana tahu nanti ganggu kamu, soalnya kan hati aku masih galau, mana tahu aku kebangun terus nangis.”“Sumpah ya, munafik banget. Kemarin bilang udah gak mau nangisin laki-laki kayak Andre,” ejek Rania.“Aku sih sebenarnya enggak munafik, cuma hati aku aja yang bandel ini.”“Cepetan deh cari gebetan lain.”“Gak ada yang mau lagi sama aku. Aku mencintainya tanpa pamrih, tanpa sebab. Kuterima kurangnya, kuterima buruknya, aku tak memandang latar belakangnya. Aku menggenggam tangannya saat dia jatuh. Aku mencintainya apa adanya, tetapi kenyataanya dia lebih milih menanam benih di rahim adikku, melupakan janji kita. Membiarkan hatiku yang semula penuh keyakinan kini terluka, luka yang begitu lebar. Aku Cinta, yang ingin menabur cinta untuk semua orang, tetapi kenyataannya aku ini Cinta yang tak diinginkan dan tak ada orang yang mencintai Cinta.”Rania mengusap punggungku.“Makannya duit jangan buat modalin cowok, buat perawatan juga. Kadang-kadang aku kesel banget sama kamu Cin, kenapa sih kamu eman banget sama duit, kan kamu cewek butuh juga perawatan.” Rania menatapku, menunjuk satu persatu jerawat yang bersarang hampir memenuhi wajah. “Lihat tuh, kuman aja seneng hidup di wajahmu, sesekali kek dateng ke salon buat perawatan.”Selama ini aku memang abai dengan wajah, bahkan terkesan tak merawatnya. Selain tak ada waktu, tentu saja karena malas. Waktuku hanya untuk bekerja dan bekerja mengumpulkan uang.“Iya deh lain kali aku bakalan nyalon.” Kucubit gemas pipi Rania, dibanding Valen Rania lebih akrab denganku, bahkan ia lebih perhatian melebihi adik kandungku sendiri. “Bunga ini pesenan siapa?” Aku mengalihkan pembicaraan, tka ingin terus mendengar omelan adik sepupuku itu.“Besok aku tunjukkin, ikut aku anter karangan bunga jam delapan malem, sebagian udah aku siapin bareng anak-anak yang lain, ada pesta juga.”“Kok kamu enggak bilang aku ada job besar gini?”“Ck … gimana aku mau bilang, minggu-minggu kemarin setiap aku telpon selalu sibuk buat siapin pernikahan kamu sama Andre, enggak ada waktu buat ngomongin ini semua, kamu nempel terus sama adik iparmu itu,” ungkapnya dengan nada kesal.Ya, memang bukan salah Rania, aku memang sibuk sampai terkadang pesan dari Rania tak sempat kubaca.“Jadi gimana, catering kemarin kamu tetep bayar sisanya?” tanya Rania lagi.Aku mengangguk lemah, memang kemarin dia melarangku untuk membayar semuanya, bagaimanapun itu tetap tanggung jawab Andre. Aku sudah membayar lunas tenda pelaminan beserta periasnya. Namun, aku tidak tega jika menghambat rejeki orang lain, akhirnya begitu acara selesai aku menutup segala biaya pernikahan itu.“Gimana lagi Ran, aku enggak tega sama tempat cateringnya. Ada banyak perut yang nunggu, gak mungkin aku menghambat gaji mereka. Bagaimana kalau ada yang sama sekali tak pegang uang, apa gak kasihan.”“Itulah kamu, dari dulu terlalu mikirin perasaan orang lain. Tapi perasaan kamu enggak ada yang peduliin.”“Nggak apalah, aku sedekah sama mereka. Katamu akan ada hadiah besar nanti.”“Elleh, kamu ini.”Kami tertawa bersama.Aku membantu Rania menyelesaikan buket bunga yang begitu istimewa, buket bunga mawar yang begitu besar. Pelanggan kami meminta semua jenis mawar untuk dijadikan satu. Dia memesan banyak rangkaian bunga mawar, dan juga meminta untuk merangkai bunga mawar menjadi angka tujuh puluh, entah untuk siapa bunga-bunga ini, yang pasti penerimanya akan sangat terkesan. Bunga mawar, bunga kasih sayang, bunga cinta sudah pasti penerimanya adalah orang yang sangat dicintai pelanggan kami itu.….Setelah kupikirkan semalaman, kuputuskan untuk mengundurkan diri. Lagipula setelah semua ini, aku tak ingin memikirkan siapapun, jika dulu aku bekerja karena ayah dan ibu. Kali ini aku berhenti karena mereka pula. Aku akan membuktikan aku bisa lebih baik.Hari ini aku datang ke kantor hanya untuk memberikan surat pengunduran diri. Tak peduli dengan ucapan teman kerjaku yang terlihat berbisik antara satu dengan yang lainnya, aku tetap melangkah pergi tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. Aku sudah berpamitan kepada mereka semua dan meminta maaf, tak akan kubiarkan omongan mereka mempengaruhiku, aku hanya perlu melangkah pergi.Dari kantor aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah ayah. Rencananya akan mengambil pakaian dan barang-barangku lainnya, aku akan tinggal di rumah yang kubeli bersama Andre saja, itu lebih baik.Namun, sampai di rumah justru aku mendapatkan kejutan yang membuat aku naik darah seketika.“Nah, ini orangnya, Pak. Semuanya dia yang nyicil ya, Pak,” ucap ibu, menarikku penuh semangat, bahkan aku belum sempat melepas helmku.“Apa ini Buk?” tanyaku bingung.Banyak perabotan rumah tangga yang hendak diturunkan, tetapi ibu menghentikannya.“Eh, enggak diturunin disini Pak. Nanti saya kasih tunjuk alamatnya.” Ibu mengambil sesuatu di dalam.“Mbak tanda tangan disini.” Bapak penjual perabot rumah tangga itu menyodorkan sebuah kertas, entah kertas berisi tulisan itu.“Apa ini?” Aku tak ingin mengambil kertas yang disodorkan bapak itu.“Ini perjanjian utang piutang Mbak, Mbak baca dulu, jadi nanti setiap bulannya bisa dicicil.”Tentu saja aku bingung, kenapa aku yang harus bayar. Perabotan ini untuk siapa? Lagi pula aku tak memerlukan barang-barang seperti itu.“Ini Pak alamatnya.” Ibu datang, menyerahkan secarik kertas kepada bapak itu.“Oke Buk, ini mbaknya perlu tanda tangan dulu, karena rupanya enggak bisa diwakilkan Buk. Harus mbaknya sendiri yang tanda tangan,” ujar bapak itu kembali menyodorkan kertas putih di depanku.“Oh gitu ya, ya udah gak papa, ini kebetulan orangnya disini.” Ibu menarik kertas dari tangan bapak itu penuh semangat, lalu memberikan padaku. “Ayo cepetan ditanda tangani, Cinta.”“Aku gak mau, perabotan ini buat siapa? Buat Ibuk? Terus kenapa enggak di turunin disini kalau buat Ibuk?”Aku masih tidak tahu perabotan itu untuk siapa? Mana mungkin mau menandatangani begitu saja.“Udahlah kamu tinggal tanda tangani aja, lagian setorannya juga ringan karena lagi ada diskon.” Ibu masih terus menyodorkan kertas itu.“Coba Pak lihat alamatnya.” Aku menodongkan tangan, meminta secarik kertas yang sempat diberikan ibu.“Gak usah Pak, nanti kamu juga tahu, Cin.” Ibu melarang bapak itu menyerahkan catatan alamat.“Ya, aku perlu tahu Buk, ini semua buat siapa? Buat ibuk atau Valen?”“Ini ibuk kirim ke rumah Valen, kasihan dia kata Andre rumahnya masih kosong,” ungkap ibu.“Rumah yang mana? Jangan bilang Ibuk sama Valen nekat buat ambil dan nempatin rumah itu.” Kutarik paksa kertas yang ada di tangan bapak sales, mataku memerah setelah benar alamat yang dituju merupakan rumahku.“Gak usah ribut deh Cin, kamu itu harus balas budi.”“Bawa pulang lagi semua ini Pak, aku gak akan pernah mau bayar ini semua. Kalau Bapak nekat nurunin barang-barang ini, Bapak minta pembayaran sama Ibuk bukan sama saya.” Kutinggalkan dua orang itu. Jantungku berdegup tidak karuan menahan emosi yang sudah berada di ubun-ubun.“Cinta … Cin! Kamu harus tanda tangani, kamu harus balas budi sama Ibuk sama Ayah. Valen butuh ini semua.”Tak kuhiraukan panggilan ibu, lebih memilih masuk ke kamar, mengambil ponsel yang masih tersimpan rapi di laci, menekan tombol power, aku tak sabar ingin menghubungi Andre. Rupanya dia ingin main-main denganku lagi, aku diam bukan berarti bisa diinjak-injak seperti ini.Aku sudah tak sabar lagi, kenapa ponsel ini lama sekali menyala. Setelah menunggu, akhirnya ponselku menyala. Baru saja membuka whatsapp, tak sengaja aku melihat stroy milik Valen. Emosiku semakin tak terkontrol. Bukankah sudah kukatakan aku tak berniat memberikan rumah itu, sepertinya ucapanku itu tak dihiraukannya.Valen membagikan foto kamar dan memberi caption. “Enaknya warna apa untuk pengantin baru?” Selain itu ia juga membagikan sebuah vidoe dengan caption. “Dapat hadiah rumah dari misua.” Aku mengepalkan jari-jemari melihat tingkahnya. Kuraih tas yang berada di meja, secepatnya aku ingin menghampiri keduanya, bila perlu akan kukatakan semua didepan ayah dan ibu. Aku sudah memberikan kesempatan untuk Andre agar ia jujur, tetapi bukannya mengatakan semuanya bisa-bisanya ia mengajak Valen kesana. Rumah itu memang hanya aku dan Andre yang pernah kesana, sementara Valen, ayah atau ibu sama sekali belum pernah menginjakkan kaki disana.Baru saja keluar kudengar ada keributan, dari
“Andre apa maksudnya ini? Kamu harus jelasin,” ucap ibu yang masih bisa kudengar.Kuhapus darah yang mengalir di siku. “Aku enggak bisa lagi tinggal disini,” ucapku seorang diri.Entah kenapa air mataku menetes begitu saja, aku ingin kasih sayang sempurna dari ayah dan ibu tetapi sepertinya sampai seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan hal itu. Tidak ada ruang untukku di hati ibu, aku hanya diperlukan jika aku memiliki uang, maka dari itu aku harus banyak uang agar diterima baik oleh ibu. Kurapikan satu persatu bajuku, setelah semuanya masuk ke dalam koper, aku hanya membawa satu koper sementara lainya aku akan meminta jasa orang untuk mengambilnya nanti. “Oh, udah bikin ribut, bikin Valen syok terus kamu mau pergi gitu aja, bagus banget ya.” Ibu menghadangku. Sementara kulihat Valen dan Andre duduk di kursi.“Aku pengen hidup tenang, Ibuk bukannya enggak pengen aku disini, jadi biarin aku tinggal di luar.”“Memangnya s
“Apa kamu bilang, bukan aku yang wanita murahan, tapi ibumu, ibumu wanita murahan, kamu bukan anakku,” ucap ibu sembari menunjuk wajahku.Aku diam mematung, apa yang ibu katakan? Aku bukan anaknya? Apa yang dibicarakan sungguh-sungguh. Lantas aku ini anak siapa? Wanita murahan seperti apa yang melahirkanku.Ibu tertawa. “Apa kamu terkejut, kamu memang bukan anakku, harusnya kamu berterima kasih karena selama ini aku telah membesarkanmu, dan kamu seharusnya menuruti semua permintaanku atau Valen, maka semua ini tidak akan terjadi, kamu akan tetap menjadi putriku. Ini karena kamu sendiri yang besar kepala tak mau menurut dan sekarang kamu harus tahu kamu adalah anak dari wanita murahan,” ibu mencaciku tanpa henti, sementara aku hanya bisa berdiri lemas, bahkan kaki ini terasa mati tak bisa bergerak. “Ningsih!” panggil ayah yang baru saja masuk, ia berlari menghampiriku, meraih tubuhku yang hendak ambruk. “Keterlaluan kamu Ningsih, bukannya kamu sudah berjanji tidak akan mengungkapkan h
Kepalaku sakit, sakit sekali. Perlahan kubuka mata, bau menyengat obat-obatan menerpa indra penciuman. Kulihat sekeliling, tembok dengan cat berwarna putih aku tahu ini dimana, kutatap langit-langit ruangan sejenak, mencoba sepenuhnya mengumpulkan kesadaran. “Kamu udah bangun, Cin?” suara Rania pertama kali kudengar.“Minum,” pintaku lemah.Rania mengambil segelas air yang berada di meja, perlahan memberikan padaku.“Pelan-pelan.”Rania membantuku. Kuteguk air dalam gelas hingga tandas. “Aku panggil perawat dulu, ya? Kamu tunggu disini.”Aku mengangguk mengiyakan ucapan Rania, dia meninggalkanku sendiri.Kutatap jendela, cuaca begitu cerah. Ucapan ibu kembali terngiang di telingaku, air mata kembali menetes. Kenapa dengan cara seperti ini Tuhan memberitahukan fakta menyedihkan ini?Kuhapus air mata setelah kudengar Rania bersama seorang perawat datang, rupanya di belakang ayah berjalan mengikuti Rania. Setelah perawat memeriksa dan memberikan obat yang harus kuminum ia pergi meningg
“Apa karena aku terlahir dari wanita yang buruk sehingga aku pantas di pandang dan diperlakukan buruk. Apa karena aku terlahir dari rahim wanita simpanan sehingga aku pantas diperlakukan seperti tak memiliki dunia. Bukankah orang tua yang menginginkan anak, anak tak pernah bisa memilih dari rahim mana ia dilahirkan, tetapi seorang ibu dapat memilih untuk melahirkannya. Lantas pantaskah mereka menyalahkanku yang tidak tahu apa-apa ini.”….“Makan yang banyak Cin, jangan sakit lagi.” Rania terus menyuap bubur padaku.“Siapa yang bawa aku kesini? Harusnya dia biarin aja aku mati di pinggir jalan Ran, lagian buat apa aku hidup? Aku udah enggak punya tujuan lagi.”Aku masih menatap jendela, hari semakin cerah, burung-burung berkicau tanpa henti seolah bernyanyi diatas penderitaanku. Apakah alam begitu bahagia?“Kamu kok ngomongnya gitu, jangan gitu, jangan punya pikiran seperti itu, kamu punya banyak alasan untuk hidup sekalipun jalanmu berat.”“Kamu udah denger kan, kamu pasti udah tahu s
“Apa seperti ini anak wanita murahan Buk?”Aku mendekat kepada ibu, menatapnya tajam tanpa rasa takut. “Ya, seperti ini, seperti kamu yang tidak tahu balas budi, sudah dibesarkan dengan baik, seharusnya kamu balas budi dan kasih apa yang aku mau.”Aku tersenyum getir. “Bukannya dari dulu aku udah kasih semua yang Ibuk mau, bahkan sampai celana dalam Ibuk saja jika aku yang tidak membelikan apa anak Ibuk itu mau beliin?” “Oh, kamu mau itung-itungan? Itu udah kewajiban kamu balas budi sama aku. Kamu itu aku kasih makan, udah aku besarin jadi wajar aja.”“Bukankah itu udah kewajiban ayah nafkahin aku, lagian aku enggak pernah minta kalian buat besarin aku, kalian sendiri yang mau? Kalau enggak ikhlas ngapain dulu nerima dan ngerawat aku enggak biarin aja aku di jalanan mati," jawabku enteng sembari melipat tangan didada.“Bener-bener kamu ya, Cin …. " Ibu mengangkat tangannya hendak menamparku, tetapi aku menepisnya. Jangan anggap aku Cinta yang lemah seperti dulu, jika menurutnya aku
Aku menarik nafas dalam. “Entahlah apa aku bisa memaafkan Ayah.” Aku menyesap secangkir kopi, kopi yang masih sangat terasa pahit karena hanya sedikit gula yang ditambahkan. Pahitnya kopi tidak ada seberapa dibanding kisah hidupku. “Karena setelah aku pikir Ayahlah orang yang jahat.”“Ya kamu benar, ayah memang orang jahat, harusnya ayah menjadi laki-laki yang tegas dan bertanggung jawab,” jawab ayah menundukkan wajah.“Dimana ibu kandungku? Siapa dia?”Ayah menghela nafas panjang, diam sejenak, mungkin pikirannya sedang memutar kejadian berpuluh tahun lamanya.“Baiklah jika ini memang sudah waktunya kamu tahu, tapi apapun yang terjadi nanti tolong jangan tinggalkan ayah, Cinta. Bagaimana ayah bisa menebus kesalahan ayah kepada ibumu jika kamu meninggalkan ayah.”Aku diam tak menjawab ucapan ayah, ada rasa kecewa yang begitu mendalam setiap kali melihat ayah, bagaimana mungkin lelaki yang sangat kucintai itu ternyata seorang pengkhianat, rasanya aku tidak ingin mempercayai hal itu.Ay
“Dimana Ibu Ratih?” Aku ingin tahu sekali seperti apa rupa wanita yang melahirkanku itu, wanita yang selalu ibu sebut murahan padahal dia sendiri juga korban dari ayah.“Ayah tidak tahu, pernah ayah cari tapi tidak pernah ketemu,” jawab ayah sembari menunduk.Aku menarik nafas panjang. “Lalu kenapa ibu tidak membesarkanku sendiri, kenapa harus kirim aku ke rumah Ayah. Bukannya bagi ibu anak adalah segalanya, lalu kenapa Ibu kirim aku ke rumah orang yang jelas sekali sangat membencinya?” Air mataku menetes, aku tak kuasa menahan tangis, sakit sekali rasanya. Aku tidak tahu hal berat apa yang menimpa ibu kandungku sampai ia tega membiarkan anaknya dibesarkan wanita yang mungkin bisa melukainya.“Aqyah bodoh Cinta, saat itu ayah benar-benar tak bisa berpikir, nenekmu sakit parah memikirkan ayah, tak membiarkan ayah meninggalkan Ibu Ningsih. Sementara Ibu Ningsih pun dalam keadaan tidak stabil, ayah harus merawatnya. Ayah meninggalkan ibumu, tak bertanya kabar kalian, bahkan tidak perna
“Dimana ibuku? Jangan bilang kamu cuma ngerjain aku.” Aku berdiri di depan Regan dengan penuh emosi, entahlah jika bicara dengannya aku seperti tak bisa mengendalikan emosiku.“Ngapain aku ngerjain kamu, emang kamu pikir aku masih anak SMA yang suka ngerjain kamu? Udah enggak lucu lagi, aku juga udah enggak tertarik sama kamu.”Aku terbahak mendengar ucapan Regan, “Jadi dulu kamu tertarik sama aku makannya suka benget ngusilin aku.”Regan membenarkan dasi dan posisinya yang semula bersandar di pintu mobil. “Ge er banget kamu, maksudku dulu memang kamu enak banget diejek. Udahlah jadi kamu mau enggak ketemu ibu kandungmu?”“Gak usah basa-basi deh Regan, aku enggak punya waktu buat debat sama kamu, langsung aja.”Regan mengeluarkan dompetnya dan menarik selembar foto lalu menunjukkan tepat di depan wajahku. “Ibumu, kan.” Senyum miring menghiasi bibir tipisnya.Aku ingin merebut foto yang lebih jelas dari milikku itu, tetapi Regan dengan cepat menyimpannya kembali. Entah darimana ia bisa
Aku membencinya karena tak bisa bersikap tegas, karena membiarkanku hidup dalam ketidakadilan, tetapi tetap saja aku tak bisa membuang rasa sayang yang bersemayam di sebagian hati ini.“Jangan pikirkan Ayah, kamu harus hidup lebih baik, Nak.”Tangisku pecah setelah mendengar ucapan ayah, setelah sekian puluh tahun kenapa baru sekarang ia mengatakan itu?“Aku akan hidup lebih baik jika tahu keberadaan ibu kandungku, Yah.”Ayah diam mendengar ucapanku, tak ada lagi jawabannya hingga beberapa saat. Aku masih setia menunggu sampai ia mengatakan sedikit saja informasi tentang Ibu Ratih.“Ibumu …. "“Oh, gini ya, dibelakang masih aja nelponin anak itu, kamu emang enggak pernah mikirin perasaan aku, Mas. Bisa-bisanya kamu ngumpet-ngumpet nelpon anak itu.” Kudengar suara ibu menyela ucapan ayah, membuatnya tak melanjutkan ucapan.“Cinta cuma nanyain kabarku. Lagian dia enggak minta apa-apa, emang apa salahnya kalau dia nelpon? Aku ini juga ayahnya, seandainya aku kasih uang makan juga itu ud
“Oh begini, seharian nggak pulang ternyata disini nungguin dia!” seru Valen sembari menunjukku.“Dasar pelakor, ngapain sih kamu masih aja hubungin suamiku? Oh ya, kamu kan enggak laku makannya masih ngarepin suamiku,” sambungnya.“Kamu ngapain kesini? Andre berusaha menghentikan Valen yang hendak menarik rambutku.“Kamu tanyain tuh sama suamimu, ngapain dia disini. Aku udah usir dia tapi tetep aja enggak mau pergi, sepertinya dia nyesel banget enggak jadi nikah sama aku, makannya betah seharian disini cuma buat lihatin aku, bahkan dia sampe bela-belain nungguin aku dari pagi,” ucapku sembari tersenyum mengejek kepada Valen.“Apa! Heh, gatel, aku tahu kamu yang duluan godain dia, kan!”“Udah-udah! Valen, kamu ngapain kesini? Aku udah bilang mau nganterin uangnya Cinta, kamu bisa tunggu di rumah.” Andre menengahi.“Jadi kamu enggak dengerin aku, Kak? Aku udah bilang jangan kasih uang itu, lagian dia juga udah banyak uangnnya.” Valen menghentakkan kakinya.“Udah, kalau mau ribut jangan
Aku memesan grab berniat ke rumah sakit ingin memberitahu semuanya kepada Mama Clara dan memberikan gelangnya lagi. Aku tak bisa menerima barang turun temurun yang seharusnya akan dipakai menantu yang sesungguhnya.….Sampai di rumah sakit gegas aku menuju ruangan Mama Clara, tetapi sampai di ruangan itu hanya ada barang-barangnya saja, mungkin sedang keluar pikirku. Saat aku hendak berbalik kebetulan bertemu dengan salah satu perawat yang hendak masuk ruangan tersebut. “Maaf Sus, apa pasien di kamar ini sedang keluar?” tanyaku.“Oh, Ibu Clara sedang berada di UGD, semalam keadaannya drop lagi dan harus dibawa ke UGD,” jawab perawat itu. Setelah selesai menjawab pertanyaanku ia permisi untuk melanjutkan pekerjaannya sementara aku masih mematung di depan pintu.Aku termenung beberapa saat, bagaimana jika nanti aku memberitahukan semuanya kepadanya, apa aku jahat karena membunuh harapan seseorang? Namun, anaknya itu tidak mungkin akan berlaku baik kepadaku, ia selalu saja memperlakuka
Pemuda itu membawaku ke sebuah ruangan, dari dalam seorang wanita cantik membuka pintu dan tersenyum menyambutku, Regan duduk sembari memainkan ponselnya.“Ini dia,” ucap pemuda yang berdiri di sampingku.Regan tersenyum melihatku, meskipun dia tersenyum tetapi justru membuatku semakin takut.“Ngapain kamu, kamu itu udah nyulik aku kesini, aku bisa laporin kamu ke kantor polisi.” Aku kesal sekali melihat senyumnya.“Laporin aja, lagian aku enggak butuh kamu lama-lama,” jawabnya angkuh.Aku mengambil nafas dalam. Awas saja, kalau ibu kandungku sudah kudapatkan aku tidak akan membantunya, apalagi sampai bertemu dengannya lagi.“Ada perlu apa? Kamu bisa hubungin aku enggak perlu nyuruh orang buat nyeret aku kayak gini, kamu pikir aku ini apa? Kayak aku ini punya utang sama kamu sampe diseret-sere.” Aku memalingkan wajah, semakin kesal jika melihat ia tersenyum.“Udahlah, enggak usah debat, lagian males aku hubungin kamu, kalau enggak karena Mama juga aku enggak bakalan minta abangku buat
Rania berlari menghampiriku seperti anak kecil. “Kamu gak papa,kan? Gak diapa-apain? Kenapa pulang malem banget? Nggak jawab telepon aku, chat enggak dibales. Aku khawatir tahu,” ucapnya kesal sembari memutar badanku.“Apa sih, lihat ini aku masih utuh.” Aku tertawa melihat tingkahnya.“Aku takut kamu kenapa-kenapa Cinta, selain kamu aku udah enggak punya temen lagi.” Rania memelukku.“Udah ih. Kamu ini, kayak anak kecil.” Aku melepaskan pelukan Rania dan menariknya untuk masuk.“Kenapa lama banget, kamu kenal sama orang itu?” tanya Rania. Kami sudah berada di kamar atas. Toko bungaku dua lantai, bagian atas kamar, dapur, toilet, serta tempat santai.“Dulu kami satu SMA.”“Hah, terus kenapa tadi dia nahan kamu. Apa ada masalah?” Rania menatapku.Aku menceritakan semuanya kepada Rania, Regan yang telah mengejekku semasa SMA lalu sekarang meminta bantuanku agar menjadi calon istri tipuannya.“Apa? Yang bener aja? Terus kamu mau?” tanya Rania setelah mendengar ceritaku.Aku mengangguk
“Calon istri … calon istri, calon istri dari mana, yang bener kamu kalau ngomong.” Kulepaskan secara kasar pegangan tangan Regan ditanganku.“Maaf, tapi ini urgent banget dan kebetulan aja kamu yang nongol jadi aku enggak punya pilihan,” terangnya santai.“Kamu enggak bisa gitu, bilang calon istri sama aja kamu nipu mama kamu. Aku enggak mau terlibat sama kebohongan kamu, kamu harus jujur sekarang, kita itu enggak kenal.” Aku mendengus kesal. Enak saja, dulu dia mengejekku habis-habisan.“Udah terlanjur, enggak bisa diputar lagi,” jawabnya seperti tak merasa bersalah sedikitpun.“Biar aku aja yang jujur sama mamamu kalau kamu enggak mau ngomong.” Aku bersiap meraih handle pintu hendak masuk, tetapi Regan lebih cepat menghentikanku.“Tunggu … tunggu dulu … kamu harus bantu aku.” Aku tidak tahu itu kalimat ancaman atau sebuah permohonan. Dari nada bicaranya sama sekali tak menunjukkan kata permintaan tolong.“Ogah banget.” Kuputar handle pintu lagi dan lagi Regan menghentikanku.“Pokok
“Apa yang kamu pikirin? Ayo pergi.” Rania menepuk pelan pundakku, menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk dan mengikuti Rania yang lebih dulu berjalan menuju parkiran motor. Gegas kami mengendarai motor berdua. Ada pesanan buket besar yang harus kami persiapkan untuk malam ini.“Kamu mikirin apa sih? Kamu gak seneng udah bales ini sama Valen?” tanya Rania.Memang sejak tadi aku hanya diam saja, jika biasanya kami akan bercanda di atas motor sembari tertawa kali ini aku lebih memilih diam, tetapi tetap tidak fokus mengendarai motor.“Enggak papa kok Ran, aku cuma mikirin ucapan Ibuk tadi, dia bilang mau celakain ibu kandungku kalau aku nekat. Aku kepikiran itu. Apa mungkin selama ini Ibuk tahu dimana ibu kandungku?”“Hmm … besok coba aku bantu cari tahu kalau pas nganter jatah bulanan yang kamu kasih, itu sih kalau kamu masih mau jatah mereka, ya. Biasanya kalau udah lihat duit Bude kalap dan lupa segalanya.” Rania tertawa tipis.“Terus menurutmu apa perlu aku kasih uang satu kope
Kulepaskan cengkraman tangan ibu secara kasar. “Aku tidak peduli, dia menelantarkan aku buat apa aku peduli,” ucapku lalu meninggalkan ibu.Tentu saja yang kukatakan hanya kebohongan, mana mungkin aku tidak peduli dengan wanita yang melahirkanku. Sekalipun ia tidak pernah membesarkanku, tetapi ia tetap merawatku walau beberapa bulan, ia tetap ingin aku hidup. Aku mengatakan itu agar ibu tak menindasku, jika ia tahu aku peduli kepada Bu Ratih, bisa saja ia akan menggunakannya untuk mengancam terus menerus.Aku mendekati Valen yang masih sibuk menjelaskan semuanya kepada teman-temannya.“Mana uang pembayarannya.” Aku menyodorkan tangan tepat di depan wajah Valen.Valen menepis tanganku. “Kamu enggak berhak Kak, kalaupuan aku harus bayar semua ini itu kepada Rania bukan sama kamu, kamu itu siapa? Pasti Rania kasihan lihat kamu makannya selama ini nampung dan ngajakin kamu kerja, kan?”Aku tertawa mendengar ucapan valen. “Oh iya, aku kan cuma babu,” jawabkku.“Enggak, kalian salah, toko b