Aku menghela nafas saat hendak memasuki kantor, kembali mengumpulkan energi untuk melawan hujatan satu kantor. Aku sengaja menonaktifkan ponsel hingga kini, sebelum datang ke kantor aku tidak ingin melihat pesan di grup kantor karena itu akan membuat awal hariku menjadi berantakan, walau sebenarnya morning day-ku sudah cukup berantakan.
Kupaksa bibir tersenyum lebar saat menarik daun pintu. Kantor tempat aku bekerja merupakan open plan untuk setiap divisi, sehingga tak ada privasi atau penyekat antara satu pegawai dengan pegawai lainnya. Semua mata tertuju padaku, kulirik jam yang berada di dinding, padahal aku belum telat kenapa sudah ramai, harusnya hari ini aku datang lebih pagi lagi.“Bukannya kamu masih cuti, Cin?” tanya Stella, kami tidak dekat, hanya cukup baik menjadi teman kantor saja.“Hust.” Andini mencubit pelan lengannya.“Kenapa? Dia kan baru merid kemarin. Emanggnya enggak sakit lu jalan. Gue aja yang udah lama kadang-kadang masih ngilu, lemes, tapi maunya deket terus sama husband.”Ah, ya. Dia baru saja liburan mungkin hari ini juga hari pertamanya masuk kerja kembali dan mungkin belum sempat mendengar gosip tentangku.Andini menarik Stella, mencubit gemas pipinya. Keduanya memang dekat.“Apaan sih? Gue beneran nggak tahu.”“Basi lo, Cinta enggak jadi merid. Lu sih ketinggalan gosip mulu. Calon suami Cinta itu nikah sama adiknya, dah.. bisa diem kan loo.” Laras datang dari belakangku. Dia memang dikenal cewek ceplas-ceplos tanpa memikirkan perasaan orang lain.“Ups.” Stella menutup mulutnya dan menatapku iba.Kembali aku hanya bisa menghela nafas panjang, ingin menyangkal pun tak akan bisa karena memang itu kenyataannya.“Udahlah, ngapain sih kita nunda kerjaan, yuk lanjutin.” Andini membuyarkan lamunanku.Hari ini akan ada pemotretan dan peragaan busana, perusahaan tempatku bekerja mencakup bidang fashion sementara aku bekerja dalam divisi fashion stylish yang bertugas merias tata busana dan menyiapkan segala produk fashion untuk digunakan. Walau terkadang aku hanya dipergunakan sebagai pengantar makanan oleh teman-teman kerjaku.Yah, mau bagaimana lagi, aku tetap bertahan karena tak ingin ayah dan ibu mengetahui aku memiliki usaha sendiri, terlebih aku bisa sedikit-sedikit belajar fashion. Aku ingin berubah, aku tak ingin dipanggil si kuper, itu yang ada dalam benakku ketika diterima bekerja disini. Sebenarnya, aku bisa saja berubah atau mengubah gayaku, tetapi dulu aku berpikir hendak mencari calon suami yang menerimaku apa adanya, pun tak ingin membebani diri sendiri. Pada kenyataannya tak ada lelaki yang akan menerima wanita jelek dan kuper sepertiku. Kini aku mulai lelah dengan semuanya.…..“Akhirnya hari ini bisa kulalui.” Aku menarik nafas panjang, sedikit lega meski besok entah aku akan menghadapi hal apalagi, yang pasti hari yang melelahkan ini bisa kulalui.Tak ingin pulang cepat ke rumah, aku lebih memilih mengunjungi Rania, aku bisa menghirup udara segar dengan aroma bunga-bunga yang mekar. Jika langsung pulang ke rumah pun hanya akan menambah beban pikiran.Perjalanan dari kantor ke toko bunga milikku hanya perlu waktu dua puluh menit mengendarai sepeda motor. Sejenak kutatap bunga mawar merah yang bermekaran menyambut di pintu masuk, bunga-bunga itu benar-benar tumbuh subur meskipun saat ini hubunganku dengan Andre sudah kandas. Tanaman itu hadiah pertama kali yang diberikan oleh Andre saat hubungan kami genap satu tahun. Aku selalu meminta Rania untuk merawatnya dan menaruh di depan pintu masuk agar setiap kali aku datang kesini bunga itu menyambutku. Aku tak ingin membenci bunga, aku sangat mencintai bunga meskipun setiap menatap mawar itu pasti akan mengingatkanku pada Andre.“Hey.” Rania menepuk pundakku, sontak membuatku sedikit terkejut.“Ganggu aja orang lagi mengenang mantan.”“Mantanku adik iparku,” ejeknya sambil tertawa lalu meninggalkanku begitu saja.“Huft, ini masih dua hari. Apa seharunya aku masih nangis di kamar sambil lihatin foto-foto kami. Bukannya gitu normalnya?” Aku mengikuti Rania, mengekor di belakangnya memilih satu persatu bunga plastik, mungkin ada pesanan buket bunga.Beberapa minggu ini aku memang jarang mengontrol toko bungaku, karena sibuk menyiapkan acara pernikahan.“Jadi masih mau nangis lagi?”Aku duduk di samping Rania yang sedang merangkai bunga. “Buat apa? Apa aku pindah aja dari rumah ya, Ran? Tadi pagi Ibuk minta rumah aku buat Valen sama Andre.”“What! Terus kamu setuju gitu?”“Ya enggaklah, aku enggak bodoh-bodoh banget tahu. Kamu aja tahu Andre bayar rumah itu enggak ada separuhnya.”“Kenapa kamu enggak jujur aja sih sama Pakde juga Bude, Cin?”Aku menarik nafas panjang. “Kamu tahu sendiri gimana sikap Ibuk, kalau aku jujur tentang semuanya pasti Ibuk ambil alih semuanya.”Bukannya aku tidak ingin membantu perekonomian kedua orang tuaku. Namun, mengingat kembali semuanya membuatku sakit, rencananya akan kuberitahukan semua jika aku telah menikah, setidaknya saat itu sudah ada yang bertanggung jawab atas diriku dan tidak lagi tinggal bersama ayah dan ibu, tetapi semua gagal.Aku ingat sekali dari kecil aku sudah harus membantu ayah dan ibu untuk membantu perekonomiannya semenjak ayah bangkrut dan toko-toko sembakonya tutup, dari SD sampai SMA aku sering membawa barang jualan untuk membantu ibu, tetapi usahaku tak pernah terlihat di mata ibu. Baginya aku hanya anak yang hanya bisa menyusahkan orang tua dan menjadi beban untuk ibu dan ayah. Sebenarnya aku tak mempermasalahkan membantu orang tua karena itu salah satu cara anak membalas budi, yang aku sesalkan setiap harinya hanya perlakuan ibu yang berbeda kepadaku.Aku harus rela putus kuliah demi kesenangan Valen. Hal paling menyakitkan saat uang yang kutabung untuk masuk kuliah diambil ibu diam-diam lalu diberikan kepada Valen. Saat itu ayah tahu dan mengambil kembali setengahnya lalu diberikan m padaku. Aku menangis di depan pecahan celengan, tidak hanya satu semua celengan dari tanah liat yang kusimpan di bawah ranjang telah habis dipecahkan ibu pada saat itu.Putus asa, aku harus mengubur mimpi untuk melanjutkan kuliah, uang yang tak seberapa kuberanikan untuk modal berjualan bunga. Saat itu aku lebih memilih pergi dari rumah, kekecewaan kepada ibu dan ayah membuatku tak ingin serumah dengan kedua orang tuaku. Hidup sebatang kara membuatku tumbuh menjadi wanita pekerja keras, aku sudah kenyang makan pahitnya kehidupan.Hingga tiga tahun lalu ayah menghubungi melalui Rania, memintaku untuk pulang saat dia sakit parah, lalu membuatku berjanji untuk tidak pergi lagi dari rumah. Meskipun aku masih kecewa aku tak mungkin melupakan dan mengabaikannya begitu saja. Selama kepergianku bahkan ibu tidak pernah bertanya kabar atau meghubungiku. Kadang aku berpikir apa sebenarnya salahku kepada ibu sampai ia terlihat begitu membenciku. Ketika aku teriaki maling di depan tetangga. Sempat kulontarkan pertanyaan kepada ibu, apa aku ini bukan putri kandungnya? Saat itu aku baru saja pulang sekolah. Aku baru berusia dua belas tahun, dalam keadaan lapar dan haus setelah berkeliling menjual makanan yang dibuat ibu, aku berlari ke dapur, mengambil sepiring nasi. Mataku berbinar karena ada sepotong ayam bakar di bawah tudung saji, air liurku bahkan akan menetes saat melihatnya. Tanpa memikirkan apapun aku melahap sepiring nasi dengan ayam goreng, setelah kenyang aku duduk sejenak, makanan yang baru saja kutelan ternyata menjadi bumerang, ibu yang baru datang bersama Valen tiba-tiba menarik tanganku kasar, memakiku karena aku memakan ayam bakar milik Valen. Memang keadaan kami saat itu sedang susah, makan ayam pun tak bisa terus-menerus.Ibu menyeretku lalu melempar tepat di depan ayah yang baru saja pulang bekerja buruh. Kegaduhan itu dilihat dan jadi tontonan tetangga kami.“Lihat itu, dia mencuri ayam Valen, anak enggak tahu di untung, pencuri kamu!” ucap ibu sembari menunjuk-nunjuk wajahku di depan ayah dan tetangga.Aku hanya bisa menangis di pelukan ayah, memang salahku makan tanpa menunggu ibu.“Sudahlah Ning, cuma ayam. Nanti bisa beli lagi,” ayah membelaku.“Apa! Beli lagi, kamu pikir kita punya uang buat beli ayam, dasar anak …. "“Cukup!” pekik ayah menghentikan ibu. Ibu melotot menatap ayah, menahan amarahnya sembari menggertakan gigi, lalu meninggalkan kami.Kejadian itu tidak akan bisa kulupakan. Semenjak toko ayah bangkrut ibu memang selalu memarahiku, menjadikan aku tempat untuk menyalurkan emosinya, bahkan jika bukan aku yang membuat salah ibu akan tetap memarahiku, semua yang aku kerjakan selalu tidak ada benarnya. “Udah jangan dipikirin, sekarang yang penting mengobati luka hatimu sendiri,” Rania menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunan masa lalu.“Adakah obatnya? Belinya dimana? Kalau ada aku mau beli, aku rela jual semuanya buat beli obat itu.” Kutatap Rania dengan mata berkaca. Berharap ia menjawab pertanyaanku, dan aku bisa mendapatkan obat itu sekarang juga, walaupun aku sadar seratus persen obat sakit hati hanya pemiliknya yang dapat mengobati.Namun, saat ini aku tidak tahu bagaimana mengobati sakit ini, bagaimana caranya, aku tidak tahu aku hanya membiarkan ini semua mengalir begitu saja, membiarkan air membawaku entah kemana.“Aku mencintainya tanpa pamrih, tanpa sebab. Kuterima kurangnya, kuterima buruknya, aku tak memandang latar belakangnya. Aku menggenggam tangannya saat dia jatuh. Aku mencintainya apa adanya, tetapi kenyataanya dia lebih memilih menanam benih di rahim adikku, melupakan janji kita. Membiarkan hatiku yang semula penuh keyakinan kini terluka, luka yang begitu lebar. Aku Cinta, yang ingin menabur cinta untuk semua orang, tetapi kenyataannya aku ini Cinta yang tak diinginkan dan tak ada orang yang mencintai Cinta.”…..Rania memelukku, mati-matian kutahan air mata agar tak menetes, tetapi tetap saja, air mata jatuh membasahi pipiku hingga pundak Rania.“Aku tahu ini berat buat kamu Cin, kalau aku jadi kamu mungkin aku udah stress, udah gak kuat ngadepin ini semua, Allah pilih kamu karena yakin kamu bisa, kamu kuat hadapi ini semua.”Aku mengangguk, mengusap sisa-sisa air mata yang menetes di pipi, aku tidak ingin terpuruk begitu lama, aku harus bangkit bukan.“Ayo, move on.” Kuberikan seny
Aku sudah tak sabar lagi, kenapa ponsel ini lama sekali menyala. Setelah menunggu, akhirnya ponselku menyala. Baru saja membuka whatsapp, tak sengaja aku melihat stroy milik Valen. Emosiku semakin tak terkontrol. Bukankah sudah kukatakan aku tak berniat memberikan rumah itu, sepertinya ucapanku itu tak dihiraukannya.Valen membagikan foto kamar dan memberi caption. “Enaknya warna apa untuk pengantin baru?” Selain itu ia juga membagikan sebuah vidoe dengan caption. “Dapat hadiah rumah dari misua.” Aku mengepalkan jari-jemari melihat tingkahnya. Kuraih tas yang berada di meja, secepatnya aku ingin menghampiri keduanya, bila perlu akan kukatakan semua didepan ayah dan ibu. Aku sudah memberikan kesempatan untuk Andre agar ia jujur, tetapi bukannya mengatakan semuanya bisa-bisanya ia mengajak Valen kesana. Rumah itu memang hanya aku dan Andre yang pernah kesana, sementara Valen, ayah atau ibu sama sekali belum pernah menginjakkan kaki disana.Baru saja keluar kudengar ada keributan, dari
“Andre apa maksudnya ini? Kamu harus jelasin,” ucap ibu yang masih bisa kudengar.Kuhapus darah yang mengalir di siku. “Aku enggak bisa lagi tinggal disini,” ucapku seorang diri.Entah kenapa air mataku menetes begitu saja, aku ingin kasih sayang sempurna dari ayah dan ibu tetapi sepertinya sampai seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan hal itu. Tidak ada ruang untukku di hati ibu, aku hanya diperlukan jika aku memiliki uang, maka dari itu aku harus banyak uang agar diterima baik oleh ibu. Kurapikan satu persatu bajuku, setelah semuanya masuk ke dalam koper, aku hanya membawa satu koper sementara lainya aku akan meminta jasa orang untuk mengambilnya nanti. “Oh, udah bikin ribut, bikin Valen syok terus kamu mau pergi gitu aja, bagus banget ya.” Ibu menghadangku. Sementara kulihat Valen dan Andre duduk di kursi.“Aku pengen hidup tenang, Ibuk bukannya enggak pengen aku disini, jadi biarin aku tinggal di luar.”“Memangnya s
“Apa kamu bilang, bukan aku yang wanita murahan, tapi ibumu, ibumu wanita murahan, kamu bukan anakku,” ucap ibu sembari menunjuk wajahku.Aku diam mematung, apa yang ibu katakan? Aku bukan anaknya? Apa yang dibicarakan sungguh-sungguh. Lantas aku ini anak siapa? Wanita murahan seperti apa yang melahirkanku.Ibu tertawa. “Apa kamu terkejut, kamu memang bukan anakku, harusnya kamu berterima kasih karena selama ini aku telah membesarkanmu, dan kamu seharusnya menuruti semua permintaanku atau Valen, maka semua ini tidak akan terjadi, kamu akan tetap menjadi putriku. Ini karena kamu sendiri yang besar kepala tak mau menurut dan sekarang kamu harus tahu kamu adalah anak dari wanita murahan,” ibu mencaciku tanpa henti, sementara aku hanya bisa berdiri lemas, bahkan kaki ini terasa mati tak bisa bergerak. “Ningsih!” panggil ayah yang baru saja masuk, ia berlari menghampiriku, meraih tubuhku yang hendak ambruk. “Keterlaluan kamu Ningsih, bukannya kamu sudah berjanji tidak akan mengungkapkan h
Kepalaku sakit, sakit sekali. Perlahan kubuka mata, bau menyengat obat-obatan menerpa indra penciuman. Kulihat sekeliling, tembok dengan cat berwarna putih aku tahu ini dimana, kutatap langit-langit ruangan sejenak, mencoba sepenuhnya mengumpulkan kesadaran. “Kamu udah bangun, Cin?” suara Rania pertama kali kudengar.“Minum,” pintaku lemah.Rania mengambil segelas air yang berada di meja, perlahan memberikan padaku.“Pelan-pelan.”Rania membantuku. Kuteguk air dalam gelas hingga tandas. “Aku panggil perawat dulu, ya? Kamu tunggu disini.”Aku mengangguk mengiyakan ucapan Rania, dia meninggalkanku sendiri.Kutatap jendela, cuaca begitu cerah. Ucapan ibu kembali terngiang di telingaku, air mata kembali menetes. Kenapa dengan cara seperti ini Tuhan memberitahukan fakta menyedihkan ini?Kuhapus air mata setelah kudengar Rania bersama seorang perawat datang, rupanya di belakang ayah berjalan mengikuti Rania. Setelah perawat memeriksa dan memberikan obat yang harus kuminum ia pergi meningg
“Apa karena aku terlahir dari wanita yang buruk sehingga aku pantas di pandang dan diperlakukan buruk. Apa karena aku terlahir dari rahim wanita simpanan sehingga aku pantas diperlakukan seperti tak memiliki dunia. Bukankah orang tua yang menginginkan anak, anak tak pernah bisa memilih dari rahim mana ia dilahirkan, tetapi seorang ibu dapat memilih untuk melahirkannya. Lantas pantaskah mereka menyalahkanku yang tidak tahu apa-apa ini.”….“Makan yang banyak Cin, jangan sakit lagi.” Rania terus menyuap bubur padaku.“Siapa yang bawa aku kesini? Harusnya dia biarin aja aku mati di pinggir jalan Ran, lagian buat apa aku hidup? Aku udah enggak punya tujuan lagi.”Aku masih menatap jendela, hari semakin cerah, burung-burung berkicau tanpa henti seolah bernyanyi diatas penderitaanku. Apakah alam begitu bahagia?“Kamu kok ngomongnya gitu, jangan gitu, jangan punya pikiran seperti itu, kamu punya banyak alasan untuk hidup sekalipun jalanmu berat.”“Kamu udah denger kan, kamu pasti udah tahu s
“Apa seperti ini anak wanita murahan Buk?”Aku mendekat kepada ibu, menatapnya tajam tanpa rasa takut. “Ya, seperti ini, seperti kamu yang tidak tahu balas budi, sudah dibesarkan dengan baik, seharusnya kamu balas budi dan kasih apa yang aku mau.”Aku tersenyum getir. “Bukannya dari dulu aku udah kasih semua yang Ibuk mau, bahkan sampai celana dalam Ibuk saja jika aku yang tidak membelikan apa anak Ibuk itu mau beliin?” “Oh, kamu mau itung-itungan? Itu udah kewajiban kamu balas budi sama aku. Kamu itu aku kasih makan, udah aku besarin jadi wajar aja.”“Bukankah itu udah kewajiban ayah nafkahin aku, lagian aku enggak pernah minta kalian buat besarin aku, kalian sendiri yang mau? Kalau enggak ikhlas ngapain dulu nerima dan ngerawat aku enggak biarin aja aku di jalanan mati," jawabku enteng sembari melipat tangan didada.“Bener-bener kamu ya, Cin …. " Ibu mengangkat tangannya hendak menamparku, tetapi aku menepisnya. Jangan anggap aku Cinta yang lemah seperti dulu, jika menurutnya aku
Aku menarik nafas dalam. “Entahlah apa aku bisa memaafkan Ayah.” Aku menyesap secangkir kopi, kopi yang masih sangat terasa pahit karena hanya sedikit gula yang ditambahkan. Pahitnya kopi tidak ada seberapa dibanding kisah hidupku. “Karena setelah aku pikir Ayahlah orang yang jahat.”“Ya kamu benar, ayah memang orang jahat, harusnya ayah menjadi laki-laki yang tegas dan bertanggung jawab,” jawab ayah menundukkan wajah.“Dimana ibu kandungku? Siapa dia?”Ayah menghela nafas panjang, diam sejenak, mungkin pikirannya sedang memutar kejadian berpuluh tahun lamanya.“Baiklah jika ini memang sudah waktunya kamu tahu, tapi apapun yang terjadi nanti tolong jangan tinggalkan ayah, Cinta. Bagaimana ayah bisa menebus kesalahan ayah kepada ibumu jika kamu meninggalkan ayah.”Aku diam tak menjawab ucapan ayah, ada rasa kecewa yang begitu mendalam setiap kali melihat ayah, bagaimana mungkin lelaki yang sangat kucintai itu ternyata seorang pengkhianat, rasanya aku tidak ingin mempercayai hal itu.Ay
“Dimana ibuku? Jangan bilang kamu cuma ngerjain aku.” Aku berdiri di depan Regan dengan penuh emosi, entahlah jika bicara dengannya aku seperti tak bisa mengendalikan emosiku.“Ngapain aku ngerjain kamu, emang kamu pikir aku masih anak SMA yang suka ngerjain kamu? Udah enggak lucu lagi, aku juga udah enggak tertarik sama kamu.”Aku terbahak mendengar ucapan Regan, “Jadi dulu kamu tertarik sama aku makannya suka benget ngusilin aku.”Regan membenarkan dasi dan posisinya yang semula bersandar di pintu mobil. “Ge er banget kamu, maksudku dulu memang kamu enak banget diejek. Udahlah jadi kamu mau enggak ketemu ibu kandungmu?”“Gak usah basa-basi deh Regan, aku enggak punya waktu buat debat sama kamu, langsung aja.”Regan mengeluarkan dompetnya dan menarik selembar foto lalu menunjukkan tepat di depan wajahku. “Ibumu, kan.” Senyum miring menghiasi bibir tipisnya.Aku ingin merebut foto yang lebih jelas dari milikku itu, tetapi Regan dengan cepat menyimpannya kembali. Entah darimana ia bisa
Aku membencinya karena tak bisa bersikap tegas, karena membiarkanku hidup dalam ketidakadilan, tetapi tetap saja aku tak bisa membuang rasa sayang yang bersemayam di sebagian hati ini.“Jangan pikirkan Ayah, kamu harus hidup lebih baik, Nak.”Tangisku pecah setelah mendengar ucapan ayah, setelah sekian puluh tahun kenapa baru sekarang ia mengatakan itu?“Aku akan hidup lebih baik jika tahu keberadaan ibu kandungku, Yah.”Ayah diam mendengar ucapanku, tak ada lagi jawabannya hingga beberapa saat. Aku masih setia menunggu sampai ia mengatakan sedikit saja informasi tentang Ibu Ratih.“Ibumu …. "“Oh, gini ya, dibelakang masih aja nelponin anak itu, kamu emang enggak pernah mikirin perasaan aku, Mas. Bisa-bisanya kamu ngumpet-ngumpet nelpon anak itu.” Kudengar suara ibu menyela ucapan ayah, membuatnya tak melanjutkan ucapan.“Cinta cuma nanyain kabarku. Lagian dia enggak minta apa-apa, emang apa salahnya kalau dia nelpon? Aku ini juga ayahnya, seandainya aku kasih uang makan juga itu ud
“Oh begini, seharian nggak pulang ternyata disini nungguin dia!” seru Valen sembari menunjukku.“Dasar pelakor, ngapain sih kamu masih aja hubungin suamiku? Oh ya, kamu kan enggak laku makannya masih ngarepin suamiku,” sambungnya.“Kamu ngapain kesini? Andre berusaha menghentikan Valen yang hendak menarik rambutku.“Kamu tanyain tuh sama suamimu, ngapain dia disini. Aku udah usir dia tapi tetep aja enggak mau pergi, sepertinya dia nyesel banget enggak jadi nikah sama aku, makannya betah seharian disini cuma buat lihatin aku, bahkan dia sampe bela-belain nungguin aku dari pagi,” ucapku sembari tersenyum mengejek kepada Valen.“Apa! Heh, gatel, aku tahu kamu yang duluan godain dia, kan!”“Udah-udah! Valen, kamu ngapain kesini? Aku udah bilang mau nganterin uangnya Cinta, kamu bisa tunggu di rumah.” Andre menengahi.“Jadi kamu enggak dengerin aku, Kak? Aku udah bilang jangan kasih uang itu, lagian dia juga udah banyak uangnnya.” Valen menghentakkan kakinya.“Udah, kalau mau ribut jangan
Aku memesan grab berniat ke rumah sakit ingin memberitahu semuanya kepada Mama Clara dan memberikan gelangnya lagi. Aku tak bisa menerima barang turun temurun yang seharusnya akan dipakai menantu yang sesungguhnya.….Sampai di rumah sakit gegas aku menuju ruangan Mama Clara, tetapi sampai di ruangan itu hanya ada barang-barangnya saja, mungkin sedang keluar pikirku. Saat aku hendak berbalik kebetulan bertemu dengan salah satu perawat yang hendak masuk ruangan tersebut. “Maaf Sus, apa pasien di kamar ini sedang keluar?” tanyaku.“Oh, Ibu Clara sedang berada di UGD, semalam keadaannya drop lagi dan harus dibawa ke UGD,” jawab perawat itu. Setelah selesai menjawab pertanyaanku ia permisi untuk melanjutkan pekerjaannya sementara aku masih mematung di depan pintu.Aku termenung beberapa saat, bagaimana jika nanti aku memberitahukan semuanya kepadanya, apa aku jahat karena membunuh harapan seseorang? Namun, anaknya itu tidak mungkin akan berlaku baik kepadaku, ia selalu saja memperlakuka
Pemuda itu membawaku ke sebuah ruangan, dari dalam seorang wanita cantik membuka pintu dan tersenyum menyambutku, Regan duduk sembari memainkan ponselnya.“Ini dia,” ucap pemuda yang berdiri di sampingku.Regan tersenyum melihatku, meskipun dia tersenyum tetapi justru membuatku semakin takut.“Ngapain kamu, kamu itu udah nyulik aku kesini, aku bisa laporin kamu ke kantor polisi.” Aku kesal sekali melihat senyumnya.“Laporin aja, lagian aku enggak butuh kamu lama-lama,” jawabnya angkuh.Aku mengambil nafas dalam. Awas saja, kalau ibu kandungku sudah kudapatkan aku tidak akan membantunya, apalagi sampai bertemu dengannya lagi.“Ada perlu apa? Kamu bisa hubungin aku enggak perlu nyuruh orang buat nyeret aku kayak gini, kamu pikir aku ini apa? Kayak aku ini punya utang sama kamu sampe diseret-sere.” Aku memalingkan wajah, semakin kesal jika melihat ia tersenyum.“Udahlah, enggak usah debat, lagian males aku hubungin kamu, kalau enggak karena Mama juga aku enggak bakalan minta abangku buat
Rania berlari menghampiriku seperti anak kecil. “Kamu gak papa,kan? Gak diapa-apain? Kenapa pulang malem banget? Nggak jawab telepon aku, chat enggak dibales. Aku khawatir tahu,” ucapnya kesal sembari memutar badanku.“Apa sih, lihat ini aku masih utuh.” Aku tertawa melihat tingkahnya.“Aku takut kamu kenapa-kenapa Cinta, selain kamu aku udah enggak punya temen lagi.” Rania memelukku.“Udah ih. Kamu ini, kayak anak kecil.” Aku melepaskan pelukan Rania dan menariknya untuk masuk.“Kenapa lama banget, kamu kenal sama orang itu?” tanya Rania. Kami sudah berada di kamar atas. Toko bungaku dua lantai, bagian atas kamar, dapur, toilet, serta tempat santai.“Dulu kami satu SMA.”“Hah, terus kenapa tadi dia nahan kamu. Apa ada masalah?” Rania menatapku.Aku menceritakan semuanya kepada Rania, Regan yang telah mengejekku semasa SMA lalu sekarang meminta bantuanku agar menjadi calon istri tipuannya.“Apa? Yang bener aja? Terus kamu mau?” tanya Rania setelah mendengar ceritaku.Aku mengangguk
“Calon istri … calon istri, calon istri dari mana, yang bener kamu kalau ngomong.” Kulepaskan secara kasar pegangan tangan Regan ditanganku.“Maaf, tapi ini urgent banget dan kebetulan aja kamu yang nongol jadi aku enggak punya pilihan,” terangnya santai.“Kamu enggak bisa gitu, bilang calon istri sama aja kamu nipu mama kamu. Aku enggak mau terlibat sama kebohongan kamu, kamu harus jujur sekarang, kita itu enggak kenal.” Aku mendengus kesal. Enak saja, dulu dia mengejekku habis-habisan.“Udah terlanjur, enggak bisa diputar lagi,” jawabnya seperti tak merasa bersalah sedikitpun.“Biar aku aja yang jujur sama mamamu kalau kamu enggak mau ngomong.” Aku bersiap meraih handle pintu hendak masuk, tetapi Regan lebih cepat menghentikanku.“Tunggu … tunggu dulu … kamu harus bantu aku.” Aku tidak tahu itu kalimat ancaman atau sebuah permohonan. Dari nada bicaranya sama sekali tak menunjukkan kata permintaan tolong.“Ogah banget.” Kuputar handle pintu lagi dan lagi Regan menghentikanku.“Pokok
“Apa yang kamu pikirin? Ayo pergi.” Rania menepuk pelan pundakku, menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk dan mengikuti Rania yang lebih dulu berjalan menuju parkiran motor. Gegas kami mengendarai motor berdua. Ada pesanan buket besar yang harus kami persiapkan untuk malam ini.“Kamu mikirin apa sih? Kamu gak seneng udah bales ini sama Valen?” tanya Rania.Memang sejak tadi aku hanya diam saja, jika biasanya kami akan bercanda di atas motor sembari tertawa kali ini aku lebih memilih diam, tetapi tetap tidak fokus mengendarai motor.“Enggak papa kok Ran, aku cuma mikirin ucapan Ibuk tadi, dia bilang mau celakain ibu kandungku kalau aku nekat. Aku kepikiran itu. Apa mungkin selama ini Ibuk tahu dimana ibu kandungku?”“Hmm … besok coba aku bantu cari tahu kalau pas nganter jatah bulanan yang kamu kasih, itu sih kalau kamu masih mau jatah mereka, ya. Biasanya kalau udah lihat duit Bude kalap dan lupa segalanya.” Rania tertawa tipis.“Terus menurutmu apa perlu aku kasih uang satu kope
Kulepaskan cengkraman tangan ibu secara kasar. “Aku tidak peduli, dia menelantarkan aku buat apa aku peduli,” ucapku lalu meninggalkan ibu.Tentu saja yang kukatakan hanya kebohongan, mana mungkin aku tidak peduli dengan wanita yang melahirkanku. Sekalipun ia tidak pernah membesarkanku, tetapi ia tetap merawatku walau beberapa bulan, ia tetap ingin aku hidup. Aku mengatakan itu agar ibu tak menindasku, jika ia tahu aku peduli kepada Bu Ratih, bisa saja ia akan menggunakannya untuk mengancam terus menerus.Aku mendekati Valen yang masih sibuk menjelaskan semuanya kepada teman-temannya.“Mana uang pembayarannya.” Aku menyodorkan tangan tepat di depan wajah Valen.Valen menepis tanganku. “Kamu enggak berhak Kak, kalaupuan aku harus bayar semua ini itu kepada Rania bukan sama kamu, kamu itu siapa? Pasti Rania kasihan lihat kamu makannya selama ini nampung dan ngajakin kamu kerja, kan?”Aku tertawa mendengar ucapan valen. “Oh iya, aku kan cuma babu,” jawabkku.“Enggak, kalian salah, toko b