Rasanya malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur, dan pastinya aku akan menghadapi drama yang lebih menyakitkan mulai saat ini. Satu rumah bersama mantan kekasih yang telah menjadi adik ipar, apa aku mampu menata hati untuk tegar? Susah sekali bukan.
Biasanya pagi-pagi aku sudah mendengar omelan ibu, kenapa hari ini tak ada ketukan pintu. Lebih baik aku keluar dan mulai masuk kerja secepat mungkin. Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk bersiap, setelah selesai gegas aku keluar.“Cin, makan dulu Nak,” ajak ibu. Ibu yang berada di ruang makan menyambutku yang baru saja keluar dari kamar.Kamarku memang tak jauh dari ruang makan, aku memilih kamar lantai bawah karena memang lebih enak dan tak perlu naik turun tangga.Aku mengerutkan dahi, tidak seperti biasanya, tetapi aku sudah paham, jika ibu bersikap manis pasti ada yang ia inginkan. Ah, aku tidak boleh berpikiran buruk terhadap ibuku, mungkin saja ia telah berubah atau merasa iba dan menyesal dengan perlakuannya selama ini.“Aku enggak laper, nanti aja sarapan di kantor,” jawabku enteng."Jangan gitu, nanti kamu sakit. Ayo makan dulu sama-sama.” Ibu menghampiri dan menarikku pelan mengajak untuk duduk bersama di meja makan.“Terus terang aja Buk, enggak usah basa-basi, Ibuk mau apa?”“Kok gitu sih, ayo makan dulu.”“Aku buru-buru, lagian enggak selera juga makan bareng mereka.” Kulirik dua sejoli yang duduk bersama ayah.“Ayolah, Ibuk udah masak opor ayam kesukaan kamu.”Ah, rasanya aku sudah tidak ingat, kapan ibu terakhir mengatakan hal semacam itu. Aku menghela nafas, sebenarnya malas sekali untuk duduk bersama mereka, tetapi aku perlu tahu apa yang diinginkan ibuku sampai memasakkan makanan kesukaanku.Duduk di samping ibu dan berhadapan dengan Andre benar-benar membuat selera makanku hilang. Dia hanya diam menunduk sambil memainkan sendok, sesekali menatapku lalu kembali menunduk.“Jadi gini Cin, rumah yang kalian beli, Valen mau nempatin itu,” ungkap ibu.Nah kan, sudah kuduga. Baru saja akan menyuap nasi ibu sudah mengatakan apa yang ia inginkan, aku sudah menduganya. Jika tak ada yang dia inginkan tentu saja dia tak akan berbuat begini padaku.“Oh, jadi ini mau Ibuk, sampai bela-belain masakin aku makanan enak, rupanya mau minta rumah untuk putri tersayang Ibuk itu yang gak bisa apa-apa.”“Ya kan, tu rumah juga dari tabungan kamu sama Andre, wajar dong kalau Valen mau nempatin, dia berhak juga, selain dia adik kamu dia juga istrinya Andre.”“Ibuk tanya sama mantu Ibuk itu, berapa uang dia yang masuk buat beli tuh rumah. Kalau dia bisa bayar semua uang aku buat nambah lunasin tuh rumah aku kasih mereka tinggal disana.”“Loh, bukannya itu tabungan kalian sama-sama? Udahlah Cinta, kamu nanti kalau udah punya suami juga bisa kan tinggal sama Ayah sama Ibuk, kalau enggak kamu bisa minta sama suamimu nanti. Rumah yang itu kamu relain aja buat Valen sama Andre.”Aku tertawa mendengar ucapan ibu, apa yang tidak kuberikan untuk mereka, apa yang tidak kukorbankan untuk mereka? Bahkan separuh gajiku sudah kuberikan untuk ibu, satu-satunya usahaku yang tak ingin aku beritahukan kepada ibu hanya toko bunga yang dikelola Rania. Aku sengaja merahasiakan itu dari ayah dan ibu, membiarkan mereka mengira bahwa toko bunga itu milik Rania sendiri, karena memang sejak dulu bagaimanapun usahaku untuk menyenangkan ayah dan ibu, tetap tak pernah dianggapnya. Mereka selalu kurang dan kurang. Aku tak mengapa setiap kali ia membandingkan aku dengan anak tetangga, dengan Rania yang mereka pikir mengelola toko bunga yang besar miliknya. Bahkan kerap kali aku dibandingkan dengan Valen yang menurutku tak ada secuil kuku lebih hebat dariku. Bukannya aku ingin sombong tetapi itulah kenyataannya, Valen tak bisa apa-apa selain memberikan beban kepada orang tua.“Andre, ayo dong buka suara. Masa iya aku yang mau jelasin itu semua.” Kutatap tajam Andre yang masih menunduk.Selama ini aku au diam, tentu saja karena aku tidak ingin mempermalukannya, pikirku aku ingin suamiku dipandang sempurna. Kubiarkan semua orang tahu dialah yang membayar satu per delapan rumah itu, kubiarkan dia mengelola coffee shop kami, hanya mengelola tanpa mengeluarkan sedikitpun modal. Kuberitahukan kepada orang tuaku bahwa itu usaha kami berdua dan modal dari kami berdua agar dia diterima baik oleh ibu, agar dia tak malu kepada ayah karena sejujurnya dia hanya seorang pengangguran setelah di PHK dari kantornya. Aku tak mempermasalahkannya saat itu, karena aku pikir setelah menikah kami bisa mengelola usaha bersama-sama, tetapi rupanya ia lebih memilih menghianatiku.Tentu saja, sekalipun aku punya banyak usaha yang sukses, tak akan ada yang memberikan cinta tulus kepada gadis kuper dan jelek sepertiku. Cinta yang tulus tanpa memandang fisik dan lainnya, itu tak pernah ada. Kebohongan yang nyata di dunia ini, hanya saja wanita terlalu bodoh mempercayai hal semacam itu, termasuk aku.“Kenapa Andre? Benarkan, itu rumah kalian berdua yang beli, jadi kamu bayar aja setengahnya sama Cinta. Atau kedai kopi biarkan untuk Cinta semnetara kamu bisa ambil rumah sama Valen, adil kan?” tutur ibu memberi ide.“Buk, sebenarnya …. ”Valen menghentikan Andre, memegang tangannya membuat Andre tak melanjutkan ucapan.“Buk, nanti biar aku urus sama Kak Andre, sekarang kan Kak Cinta lagi emosi. Mana mungkin semudah itu ngelepasin,” ujar Valen.Aku tertawa tipis melihatnya, apa Andre mengatakan semuanya lebih dulu kepada istrinya sehingga Valen tak ingin Andre mngungkap kebenarannya. Baiklah jika begitu akan aku lihat sampai mana mereka bisa bersandiwara.“Tapi kan, itu rumah seperti impian kamu Valen.” Ibu masih tak ingin mengalah.“Gak papa nanti aku ngomong sama Kak Cinta dan Kak Andre, sekarang juga Kak Cinta mau kerja.”“Oke kalau gitu, aku pamit kalau gak ada lagi yang perlu diomongin.”Kuambil tas yang ada di sampingku, menatap sekilas Andre dan Valen, kuberikan senyuman manis untuk mereka berdua, aku tidak ingin mengungkap semuanya dari mulutku, kubiarkan mereka berdua masuk kedalam permainannya sendiri. Apa yang akan dihabiskan Valen untuk menutupi kebohongannya.Ayah yang sejak tadi diam saja dan lebih memilih menikmati makanannya menyusulku saat aku hendak menstarter motor.“Cinta, tunggu Nak.”“Kenapa?” tanyaku datar.Sejak kejadian tamparan kemarin aku enggan sekali berkata lembut kepada ayah. Padahal dulu ia masih sering membelaku jika ibu sedang mengomel tidak karuan kepadaku.“Ayah cuma mau bilang ….”“Apa? Ayah juga ingin aku menyetujui ucapan Ibuk, dan memberikan semuanya kepada Valen? Ah, lebih tepatnya memberikan apapun sampai tetes darah untuk menopang kehidupan putri Ayah itu?”“Bukan begitu Cinta, Ayah hanya ….”“Udahlah Yah, sampai kapanpun Cinta enggak akan berikan itu, itu hak Cinta hasil kerja Cinta. Apa Ayah setakut itu dari Ibuk sampai mengemis seperti ini kepadaku?”Ayah menunduk, sebenarnya aku tak tega menyakiti ayah. Namun, aku juga lelah jika terus diperlakukan seperti ini. Aku ingin menikmati kehidupanku.“Ayah hanya minta maaf,” ucapnya.Aku menatap ayah sejenak, melihat wajahnya yang sudah semakin tua dengan banyak kerutan wajah. Mungkin banyak hal yang ia pikirkan, seharusnya di hari tua ayah ia bisa menikmati kehidupan yang nyaman.“Cinta udah maafin kalian semua, tapi Cinta enggak bisa lupain, Ayah. Jadi maaf kalau Cinta kali ini enggak bisa jadi anak yang nurut sama Ayah.”Kulajukan sepeda motor, tak ingin lagi berbicara lebih banyak dengan ayah. Aku tak akan bisa menahan air mata terlalu lama jika harus dihadapkan dengan ayah. Dua puluh dua tahun sudah kutermia semuanya, perlakuan berbeda dari ibu dan ayah antara aku dan Valen, apakah salah jika sekarang aku ingin menikmati hidup sesuai dengan apa yang aku harapkan?Aku menghela nafas saat hendak memasuki kantor, kembali mengumpulkan energi untuk melawan hujatan satu kantor. Aku sengaja menonaktifkan ponsel hingga kini, sebelum datang ke kantor aku tidak ingin melihat pesan di grup kantor karena itu akan membuat awal hariku menjadi berantakan, walau sebenarnya morning day-ku sudah cukup berantakan.Kupaksa bibir tersenyum lebar saat menarik daun pintu. Kantor tempat aku bekerja merupakan open plan untuk setiap divisi, sehingga tak ada privasi atau penyekat antara satu pegawai dengan pegawai lainnya. Semua mata tertuju padaku, kulirik jam yang berada di dinding, padahal aku belum telat kenapa sudah ramai, harusnya hari ini aku datang lebih pagi lagi.“Bukannya kamu masih cuti, Cin?” tanya Stella, kami tidak dekat, hanya cukup baik menjadi teman kantor saja.“Hust.” Andini mencubit pelan lengannya. “Kenapa? Dia kan baru merid kemarin. Emanggnya enggak sakit lu jalan. Gue aja yang udah lama kadang-kadang masih ngilu, lemes, tapi maunya deket terus
“Aku mencintainya tanpa pamrih, tanpa sebab. Kuterima kurangnya, kuterima buruknya, aku tak memandang latar belakangnya. Aku menggenggam tangannya saat dia jatuh. Aku mencintainya apa adanya, tetapi kenyataanya dia lebih memilih menanam benih di rahim adikku, melupakan janji kita. Membiarkan hatiku yang semula penuh keyakinan kini terluka, luka yang begitu lebar. Aku Cinta, yang ingin menabur cinta untuk semua orang, tetapi kenyataannya aku ini Cinta yang tak diinginkan dan tak ada orang yang mencintai Cinta.”…..Rania memelukku, mati-matian kutahan air mata agar tak menetes, tetapi tetap saja, air mata jatuh membasahi pipiku hingga pundak Rania.“Aku tahu ini berat buat kamu Cin, kalau aku jadi kamu mungkin aku udah stress, udah gak kuat ngadepin ini semua, Allah pilih kamu karena yakin kamu bisa, kamu kuat hadapi ini semua.”Aku mengangguk, mengusap sisa-sisa air mata yang menetes di pipi, aku tidak ingin terpuruk begitu lama, aku harus bangkit bukan.“Ayo, move on.” Kuberikan seny
Aku sudah tak sabar lagi, kenapa ponsel ini lama sekali menyala. Setelah menunggu, akhirnya ponselku menyala. Baru saja membuka whatsapp, tak sengaja aku melihat stroy milik Valen. Emosiku semakin tak terkontrol. Bukankah sudah kukatakan aku tak berniat memberikan rumah itu, sepertinya ucapanku itu tak dihiraukannya.Valen membagikan foto kamar dan memberi caption. “Enaknya warna apa untuk pengantin baru?” Selain itu ia juga membagikan sebuah vidoe dengan caption. “Dapat hadiah rumah dari misua.” Aku mengepalkan jari-jemari melihat tingkahnya. Kuraih tas yang berada di meja, secepatnya aku ingin menghampiri keduanya, bila perlu akan kukatakan semua didepan ayah dan ibu. Aku sudah memberikan kesempatan untuk Andre agar ia jujur, tetapi bukannya mengatakan semuanya bisa-bisanya ia mengajak Valen kesana. Rumah itu memang hanya aku dan Andre yang pernah kesana, sementara Valen, ayah atau ibu sama sekali belum pernah menginjakkan kaki disana.Baru saja keluar kudengar ada keributan, dari
“Andre apa maksudnya ini? Kamu harus jelasin,” ucap ibu yang masih bisa kudengar.Kuhapus darah yang mengalir di siku. “Aku enggak bisa lagi tinggal disini,” ucapku seorang diri.Entah kenapa air mataku menetes begitu saja, aku ingin kasih sayang sempurna dari ayah dan ibu tetapi sepertinya sampai seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan hal itu. Tidak ada ruang untukku di hati ibu, aku hanya diperlukan jika aku memiliki uang, maka dari itu aku harus banyak uang agar diterima baik oleh ibu. Kurapikan satu persatu bajuku, setelah semuanya masuk ke dalam koper, aku hanya membawa satu koper sementara lainya aku akan meminta jasa orang untuk mengambilnya nanti. “Oh, udah bikin ribut, bikin Valen syok terus kamu mau pergi gitu aja, bagus banget ya.” Ibu menghadangku. Sementara kulihat Valen dan Andre duduk di kursi.“Aku pengen hidup tenang, Ibuk bukannya enggak pengen aku disini, jadi biarin aku tinggal di luar.”“Memangnya s
“Apa kamu bilang, bukan aku yang wanita murahan, tapi ibumu, ibumu wanita murahan, kamu bukan anakku,” ucap ibu sembari menunjuk wajahku.Aku diam mematung, apa yang ibu katakan? Aku bukan anaknya? Apa yang dibicarakan sungguh-sungguh. Lantas aku ini anak siapa? Wanita murahan seperti apa yang melahirkanku.Ibu tertawa. “Apa kamu terkejut, kamu memang bukan anakku, harusnya kamu berterima kasih karena selama ini aku telah membesarkanmu, dan kamu seharusnya menuruti semua permintaanku atau Valen, maka semua ini tidak akan terjadi, kamu akan tetap menjadi putriku. Ini karena kamu sendiri yang besar kepala tak mau menurut dan sekarang kamu harus tahu kamu adalah anak dari wanita murahan,” ibu mencaciku tanpa henti, sementara aku hanya bisa berdiri lemas, bahkan kaki ini terasa mati tak bisa bergerak. “Ningsih!” panggil ayah yang baru saja masuk, ia berlari menghampiriku, meraih tubuhku yang hendak ambruk. “Keterlaluan kamu Ningsih, bukannya kamu sudah berjanji tidak akan mengungkapkan h
Kepalaku sakit, sakit sekali. Perlahan kubuka mata, bau menyengat obat-obatan menerpa indra penciuman. Kulihat sekeliling, tembok dengan cat berwarna putih aku tahu ini dimana, kutatap langit-langit ruangan sejenak, mencoba sepenuhnya mengumpulkan kesadaran. “Kamu udah bangun, Cin?” suara Rania pertama kali kudengar.“Minum,” pintaku lemah.Rania mengambil segelas air yang berada di meja, perlahan memberikan padaku.“Pelan-pelan.”Rania membantuku. Kuteguk air dalam gelas hingga tandas. “Aku panggil perawat dulu, ya? Kamu tunggu disini.”Aku mengangguk mengiyakan ucapan Rania, dia meninggalkanku sendiri.Kutatap jendela, cuaca begitu cerah. Ucapan ibu kembali terngiang di telingaku, air mata kembali menetes. Kenapa dengan cara seperti ini Tuhan memberitahukan fakta menyedihkan ini?Kuhapus air mata setelah kudengar Rania bersama seorang perawat datang, rupanya di belakang ayah berjalan mengikuti Rania. Setelah perawat memeriksa dan memberikan obat yang harus kuminum ia pergi meningg
“Apa karena aku terlahir dari wanita yang buruk sehingga aku pantas di pandang dan diperlakukan buruk. Apa karena aku terlahir dari rahim wanita simpanan sehingga aku pantas diperlakukan seperti tak memiliki dunia. Bukankah orang tua yang menginginkan anak, anak tak pernah bisa memilih dari rahim mana ia dilahirkan, tetapi seorang ibu dapat memilih untuk melahirkannya. Lantas pantaskah mereka menyalahkanku yang tidak tahu apa-apa ini.”….“Makan yang banyak Cin, jangan sakit lagi.” Rania terus menyuap bubur padaku.“Siapa yang bawa aku kesini? Harusnya dia biarin aja aku mati di pinggir jalan Ran, lagian buat apa aku hidup? Aku udah enggak punya tujuan lagi.”Aku masih menatap jendela, hari semakin cerah, burung-burung berkicau tanpa henti seolah bernyanyi diatas penderitaanku. Apakah alam begitu bahagia?“Kamu kok ngomongnya gitu, jangan gitu, jangan punya pikiran seperti itu, kamu punya banyak alasan untuk hidup sekalipun jalanmu berat.”“Kamu udah denger kan, kamu pasti udah tahu s
“Apa seperti ini anak wanita murahan Buk?”Aku mendekat kepada ibu, menatapnya tajam tanpa rasa takut. “Ya, seperti ini, seperti kamu yang tidak tahu balas budi, sudah dibesarkan dengan baik, seharusnya kamu balas budi dan kasih apa yang aku mau.”Aku tersenyum getir. “Bukannya dari dulu aku udah kasih semua yang Ibuk mau, bahkan sampai celana dalam Ibuk saja jika aku yang tidak membelikan apa anak Ibuk itu mau beliin?” “Oh, kamu mau itung-itungan? Itu udah kewajiban kamu balas budi sama aku. Kamu itu aku kasih makan, udah aku besarin jadi wajar aja.”“Bukankah itu udah kewajiban ayah nafkahin aku, lagian aku enggak pernah minta kalian buat besarin aku, kalian sendiri yang mau? Kalau enggak ikhlas ngapain dulu nerima dan ngerawat aku enggak biarin aja aku di jalanan mati," jawabku enteng sembari melipat tangan didada.“Bener-bener kamu ya, Cin …. " Ibu mengangkat tangannya hendak menamparku, tetapi aku menepisnya. Jangan anggap aku Cinta yang lemah seperti dulu, jika menurutnya aku
“Dimana ibuku? Jangan bilang kamu cuma ngerjain aku.” Aku berdiri di depan Regan dengan penuh emosi, entahlah jika bicara dengannya aku seperti tak bisa mengendalikan emosiku.“Ngapain aku ngerjain kamu, emang kamu pikir aku masih anak SMA yang suka ngerjain kamu? Udah enggak lucu lagi, aku juga udah enggak tertarik sama kamu.”Aku terbahak mendengar ucapan Regan, “Jadi dulu kamu tertarik sama aku makannya suka benget ngusilin aku.”Regan membenarkan dasi dan posisinya yang semula bersandar di pintu mobil. “Ge er banget kamu, maksudku dulu memang kamu enak banget diejek. Udahlah jadi kamu mau enggak ketemu ibu kandungmu?”“Gak usah basa-basi deh Regan, aku enggak punya waktu buat debat sama kamu, langsung aja.”Regan mengeluarkan dompetnya dan menarik selembar foto lalu menunjukkan tepat di depan wajahku. “Ibumu, kan.” Senyum miring menghiasi bibir tipisnya.Aku ingin merebut foto yang lebih jelas dari milikku itu, tetapi Regan dengan cepat menyimpannya kembali. Entah darimana ia bisa
Aku membencinya karena tak bisa bersikap tegas, karena membiarkanku hidup dalam ketidakadilan, tetapi tetap saja aku tak bisa membuang rasa sayang yang bersemayam di sebagian hati ini.“Jangan pikirkan Ayah, kamu harus hidup lebih baik, Nak.”Tangisku pecah setelah mendengar ucapan ayah, setelah sekian puluh tahun kenapa baru sekarang ia mengatakan itu?“Aku akan hidup lebih baik jika tahu keberadaan ibu kandungku, Yah.”Ayah diam mendengar ucapanku, tak ada lagi jawabannya hingga beberapa saat. Aku masih setia menunggu sampai ia mengatakan sedikit saja informasi tentang Ibu Ratih.“Ibumu …. "“Oh, gini ya, dibelakang masih aja nelponin anak itu, kamu emang enggak pernah mikirin perasaan aku, Mas. Bisa-bisanya kamu ngumpet-ngumpet nelpon anak itu.” Kudengar suara ibu menyela ucapan ayah, membuatnya tak melanjutkan ucapan.“Cinta cuma nanyain kabarku. Lagian dia enggak minta apa-apa, emang apa salahnya kalau dia nelpon? Aku ini juga ayahnya, seandainya aku kasih uang makan juga itu ud
“Oh begini, seharian nggak pulang ternyata disini nungguin dia!” seru Valen sembari menunjukku.“Dasar pelakor, ngapain sih kamu masih aja hubungin suamiku? Oh ya, kamu kan enggak laku makannya masih ngarepin suamiku,” sambungnya.“Kamu ngapain kesini? Andre berusaha menghentikan Valen yang hendak menarik rambutku.“Kamu tanyain tuh sama suamimu, ngapain dia disini. Aku udah usir dia tapi tetep aja enggak mau pergi, sepertinya dia nyesel banget enggak jadi nikah sama aku, makannya betah seharian disini cuma buat lihatin aku, bahkan dia sampe bela-belain nungguin aku dari pagi,” ucapku sembari tersenyum mengejek kepada Valen.“Apa! Heh, gatel, aku tahu kamu yang duluan godain dia, kan!”“Udah-udah! Valen, kamu ngapain kesini? Aku udah bilang mau nganterin uangnya Cinta, kamu bisa tunggu di rumah.” Andre menengahi.“Jadi kamu enggak dengerin aku, Kak? Aku udah bilang jangan kasih uang itu, lagian dia juga udah banyak uangnnya.” Valen menghentakkan kakinya.“Udah, kalau mau ribut jangan
Aku memesan grab berniat ke rumah sakit ingin memberitahu semuanya kepada Mama Clara dan memberikan gelangnya lagi. Aku tak bisa menerima barang turun temurun yang seharusnya akan dipakai menantu yang sesungguhnya.….Sampai di rumah sakit gegas aku menuju ruangan Mama Clara, tetapi sampai di ruangan itu hanya ada barang-barangnya saja, mungkin sedang keluar pikirku. Saat aku hendak berbalik kebetulan bertemu dengan salah satu perawat yang hendak masuk ruangan tersebut. “Maaf Sus, apa pasien di kamar ini sedang keluar?” tanyaku.“Oh, Ibu Clara sedang berada di UGD, semalam keadaannya drop lagi dan harus dibawa ke UGD,” jawab perawat itu. Setelah selesai menjawab pertanyaanku ia permisi untuk melanjutkan pekerjaannya sementara aku masih mematung di depan pintu.Aku termenung beberapa saat, bagaimana jika nanti aku memberitahukan semuanya kepadanya, apa aku jahat karena membunuh harapan seseorang? Namun, anaknya itu tidak mungkin akan berlaku baik kepadaku, ia selalu saja memperlakuka
Pemuda itu membawaku ke sebuah ruangan, dari dalam seorang wanita cantik membuka pintu dan tersenyum menyambutku, Regan duduk sembari memainkan ponselnya.“Ini dia,” ucap pemuda yang berdiri di sampingku.Regan tersenyum melihatku, meskipun dia tersenyum tetapi justru membuatku semakin takut.“Ngapain kamu, kamu itu udah nyulik aku kesini, aku bisa laporin kamu ke kantor polisi.” Aku kesal sekali melihat senyumnya.“Laporin aja, lagian aku enggak butuh kamu lama-lama,” jawabnya angkuh.Aku mengambil nafas dalam. Awas saja, kalau ibu kandungku sudah kudapatkan aku tidak akan membantunya, apalagi sampai bertemu dengannya lagi.“Ada perlu apa? Kamu bisa hubungin aku enggak perlu nyuruh orang buat nyeret aku kayak gini, kamu pikir aku ini apa? Kayak aku ini punya utang sama kamu sampe diseret-sere.” Aku memalingkan wajah, semakin kesal jika melihat ia tersenyum.“Udahlah, enggak usah debat, lagian males aku hubungin kamu, kalau enggak karena Mama juga aku enggak bakalan minta abangku buat
Rania berlari menghampiriku seperti anak kecil. “Kamu gak papa,kan? Gak diapa-apain? Kenapa pulang malem banget? Nggak jawab telepon aku, chat enggak dibales. Aku khawatir tahu,” ucapnya kesal sembari memutar badanku.“Apa sih, lihat ini aku masih utuh.” Aku tertawa melihat tingkahnya.“Aku takut kamu kenapa-kenapa Cinta, selain kamu aku udah enggak punya temen lagi.” Rania memelukku.“Udah ih. Kamu ini, kayak anak kecil.” Aku melepaskan pelukan Rania dan menariknya untuk masuk.“Kenapa lama banget, kamu kenal sama orang itu?” tanya Rania. Kami sudah berada di kamar atas. Toko bungaku dua lantai, bagian atas kamar, dapur, toilet, serta tempat santai.“Dulu kami satu SMA.”“Hah, terus kenapa tadi dia nahan kamu. Apa ada masalah?” Rania menatapku.Aku menceritakan semuanya kepada Rania, Regan yang telah mengejekku semasa SMA lalu sekarang meminta bantuanku agar menjadi calon istri tipuannya.“Apa? Yang bener aja? Terus kamu mau?” tanya Rania setelah mendengar ceritaku.Aku mengangguk
“Calon istri … calon istri, calon istri dari mana, yang bener kamu kalau ngomong.” Kulepaskan secara kasar pegangan tangan Regan ditanganku.“Maaf, tapi ini urgent banget dan kebetulan aja kamu yang nongol jadi aku enggak punya pilihan,” terangnya santai.“Kamu enggak bisa gitu, bilang calon istri sama aja kamu nipu mama kamu. Aku enggak mau terlibat sama kebohongan kamu, kamu harus jujur sekarang, kita itu enggak kenal.” Aku mendengus kesal. Enak saja, dulu dia mengejekku habis-habisan.“Udah terlanjur, enggak bisa diputar lagi,” jawabnya seperti tak merasa bersalah sedikitpun.“Biar aku aja yang jujur sama mamamu kalau kamu enggak mau ngomong.” Aku bersiap meraih handle pintu hendak masuk, tetapi Regan lebih cepat menghentikanku.“Tunggu … tunggu dulu … kamu harus bantu aku.” Aku tidak tahu itu kalimat ancaman atau sebuah permohonan. Dari nada bicaranya sama sekali tak menunjukkan kata permintaan tolong.“Ogah banget.” Kuputar handle pintu lagi dan lagi Regan menghentikanku.“Pokok
“Apa yang kamu pikirin? Ayo pergi.” Rania menepuk pelan pundakku, menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk dan mengikuti Rania yang lebih dulu berjalan menuju parkiran motor. Gegas kami mengendarai motor berdua. Ada pesanan buket besar yang harus kami persiapkan untuk malam ini.“Kamu mikirin apa sih? Kamu gak seneng udah bales ini sama Valen?” tanya Rania.Memang sejak tadi aku hanya diam saja, jika biasanya kami akan bercanda di atas motor sembari tertawa kali ini aku lebih memilih diam, tetapi tetap tidak fokus mengendarai motor.“Enggak papa kok Ran, aku cuma mikirin ucapan Ibuk tadi, dia bilang mau celakain ibu kandungku kalau aku nekat. Aku kepikiran itu. Apa mungkin selama ini Ibuk tahu dimana ibu kandungku?”“Hmm … besok coba aku bantu cari tahu kalau pas nganter jatah bulanan yang kamu kasih, itu sih kalau kamu masih mau jatah mereka, ya. Biasanya kalau udah lihat duit Bude kalap dan lupa segalanya.” Rania tertawa tipis.“Terus menurutmu apa perlu aku kasih uang satu kope
Kulepaskan cengkraman tangan ibu secara kasar. “Aku tidak peduli, dia menelantarkan aku buat apa aku peduli,” ucapku lalu meninggalkan ibu.Tentu saja yang kukatakan hanya kebohongan, mana mungkin aku tidak peduli dengan wanita yang melahirkanku. Sekalipun ia tidak pernah membesarkanku, tetapi ia tetap merawatku walau beberapa bulan, ia tetap ingin aku hidup. Aku mengatakan itu agar ibu tak menindasku, jika ia tahu aku peduli kepada Bu Ratih, bisa saja ia akan menggunakannya untuk mengancam terus menerus.Aku mendekati Valen yang masih sibuk menjelaskan semuanya kepada teman-temannya.“Mana uang pembayarannya.” Aku menyodorkan tangan tepat di depan wajah Valen.Valen menepis tanganku. “Kamu enggak berhak Kak, kalaupuan aku harus bayar semua ini itu kepada Rania bukan sama kamu, kamu itu siapa? Pasti Rania kasihan lihat kamu makannya selama ini nampung dan ngajakin kamu kerja, kan?”Aku tertawa mendengar ucapan valen. “Oh iya, aku kan cuma babu,” jawabkku.“Enggak, kalian salah, toko b