"Brengsek!" Teriak Fadil benar benar tak bisa menahan emosinya.
Mendengar kata kata kasar yang keluar dari mulut anak semata wayangnya itu, membuat Wira bertambah emosi. Laki laki itu menarik kerah baju anaknya, dengan mata yang dipenuhi amarah. Ia kembali melayangkan pukulan ke wajah Fadil. Plak "Beraninya kamu sama Ayah!" "Sayang udah!" teriak wanita muda yang bernama Sera itu. Ia berusaha Menarik kekasihnya itu agar menjauh dari Fadil. Wira mundur melepaskan cengkeramannya. Fadil tersenyum sarkas. "Kenapa! Kenapa aku nggak boleh semauku sendiri? padahal kamu bisa semau mu sendiri! " Semenjak kematian ibunya 1 tahun lalu , Fadil berubah menjadi sosok yang berbeda. Ia jadi anak nakal dan sering melawan ayahnya . Bukan tanpa sebab, kenyataan bahwa ibunya mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara bunuh diri, ditambah sang ayah yang tidak pernah berubah. Membuatnya semakin membenci sang ayah, Prawira Atmaja. Ibunya, Sekar laras atmaja mengidap penyakit mental, Mixed Anxiety And Depresif Disorder, akibat tekanan dan trauma yang mendalam dari sang Ayah. Sang ayah yang selalu berselingkuh dan melakukan kekerasan terhadap ibunya. "Kenapa! Ibumu sudah mati Fadil! Apa kamu masih belum bisa menerima nya? " Fadil melotot tajam ke arah Wira setelah mendengar ucapannya. Duka lara yang susah payah ia matikan, kini memberontak hidup tak terkendali. Melihat hal itu Sera kembali berusaha menenangkan sang kekasih. "Mas cukup, ayo kita pergi saja. " "Pergi sana bawa jalang mu itu!" Suasana mencekam cukup membuat bergidik yang melihatnya. Takut akan bertambah runyam masalahnya, Sera menarik Wira untuk keluar dari rumah. Fadil memandang mereka dengan sinis, namun segera bergegas naik ke kamarnya yang berada di lantai 2. Dengan perasaan yang masih dongkol, ia membanting pintu dengan keras. lalu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Ia semakin merasa bersalah, saat mengingat kenangan bersama ibunya. Namun sekeras apapun ia mencoba melupakannya, sejatinya itu kenangan IBUNYA, orang paling penting dalam hidupnya. Pikirannya mulai berkelana, mengingat hal menyakitkan di masalalu. Saat hari dimana ibunya meninggal , ibunya melompat dari atap gedung klinik tempatnya biasa berobat. Hari itu merupakan hari terakhir ujian kenaikan kelas, namun bertepatan juga dengan jadwal kontrol rutin ibunya. Fadil sebenarnya ingin izin saja untuk tidak masuk dan mengantar ibunya ke rumah sakit. Namun sang ibu melarangnya. "Nak, bagaimanapun sekolah juga penting untuk masa depanmu. Ibu bisa minta tolong diantar ayah, lagian ibu juga sudah membaik. Ibu rajin minum obat dan sudah jarang kambuh." ucap sekar sembari mengelus rambut Fadil. Selama ini memang Fadil yang selalu menemani ibunya, selalu memberikan dukungan kepada sang ibu. Karena sang ayah yang tidak perduli, padahal ibunya sakit begini juga sebab perlakuan ayahnya. Fadil mengangguk, kemudian berpamitan kepada sang ibu, untuk segera berangkat. Tak lupa ia mencium kedua pipi ibunya. Namun Entah mengapa hari itu, rasanya sungguh berat meninggalkan ibunya. Ia ingin sekali selalu berada di sisi ibunya. Setelah itu entah apa yang sebenarnya terjadi, saat jam terakhir pengerjaan ulangan, dewi yang merupakan adik dari ibunya menghubunginya dengan suara isakan. "Fadil..." ucap sang tante di ujung telepon. "Ada apa tan? Fadil bentar lagi mau masuk kelas. Buat ngerjain ujian terakhir. " tanya Fadil. Tangannya sembari sibuk memasukkan beberapa buku ke dalam tas ransel hitam miliknya. "Ibu dil, ibu, " isakan tante Dewi membuat Fadil menghentikan sejenak aktifitasnya. "Tante, ibu kenapa? " "Ibu sudah nggak ada dil." Jantungnya berdetak lebih kencang, namun fadil masih berusaha untuk bepikir positif. Mungkin tante dewi bermaksud lain. "Tante jangan bercanda, nggak lucu tau te. Fadil mau masuk nih sebentar lagi, ibu juga pasti lagi ke dokter." "Nggak Fadil, ibu lompat dari atap rumah sakit, ibu sudah tak ada dil. Fadill ibu sudah nggak ada." Isakan tante dewi semakin menjadi jadi. Ia masih berusaha tidak mempercayai kata kata tantenya itu. Namun kakinya sudah bergetar hebat. Jantungnya berpacu ribuan kali lebih cepat, seakan hendak lari dari tempatnya. "Datang kerumah sakit sekarang ya dil, Tante nggak kuat sendirian." Tanpa basa basi lagi, fadil berlari sekuat tenaga. Pikirannya mulai tak karuan, namun hati kecilnya terus berdoa agar apa yang ia dengar bukanlah kenyataan Jarak dari sekolah ke rumah sakit tak terlalu jauh, jadi ia hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai. Beberapa polisi berjejer di depan gedung. Noda darah terlihat menggenang di depan gedung. Itu terlihat jelas meski dipandang dari kejauhan. Fadil masih belum menyerah dengan pikiran positifnya, ia berlari menghampiri tantenya yang terduduk di pojok ruang igd. "Tante i-ini nggak bener kan? Tante jangan main main. Sumpah ini nggak lucu te." Tanya Fadil setengah berteriak. Dewi hanya bisa menangis sembari merangkul sang keponakannya itu. Dadanya mendadak sesak, namun dengan cepat ia mulai sadar dan menggelengkan kepalanya kuat kuat. Ia tak ingin lagi terpuruk, karena ibunya juga akan sedih jika melihat anak semata wayangnya itu terus menerus sedih karena kematiannya. "Bu, Fadil janji, mereka semua akan menanggung dosa dosa yang mereka buat! Dan pasti akan mendapat balasan yang lebih menyakitkan dari apa yang sudah ibu alami." Disisi lain, Anseara tengah terduduk sembari memandangi dirinya di cermin. Pakaiannya masih basah karena ia belum menggantinya. Tak terasa air matanya kembali menetes, dengan tatapan kosong. Tangannya yang lentik menghapus kasar bulir air mata yang semakin deras menetes. "Tidak pantaskah aku bahagia, Tuhan? Tidak pantaskah aku hidup dengan baik, tanpa harus selalu merasa seperti ini? 3 tahun lamanya Ya Tuhan, 3 tahun lamanya aku berjuang melawan penyakit ini." Anseara menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah. Saat pikirannya sedang kacau seperti ini. Pikiran negatif dan positifnya akan mulai bertarung dalam kepalannya. Ia akan kembali mengingat bagaimana orang lain menghakiminya. Ada beberapa orang yang dengan tega menyebut itu karma, ada juga yang menyebut itu konsekuensi karena berani menikah muda. Itu yang pikiran negatifnya ucapkan. Tapi tidak semua yang menikah muda bernasib sama dengannya. Ada yang bahagia dan harmonis, ada juga yang bertahan meski mendapatkan cobaan yang sama dengannya. Bahkan menikah di umur yang sudah matang pun belum menjamin kalau pernikahannya akan bertahan lama. Dan itu yang pikiran positifnya katakan. Anseara selalu merasa punya dua orang berbeda dalam dirinya. Saat anxiety nya kambuh, dua orang itu akan saling bertarung. Entah positif atau negatif yang menang. Tapi Anseara akan selalu merasa kalah. Ia kembali meneguk obatnya, dan menarik nafasnya dalam dalam. "Anseara , kamu harus kuat. Kamu adalah ibu yang hebat. Oke, tarik nafas dalam dalam, semua akan baik baik saja. Inget ya , tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah menghendakinya. Kamu hanya perlu tetap berusaha dan yakin."Sorot mentari menyela masuk, melewati gorden biru yang terlihat usang. Namun cukup indah menghiasi kamar yang sangat polos itu. Anseara sudah siap untuk berangkat bekerja, karena hari ini ia mendapatkan sift pagi.Namun dering ponsel yang menggema, menghentikan aktifitasnya. Setelah semalaman berjuang mengatasi penyakitnya, kali ini ia harus berjuang kembali dengan nomor yang menghubunginya sepagi itu. 'DAUS' begitu nama yang terpampang di layar ponselnya.Wanita itu berusaha mengabaikannya, karena orang itu adalah mantan suaminya. Orang yang sudah membuatnya sakit seperti ini. Namun semakin ia mengabaikannya, semakin banyak panggilan dari nomor lain terus menerus masuk. Membuatnya sangat terganggu. Ia tau itu semua adalah nomor daus, karena selama ini Ara tak pernah memberikan nomornya pada orang lain, selain keluarganya.Merasa sudah sangat diabaikan, kini daus kembali mengirimkan ancaman."AKU AKAN MENCULIK ANAK ANAK! HINGGA KAMU TAK DAPAT MENEMUI MEREKA LAGI JALANG!""BERANINYA
Arina memandang tak percaya pada apa yang baru saja ia alami.' Apa semuanya akan berakhir disini?' Hatinya mulai bertanya tanya." Jangan mentang mentang bokap gue percayain restauran kecil ini ke lo. Lo jadi seenaknya sendiri disini! "Gadis itu mulai ketakutan mendengar perkataan pria dihadapannya itu, dan menundukkan kepalanya sedalam mungkin. "Kenapa gak jawab! Udah ngerasa bos lo disini!" Bentak Zaid dengan nada yang lumayan keras.Arina tetap terdiam seribu bahasa. Untuk mengangkat kepala saja rasanya ia tak mampu.Ia tau duduk permasalahannya, ia sadar namun ia juga takut untuk mengakuinya.Selama ini ia pikir semua akan aman dan baik baik saja. Toh ini hanya restauran kecil yang tidak ada apa apanya, dibandingkan dengan sumber kekayaan keluarga Gamawan yang lainnya."Lo jujur dan ngaku depan gue, atau gue tuntut lo di pengadilan!"Arina tak kuasa, ia bersimpuh di depan Zaid. Terlihat dari sorot wajahnya yang sangat ketakutan."Ampun Tuan, ampun." Hanya itu kata kata yang b
Fadil yang sudah menduga ini sejak awal, tetap berjalan santai. Seperti tak mengetahui ada orang di hadapannya. "Woi!!" Teriak Arga mencoba memburu Fadil.Fadil tersenyum, dan berbelok masuk menuju taman. Ia sengaja, agar tidak ada orang yang mencampuri urusan mereka.Arga yang sudah di kuasai emosi, langsung melayangkan tinjunya. Kali ini Fadil berani melawan, ia menangkisnya dengan mudah.Kemudian membalikkan keadaan dengan cepat. Mengunci tangan Arga dengan kencang. Membuat cowok blasteran itu meringis kesakitan."Brengsek! Sialan! Berani beraninya lo giniin adek gue! " Umpat Arga sembari menahan sakit ."Salah gue dimana! Adek lo yang suka sama gue. Terus salah gue kalo gue gak suka balik ke dia?! Salah gue gitu!" Disinilah sifat Fadil mulai keluar. Ia memang dikenal anti membuat masalah di sekolahan. Bukan karena tidak bisa, melainkan tidak mau. Ia harus lulus dengan predikat baik , sebagai siswa yang baik juga tentunya."Salah lah! Kurang apa sih ais itu! Dia cantik, putih , b
Hembusan angin malam terasa membelai kulit dengan begitu agresif. Tetesan air dari langit kelabu malam pun, menambah ketidak ramahan dunia malam itu. Tatkala seorang wanita berjalan seorang diri, di keheningan malam. Wajahnya begitu sayu, seperti tak ada darah yang mengalir di dalamnya. Meski tidak diperhatikan, tapi nampak begitu jelas, kedua kakinya bergetar hebat saat melangkah. "Ya Tuhan tolong aku! Aku harus bisa, aku harus mampu, aku pasti bisa sembuh, ini hanya sensasi sesaat." lirihnya sembari merangkul batang pohon yang berada tepat di sampingnya. Nafasnya semakin tak beraturan, ia memejamkan matanya erat-erat. Berusaha sekuat tenaga, menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak jatuh. Anseara , adalah nama wanita itu. Hari ini merupakan hari pertamanya bekerja, setelah beberapa tahun hanya menjadi ibu rumah tangga. Namun sekuat apapun ia berusaha, kegelisahan dalam dirinya membuatnya kalah. Anseara akhirnya terduduk, di atas rumput hijau yang sedari tadi menemani kakinya m
Fadil yang sudah menduga ini sejak awal, tetap berjalan santai. Seperti tak mengetahui ada orang di hadapannya. "Woi!!" Teriak Arga mencoba memburu Fadil.Fadil tersenyum, dan berbelok masuk menuju taman. Ia sengaja, agar tidak ada orang yang mencampuri urusan mereka.Arga yang sudah di kuasai emosi, langsung melayangkan tinjunya. Kali ini Fadil berani melawan, ia menangkisnya dengan mudah.Kemudian membalikkan keadaan dengan cepat. Mengunci tangan Arga dengan kencang. Membuat cowok blasteran itu meringis kesakitan."Brengsek! Sialan! Berani beraninya lo giniin adek gue! " Umpat Arga sembari menahan sakit ."Salah gue dimana! Adek lo yang suka sama gue. Terus salah gue kalo gue gak suka balik ke dia?! Salah gue gitu!" Disinilah sifat Fadil mulai keluar. Ia memang dikenal anti membuat masalah di sekolahan. Bukan karena tidak bisa, melainkan tidak mau. Ia harus lulus dengan predikat baik , sebagai siswa yang baik juga tentunya."Salah lah! Kurang apa sih ais itu! Dia cantik, putih , b
Arina memandang tak percaya pada apa yang baru saja ia alami.' Apa semuanya akan berakhir disini?' Hatinya mulai bertanya tanya." Jangan mentang mentang bokap gue percayain restauran kecil ini ke lo. Lo jadi seenaknya sendiri disini! "Gadis itu mulai ketakutan mendengar perkataan pria dihadapannya itu, dan menundukkan kepalanya sedalam mungkin. "Kenapa gak jawab! Udah ngerasa bos lo disini!" Bentak Zaid dengan nada yang lumayan keras.Arina tetap terdiam seribu bahasa. Untuk mengangkat kepala saja rasanya ia tak mampu.Ia tau duduk permasalahannya, ia sadar namun ia juga takut untuk mengakuinya.Selama ini ia pikir semua akan aman dan baik baik saja. Toh ini hanya restauran kecil yang tidak ada apa apanya, dibandingkan dengan sumber kekayaan keluarga Gamawan yang lainnya."Lo jujur dan ngaku depan gue, atau gue tuntut lo di pengadilan!"Arina tak kuasa, ia bersimpuh di depan Zaid. Terlihat dari sorot wajahnya yang sangat ketakutan."Ampun Tuan, ampun." Hanya itu kata kata yang b
Sorot mentari menyela masuk, melewati gorden biru yang terlihat usang. Namun cukup indah menghiasi kamar yang sangat polos itu. Anseara sudah siap untuk berangkat bekerja, karena hari ini ia mendapatkan sift pagi.Namun dering ponsel yang menggema, menghentikan aktifitasnya. Setelah semalaman berjuang mengatasi penyakitnya, kali ini ia harus berjuang kembali dengan nomor yang menghubunginya sepagi itu. 'DAUS' begitu nama yang terpampang di layar ponselnya.Wanita itu berusaha mengabaikannya, karena orang itu adalah mantan suaminya. Orang yang sudah membuatnya sakit seperti ini. Namun semakin ia mengabaikannya, semakin banyak panggilan dari nomor lain terus menerus masuk. Membuatnya sangat terganggu. Ia tau itu semua adalah nomor daus, karena selama ini Ara tak pernah memberikan nomornya pada orang lain, selain keluarganya.Merasa sudah sangat diabaikan, kini daus kembali mengirimkan ancaman."AKU AKAN MENCULIK ANAK ANAK! HINGGA KAMU TAK DAPAT MENEMUI MEREKA LAGI JALANG!""BERANINYA
"Brengsek!" Teriak Fadil benar benar tak bisa menahan emosinya.Mendengar kata kata kasar yang keluar dari mulut anak semata wayangnya itu, membuat Wira bertambah emosi.Laki laki itu menarik kerah baju anaknya, dengan mata yang dipenuhi amarah. Ia kembali melayangkan pukulan ke wajah Fadil.Plak"Beraninya kamu sama Ayah!""Sayang udah!" teriak wanita muda yang bernama Sera itu. Ia berusaha Menarik kekasihnya itu agar menjauh dari Fadil.Wira mundur melepaskan cengkeramannya.Fadil tersenyum sarkas."Kenapa! Kenapa aku nggak boleh semauku sendiri? padahal kamu bisa semau mu sendiri! " Semenjak kematian ibunya 1 tahun lalu , Fadil berubah menjadi sosok yang berbeda. Ia jadi anak nakal dan sering melawan ayahnya .Bukan tanpa sebab, kenyataan bahwa ibunya mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara bunuh diri, ditambah sang ayah yang tidak pernah berubah. Membuatnya semakin membenci sang ayah, Prawira Atmaja.Ibunya, Sekar laras atmaja mengidap penyakit mental, Mixed Anxiety And Depresif
Hembusan angin malam terasa membelai kulit dengan begitu agresif. Tetesan air dari langit kelabu malam pun, menambah ketidak ramahan dunia malam itu. Tatkala seorang wanita berjalan seorang diri, di keheningan malam. Wajahnya begitu sayu, seperti tak ada darah yang mengalir di dalamnya. Meski tidak diperhatikan, tapi nampak begitu jelas, kedua kakinya bergetar hebat saat melangkah. "Ya Tuhan tolong aku! Aku harus bisa, aku harus mampu, aku pasti bisa sembuh, ini hanya sensasi sesaat." lirihnya sembari merangkul batang pohon yang berada tepat di sampingnya. Nafasnya semakin tak beraturan, ia memejamkan matanya erat-erat. Berusaha sekuat tenaga, menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak jatuh. Anseara , adalah nama wanita itu. Hari ini merupakan hari pertamanya bekerja, setelah beberapa tahun hanya menjadi ibu rumah tangga. Namun sekuat apapun ia berusaha, kegelisahan dalam dirinya membuatnya kalah. Anseara akhirnya terduduk, di atas rumput hijau yang sedari tadi menemani kakinya m