Hembusan angin malam terasa membelai kulit dengan begitu agresif. Tetesan air dari langit kelabu malam pun, menambah ketidak ramahan dunia malam itu.
Tatkala seorang wanita berjalan seorang diri, di keheningan malam. Wajahnya begitu sayu, seperti tak ada darah yang mengalir di dalamnya. Meski tidak diperhatikan, tapi nampak begitu jelas, kedua kakinya bergetar hebat saat melangkah. "Ya Tuhan tolong aku! Aku harus bisa, aku harus mampu, aku pasti bisa sembuh, ini hanya sensasi sesaat." lirihnya sembari merangkul batang pohon yang berada tepat di sampingnya. Nafasnya semakin tak beraturan, ia memejamkan matanya erat-erat. Berusaha sekuat tenaga, menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak jatuh. Anseara , adalah nama wanita itu. Hari ini merupakan hari pertamanya bekerja, setelah beberapa tahun hanya menjadi ibu rumah tangga. Namun sekuat apapun ia berusaha, kegelisahan dalam dirinya membuatnya kalah. Anseara akhirnya terduduk, di atas rumput hijau yang sedari tadi menemani kakinya memijak bumi. Dadanya kian sesak, terasa sangat sakit seperti tertusuk ribuan duri. Dan akhrinya samudra yang terbendung dalam manik matanya. Kini harus tumpah ruah membanjiri pipinya yang sudah basah tersapu rintikan hujan. "Aku kenapa sih! Cape gini terus! Cape banget sih! Cape Ya Tuhan!!!" isaknya sembari menyeka kedua pipinya bergantian. Ara begitu nama panggilannya, hanya bisa pasrah dan ingin menyerah saja, namun di sela sela isak tangisnya, ia teringat akan kedua buah hatinya. Mereka yang menjadi alasan , ia bisa kuat dan masih ada di dunia saat ini. Ia menarik nafasnya dalam dalam. "Gak boleh gini terus ra, kamu gak boleh nyerah, kamu harus bisa. Kasian anak anak kalo sampe kamu nyerah. Siapa yang mau ngasih nafkah mereka? Siapa yang mau memperjuangkan hidup mereka. Cuma kamu satu satunya harapan mereka. " Gumam ara yang mencoba menyemangati dirinya sendiri. Wanita itu kembali berusaha bertarung dengan rasa gelisah yang tak tertahankan. Meski pandangannya mulai kabur, dadanya semakin sesak, dan tubuhnya seakan melayang. Ia berusaha bangkit , tapi kakinya tak bisa diajak kerja sama. Ia kembali terjatuh, dan menangis lebih kencang. Seperti sudah tak ada harapan lagi. Kini ia hanya bisa kembali memejamkan matanya, berharap ada sebuah keajaiban. Tiba-tiba hujan seakan tak menetes pada tubuhnya lagi. Dan sebuah tangan menyentuh pundaknya dengan lembut. "Kamu baik baik saja?" tanya seorang Siswa SMA, yang masih mengenakan seragam lengkap dengan sepatu dan tasnya. Anseara mendongak, mendapati seorang cowok muda berjongkok di hadapannya. Tangan sebelahnya memegang payung yang menaungi mereka berdua. Seakan ada harapan baru, Ara segera memegang tangan cowok itu. "Katakan padaku, aku akan baik-baik saja kan? Aku akan sembuh, aku akan pulih, aku akan bisa hidup normal tanpa harus merasakan anxiety yang gila ini! " ucap ara dengan bibir bergetar hebat. Cowok di hadapannya sejenak tertegun, raut wajahnya menunjukan keterkejutan yang luar biasa. Namun dengan segera ia menjatuhkan payungnya. Dan menggenggam tangan wanita dihadapannya dengan kedua tangannya. "Tentu saja, kamu akan sembuh. Kamu baik baik saja, ini hanya sensasi sesaat. Kamu akan pulih dan sehat seperti sedia kala." terang cowok itu yang kemudian memeluk ara dengan hangat. Fadil Arta Atmaja, nama indah yang tersemat dalam badge nama cowok yang tengah memeluk ara itu. "Kamu sudah meminum obatnya?" tanya Fadil beberapa saat kemudian. Ara hanya mengangguk pelan kemudian dengan lirih ia menambahkan. "Sudah dua dosis yang ku teguk, namun tidak ada yang berubah." Meski tubuh mereka basah kuyup, namun pelukan Fadil terasa sangat hangat dan nyaman. Hingga berangsur angsur membuat Ara jauh lebih tenang. Kadang kala yang dibutuhkan penderita anxiety hanya keperdulian dan ketenangan yang diberikan dari orang lain untuknya. Karena terlalu lama dan sering menyimpan duka seorang diri, mereka menjadi tak percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Sehingga tanpa sadar, alam bawah sadar mereka memproses hal berbeda dari apa yang mulut mereka ucapkan. Rintikan air hujan turut serta mereda, seiring kondisi Ara yang mulai membaik. Dadanya seakan lebih luas dan lega, meski tangan dan kakinya masih gemetar jua.. Anseara menarik diri dari pelukan Siswa SMA itu. Dengan susah payah ia menarik kedua sudut bibirnya. "Terimakasih banyak telah membantuku. Aku jauh lebih tenang dari sebelumnya. " Fadil ikut tersenyum,"Aku tidak melakukan apapun, dirimu sendiri yang hebat bisa melawan rasa gelisah itu." "Sekali lagi terimakasih. Pulanglah sudah larut malam, aku akan berusaha untuk sampai ke kontrakan. " Ucap Ara yang langsung merasa tak enak hati. "Dimana? Biar aku antar, kamu belum sepenuhnya pulih. " Ara menggeleng," sudah sangat larut, nanti orang tuamu khawatir. Lagi pula sudah dekat, rumah pertama setelah tikungan itu. " Tunjuk Ara. "Tidak ada yang mengkhawatirkan aku, ayo aku akan mengantarmu. Aku tahu apa yang kamu rasakan, itu tidak mudah. Apalagi jika seorang diri seperti ini. " Fadil dengan kedua tangannya, membantu Ara untuk berdiri. Meski tak enak hati, tak bisa di pungkiri kalau ia belum kuat berdiri apalagi berjalan seorang diri. Meski rasa takut dan gelisah nya sudah membaik, namun efek fisiknya tidak bisa langsung hilang. Itu membutuhkan waktu beberapa saat, atau beberapa jam untuk bisa normal kembali. "Pasti sangat berat melalui ini seorang diri? Kenapa tidak pulihkan di rumah dulu nona?" tanya Fadil masih setia membantu wanita itu berjalan. "Jangan memanggilku nona, kamu bisa memanggilku kakak. Karena aku yakin usia kita terpaut jauh. Tak ada pilihan lain untukku saat ini," Araa menarik nafas dalam dalam," aku satu satunya harapan untuk kedua anakku. " Mendengar kata kata itu yang keluar dari mulut Ara, Fadil sedikit terkejut. "Kedua anak?" tanyanya dengan suara agak lirih. Wanita di sampingnya terlihat masih sangat muda. Seperti belum cocok bila ia sudah mempunyai anak. Fadil tak melanjutkan rasa penasarannya, meski ia sangat ingin bertanya. Ia takut itu akan membuat wanita dihadapannya tak nyaman. Ara mengangguk namun tak lama mereka sudah sampai di kontrakannya. "Sudah sampai, sudah larut malam jadi aku tidak bisa menyuruhmu mampir. Tapi aku berterimakasih sebesar besarnya padamu. Jika tidak ada kamu, aku tidak tau apa yang akan terjadi padaku. Sekali lagi terimakasih ya." ucap Ara sembari melangkah perlahan. Ia merogoh kunci dari dalam saku celananya , dan bergegas membuka pintu. "Tunggu sebentar disini, aku akan memberimu jaket. Pasti sangat dingin karena pakaianmu basah kuyup. " Pinta Ara yang kemudian masuk ke dalam rumah. Fadil mengangguk dan duduk di kursi depan rumah kontrakan itu. Pandanganya memutar, selain dipinggiran danau, tempat itu juga sangat sepi. Tak banyak rumah yang ada di sana, mungkin karena agak jauh dari pusat kota. Jadi tak banyak yang mau tinggal disana. "Suasana disini sangat tenang dan nyaman." gumam Fadil. Beberapa saat kemudian, Ara keluar membawakan jaket untuk Fadil. "Maaf karena ini bau parfum ku, tapi ini akan membantu tubuhmu lebih hangat. Pulanglah dengan selamat, terimakasih sekali lagi." ucap Ara menyerahkan jaket berwarna hitam itu. Fadil tersenyum dan bergegas memakai jaket itu. "Akan aku kembalikan setelah aku mencucinya." "Jangan dipikirkan, kalau kita bertemu lagi saja." "Apa kamu sudah lebih baik? Apa tidak masalah jika aku meninggalkanmu?" tanya Fadil penuh perhatian. Ara mengangguk," Aku sudah jauh lebih baik berkatmu." Fadil tersenyum kemudian mengulurkan tangan kanannya "Namaku Fadil, nona siapa?" "Anseara." Jawab Ara sembari menjabat tangan cowok itu. "Anseara, kalau begitu aku pamit ya. Ingat ini, ada banyak hal baik diluar sana, jangan takut dan berani. Ingat juga bahwa kamu adalah wanita hebat." Fadil mengedipkan sebelah matanya, kemudian berlari kecil menjauh. "Terimakasih Tuhan, engkau maha baik. Terimakasih Tuhan, hari ini telah mengirimkan orang baik untuk menolongku." Batin Ara menarik kedua sudut bibirnya kemudian masuk ke dalam rumah kontrakannya. Beberapa saat kemudian Fadil sudah sampai di depan rumahnya. Rumah yang sangat megah dengan cat berwarna putih yang mengelilingi rumah itu. Jalannya sedikit melambat saat ia sampai di pintu depan. Sepertinya rasa semangat dalam dirinya seketika hilang saat menginjak rumah itu Setelah pintu terbuka, ia berpapasan dengan sang Ayah yang tengah menggandeng wanita muda. "Dari mana kamu! Jam segini baru pulang!" tegur sang Ayah. "Bukan urusanmu! Urus saja jalang sialan mu itu!" ketus Fadil yang jengah dengan tingkah sang Ayah. Plak "Anak kurang ajar!""Brengsek!" Teriak Fadil benar benar tak bisa menahan emosinya.Mendengar kata kata kasar yang keluar dari mulut anak semata wayangnya itu, membuat Wira bertambah emosi.Laki laki itu menarik kerah baju anaknya, dengan mata yang dipenuhi amarah. Ia kembali melayangkan pukulan ke wajah Fadil.Plak"Beraninya kamu sama Ayah!""Sayang udah!" teriak wanita muda yang bernama Sera itu. Ia berusaha Menarik kekasihnya itu agar menjauh dari Fadil.Wira mundur melepaskan cengkeramannya.Fadil tersenyum sarkas."Kenapa! Kenapa aku nggak boleh semauku sendiri? padahal kamu bisa semau mu sendiri! " Semenjak kematian ibunya 1 tahun lalu , Fadil berubah menjadi sosok yang berbeda. Ia jadi anak nakal dan sering melawan ayahnya .Bukan tanpa sebab, kenyataan bahwa ibunya mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara bunuh diri, ditambah sang ayah yang tidak pernah berubah. Membuatnya semakin membenci sang ayah, Prawira Atmaja.Ibunya, Sekar laras atmaja mengidap penyakit mental, Mixed Anxiety And Depresif
Sorot mentari menyela masuk, melewati gorden biru yang terlihat usang. Namun cukup indah menghiasi kamar yang sangat polos itu. Anseara sudah siap untuk berangkat bekerja, karena hari ini ia mendapatkan sift pagi.Namun dering ponsel yang menggema, menghentikan aktifitasnya. Setelah semalaman berjuang mengatasi penyakitnya, kali ini ia harus berjuang kembali dengan nomor yang menghubunginya sepagi itu. 'DAUS' begitu nama yang terpampang di layar ponselnya.Wanita itu berusaha mengabaikannya, karena orang itu adalah mantan suaminya. Orang yang sudah membuatnya sakit seperti ini. Namun semakin ia mengabaikannya, semakin banyak panggilan dari nomor lain terus menerus masuk. Membuatnya sangat terganggu. Ia tau itu semua adalah nomor daus, karena selama ini Ara tak pernah memberikan nomornya pada orang lain, selain keluarganya.Merasa sudah sangat diabaikan, kini daus kembali mengirimkan ancaman."AKU AKAN MENCULIK ANAK ANAK! HINGGA KAMU TAK DAPAT MENEMUI MEREKA LAGI JALANG!""BERANINYA
Arina memandang tak percaya pada apa yang baru saja ia alami.' Apa semuanya akan berakhir disini?' Hatinya mulai bertanya tanya." Jangan mentang mentang bokap gue percayain restauran kecil ini ke lo. Lo jadi seenaknya sendiri disini! "Gadis itu mulai ketakutan mendengar perkataan pria dihadapannya itu, dan menundukkan kepalanya sedalam mungkin. "Kenapa gak jawab! Udah ngerasa bos lo disini!" Bentak Zaid dengan nada yang lumayan keras.Arina tetap terdiam seribu bahasa. Untuk mengangkat kepala saja rasanya ia tak mampu.Ia tau duduk permasalahannya, ia sadar namun ia juga takut untuk mengakuinya.Selama ini ia pikir semua akan aman dan baik baik saja. Toh ini hanya restauran kecil yang tidak ada apa apanya, dibandingkan dengan sumber kekayaan keluarga Gamawan yang lainnya."Lo jujur dan ngaku depan gue, atau gue tuntut lo di pengadilan!"Arina tak kuasa, ia bersimpuh di depan Zaid. Terlihat dari sorot wajahnya yang sangat ketakutan."Ampun Tuan, ampun." Hanya itu kata kata yang b
Fadil yang sudah menduga ini sejak awal, tetap berjalan santai. Seperti tak mengetahui ada orang di hadapannya. "Woi!!" Teriak Arga mencoba memburu Fadil.Fadil tersenyum, dan berbelok masuk menuju taman. Ia sengaja, agar tidak ada orang yang mencampuri urusan mereka.Arga yang sudah di kuasai emosi, langsung melayangkan tinjunya. Kali ini Fadil berani melawan, ia menangkisnya dengan mudah.Kemudian membalikkan keadaan dengan cepat. Mengunci tangan Arga dengan kencang. Membuat cowok blasteran itu meringis kesakitan."Brengsek! Sialan! Berani beraninya lo giniin adek gue! " Umpat Arga sembari menahan sakit ."Salah gue dimana! Adek lo yang suka sama gue. Terus salah gue kalo gue gak suka balik ke dia?! Salah gue gitu!" Disinilah sifat Fadil mulai keluar. Ia memang dikenal anti membuat masalah di sekolahan. Bukan karena tidak bisa, melainkan tidak mau. Ia harus lulus dengan predikat baik , sebagai siswa yang baik juga tentunya."Salah lah! Kurang apa sih ais itu! Dia cantik, putih , b
Fadil yang sudah menduga ini sejak awal, tetap berjalan santai. Seperti tak mengetahui ada orang di hadapannya. "Woi!!" Teriak Arga mencoba memburu Fadil.Fadil tersenyum, dan berbelok masuk menuju taman. Ia sengaja, agar tidak ada orang yang mencampuri urusan mereka.Arga yang sudah di kuasai emosi, langsung melayangkan tinjunya. Kali ini Fadil berani melawan, ia menangkisnya dengan mudah.Kemudian membalikkan keadaan dengan cepat. Mengunci tangan Arga dengan kencang. Membuat cowok blasteran itu meringis kesakitan."Brengsek! Sialan! Berani beraninya lo giniin adek gue! " Umpat Arga sembari menahan sakit ."Salah gue dimana! Adek lo yang suka sama gue. Terus salah gue kalo gue gak suka balik ke dia?! Salah gue gitu!" Disinilah sifat Fadil mulai keluar. Ia memang dikenal anti membuat masalah di sekolahan. Bukan karena tidak bisa, melainkan tidak mau. Ia harus lulus dengan predikat baik , sebagai siswa yang baik juga tentunya."Salah lah! Kurang apa sih ais itu! Dia cantik, putih , b
Arina memandang tak percaya pada apa yang baru saja ia alami.' Apa semuanya akan berakhir disini?' Hatinya mulai bertanya tanya." Jangan mentang mentang bokap gue percayain restauran kecil ini ke lo. Lo jadi seenaknya sendiri disini! "Gadis itu mulai ketakutan mendengar perkataan pria dihadapannya itu, dan menundukkan kepalanya sedalam mungkin. "Kenapa gak jawab! Udah ngerasa bos lo disini!" Bentak Zaid dengan nada yang lumayan keras.Arina tetap terdiam seribu bahasa. Untuk mengangkat kepala saja rasanya ia tak mampu.Ia tau duduk permasalahannya, ia sadar namun ia juga takut untuk mengakuinya.Selama ini ia pikir semua akan aman dan baik baik saja. Toh ini hanya restauran kecil yang tidak ada apa apanya, dibandingkan dengan sumber kekayaan keluarga Gamawan yang lainnya."Lo jujur dan ngaku depan gue, atau gue tuntut lo di pengadilan!"Arina tak kuasa, ia bersimpuh di depan Zaid. Terlihat dari sorot wajahnya yang sangat ketakutan."Ampun Tuan, ampun." Hanya itu kata kata yang b
Sorot mentari menyela masuk, melewati gorden biru yang terlihat usang. Namun cukup indah menghiasi kamar yang sangat polos itu. Anseara sudah siap untuk berangkat bekerja, karena hari ini ia mendapatkan sift pagi.Namun dering ponsel yang menggema, menghentikan aktifitasnya. Setelah semalaman berjuang mengatasi penyakitnya, kali ini ia harus berjuang kembali dengan nomor yang menghubunginya sepagi itu. 'DAUS' begitu nama yang terpampang di layar ponselnya.Wanita itu berusaha mengabaikannya, karena orang itu adalah mantan suaminya. Orang yang sudah membuatnya sakit seperti ini. Namun semakin ia mengabaikannya, semakin banyak panggilan dari nomor lain terus menerus masuk. Membuatnya sangat terganggu. Ia tau itu semua adalah nomor daus, karena selama ini Ara tak pernah memberikan nomornya pada orang lain, selain keluarganya.Merasa sudah sangat diabaikan, kini daus kembali mengirimkan ancaman."AKU AKAN MENCULIK ANAK ANAK! HINGGA KAMU TAK DAPAT MENEMUI MEREKA LAGI JALANG!""BERANINYA
"Brengsek!" Teriak Fadil benar benar tak bisa menahan emosinya.Mendengar kata kata kasar yang keluar dari mulut anak semata wayangnya itu, membuat Wira bertambah emosi.Laki laki itu menarik kerah baju anaknya, dengan mata yang dipenuhi amarah. Ia kembali melayangkan pukulan ke wajah Fadil.Plak"Beraninya kamu sama Ayah!""Sayang udah!" teriak wanita muda yang bernama Sera itu. Ia berusaha Menarik kekasihnya itu agar menjauh dari Fadil.Wira mundur melepaskan cengkeramannya.Fadil tersenyum sarkas."Kenapa! Kenapa aku nggak boleh semauku sendiri? padahal kamu bisa semau mu sendiri! " Semenjak kematian ibunya 1 tahun lalu , Fadil berubah menjadi sosok yang berbeda. Ia jadi anak nakal dan sering melawan ayahnya .Bukan tanpa sebab, kenyataan bahwa ibunya mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara bunuh diri, ditambah sang ayah yang tidak pernah berubah. Membuatnya semakin membenci sang ayah, Prawira Atmaja.Ibunya, Sekar laras atmaja mengidap penyakit mental, Mixed Anxiety And Depresif
Hembusan angin malam terasa membelai kulit dengan begitu agresif. Tetesan air dari langit kelabu malam pun, menambah ketidak ramahan dunia malam itu. Tatkala seorang wanita berjalan seorang diri, di keheningan malam. Wajahnya begitu sayu, seperti tak ada darah yang mengalir di dalamnya. Meski tidak diperhatikan, tapi nampak begitu jelas, kedua kakinya bergetar hebat saat melangkah. "Ya Tuhan tolong aku! Aku harus bisa, aku harus mampu, aku pasti bisa sembuh, ini hanya sensasi sesaat." lirihnya sembari merangkul batang pohon yang berada tepat di sampingnya. Nafasnya semakin tak beraturan, ia memejamkan matanya erat-erat. Berusaha sekuat tenaga, menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak jatuh. Anseara , adalah nama wanita itu. Hari ini merupakan hari pertamanya bekerja, setelah beberapa tahun hanya menjadi ibu rumah tangga. Namun sekuat apapun ia berusaha, kegelisahan dalam dirinya membuatnya kalah. Anseara akhirnya terduduk, di atas rumput hijau yang sedari tadi menemani kakinya m