Bab 21Hafiz membeku di tempatnya. Dia tak menyangka akhirnya Yasmin menyusul ke pesantren. Lelaki itu sejenak melupakan kenyataan jika Yasmin sudah biasa melakukan itu saat mereka masih bersama dulu.Perempuan itu berjalan perlahan menghampiri sang suami. Yasmin menatapnya dengan wajah berbinar. Ada kerinduan yang tersirat dari sorot matanya. Sorot mata rindu yang selalu saja meluluhkan hati Hafiz untuk menuruti semua keinginan perempuan itu. Yasmin mengenakan gamis dengan kembang-kembang kecil dengan jilbab warna biru muda. Ujung jilbabnya yang lebar berkibar tertiup angin pagi.Di tangannya ada sebuah bungkusan plastik. Hafiz menggelengkan kepala."Yasmin," keluh Hafiz dalam hati. "Mengapa kamu nekat datang ke sini, Sayang? Kenapa kamu selalu membuat Abang korupsi waktu dengan istri Abang yang lain?""Abang yang nggak mau datang ke rumah Adek, jadi Adek saja yang datang kemari." Tawanya terlihat tanpa beban. "Dia kangen sama Abang, bukan cuma Yasmin yang kangen sama Abang," ucapny
Bab 22Perempuan itu bangkit berdiri saat melihat sang putra kecil sudah tertidur pulas. Dia menutup pintu kamar dengan hati-hati, tanpa suara, lalu meneruskan langkahnya menuju dapur."Ada apa, Azizah?" tanya Bibi Sarah. Wanita itu langsung menunda kegiatannya membersihkan kompor saat mendapati kehadiran keponakannya di dapur. "Kamu seperti habis menangis. Bertengkar lagi dengan Hafiz?""Tidak, Bibi. Ini hanyalah air mata kesedihan seorang istri yang takut kehilangan perhatian dari suami." Wajahnya tertunduk lesu.Bibi Sarah menghela nafas. Dia duduk di kursi menghadap Azizah."Jikalau kamu memang menginginkan berada di jalan ini, maka bertahanlah, Nak. Bibi percaya, masalah ini pasti ada solusinya. Kita tak bisa mencegah Hafiz untuk menikahi Yasmin dan Naura, tetapi kita pasti menemukan cara terbaik untuk bisa bertahan.""Apa yang harus kita lakukan, Bibi? Azizah tahu ke depannya posisi Azizah bakal tersisih oleh mereka.""Setiap manusia dikaruniai oleh kelebihan dan juga kekuranga
Bab 23Hafiz mendesah dalam hati. Sebenarnya dia sudah lelah menghadapi Azizah yang selalu mengeluh kepadanya. Dia bukan tidak mengerti, Azizah merasa minder dengan istri-istrinya yang lain, tapi bukan begitu caranya!"Kamu mau tahu di mana kelebihanmu?" Hafiz menatap lurus Azizah, sembari berusaha menekan emosi."Kelebihanmu ada di dalam dirimu sendiri, Sayang. Di saat kamu merasa apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu, hidup dan segala romantikanya itu adalah kelebihan bagimu!""Maksud Abang? Azizah tidak mengerti!"Hafiz menghela nafas. "Kelak kamu akan mengerti, Sayang. Mungkin waktunya bukan sekarang."Hafiz bangkit dari tempat duduknya. Dia berjalan menuju kamar dengan Azizah dibelakang mengiringi. Wajahnya sumringah tatkala mendapati box bayi. Dia menatap putra kecilnya yang tengah tertidur."Kenapa setiap kali Abang kemari, Ibrahim selalu tidur? Memang tidur mulu ya, Dek?" komentar Hafiz. Dia masih asyik mengamati bayinya."Nggak lah, Bang. Kebetulan saja di saat Abang kema
Bab 24Hari masih pagi. Azizah baru selesai shalat Dhuha ketika mendengar suara ketukan dibalik pintu depan rumah.Perempuan itu buru-buru melepas mukena, menyambar jilbab rumahan, kemudian segera mengenakannya. Azizah membuka pintu kamar dengan Ibrahim yang berada di dalam gendongan."Ini Zahwa?" tanyanya memastikan ketika ia baru membuka pintu depan rumah.Perempuan di hadapannya ini mengenakan gamis bermodel sederhana, berwarna biru tua dengan kembang-kembang kecil dengan jilbab warna putih. Wajahnya tampak menarik, meskipun tak ada polesan make-up sedikitpun."Iya, Azizah. Aku Zahwa. Boleh nggak aku masuk ke dalam?" sahutnya seraya mengangguk ramah.Azizah tergagap. "Ya, tentu. Silakan masuk, Zahwa."Mereka berjalan beriringan menuju ruang tamu, duduk di sofa dengan posisi saling berhadapan. "Maaf ya, kalau kedatanganku mengganggumu," ujarnya berbasa-basi. "Tapi ada sesuatu yang ingin aku tawarkan kepadamu.""Apa itu, Zahwa?" tanya Azizah penasaran.Zahwa menyodorkan sebuah bungk
Bab 25Apakah jalan yang diambilnya selama ini sudah benar? Jalan yang membiarkan suaminya menikah lagi, membiarkan hatinya tersakiti?Dia selalu bersikeras untuk bertahan, mencoba bersabar menghadapi suami dan madunya. Apakah ini memang pilihan hidupnya ataukah justru ini dilakukan karena memang dia sudah tidak lagi memiliki pilihan lain?Apakah sebenarnya dia memang terlalu pengecut untuk mengambil jalan yang berbeda, sebagai istri pertama dari seorang ulama, pengurus pondok pesantren? Apakah dia boleh mengambil jalan perpisahan, lantaran suaminya menikahi perempuan lain?"Apakah boleh seperti itu?" gumam Azizah dalam hati. Kata-kata Zahwa seperti menggugah kewarasannya.Azizah menatap wajah mungil Ibrahim di pangkuannya. Bermacam rasa menggumpal di dada, terasa amat sesak. Bayi itu nampak sudah tertidur pulas. Azizah berdiri dan menyerahkan bayinya kepada bibi Sarah untuk di tidurkan di kamar."Jadi sekarang di mana kamu tinggal, Zahwa?" tanya Azizah setelah ia duduk kembali. Dia b
Bab 26"Tidak perlu, Zahwa. Sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini." Dia merasa beruntung karena tampaknya Hafiz tidak melihatnya. Pandangannya terhalang oleh sebuah mobil truk yang parkir di sebelah mobilnya."Ayo!" Azizah menarik tangan Zahwa menuju motor mereka, setelah memastikan Hafiz dan Yasmin sudah masuk ke dalam rumah makan.Zahwa mengangguk. Dia membiarkan tangannya diseret oleh temannya menuju motor. Sekejap kemudian mereka sudah meninggalkan tempat itu menuju rumah kontrakan Zahwa.Azizah tertegun di depan pintu. Tempat ini hanya sebuah rumah petak dengan ruangan yang sangat kecil berukuran seluas 3 x 6 meter. "Serius kamu tinggal disini?" tanya Azizah seakan tak percaya."Ayo kita masuk." Zahwa mengambil kunci rumah dari tas. Tangannya bergerak memutar kunci dan akhirnya pintu pun terbuka.Ruangan ini benar-benar kecil. Tak ada apapun didalamnya hanya sebuah kasur berukuran kecil, hanya cukup untuk di tiduri satu orang.Di salah satu sudut ruangan, ada oven sede
Bab 27"Adek!" sergah Hafiz. Laki-laki itu buru-buru menyimpan ponsel ke dalam saku bajunya.Sosok tubuh cantik kini menatap dirinya dengan sorot mata membunuh!"Jadi ini kerjaan Abang selama Adek tinggal mandi tadi? Berkirim pesan dengan istri pertama, bercanda yang tidak penting, sementara hari ini adalah hari giliran Adek!" Nada suara itu mengingatkan Hafiz pada masa-masa sebelumnya, saat ia baru saja menikahi Yasmin.Nada penuh cemburu!"Dek, bukan begitu," sanggahnya."Abang hanya menanyakan kabar Azizah, tidak lebih. Bukankah di dalam sebuah riwayat, Rasulullah juga mengunjungi istri-istrinya setiap hari? Akan tetapi, beliau akan bermalam di tempat istri sesuai dengan hari gilirannya masing-masing.""Jangan bawa-bawa Rasulullah, Bang, kalau Abang belum bisa membuktikan keadilan Abang sebagai seorang suami!" ketus Yasmin. "Jangan pernah menjadikan Rasulullah sebagai alasan untuk membenarkan tindakan Abang. Ini tidak adil, Bang! Adek benci Abang!"Perempuan itu mencengkram kain h
Bab 28Tak terasa mobilnya memasuki halaman rumah orang tuanya. Laki-laki itu mengernyitkan dahi tatkala melihat sang abah duduk bersila di teras rumah. "Ada apa Abah malam-malam begini duduk sendirian rumahnya?" Dia bertanya dalam hati."Assalamu alaikum, Abah," sapanya. Laki-laki itu menjejakkan kaki di teras rumah."Wa alaikum salam." Laki-laki itu melambaikan tangan, memberi isyarat Hafiz untuk mendekat. Hafiz maju beberapa langkah, lalu duduk dengan posisi bersila. Begitu dekat, sampai kedua lututnya menyentuh lutut sang abah. "Ada apa, Bah? Kok kelihatannya serius?""Hafiz, Yasmin baru saja menelepon Abah. Katanya, kamu belum pulang.""Tidak mungkinlah Hafiz pulang ke rumah. Hafiz, kan lagi bersama Abah di sini," jawab Hafiz beralasan."Memangnya ada apa, Bah? Kenapa Yasmin menelepon Abah?" sambungnya."Dia menelpon ke ponselmu, tetapi tidak kamu angkat. Kamu kenapa, Nak? Ada masalah?" selidik Abah. Mata lelaki tua itu cukup awas kalau hanya sekedar menangkap kegusaran dari r