Bab 24Hari masih pagi. Azizah baru selesai shalat Dhuha ketika mendengar suara ketukan dibalik pintu depan rumah.Perempuan itu buru-buru melepas mukena, menyambar jilbab rumahan, kemudian segera mengenakannya. Azizah membuka pintu kamar dengan Ibrahim yang berada di dalam gendongan."Ini Zahwa?" tanyanya memastikan ketika ia baru membuka pintu depan rumah.Perempuan di hadapannya ini mengenakan gamis bermodel sederhana, berwarna biru tua dengan kembang-kembang kecil dengan jilbab warna putih. Wajahnya tampak menarik, meskipun tak ada polesan make-up sedikitpun."Iya, Azizah. Aku Zahwa. Boleh nggak aku masuk ke dalam?" sahutnya seraya mengangguk ramah.Azizah tergagap. "Ya, tentu. Silakan masuk, Zahwa."Mereka berjalan beriringan menuju ruang tamu, duduk di sofa dengan posisi saling berhadapan. "Maaf ya, kalau kedatanganku mengganggumu," ujarnya berbasa-basi. "Tapi ada sesuatu yang ingin aku tawarkan kepadamu.""Apa itu, Zahwa?" tanya Azizah penasaran.Zahwa menyodorkan sebuah bungk
Bab 25Apakah jalan yang diambilnya selama ini sudah benar? Jalan yang membiarkan suaminya menikah lagi, membiarkan hatinya tersakiti?Dia selalu bersikeras untuk bertahan, mencoba bersabar menghadapi suami dan madunya. Apakah ini memang pilihan hidupnya ataukah justru ini dilakukan karena memang dia sudah tidak lagi memiliki pilihan lain?Apakah sebenarnya dia memang terlalu pengecut untuk mengambil jalan yang berbeda, sebagai istri pertama dari seorang ulama, pengurus pondok pesantren? Apakah dia boleh mengambil jalan perpisahan, lantaran suaminya menikahi perempuan lain?"Apakah boleh seperti itu?" gumam Azizah dalam hati. Kata-kata Zahwa seperti menggugah kewarasannya.Azizah menatap wajah mungil Ibrahim di pangkuannya. Bermacam rasa menggumpal di dada, terasa amat sesak. Bayi itu nampak sudah tertidur pulas. Azizah berdiri dan menyerahkan bayinya kepada bibi Sarah untuk di tidurkan di kamar."Jadi sekarang di mana kamu tinggal, Zahwa?" tanya Azizah setelah ia duduk kembali. Dia b
Bab 26"Tidak perlu, Zahwa. Sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini." Dia merasa beruntung karena tampaknya Hafiz tidak melihatnya. Pandangannya terhalang oleh sebuah mobil truk yang parkir di sebelah mobilnya."Ayo!" Azizah menarik tangan Zahwa menuju motor mereka, setelah memastikan Hafiz dan Yasmin sudah masuk ke dalam rumah makan.Zahwa mengangguk. Dia membiarkan tangannya diseret oleh temannya menuju motor. Sekejap kemudian mereka sudah meninggalkan tempat itu menuju rumah kontrakan Zahwa.Azizah tertegun di depan pintu. Tempat ini hanya sebuah rumah petak dengan ruangan yang sangat kecil berukuran seluas 3 x 6 meter. "Serius kamu tinggal disini?" tanya Azizah seakan tak percaya."Ayo kita masuk." Zahwa mengambil kunci rumah dari tas. Tangannya bergerak memutar kunci dan akhirnya pintu pun terbuka.Ruangan ini benar-benar kecil. Tak ada apapun didalamnya hanya sebuah kasur berukuran kecil, hanya cukup untuk di tiduri satu orang.Di salah satu sudut ruangan, ada oven sede
Bab 27"Adek!" sergah Hafiz. Laki-laki itu buru-buru menyimpan ponsel ke dalam saku bajunya.Sosok tubuh cantik kini menatap dirinya dengan sorot mata membunuh!"Jadi ini kerjaan Abang selama Adek tinggal mandi tadi? Berkirim pesan dengan istri pertama, bercanda yang tidak penting, sementara hari ini adalah hari giliran Adek!" Nada suara itu mengingatkan Hafiz pada masa-masa sebelumnya, saat ia baru saja menikahi Yasmin.Nada penuh cemburu!"Dek, bukan begitu," sanggahnya."Abang hanya menanyakan kabar Azizah, tidak lebih. Bukankah di dalam sebuah riwayat, Rasulullah juga mengunjungi istri-istrinya setiap hari? Akan tetapi, beliau akan bermalam di tempat istri sesuai dengan hari gilirannya masing-masing.""Jangan bawa-bawa Rasulullah, Bang, kalau Abang belum bisa membuktikan keadilan Abang sebagai seorang suami!" ketus Yasmin. "Jangan pernah menjadikan Rasulullah sebagai alasan untuk membenarkan tindakan Abang. Ini tidak adil, Bang! Adek benci Abang!"Perempuan itu mencengkram kain h
Bab 28Tak terasa mobilnya memasuki halaman rumah orang tuanya. Laki-laki itu mengernyitkan dahi tatkala melihat sang abah duduk bersila di teras rumah. "Ada apa Abah malam-malam begini duduk sendirian rumahnya?" Dia bertanya dalam hati."Assalamu alaikum, Abah," sapanya. Laki-laki itu menjejakkan kaki di teras rumah."Wa alaikum salam." Laki-laki itu melambaikan tangan, memberi isyarat Hafiz untuk mendekat. Hafiz maju beberapa langkah, lalu duduk dengan posisi bersila. Begitu dekat, sampai kedua lututnya menyentuh lutut sang abah. "Ada apa, Bah? Kok kelihatannya serius?""Hafiz, Yasmin baru saja menelepon Abah. Katanya, kamu belum pulang.""Tidak mungkinlah Hafiz pulang ke rumah. Hafiz, kan lagi bersama Abah di sini," jawab Hafiz beralasan."Memangnya ada apa, Bah? Kenapa Yasmin menelepon Abah?" sambungnya."Dia menelpon ke ponselmu, tetapi tidak kamu angkat. Kamu kenapa, Nak? Ada masalah?" selidik Abah. Mata lelaki tua itu cukup awas kalau hanya sekedar menangkap kegusaran dari r
Bab 29Azizah mengangkat wajahnya untuk sesaat. Dia sangat mengenali mobil itu. Mobil yang selalu terparkir di halaman rumahnya yang mungil. Sepasang laki-laki dan perempuan turun dari mobil, meski dari pintu yang berlainan."Bang Hafiz dan Naura!" gumamnya.Dia merasakan dadanya berdegup lebih kencang ketika sepasang suami-istri itu berjalan menghampirinya."Assalamualaikum," sapa Hafiz."Wa alaikum salam." Azizah segera menaruh sapu di sudut ruangan sembari berusaha menetralkan gemuruh perasaannya."Silahkan masuk, Bang. Mohon maaf, acaranya sudah selesai beberapa saat yang lalu," ucapnya. Dia mengarahkan keduanya untuk duduk di kursi yang sudah kembali terpasang di ruangan itu.Hafiz menatap ke sekeliling ruangan. Ada beberapa meja dan kursi termasuk yang didudukinya sekarang mengisi ruangan ini. Ada rak-rak yang berisi kue-kue yang sudah dikemas cantik.Interior ruangan ini bertema khas Kalimantan Selatan. Lukisan dinding berlatar pegunungan, pondok kayu dan sepasang pengantin Ban
Bab 30Sebuah tepukan lembut di bahu Zahwa membuyarkan lamunan wanita itu."Azizah...." Zahwa spontan menoleh. Sesosok tubuh di dekatnya itu lantas duduk di pinggir pembaringan."Ada apa, Zahwa?" Azizah lagi-lagi menepuk pundak sahabatnya, tersenyum begitu teduh. "Masih teringat dengan suamimu?"Zahwa menggeleng cepat. "Tidak sama sekali, Zah. Buat apa aku mengingat seseorang yang sudah membuangku ke jalanan? Bagiku dia sudah mati!" tegasnya. "Aku memikirkanmu, Zah. Aku berpikir, bagaimana kalau kamu minta cerai saja dari Bang Hafiz?" ucap perempuan itu memberanikan diri.Namun Azizah tak terlihat terkejut, malah tertawa kecil. Padahal pertanyaan itu begitu menohok. Seharusnya membuatnya merasa shock."Pertanyaan kamu sama saja dengan bibi Sarah, Zahwa, tapi ya aku belum berpikir sejauh itu," jawabnya jujur. Dia menatap lurus sahabatnya."Aku tidak mau kamu menangis terus-terusan. Kamu berhak untuk berbahagia, Zah." Masih terbayang-bayang dibenak Zahwa saat ia memergoki Azizah tenga
Bab 31"Cup cup, haus ya, Sayang? Maaf ya, Mama udah ninggalin kamu lama banget." Azizah mendudukkan tubuhnya di pinggir ranjang sembari memangku bayi kecilnya. Tangannya bergerak lincah melepas jilbab dan cadar yang dia kenakan, lalu membuka kancing atas bajunya.Bayi mungil itu mulai menyedot air susu dari payudara sang ibu. Terlihat lahap sekali. Azizah meringis geli saat gusi mungil Ibrahim menggigit puting payudaranya."Haus banget ya, anak mama." Dia mengusap kepala putranya dengan gemas.***Senja mulai beranjak dengan langkah perlahan menuju waktu magrib. Suara adzan mulai berkumandang syahdu, memanggil semua umat manusia untuk segera kembali melakukan ritual penyembahan terhadapNya.Mobil yang dikemudikan oleh Hafiz baru saja masuk ke halaman rumah Naura dan berhenti tepat di depan teras rumah."Alhamdulillah," ucap Hafiz. Dia membuka sealbeth yang mengikat Naura setelah membuka sealbeth yang dikenakannya sendiri, lalu membuka pintu mobil. Naura turun dari pintu samping kiri
Bab 109 (ekstra part 2)"Serius pakai ini?" tunjuk Azizah pada sebuah motor gede yang terparkir di halaman hotel. Entah darimana orang-orang mereka mendapatkan kendaraan itu."Serius dong! Memangnya kamu nggak mau naik motor?" Matanya lurus menatap istrinya."Mau dong, apalagi sama Kakak!" Perempuan itu tertawa kecil."Pintar!" sahutnya. Emir menaiki motor, kemudian di susul dengan Azizah.Sebenarnya Azizah merasa ragu. Sudah lama ia tidak mengendarai motor, karena selama di Saudi, pergi kemanapun selalu di antar sopir pribadi, di iringi oleh asisten dan para pengawal. Ruang geraknya terbatas. Apalagi motor khas laki-laki ini. Dia tidak pernah mengendarainya.Perempuan itu memeluk erat pinggang suaminya, menempelkan wajahnya di pundak lelaki itu. Azizah merasakan hatinya seperti penuh dengan wangi bunga.Mereka menyusuri jalan-jalan di sekitar hotel. Di kiri dan kanan bahu jalan, penuh dengan toko dan lapak souvenir khas Bali. Bali memang primadona. Alamnya yang indah, budaya yang kha
Bab 108 (ekstra part 1)Azizah menatap sendu dari balik kaca jendela pesawat. Kota Banjarbaru yang semakin mengecil akhirnya menghilang dari pandangan saat posisi pesawat kian meninggi. Kini mereka tengah berada di atas awan."Sayang...." Sepasang tangan kokoh melingkari pinggang rampingnya.Perempuan itu berdehem. "Iya, Kak." Azizah memutar tubuhnya menghadap sang suami. Sepasang kakinya berjinjit dengan tangan yang terulur memeluk leher itu."Aku merindukanmu," bisik Emir parau."Terlebih lagi diriku, Sayang." "Yang bener? Jangan-jangan sekarang ini malah merindukan ayahnya Ibrahim?" Sepasang mata kelamnya menatap wajah sang istri. Pipi yang merah merona itu membuatnya tak sabar mendaratkan sebuah kecupan hangat."Aku sudah tidak lagi mencintainya, tetapi juga tidak membencinya. Bagiku sekarang ayahnya Ibrahim hanya sekedar sahabat. Jikalau pun kami masih berhubungan baik, itu semua demi Ibrahim....""Percaya kok," sela Emir. Sebenarnya ia hanya ingin memancing, tapi Azizah menyika
Bab 107"Ibrahim bisa bermain kembali dengan adik-adikmu lain kali, Nak. Untuk saat ini, kamu nurut ya, sama Abi. Insya Allah, kalau ada waktu dan kesempatan kita bisa kembali ke mari berkunjung ke rumah kakek dan nenekmu ini," bujuk Azizah."Apa memang tidak bisa diundur lagi, Nak?" tanya kiai Rahman. Bukan cuma Ibrahim, dia pun juga serasa tak rela jika harus berpisah kembali secepat ini dengan cucu kesayangannya."Maafkan kami, Abah, tetapi jadwal kegiatan Azizah memang hanya satu hari. Silaturahmi di pesantren Al-Istiqomah dan di rumah Abah." Perempuan itu berusaha memberi pengertian kepada mantan ayah mertuanya."Abah hanya masih kangen dengan Ibrahim. Tidak ada maksud lain," ralat lelaki tua itu."Insya Allah kami akan berkunjung kembali kesini lain kali, Abah," jawab Azizah seraya memijat kepalanya. "Bukannya sok sibuk, tetapi bagaimanapun sebagai seorang istri, harus menuruti apa kata suami. Pagi ini pesawat akan terbang dari Sydney, singgah sebentar di bandara Syamsudin Noor
Bab 106Emir melangkah gontai menuju kamar tempat dia menginap. Tubuhnya benar-benar lelah, pikirannya pun terkuras. Hari ini dia menghadiri beberapa pertemuan, salah satunya adalah peresmian beroperasinya Almeera hotel di Sydney. Seharusnya di acara itu ia didampingi oleh Azizah. Namun sayang, wanita itu tengah berada di pesantren Al-Istiqomah, di tengah keluarga mantan suaminya.Mengingat itu membuat hati Emir berdenyut. Dia percaya seratus persen dengan cinta istrinya, tapi sedikit banyaknya pasti akan terjadi romansa masa lalu mereka. Bagaimanapun, Azizah dan Hafiz berpisah secara baik-baik, bukan karena pertengkaran, tetapi hanya sekedar perbedaan cara pandang terhadap sebuah rumah tangga. Kenangan indah itu akan senantiasa tersimpan di hati."Tuan, agenda besok siang adalah pertemuan dengan para investor di Bali," ujar Alex, asisten pribadinya mengingatkan."Ya, aku tahu itu, Alex. Terima kasih sudah mengingatkan," ujarnya. Akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar."Silahkan,
Bab 105Hafiz sangat menikmati kebersamaannya dengan Ibrahim. Berkali-kali lelaki itu memeluk dan menciumi putranya, putra yang selama tujuh tahun tidak pernah ditemuinya. Hafiz tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menjenguk putranya, meskipun dipihak Azizah dan Emir tidak pernah melarangnya untuk menjumpai putranya kapanpun ia mau. Disamping itu, jarak yang memisahkan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat Hafiz akhirnya hanya bisa menahan rindu. Kondisi keuangan keluarganya saat ini tidak memungkinkannya untuk bolak-balik Martapura-Mekkah. Terlebih, dia ingin memberikan kesempatan kepada Azizah untuk menenangkan diri dan dia pun sebenarnya juga melakukan hal yang sama.Setiap keputusan pasti memiliki konsekuensi. Tak ada perceraian yang mudah. Semua pasti akan ada dampaknya, terutama buat buah hatinya. Itulah yang harus mereka hadapi sekarang.Akan tetapi, apapun itu, nyatanya Hafiz dan Azizah sudah memiliki kehidupan masing-masing. Hafiz dengan kedua istrinya dan A
Bab 104Sepasang netranya menangkap sosok beberapa perempuan yang berlari kecil ke arahnya saat ia baru saja keluar dari mobil. "Azizah!"Telinganya sangat mengenali suara dari balik cadar itu. Marwiah, mantan kakak iparnya. "Kak Marwiah?" ujarnya. Kedua perempuan itu berpelukan. "Apa kabar, Kak?""Baik, Dek. Ayo masuk. Mama dan Abah sudah menunggumu sedari tadi."Kedua perempuan itu berjalan sembari tangan saling merangkul. Sementara yang lainnya mengikuti dari belakang. Rumah ini tidak banyak berubah. Ruang tamu yang luas dengan sofa yang telah disingkirkan membuat ruangan ini kian bertambah luas. Hanya ada karpet yang dihamparkan melapisi lantai seisi ruangan.Seorang laki-laki tua tampak duduk bersandar di salah satu bidang dinding. Azizah mempercepat langkahnya menghampiri laki-laki itu. Ada rasa rindu yang menyesak di hati saat mereka berdekatan. Bagaimanapun, Azizah sudah menganggap lelaki itu seperti orang tuanya sendiri. "Abah," ujar Azizah. Dia merendahkan tubuhnya sembar
Bab 103Hari masih pagi. Tiga unit mobil mewah meluncur meninggalkan halaman sebuah hotel terkenal di kota Banjarmasin. Azizah merasakan dadanya sedikit berdebar. Ada rasa yang tak biasa, mengingat betapa lama dia tidak bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya. Sembari tetap memangku Rihanna, dia menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Tujuh tahun telah berlalu dan begitu banyak hal yang berubah di daerahnya. Entah apalagi kejutan yang akan ditemui sesampainya dia di pesantren Al-Istiqomah.Sebenarnya bukan Azizah tak ingin pulang, apalagi tidak rindu dengan kampung halamannya. Namun, Azizah perlu waktu yang panjang untuk melupakan cintanya kepada ayah Ibrahim itu. Perlu waktu bertahun-tahun untuk memurnikan cintanya hanya untuk Emir saja.Rihanna duduk dengan manis. Sama seperti ibunya, balita cantik nan menggemaskan berumur dua tahun itu sepertinya juga sangat menikmati perjalanan mereka pagi ini.Jadwal Azizah pagi ini adalah kunjungan ke pondok pesantren Al-Istiqomah Putri
Bab 102Berkat bantuan beberapa orang pengawal, akhirnya Azizah berhasil menembus kerumunan orang-orang dan masuk ke dalam mobil mewahnya. Sebenarnya inilah yang paling dia takutkan. Dia tidak mau kedatangannya menarik perhatian banyak orang, apalagi sampai ke telinga pejabat daerah. Dia tidak mau kepulangannya menjadi bahan berita dan viral di media sosial, apalagi dia melihat banyak orang yang mengarahkan ponsel kepadanya. Azizah mengusap kepala mungil Rihanna demi menenangkan putri kecilnya. Rihanna sudah beberapa kali diajak melakukan perjalanan ke luar negeri, tetapi baru kali ini dia diajak pergi ke negara asal ibunya, Indonesia. "Kita istirahat dulu di hotel, Tuan Putri, setelah itu baru melakukan kunjungan ke pesantren Al-Istiqomah," beritahu Hanum tentang jadwal tuan putrinya."Iya," sahutnya singkat. Mobil terus meluncur dan Azizah tenggelam dalam pikirannya. Sesekali dia menepuk paha putrinya. Rihanna terlihat lelah dan mengantuk.Sepasang matanya fokus dengan pemandanga
Bab 101"Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah memberikan keturunan untukku," ujar Emir seraya mencium perut Azizah berulang kali. Rasa lelah dan capek sepulangnya dari Almeera Hotel lenyap tak berbekas saat menerima kado terindah berupa tespek yang memiliki garis dua dari istrinya."Aku bisa memberikan keturunan untuk Kakak, karena kakak sudah begitu kuat mempertahankan diriku. Terima kasih juga, karena Kakak selalu sabar menghadapi kecemburuanku yang terkadang berlebihan," sahut wanita itu. Dia melingkarkan tangan ke leher sang suami, balas mengecup pipi kanan dan kiri suaminya."Kecemburuanmu masih dalam taraf yang wajar, Sayang. Cemburu itu pertanda cinta. Bukankah Sayyidah Aisyah juga seorang wanita pencemburu?" Emir bangkit lantas merangkul pinggang istrinya dan dalam sekali gerakan ia menggendong tubuh istrinya menuju pembaringan."Mulai detik ini, jangan terlalu banyak bergerak ya, Sayang. Banyak istirahat. Biarkan semuanya diurus oleh para asisten kita," pinta Emir."Aku b