Bab 30Sebuah tepukan lembut di bahu Zahwa membuyarkan lamunan wanita itu."Azizah...." Zahwa spontan menoleh. Sesosok tubuh di dekatnya itu lantas duduk di pinggir pembaringan."Ada apa, Zahwa?" Azizah lagi-lagi menepuk pundak sahabatnya, tersenyum begitu teduh. "Masih teringat dengan suamimu?"Zahwa menggeleng cepat. "Tidak sama sekali, Zah. Buat apa aku mengingat seseorang yang sudah membuangku ke jalanan? Bagiku dia sudah mati!" tegasnya. "Aku memikirkanmu, Zah. Aku berpikir, bagaimana kalau kamu minta cerai saja dari Bang Hafiz?" ucap perempuan itu memberanikan diri.Namun Azizah tak terlihat terkejut, malah tertawa kecil. Padahal pertanyaan itu begitu menohok. Seharusnya membuatnya merasa shock."Pertanyaan kamu sama saja dengan bibi Sarah, Zahwa, tapi ya aku belum berpikir sejauh itu," jawabnya jujur. Dia menatap lurus sahabatnya."Aku tidak mau kamu menangis terus-terusan. Kamu berhak untuk berbahagia, Zah." Masih terbayang-bayang dibenak Zahwa saat ia memergoki Azizah tenga
Bab 31"Cup cup, haus ya, Sayang? Maaf ya, Mama udah ninggalin kamu lama banget." Azizah mendudukkan tubuhnya di pinggir ranjang sembari memangku bayi kecilnya. Tangannya bergerak lincah melepas jilbab dan cadar yang dia kenakan, lalu membuka kancing atas bajunya.Bayi mungil itu mulai menyedot air susu dari payudara sang ibu. Terlihat lahap sekali. Azizah meringis geli saat gusi mungil Ibrahim menggigit puting payudaranya."Haus banget ya, anak mama." Dia mengusap kepala putranya dengan gemas.***Senja mulai beranjak dengan langkah perlahan menuju waktu magrib. Suara adzan mulai berkumandang syahdu, memanggil semua umat manusia untuk segera kembali melakukan ritual penyembahan terhadapNya.Mobil yang dikemudikan oleh Hafiz baru saja masuk ke halaman rumah Naura dan berhenti tepat di depan teras rumah."Alhamdulillah," ucap Hafiz. Dia membuka sealbeth yang mengikat Naura setelah membuka sealbeth yang dikenakannya sendiri, lalu membuka pintu mobil. Naura turun dari pintu samping kiri
Bab 32Sebulan telah berlalu.Azizah Bakery yang dikelola oleh Azizah dan Zahwa sudah menunjukkan perkembangan yang berarti. Orderan kue yang mulai mengalir. Pengunjung yang ingin menikmati kue di tempat juga mulai berdatangan. Untuk menunjang kenyamanan para pelanggan dan membuat mereka betah, Azizah sengaja memasang wi-fi, sehingga pengunjung bisa menikmati makanan dan minuman sambil tetap berselancar di dunia maya, entah itu melakukan pekerjaan atau hanya sekedar bersosial media.Setiap sore, di luar jadwal kunjungan Hafiz ke rumahnya, Azizah mendatangi tempat usahanya itu, bahkan terkadang dengan membawa serta si kecil Ibrahim dengan Bibi Sarah.Hilir mudik orang-orang yang datang silih berganti, melihat wajah-wajah para pengunjung menimbulkan kegembiraan tersendiri di hati Azizah. Apalagi saat melihat laporan pemasukan dan omset penjualan mereka setiap hari.Tepat di minggu ketiga usaha mereka berjalan, Azizah dan Zahwa memutuskan untuk menambah dua karyawan. Satu orang yang ber
Bab 33Hafiz hanya memerlukan sekali gerakan untuk membuat tubuh Azizah masuk ke dalam gendongannya. Lelaki muda itu menggendong Azizah ala bridal yang membuat wanita itu meronta-ronta. "Turunkan Adek, Bang. Adek malu! Seperti pengantin baru saja!" pekik Azizah."Buat apa malu? Kita tidak melakukan apapun." Hafiz mendaratkan ciuman di pipi Azizah. Dia merasa gemas dengan sikap istri tersayangnya ini. Tidak sadarkah Azizah, betapa dia selalu menginginkan kebersamaan seperti ini bisa terjadi setiap hari? Meskipun raganya ada di dekat wanita lain, tetapi hatinya tak pernah bisa berpaling dari cinta pertamanya ini."Turunkan Adek, Bang. Kalau Bibi Sarah lihat, gimana? Malu, Bang! Kita sudah punya anak, kok gini kelakuannya!" Lagi-lagi wanita itu memprotes."Tidak apa-apa, Sayang. Abang kangen sekali buat menggendong kamu." Laki-laki itu terus berjalan masuk ke ruang tamu, kemudian menaruh tubuh Azizah di sofa panjang."Kenapa sekarang Adek berubah? Kalau Abang sedang tidak ada di rumah
Bab 34Tidak ada yang bisa dirasakan Hafiz saat ini kecuali perasaan tertampar oleh tangan raksasa yang tak terlihat. Dia sadar, ucapan istri pertamanya benar."Maaf," cicit Azizah. Perempuan muda itu tertunduk dan menelan ludah."Untuk apa?" kejar Hafiz."Adek tidak bermaksud menggurui Abang, karena Adek tahu ilmu yang Adek miliki tak seujung kuku di bandingkan dengan ilmunya Abang.""Tidak ada yang salah. Adek berhak mengatakan apapun tentang Abang, sepanjang itu di hadapan Abang sendiri, bukan di hadapan orang lain." Laki-laki itu mengelus pipi Azizah yang masih basah.Hafiz menyapu sisa-sisa air mata itu dengan jemarinya."Sebenarnya Adek bisa memahami Abang, kenapa Abang harus menikahi dua perempuan itu dan Adek tahu Abang sudah berusaha untuk adil. Akan tetapi, Bang, jujur makin kesini Adek makin merasakan rasa bersalah karena hal ini. Adek lelah kalau terus-terusan harus di hadapkan dengan kecemburuan dari istri Abang yang lain," tuturnya."Kita tidak bisa membuat semua orang n
Bab 35Laki-laki berumur 40 tahunan itu menggelengkan kepala. Dia mengangkat bahu."Aku mengetahui kalau Bang Zaki sudah menikahi pelacur itu!""Pelacur?" Hafiz mengerutkan kening."Namanya Dania, Dek dan dia bukan pelacur!" tegas Zaki yang diiringi dengan kilat kemarahan dari wanita di sampingnya itu."Abang bercerita yang jelas. Jangan berbicara sepotong-sepotong!" Tiba-tiba Hafiz menggebrak meja.Menghadapi Azizah, perdebatan, drama dan tangisan wanita itu saja sudah membuat kepalanya serasa mau pecah. Ditambah lagi harus menghadapi persoalan keluarganya sendiri. Hafiz tak kuasa menahan emosinyaLaki-laki itu berdiri. Dia menyeret lengan Zaki menuju ruang depan."Hafiz!" teriak ibunya. "Mau kau apakan abangmu?"Perempuan itu bermaksud berdiri dari tempat duduknya, tapi sebuah tangan menariknya untuk kembali duduk."Dia tidak akan berbuat masalah atau pun mencelakai kakak iparnya sendiri. Percayalah." Suara tua itu menenangkannya."Tapi mereka laki-laki, Abah, bukan perempuan!" bant
Bab 36"Justru karena Abang mempertimbangkan perasaan kakakmu, Abang tidak minta izin. Abang tahu kakakmu bukan perempuan seperti Azizah yang bisa diajak bicara, memiliki hati yang tulus dan mau berbagi dengan saudarinya sesama muslimah. Kalau seandainya Marwiah itu seperti Azizah, Abang pasti minta izin kok." Zaki berusaha membela diri.Hafiz teringat kembali perdebatannya dengan Azizah pagi ini."Sebenarnya wanita itu sama saja, Bang. Abang hanya mengenal Azizah dari luar saja. Dia memang terlihat baik-baik saja dan dengan sukarela mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Akan tetapi, Bang, wanita tetaplah wanita. Mereka memiliki rasa cemburu dan pada dasarnya wanita itu tidak ada yang ingin berbagi. Ingat itu, Bang!" Wajahnya merah padam."Kalau kamu sudah tahu bahwa wanita itu tidak ada yang mau berbagi, kenapa kamu bersedia menikah dengan Yasmin dan Naura?" sanggah Zaki."Itu lain lagi ceritanya, Bang!" teriak Hafiz."Mana mungkin aku menolak tawaran haji Hilman dan juga KH. Nawa
Bab 37"Abang sudah sarapan, Dek, di rumah Azizah. Kenapa kamu yang repot datang dan membawakan sarapan buat Abang?""Adek hanya ingin memberi perhatian. Lihatlah sekarang, Abang tampak lebih kurus. Itu pasti karena istri Abang yang lain tidak peduli dengan Abang, kan?" tuduhnya."Memberi perhatian itu ada tempatnya, Dek. Jangan pernah bilang kalau kakak dan adik madumu tidak perhatian. Semuanya perhatian dengan Abang. Bedanya, mereka memperhatikan Abang hanya pada hari giliran mereka saja.""Tidak seperti kamu, Dek, yang seringkali korupsi waktu giliran kakak dan adik madumu," tandas Hafiz."Kok aku yang disalahkan, Bang? Aku hanya ngomong apa adanya." Yasmin membantah. Dia tak terima dengan ucapan Hafiz.Hafiz menghela nafas."Sudahlah. Sekarang Abang mau ngajar. Sebaiknya Adek pulang." Perempuan itu menggelengkan kepala saat sang suami menatap arloji di pergelangan tangannya."Kita sudah ketemu, Sayang dan sarapannya sudah Abang terima dengan senang hati." "Tunggu Abang hari rabu