Bab 37"Abang sudah sarapan, Dek, di rumah Azizah. Kenapa kamu yang repot datang dan membawakan sarapan buat Abang?""Adek hanya ingin memberi perhatian. Lihatlah sekarang, Abang tampak lebih kurus. Itu pasti karena istri Abang yang lain tidak peduli dengan Abang, kan?" tuduhnya."Memberi perhatian itu ada tempatnya, Dek. Jangan pernah bilang kalau kakak dan adik madumu tidak perhatian. Semuanya perhatian dengan Abang. Bedanya, mereka memperhatikan Abang hanya pada hari giliran mereka saja.""Tidak seperti kamu, Dek, yang seringkali korupsi waktu giliran kakak dan adik madumu," tandas Hafiz."Kok aku yang disalahkan, Bang? Aku hanya ngomong apa adanya." Yasmin membantah. Dia tak terima dengan ucapan Hafiz.Hafiz menghela nafas."Sudahlah. Sekarang Abang mau ngajar. Sebaiknya Adek pulang." Perempuan itu menggelengkan kepala saat sang suami menatap arloji di pergelangan tangannya."Kita sudah ketemu, Sayang dan sarapannya sudah Abang terima dengan senang hati." "Tunggu Abang hari rabu
Bab 38"Apa kabar, Nak?""Alhamdulillah, Hafiz selalu sehat, Kiai," sahutnya. "Oh, ya, ini Azizah istri pertama Hafiz dan putra kami. Umurnya baru lima bulan.""Alhamdulillah... sini, Nak." Laki-laki tua itu memberi isyarat kepada Azizah untuk mendekat.Azizah menurut. Tangan tua itu terulur mengelus ubun-ubun Ibrahim yang lantas membuka mata.Sepasang mata kecilnya berkedap-kedip. Sungguh lucu dan menggemaskan. Balita berumur lima bulan itu tampak senang karena menjadi pusat perhatian orang dewasa di dekatnya.Hafiz mengambil Ibrahim dari gendongan istrinya."Sini, Baim sama Ayah dulu ya," ujarnya. Dia memberi isyarat kepada Azizah untuk berbaur dengan para perempuan di dapur.Azizah melangkah perlahan menuju dapur sesudah berpamitan kepada kiai Hamid dan para lelaki di ruangan itu.Meskipun sudah bertahun-tahun menjadi menantu di keluarga ini, dia masih merasa sungkan, karena selama menikah dengan Hafiz hanya sempat beberapa kali menginjakkan kaki di rumah ini. Itu pun terbatas han
Bab 39Azizah terperanjat. Dia memang pernah mendengar tentang seorang tokoh sufi perempuan yang terkenal, Rabiah Al adawiyah. Hanya saja dia membaca biografi sang tokoh itu sepintas lalu. Dia tak menelaah lebih dalam."Anakku." Mata kiai Rahman memandang Zaki dan Dania secara bergantian."Abah tidak bermaksud untuk turut campur dengan urusan rumah tangga kalian. Akan tetapi apapun keputusan yang kalian ambil, pikirkanlah baik-baik, maslahat dan mudharatnya."Laki-laki itu bangkit dari tempat duduk dengan diikuti oleh perempuan tua di sampingnya."Mari kita beristirahat di kamar, Ma. Biarkan anak-anak menyelesaikan sendiri masalah mereka," ajaknya."Iya, Bah. Mama setuju," sambutnya."Abah!" jerit Marwiah. Dia bahkan setengah berlari meraih tangan sang Abah yang sudah mencapai batas pintu ruang makan. "Abah tega sama Marwiah!""Abah tidak tega denganmu, Nak, tapi Abah ingin agar kamu menjadi wanita yang lebih dewasa, bisa berpikir dengan jernih. Jangan hanya menurutkan perasaan.""Mem
Bab 40Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, Hafiz langsung membelokkan mobil ke pembatas tengah jalan, lantas berputar arah. Ada kecemasan luar biasa yang bisa ditangkap oleh Azizah."Ada apa, Bang?" tanya Azizah."Nanti kamu akan tahu sendiri, Sayang." jawabnya. Dia masih terus menatap lurus ke jalan.Tak lama kemudian, mobil sampai di kompleks pesantren. Mereka menyusuri jalan-jalan kecil. Azizah mengerjapkan mata saat mobil yang ditumpanginya menyusuri beberapa rumah tempat tinggal para ustadz"Bukannya ini rumah para Ustadz? Kenapa Abang membawa Adek ke sini? Rumah Abang yang ada di sini, kan ditempati oleh Yasmin?" cecar Azizah. Dia tak mengerti dengan jalan pikiran suaminya.Hafiz menggelengkan kepala. "Bukan ke rumah Abang, Dek.""Lalu?" Azizah menggelengkan kepala, saat mereka melewati rumah yang ditempati oleh Yasmin.Hafiz tak menjawab. Dia terus memajukan mobil hingga akhirnya mereka sampai di satu rumah."Naura?" tebak Azizah"Iya, Sayang," jawab Hafiz. Laki-laki itu meng
Bab 41"Sayang," Perempuan tua itu menatap lekat wajah menantunya."Mama lihat, dari semua istri Hafiz, kamulah yang paling penurut. Mudah-mudahan Mama tidak salah menilaimu, Nak," ujarnya."Ah, Mama bisa saja," tanggap Naura. Perempuan itu masih merasa sungkan dihadapan ibu mertuanya ini, karena hubungan diantara mereka memang tidak dekat. Bukankah ia baru menikah dengan Hafiz?"Tidak, Nak. Mama percaya kiai Nawawi pasti sudah mendidikmu dengan sangat baik." Wanita tua itu tersenyum penuh arti."Abah hanya melakukan segala hal yang biasa dilakukan oleh seorang ayah kepada putrinya," sahut Naura merendah. "Anak baik," pujinya. Dia mengelus kepala Naura. "Mama minta maaf ya, dengan kegaduhan yang terjadi di dalam keluarga kami.""Tak apa, Ma. Naura bisa mengerti," ucap Naura meski dengan sedikit berbohong. Dia tak mau ibu mertuanya mengetahui kegalauannya."Alhamdulillah." Ada kelegaan terpancar dari nada suaranya."Oh, ya, Nak, bagaimana kalau kamu tinggal di sini saja? Jadi Hafiz ti
Bab 42"Ada yang ingin Abang bicarakan dengan Adek," ucapnya pelan. Hafiz menarik nafas berat."Apa itu, Bang?" tanya Azizah."Soal Naura, Dek," sahutnya."Naura? Memangnya ada apa dengan Naura?" tanya Azizah. "Bukankah sekarang dia sudah aman di rumah Abah?""Iya, tapi itu hanya sementara. Abang harus segera menyediakan rumah untuk Naura. Tidak baik terlalu lama tinggal di rumah mertua. Abang takut Naura merasa tidak enak," ujarnya.Sebenarnya bukan hanya itu alasan Hafiz yang ingin memindahkan Naura secepatnya dari rumah orang tuanya. Dia tidak mau kalau sang ibunda mempengaruhi perempuan polos itu untuk membenci istri pertamanya, karena sepanjang pernikahannya dengan istri pertamanya itu, ibunya memang tidak menyukai Azizah."Kalau begitu, Abang harus segera mencari rumah untuk Naura," saran Azizah."Itulah masalahnya, Dek." Laki-laki itu memegang tangan istrinya. "Terus terang uang Abang yang masih tersisa sudah Abang investasikan ke perusahaan Papa Yasmin." Laki-laki itu menggel
Bab 43Zahwa berdecak sebal melihat kedatangan dua orang manusia yang tak ingin ditemuinya itu. Nyatanya keduanya memang datang dan menghampiri mereka. Kalau hanya sekadar Hafiz yang datang, mungkin wanita itu tidak sesebal ini, tetapi besertanya ada Naura, istri ketiganya yang menjadi biang kerok kerepotan Azizah selama beberapa hari ini.Zahwa sendiri juga tak habis pikir, kenapa Hafiz malah menyuruh Azizah yang mencarikan rumah untuk Naura, bukan dia sendiri selaku seorang suami yang memiliki kewajiban dan bertanggung jawab atas semua istrinya? Apakah karena malu atau justru tak memiliki uang untuk menyediakan tempat tinggal yang layak buat istri ketiganya?Wanita itu memegang kuat-kuat tangan Azizah ketika Hafiz mengucapkan salam, seolah ia tidak rela kalau tangan mulus milik Azizah itu merangkum tangan sang suami yang sudah menyakitinya berulang kali.Azizah menjabat tangan suaminya saat ia berhasil melepaskan diri dari pegangan Zahwa. Dia mencium tangan kokoh itu dengan penuh ta
Bab 44Akhirnya Naura berhasil menyelesaikan pekerjaannya, walaupun dengan hati yang masih mendongkol. Lihatlah, kini seisi rumah tampak mulai rapi dan semua perabotan tersusun di tempat yang semestinya.Berhubung tidak memiliki sofa, Naura menghampar karpet di ruang tamu. Hanya itu yang ada di ruang tamunya dan di kamarnya hanya terisi sebuah ranjang, lemari pakaian, meja rias berukuran mungil dan lemari untuk menampung semua koleksi, barang-barang pribadinya.Di dapur hanya ada kitchen set ukuran mungil dengan desain sederhana. Naura yang tidak pandai memasak memilih untuk tidak memenuhi dapurnya dengan berbagai peralatan memasak, kecuali hanya yang penting saja.Hafiz lebih sering membelikannya makanan di luar dan tampaknya dia memang mengerti kalau Naura selama ini hidup dengan kemanjaan, memiliki asisten rumah tangga di rumah orangtuanya dan belum terbiasa hidup sederhana seperti yang sekarang mereka jalani.Perempuan muda itu akhirnya merebahkan tubuhnya di pembaringan. Tubuhnya