Bab 36"Justru karena Abang mempertimbangkan perasaan kakakmu, Abang tidak minta izin. Abang tahu kakakmu bukan perempuan seperti Azizah yang bisa diajak bicara, memiliki hati yang tulus dan mau berbagi dengan saudarinya sesama muslimah. Kalau seandainya Marwiah itu seperti Azizah, Abang pasti minta izin kok." Zaki berusaha membela diri.Hafiz teringat kembali perdebatannya dengan Azizah pagi ini."Sebenarnya wanita itu sama saja, Bang. Abang hanya mengenal Azizah dari luar saja. Dia memang terlihat baik-baik saja dan dengan sukarela mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Akan tetapi, Bang, wanita tetaplah wanita. Mereka memiliki rasa cemburu dan pada dasarnya wanita itu tidak ada yang ingin berbagi. Ingat itu, Bang!" Wajahnya merah padam."Kalau kamu sudah tahu bahwa wanita itu tidak ada yang mau berbagi, kenapa kamu bersedia menikah dengan Yasmin dan Naura?" sanggah Zaki."Itu lain lagi ceritanya, Bang!" teriak Hafiz."Mana mungkin aku menolak tawaran haji Hilman dan juga KH. Nawa
Bab 37"Abang sudah sarapan, Dek, di rumah Azizah. Kenapa kamu yang repot datang dan membawakan sarapan buat Abang?""Adek hanya ingin memberi perhatian. Lihatlah sekarang, Abang tampak lebih kurus. Itu pasti karena istri Abang yang lain tidak peduli dengan Abang, kan?" tuduhnya."Memberi perhatian itu ada tempatnya, Dek. Jangan pernah bilang kalau kakak dan adik madumu tidak perhatian. Semuanya perhatian dengan Abang. Bedanya, mereka memperhatikan Abang hanya pada hari giliran mereka saja.""Tidak seperti kamu, Dek, yang seringkali korupsi waktu giliran kakak dan adik madumu," tandas Hafiz."Kok aku yang disalahkan, Bang? Aku hanya ngomong apa adanya." Yasmin membantah. Dia tak terima dengan ucapan Hafiz.Hafiz menghela nafas."Sudahlah. Sekarang Abang mau ngajar. Sebaiknya Adek pulang." Perempuan itu menggelengkan kepala saat sang suami menatap arloji di pergelangan tangannya."Kita sudah ketemu, Sayang dan sarapannya sudah Abang terima dengan senang hati." "Tunggu Abang hari rabu
Bab 38"Apa kabar, Nak?""Alhamdulillah, Hafiz selalu sehat, Kiai," sahutnya. "Oh, ya, ini Azizah istri pertama Hafiz dan putra kami. Umurnya baru lima bulan.""Alhamdulillah... sini, Nak." Laki-laki tua itu memberi isyarat kepada Azizah untuk mendekat.Azizah menurut. Tangan tua itu terulur mengelus ubun-ubun Ibrahim yang lantas membuka mata.Sepasang mata kecilnya berkedap-kedip. Sungguh lucu dan menggemaskan. Balita berumur lima bulan itu tampak senang karena menjadi pusat perhatian orang dewasa di dekatnya.Hafiz mengambil Ibrahim dari gendongan istrinya."Sini, Baim sama Ayah dulu ya," ujarnya. Dia memberi isyarat kepada Azizah untuk berbaur dengan para perempuan di dapur.Azizah melangkah perlahan menuju dapur sesudah berpamitan kepada kiai Hamid dan para lelaki di ruangan itu.Meskipun sudah bertahun-tahun menjadi menantu di keluarga ini, dia masih merasa sungkan, karena selama menikah dengan Hafiz hanya sempat beberapa kali menginjakkan kaki di rumah ini. Itu pun terbatas han
Bab 39Azizah terperanjat. Dia memang pernah mendengar tentang seorang tokoh sufi perempuan yang terkenal, Rabiah Al adawiyah. Hanya saja dia membaca biografi sang tokoh itu sepintas lalu. Dia tak menelaah lebih dalam."Anakku." Mata kiai Rahman memandang Zaki dan Dania secara bergantian."Abah tidak bermaksud untuk turut campur dengan urusan rumah tangga kalian. Akan tetapi apapun keputusan yang kalian ambil, pikirkanlah baik-baik, maslahat dan mudharatnya."Laki-laki itu bangkit dari tempat duduk dengan diikuti oleh perempuan tua di sampingnya."Mari kita beristirahat di kamar, Ma. Biarkan anak-anak menyelesaikan sendiri masalah mereka," ajaknya."Iya, Bah. Mama setuju," sambutnya."Abah!" jerit Marwiah. Dia bahkan setengah berlari meraih tangan sang Abah yang sudah mencapai batas pintu ruang makan. "Abah tega sama Marwiah!""Abah tidak tega denganmu, Nak, tapi Abah ingin agar kamu menjadi wanita yang lebih dewasa, bisa berpikir dengan jernih. Jangan hanya menurutkan perasaan.""Mem
Bab 40Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, Hafiz langsung membelokkan mobil ke pembatas tengah jalan, lantas berputar arah. Ada kecemasan luar biasa yang bisa ditangkap oleh Azizah."Ada apa, Bang?" tanya Azizah."Nanti kamu akan tahu sendiri, Sayang." jawabnya. Dia masih terus menatap lurus ke jalan.Tak lama kemudian, mobil sampai di kompleks pesantren. Mereka menyusuri jalan-jalan kecil. Azizah mengerjapkan mata saat mobil yang ditumpanginya menyusuri beberapa rumah tempat tinggal para ustadz"Bukannya ini rumah para Ustadz? Kenapa Abang membawa Adek ke sini? Rumah Abang yang ada di sini, kan ditempati oleh Yasmin?" cecar Azizah. Dia tak mengerti dengan jalan pikiran suaminya.Hafiz menggelengkan kepala. "Bukan ke rumah Abang, Dek.""Lalu?" Azizah menggelengkan kepala, saat mereka melewati rumah yang ditempati oleh Yasmin.Hafiz tak menjawab. Dia terus memajukan mobil hingga akhirnya mereka sampai di satu rumah."Naura?" tebak Azizah"Iya, Sayang," jawab Hafiz. Laki-laki itu meng
Bab 41"Sayang," Perempuan tua itu menatap lekat wajah menantunya."Mama lihat, dari semua istri Hafiz, kamulah yang paling penurut. Mudah-mudahan Mama tidak salah menilaimu, Nak," ujarnya."Ah, Mama bisa saja," tanggap Naura. Perempuan itu masih merasa sungkan dihadapan ibu mertuanya ini, karena hubungan diantara mereka memang tidak dekat. Bukankah ia baru menikah dengan Hafiz?"Tidak, Nak. Mama percaya kiai Nawawi pasti sudah mendidikmu dengan sangat baik." Wanita tua itu tersenyum penuh arti."Abah hanya melakukan segala hal yang biasa dilakukan oleh seorang ayah kepada putrinya," sahut Naura merendah. "Anak baik," pujinya. Dia mengelus kepala Naura. "Mama minta maaf ya, dengan kegaduhan yang terjadi di dalam keluarga kami.""Tak apa, Ma. Naura bisa mengerti," ucap Naura meski dengan sedikit berbohong. Dia tak mau ibu mertuanya mengetahui kegalauannya."Alhamdulillah." Ada kelegaan terpancar dari nada suaranya."Oh, ya, Nak, bagaimana kalau kamu tinggal di sini saja? Jadi Hafiz ti
Bab 42"Ada yang ingin Abang bicarakan dengan Adek," ucapnya pelan. Hafiz menarik nafas berat."Apa itu, Bang?" tanya Azizah."Soal Naura, Dek," sahutnya."Naura? Memangnya ada apa dengan Naura?" tanya Azizah. "Bukankah sekarang dia sudah aman di rumah Abah?""Iya, tapi itu hanya sementara. Abang harus segera menyediakan rumah untuk Naura. Tidak baik terlalu lama tinggal di rumah mertua. Abang takut Naura merasa tidak enak," ujarnya.Sebenarnya bukan hanya itu alasan Hafiz yang ingin memindahkan Naura secepatnya dari rumah orang tuanya. Dia tidak mau kalau sang ibunda mempengaruhi perempuan polos itu untuk membenci istri pertamanya, karena sepanjang pernikahannya dengan istri pertamanya itu, ibunya memang tidak menyukai Azizah."Kalau begitu, Abang harus segera mencari rumah untuk Naura," saran Azizah."Itulah masalahnya, Dek." Laki-laki itu memegang tangan istrinya. "Terus terang uang Abang yang masih tersisa sudah Abang investasikan ke perusahaan Papa Yasmin." Laki-laki itu menggel
Bab 43Zahwa berdecak sebal melihat kedatangan dua orang manusia yang tak ingin ditemuinya itu. Nyatanya keduanya memang datang dan menghampiri mereka. Kalau hanya sekadar Hafiz yang datang, mungkin wanita itu tidak sesebal ini, tetapi besertanya ada Naura, istri ketiganya yang menjadi biang kerok kerepotan Azizah selama beberapa hari ini.Zahwa sendiri juga tak habis pikir, kenapa Hafiz malah menyuruh Azizah yang mencarikan rumah untuk Naura, bukan dia sendiri selaku seorang suami yang memiliki kewajiban dan bertanggung jawab atas semua istrinya? Apakah karena malu atau justru tak memiliki uang untuk menyediakan tempat tinggal yang layak buat istri ketiganya?Wanita itu memegang kuat-kuat tangan Azizah ketika Hafiz mengucapkan salam, seolah ia tidak rela kalau tangan mulus milik Azizah itu merangkum tangan sang suami yang sudah menyakitinya berulang kali.Azizah menjabat tangan suaminya saat ia berhasil melepaskan diri dari pegangan Zahwa. Dia mencium tangan kokoh itu dengan penuh ta
Bab 109 (ekstra part 2)"Serius pakai ini?" tunjuk Azizah pada sebuah motor gede yang terparkir di halaman hotel. Entah darimana orang-orang mereka mendapatkan kendaraan itu."Serius dong! Memangnya kamu nggak mau naik motor?" Matanya lurus menatap istrinya."Mau dong, apalagi sama Kakak!" Perempuan itu tertawa kecil."Pintar!" sahutnya. Emir menaiki motor, kemudian di susul dengan Azizah.Sebenarnya Azizah merasa ragu. Sudah lama ia tidak mengendarai motor, karena selama di Saudi, pergi kemanapun selalu di antar sopir pribadi, di iringi oleh asisten dan para pengawal. Ruang geraknya terbatas. Apalagi motor khas laki-laki ini. Dia tidak pernah mengendarainya.Perempuan itu memeluk erat pinggang suaminya, menempelkan wajahnya di pundak lelaki itu. Azizah merasakan hatinya seperti penuh dengan wangi bunga.Mereka menyusuri jalan-jalan di sekitar hotel. Di kiri dan kanan bahu jalan, penuh dengan toko dan lapak souvenir khas Bali. Bali memang primadona. Alamnya yang indah, budaya yang kha
Bab 108 (ekstra part 1)Azizah menatap sendu dari balik kaca jendela pesawat. Kota Banjarbaru yang semakin mengecil akhirnya menghilang dari pandangan saat posisi pesawat kian meninggi. Kini mereka tengah berada di atas awan."Sayang...." Sepasang tangan kokoh melingkari pinggang rampingnya.Perempuan itu berdehem. "Iya, Kak." Azizah memutar tubuhnya menghadap sang suami. Sepasang kakinya berjinjit dengan tangan yang terulur memeluk leher itu."Aku merindukanmu," bisik Emir parau."Terlebih lagi diriku, Sayang." "Yang bener? Jangan-jangan sekarang ini malah merindukan ayahnya Ibrahim?" Sepasang mata kelamnya menatap wajah sang istri. Pipi yang merah merona itu membuatnya tak sabar mendaratkan sebuah kecupan hangat."Aku sudah tidak lagi mencintainya, tetapi juga tidak membencinya. Bagiku sekarang ayahnya Ibrahim hanya sekedar sahabat. Jikalau pun kami masih berhubungan baik, itu semua demi Ibrahim....""Percaya kok," sela Emir. Sebenarnya ia hanya ingin memancing, tapi Azizah menyika
Bab 107"Ibrahim bisa bermain kembali dengan adik-adikmu lain kali, Nak. Untuk saat ini, kamu nurut ya, sama Abi. Insya Allah, kalau ada waktu dan kesempatan kita bisa kembali ke mari berkunjung ke rumah kakek dan nenekmu ini," bujuk Azizah."Apa memang tidak bisa diundur lagi, Nak?" tanya kiai Rahman. Bukan cuma Ibrahim, dia pun juga serasa tak rela jika harus berpisah kembali secepat ini dengan cucu kesayangannya."Maafkan kami, Abah, tetapi jadwal kegiatan Azizah memang hanya satu hari. Silaturahmi di pesantren Al-Istiqomah dan di rumah Abah." Perempuan itu berusaha memberi pengertian kepada mantan ayah mertuanya."Abah hanya masih kangen dengan Ibrahim. Tidak ada maksud lain," ralat lelaki tua itu."Insya Allah kami akan berkunjung kembali kesini lain kali, Abah," jawab Azizah seraya memijat kepalanya. "Bukannya sok sibuk, tetapi bagaimanapun sebagai seorang istri, harus menuruti apa kata suami. Pagi ini pesawat akan terbang dari Sydney, singgah sebentar di bandara Syamsudin Noor
Bab 106Emir melangkah gontai menuju kamar tempat dia menginap. Tubuhnya benar-benar lelah, pikirannya pun terkuras. Hari ini dia menghadiri beberapa pertemuan, salah satunya adalah peresmian beroperasinya Almeera hotel di Sydney. Seharusnya di acara itu ia didampingi oleh Azizah. Namun sayang, wanita itu tengah berada di pesantren Al-Istiqomah, di tengah keluarga mantan suaminya.Mengingat itu membuat hati Emir berdenyut. Dia percaya seratus persen dengan cinta istrinya, tapi sedikit banyaknya pasti akan terjadi romansa masa lalu mereka. Bagaimanapun, Azizah dan Hafiz berpisah secara baik-baik, bukan karena pertengkaran, tetapi hanya sekedar perbedaan cara pandang terhadap sebuah rumah tangga. Kenangan indah itu akan senantiasa tersimpan di hati."Tuan, agenda besok siang adalah pertemuan dengan para investor di Bali," ujar Alex, asisten pribadinya mengingatkan."Ya, aku tahu itu, Alex. Terima kasih sudah mengingatkan," ujarnya. Akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar."Silahkan,
Bab 105Hafiz sangat menikmati kebersamaannya dengan Ibrahim. Berkali-kali lelaki itu memeluk dan menciumi putranya, putra yang selama tujuh tahun tidak pernah ditemuinya. Hafiz tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menjenguk putranya, meskipun dipihak Azizah dan Emir tidak pernah melarangnya untuk menjumpai putranya kapanpun ia mau. Disamping itu, jarak yang memisahkan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat Hafiz akhirnya hanya bisa menahan rindu. Kondisi keuangan keluarganya saat ini tidak memungkinkannya untuk bolak-balik Martapura-Mekkah. Terlebih, dia ingin memberikan kesempatan kepada Azizah untuk menenangkan diri dan dia pun sebenarnya juga melakukan hal yang sama.Setiap keputusan pasti memiliki konsekuensi. Tak ada perceraian yang mudah. Semua pasti akan ada dampaknya, terutama buat buah hatinya. Itulah yang harus mereka hadapi sekarang.Akan tetapi, apapun itu, nyatanya Hafiz dan Azizah sudah memiliki kehidupan masing-masing. Hafiz dengan kedua istrinya dan A
Bab 104Sepasang netranya menangkap sosok beberapa perempuan yang berlari kecil ke arahnya saat ia baru saja keluar dari mobil. "Azizah!"Telinganya sangat mengenali suara dari balik cadar itu. Marwiah, mantan kakak iparnya. "Kak Marwiah?" ujarnya. Kedua perempuan itu berpelukan. "Apa kabar, Kak?""Baik, Dek. Ayo masuk. Mama dan Abah sudah menunggumu sedari tadi."Kedua perempuan itu berjalan sembari tangan saling merangkul. Sementara yang lainnya mengikuti dari belakang. Rumah ini tidak banyak berubah. Ruang tamu yang luas dengan sofa yang telah disingkirkan membuat ruangan ini kian bertambah luas. Hanya ada karpet yang dihamparkan melapisi lantai seisi ruangan.Seorang laki-laki tua tampak duduk bersandar di salah satu bidang dinding. Azizah mempercepat langkahnya menghampiri laki-laki itu. Ada rasa rindu yang menyesak di hati saat mereka berdekatan. Bagaimanapun, Azizah sudah menganggap lelaki itu seperti orang tuanya sendiri. "Abah," ujar Azizah. Dia merendahkan tubuhnya sembar
Bab 103Hari masih pagi. Tiga unit mobil mewah meluncur meninggalkan halaman sebuah hotel terkenal di kota Banjarmasin. Azizah merasakan dadanya sedikit berdebar. Ada rasa yang tak biasa, mengingat betapa lama dia tidak bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya. Sembari tetap memangku Rihanna, dia menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Tujuh tahun telah berlalu dan begitu banyak hal yang berubah di daerahnya. Entah apalagi kejutan yang akan ditemui sesampainya dia di pesantren Al-Istiqomah.Sebenarnya bukan Azizah tak ingin pulang, apalagi tidak rindu dengan kampung halamannya. Namun, Azizah perlu waktu yang panjang untuk melupakan cintanya kepada ayah Ibrahim itu. Perlu waktu bertahun-tahun untuk memurnikan cintanya hanya untuk Emir saja.Rihanna duduk dengan manis. Sama seperti ibunya, balita cantik nan menggemaskan berumur dua tahun itu sepertinya juga sangat menikmati perjalanan mereka pagi ini.Jadwal Azizah pagi ini adalah kunjungan ke pondok pesantren Al-Istiqomah Putri
Bab 102Berkat bantuan beberapa orang pengawal, akhirnya Azizah berhasil menembus kerumunan orang-orang dan masuk ke dalam mobil mewahnya. Sebenarnya inilah yang paling dia takutkan. Dia tidak mau kedatangannya menarik perhatian banyak orang, apalagi sampai ke telinga pejabat daerah. Dia tidak mau kepulangannya menjadi bahan berita dan viral di media sosial, apalagi dia melihat banyak orang yang mengarahkan ponsel kepadanya. Azizah mengusap kepala mungil Rihanna demi menenangkan putri kecilnya. Rihanna sudah beberapa kali diajak melakukan perjalanan ke luar negeri, tetapi baru kali ini dia diajak pergi ke negara asal ibunya, Indonesia. "Kita istirahat dulu di hotel, Tuan Putri, setelah itu baru melakukan kunjungan ke pesantren Al-Istiqomah," beritahu Hanum tentang jadwal tuan putrinya."Iya," sahutnya singkat. Mobil terus meluncur dan Azizah tenggelam dalam pikirannya. Sesekali dia menepuk paha putrinya. Rihanna terlihat lelah dan mengantuk.Sepasang matanya fokus dengan pemandanga
Bab 101"Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah memberikan keturunan untukku," ujar Emir seraya mencium perut Azizah berulang kali. Rasa lelah dan capek sepulangnya dari Almeera Hotel lenyap tak berbekas saat menerima kado terindah berupa tespek yang memiliki garis dua dari istrinya."Aku bisa memberikan keturunan untuk Kakak, karena kakak sudah begitu kuat mempertahankan diriku. Terima kasih juga, karena Kakak selalu sabar menghadapi kecemburuanku yang terkadang berlebihan," sahut wanita itu. Dia melingkarkan tangan ke leher sang suami, balas mengecup pipi kanan dan kiri suaminya."Kecemburuanmu masih dalam taraf yang wajar, Sayang. Cemburu itu pertanda cinta. Bukankah Sayyidah Aisyah juga seorang wanita pencemburu?" Emir bangkit lantas merangkul pinggang istrinya dan dalam sekali gerakan ia menggendong tubuh istrinya menuju pembaringan."Mulai detik ini, jangan terlalu banyak bergerak ya, Sayang. Banyak istirahat. Biarkan semuanya diurus oleh para asisten kita," pinta Emir."Aku b