Bab 34Tidak ada yang bisa dirasakan Hafiz saat ini kecuali perasaan tertampar oleh tangan raksasa yang tak terlihat. Dia sadar, ucapan istri pertamanya benar."Maaf," cicit Azizah. Perempuan muda itu tertunduk dan menelan ludah."Untuk apa?" kejar Hafiz."Adek tidak bermaksud menggurui Abang, karena Adek tahu ilmu yang Adek miliki tak seujung kuku di bandingkan dengan ilmunya Abang.""Tidak ada yang salah. Adek berhak mengatakan apapun tentang Abang, sepanjang itu di hadapan Abang sendiri, bukan di hadapan orang lain." Laki-laki itu mengelus pipi Azizah yang masih basah.Hafiz menyapu sisa-sisa air mata itu dengan jemarinya."Sebenarnya Adek bisa memahami Abang, kenapa Abang harus menikahi dua perempuan itu dan Adek tahu Abang sudah berusaha untuk adil. Akan tetapi, Bang, jujur makin kesini Adek makin merasakan rasa bersalah karena hal ini. Adek lelah kalau terus-terusan harus di hadapkan dengan kecemburuan dari istri Abang yang lain," tuturnya."Kita tidak bisa membuat semua orang n
Bab 35Laki-laki berumur 40 tahunan itu menggelengkan kepala. Dia mengangkat bahu."Aku mengetahui kalau Bang Zaki sudah menikahi pelacur itu!""Pelacur?" Hafiz mengerutkan kening."Namanya Dania, Dek dan dia bukan pelacur!" tegas Zaki yang diiringi dengan kilat kemarahan dari wanita di sampingnya itu."Abang bercerita yang jelas. Jangan berbicara sepotong-sepotong!" Tiba-tiba Hafiz menggebrak meja.Menghadapi Azizah, perdebatan, drama dan tangisan wanita itu saja sudah membuat kepalanya serasa mau pecah. Ditambah lagi harus menghadapi persoalan keluarganya sendiri. Hafiz tak kuasa menahan emosinyaLaki-laki itu berdiri. Dia menyeret lengan Zaki menuju ruang depan."Hafiz!" teriak ibunya. "Mau kau apakan abangmu?"Perempuan itu bermaksud berdiri dari tempat duduknya, tapi sebuah tangan menariknya untuk kembali duduk."Dia tidak akan berbuat masalah atau pun mencelakai kakak iparnya sendiri. Percayalah." Suara tua itu menenangkannya."Tapi mereka laki-laki, Abah, bukan perempuan!" bant
Bab 36"Justru karena Abang mempertimbangkan perasaan kakakmu, Abang tidak minta izin. Abang tahu kakakmu bukan perempuan seperti Azizah yang bisa diajak bicara, memiliki hati yang tulus dan mau berbagi dengan saudarinya sesama muslimah. Kalau seandainya Marwiah itu seperti Azizah, Abang pasti minta izin kok." Zaki berusaha membela diri.Hafiz teringat kembali perdebatannya dengan Azizah pagi ini."Sebenarnya wanita itu sama saja, Bang. Abang hanya mengenal Azizah dari luar saja. Dia memang terlihat baik-baik saja dan dengan sukarela mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Akan tetapi, Bang, wanita tetaplah wanita. Mereka memiliki rasa cemburu dan pada dasarnya wanita itu tidak ada yang ingin berbagi. Ingat itu, Bang!" Wajahnya merah padam."Kalau kamu sudah tahu bahwa wanita itu tidak ada yang mau berbagi, kenapa kamu bersedia menikah dengan Yasmin dan Naura?" sanggah Zaki."Itu lain lagi ceritanya, Bang!" teriak Hafiz."Mana mungkin aku menolak tawaran haji Hilman dan juga KH. Nawa
Bab 37"Abang sudah sarapan, Dek, di rumah Azizah. Kenapa kamu yang repot datang dan membawakan sarapan buat Abang?""Adek hanya ingin memberi perhatian. Lihatlah sekarang, Abang tampak lebih kurus. Itu pasti karena istri Abang yang lain tidak peduli dengan Abang, kan?" tuduhnya."Memberi perhatian itu ada tempatnya, Dek. Jangan pernah bilang kalau kakak dan adik madumu tidak perhatian. Semuanya perhatian dengan Abang. Bedanya, mereka memperhatikan Abang hanya pada hari giliran mereka saja.""Tidak seperti kamu, Dek, yang seringkali korupsi waktu giliran kakak dan adik madumu," tandas Hafiz."Kok aku yang disalahkan, Bang? Aku hanya ngomong apa adanya." Yasmin membantah. Dia tak terima dengan ucapan Hafiz.Hafiz menghela nafas."Sudahlah. Sekarang Abang mau ngajar. Sebaiknya Adek pulang." Perempuan itu menggelengkan kepala saat sang suami menatap arloji di pergelangan tangannya."Kita sudah ketemu, Sayang dan sarapannya sudah Abang terima dengan senang hati." "Tunggu Abang hari rabu
Bab 38"Apa kabar, Nak?""Alhamdulillah, Hafiz selalu sehat, Kiai," sahutnya. "Oh, ya, ini Azizah istri pertama Hafiz dan putra kami. Umurnya baru lima bulan.""Alhamdulillah... sini, Nak." Laki-laki tua itu memberi isyarat kepada Azizah untuk mendekat.Azizah menurut. Tangan tua itu terulur mengelus ubun-ubun Ibrahim yang lantas membuka mata.Sepasang mata kecilnya berkedap-kedip. Sungguh lucu dan menggemaskan. Balita berumur lima bulan itu tampak senang karena menjadi pusat perhatian orang dewasa di dekatnya.Hafiz mengambil Ibrahim dari gendongan istrinya."Sini, Baim sama Ayah dulu ya," ujarnya. Dia memberi isyarat kepada Azizah untuk berbaur dengan para perempuan di dapur.Azizah melangkah perlahan menuju dapur sesudah berpamitan kepada kiai Hamid dan para lelaki di ruangan itu.Meskipun sudah bertahun-tahun menjadi menantu di keluarga ini, dia masih merasa sungkan, karena selama menikah dengan Hafiz hanya sempat beberapa kali menginjakkan kaki di rumah ini. Itu pun terbatas han
Bab 39Azizah terperanjat. Dia memang pernah mendengar tentang seorang tokoh sufi perempuan yang terkenal, Rabiah Al adawiyah. Hanya saja dia membaca biografi sang tokoh itu sepintas lalu. Dia tak menelaah lebih dalam."Anakku." Mata kiai Rahman memandang Zaki dan Dania secara bergantian."Abah tidak bermaksud untuk turut campur dengan urusan rumah tangga kalian. Akan tetapi apapun keputusan yang kalian ambil, pikirkanlah baik-baik, maslahat dan mudharatnya."Laki-laki itu bangkit dari tempat duduk dengan diikuti oleh perempuan tua di sampingnya."Mari kita beristirahat di kamar, Ma. Biarkan anak-anak menyelesaikan sendiri masalah mereka," ajaknya."Iya, Bah. Mama setuju," sambutnya."Abah!" jerit Marwiah. Dia bahkan setengah berlari meraih tangan sang Abah yang sudah mencapai batas pintu ruang makan. "Abah tega sama Marwiah!""Abah tidak tega denganmu, Nak, tapi Abah ingin agar kamu menjadi wanita yang lebih dewasa, bisa berpikir dengan jernih. Jangan hanya menurutkan perasaan.""Mem
Bab 40Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, Hafiz langsung membelokkan mobil ke pembatas tengah jalan, lantas berputar arah. Ada kecemasan luar biasa yang bisa ditangkap oleh Azizah."Ada apa, Bang?" tanya Azizah."Nanti kamu akan tahu sendiri, Sayang." jawabnya. Dia masih terus menatap lurus ke jalan.Tak lama kemudian, mobil sampai di kompleks pesantren. Mereka menyusuri jalan-jalan kecil. Azizah mengerjapkan mata saat mobil yang ditumpanginya menyusuri beberapa rumah tempat tinggal para ustadz"Bukannya ini rumah para Ustadz? Kenapa Abang membawa Adek ke sini? Rumah Abang yang ada di sini, kan ditempati oleh Yasmin?" cecar Azizah. Dia tak mengerti dengan jalan pikiran suaminya.Hafiz menggelengkan kepala. "Bukan ke rumah Abang, Dek.""Lalu?" Azizah menggelengkan kepala, saat mereka melewati rumah yang ditempati oleh Yasmin.Hafiz tak menjawab. Dia terus memajukan mobil hingga akhirnya mereka sampai di satu rumah."Naura?" tebak Azizah"Iya, Sayang," jawab Hafiz. Laki-laki itu meng
Bab 41"Sayang," Perempuan tua itu menatap lekat wajah menantunya."Mama lihat, dari semua istri Hafiz, kamulah yang paling penurut. Mudah-mudahan Mama tidak salah menilaimu, Nak," ujarnya."Ah, Mama bisa saja," tanggap Naura. Perempuan itu masih merasa sungkan dihadapan ibu mertuanya ini, karena hubungan diantara mereka memang tidak dekat. Bukankah ia baru menikah dengan Hafiz?"Tidak, Nak. Mama percaya kiai Nawawi pasti sudah mendidikmu dengan sangat baik." Wanita tua itu tersenyum penuh arti."Abah hanya melakukan segala hal yang biasa dilakukan oleh seorang ayah kepada putrinya," sahut Naura merendah. "Anak baik," pujinya. Dia mengelus kepala Naura. "Mama minta maaf ya, dengan kegaduhan yang terjadi di dalam keluarga kami.""Tak apa, Ma. Naura bisa mengerti," ucap Naura meski dengan sedikit berbohong. Dia tak mau ibu mertuanya mengetahui kegalauannya."Alhamdulillah." Ada kelegaan terpancar dari nada suaranya."Oh, ya, Nak, bagaimana kalau kamu tinggal di sini saja? Jadi Hafiz ti