Bab 18Benar-benar seminggu yang penuh dengan drama. Begitu Hafiz menyebutnya. Kejutan demi kejutan yang dia dapat dari Naura, kiai Nawawi dan terakhir Yasmin. Menguras emosi, pikiran dan tenaganya.Dia merasakan sekali perubahan yang terjadi di dalam hidupnya. Semuanya terasa begitu mendadak. Hafiz tak menyangka sekarang dia telah menjadi seorang lelaki yang memiliki tiga orang istri yang harus di ayominya dengan penuh tanggung jawab.Sungguh berat beban dan tanggung jawab yang harus dipikulnya, belum lagi amanah yang dilekatkan di pundaknya, yaitu mengurus pesantren. Saat ini dia tengah di dalam perjalanan pulang menuju rumah Azizah. Malam sudah semakin larut dan waktu isya telah berlalu begitu lama.Tidak seperti sang ayah yang memilih mengisi pengajian di rumah sendiri, Hafiz memilih untuk mengisi pengajian di beberapa masjid dan musala di desa-desa sekitar pesantren Al Istiqomah.Mobilnya terus melaju dengan kecepatan sedang. Perasaannya sedang tak menentu. Ada rasa gugup bercam
Bab 19"Tidak, Sayang. Rasanya akan tetap sama karena Abang menikmatinya bukan sekedar sentuhan fisik, tetapi juga hati. Laki-laki yang baik akan selalu menerima perubahan fisik dari istrinya, apalagi perubahan itu disebabkan karena melahirkan buah hati mereka."Hafiz mulai mengecup kening istrinya. Dia melakukannya dengan begitu lembut, mengabsen setiap senti di wajah sang istri. Kening, pipi, mata, hidung dan akhirnya benda kenyal nan basah itu pun mendarat di bibirnya. Bibir itu melumatnya dengan begitu lembut, lidahnya menerobos dan mengajak pasangannya untuk menari sebuah tarian pemicu gairah cinta.Hafiz menguntai doa lirih dari mulutnya sembari mengambil selimut untuk menutupi tubuh mereka.***"0e oe oe ...."Suara tangis bayi kecil Ibrahim menggema saat mereka baru saja selesai menunaikan shalat subuh. Hafiz bangkit dari sajadah dan meraih bayi mungil itu."Wah, anak ayah sudah bangun ya? Duh, tampannya. Ibrahim, kalau bangun tidur harus baca apa? Hayo ...." Laki-laki itu men
Bab 20Brakk!!Lelaki muda bertubuh tegap itu menutup pintu mobilnya dengan suara keras. Buru-buru ia menyalakan mesin mobil dan segera tancap gas meninggalkan halaman rumah.Tujuannya sekarang adalah kompleks pondok pesantren Al-Istiqomah. Di samping menjabat sebagai wakil ketua yayasan pondok pesantren Al Istiqomah, Hafiz juga mengajar. Bahkan jadwal pengajarannya pun penuh. Di samping dia mengajar di pondok pesantren, laki-laki itu juga sering mengisi pengajian di desa-desa sekitar pondok pesantren. Dia sudah cukup dikenal, tetapi sampai saat ini Hafiz belum berniat untuk membuka pengajian sendiri seperti ayahnya.Pagi ini benar-benar membuatnya lelah. Kegembiraannya bersama istri dan putra kecilnya mendadak sirna tatkala sebuah chat masuk ke ponselnya dan chat itu berasal dari Yasmin!Chat dari Yasmin yang mengatakan kalau dia ingin ditemani di rumah. Satu hal yang membuat Azizah marah besar, karena hari ini adalah waktunya, gilirannya, dan dia tak mau diganggu oleh madunya dengan
Bab 21Hafiz membeku di tempatnya. Dia tak menyangka akhirnya Yasmin menyusul ke pesantren. Lelaki itu sejenak melupakan kenyataan jika Yasmin sudah biasa melakukan itu saat mereka masih bersama dulu.Perempuan itu berjalan perlahan menghampiri sang suami. Yasmin menatapnya dengan wajah berbinar. Ada kerinduan yang tersirat dari sorot matanya. Sorot mata rindu yang selalu saja meluluhkan hati Hafiz untuk menuruti semua keinginan perempuan itu. Yasmin mengenakan gamis dengan kembang-kembang kecil dengan jilbab warna biru muda. Ujung jilbabnya yang lebar berkibar tertiup angin pagi.Di tangannya ada sebuah bungkusan plastik. Hafiz menggelengkan kepala."Yasmin," keluh Hafiz dalam hati. "Mengapa kamu nekat datang ke sini, Sayang? Kenapa kamu selalu membuat Abang korupsi waktu dengan istri Abang yang lain?""Abang yang nggak mau datang ke rumah Adek, jadi Adek saja yang datang kemari." Tawanya terlihat tanpa beban. "Dia kangen sama Abang, bukan cuma Yasmin yang kangen sama Abang," ucapny
Bab 22Perempuan itu bangkit berdiri saat melihat sang putra kecil sudah tertidur pulas. Dia menutup pintu kamar dengan hati-hati, tanpa suara, lalu meneruskan langkahnya menuju dapur."Ada apa, Azizah?" tanya Bibi Sarah. Wanita itu langsung menunda kegiatannya membersihkan kompor saat mendapati kehadiran keponakannya di dapur. "Kamu seperti habis menangis. Bertengkar lagi dengan Hafiz?""Tidak, Bibi. Ini hanyalah air mata kesedihan seorang istri yang takut kehilangan perhatian dari suami." Wajahnya tertunduk lesu.Bibi Sarah menghela nafas. Dia duduk di kursi menghadap Azizah."Jikalau kamu memang menginginkan berada di jalan ini, maka bertahanlah, Nak. Bibi percaya, masalah ini pasti ada solusinya. Kita tak bisa mencegah Hafiz untuk menikahi Yasmin dan Naura, tetapi kita pasti menemukan cara terbaik untuk bisa bertahan.""Apa yang harus kita lakukan, Bibi? Azizah tahu ke depannya posisi Azizah bakal tersisih oleh mereka.""Setiap manusia dikaruniai oleh kelebihan dan juga kekuranga
Bab 23Hafiz mendesah dalam hati. Sebenarnya dia sudah lelah menghadapi Azizah yang selalu mengeluh kepadanya. Dia bukan tidak mengerti, Azizah merasa minder dengan istri-istrinya yang lain, tapi bukan begitu caranya!"Kamu mau tahu di mana kelebihanmu?" Hafiz menatap lurus Azizah, sembari berusaha menekan emosi."Kelebihanmu ada di dalam dirimu sendiri, Sayang. Di saat kamu merasa apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu, hidup dan segala romantikanya itu adalah kelebihan bagimu!""Maksud Abang? Azizah tidak mengerti!"Hafiz menghela nafas. "Kelak kamu akan mengerti, Sayang. Mungkin waktunya bukan sekarang."Hafiz bangkit dari tempat duduknya. Dia berjalan menuju kamar dengan Azizah dibelakang mengiringi. Wajahnya sumringah tatkala mendapati box bayi. Dia menatap putra kecilnya yang tengah tertidur."Kenapa setiap kali Abang kemari, Ibrahim selalu tidur? Memang tidur mulu ya, Dek?" komentar Hafiz. Dia masih asyik mengamati bayinya."Nggak lah, Bang. Kebetulan saja di saat Abang kema
Bab 24Hari masih pagi. Azizah baru selesai shalat Dhuha ketika mendengar suara ketukan dibalik pintu depan rumah.Perempuan itu buru-buru melepas mukena, menyambar jilbab rumahan, kemudian segera mengenakannya. Azizah membuka pintu kamar dengan Ibrahim yang berada di dalam gendongan."Ini Zahwa?" tanyanya memastikan ketika ia baru membuka pintu depan rumah.Perempuan di hadapannya ini mengenakan gamis bermodel sederhana, berwarna biru tua dengan kembang-kembang kecil dengan jilbab warna putih. Wajahnya tampak menarik, meskipun tak ada polesan make-up sedikitpun."Iya, Azizah. Aku Zahwa. Boleh nggak aku masuk ke dalam?" sahutnya seraya mengangguk ramah.Azizah tergagap. "Ya, tentu. Silakan masuk, Zahwa."Mereka berjalan beriringan menuju ruang tamu, duduk di sofa dengan posisi saling berhadapan. "Maaf ya, kalau kedatanganku mengganggumu," ujarnya berbasa-basi. "Tapi ada sesuatu yang ingin aku tawarkan kepadamu.""Apa itu, Zahwa?" tanya Azizah penasaran.Zahwa menyodorkan sebuah bungk
Bab 25Apakah jalan yang diambilnya selama ini sudah benar? Jalan yang membiarkan suaminya menikah lagi, membiarkan hatinya tersakiti?Dia selalu bersikeras untuk bertahan, mencoba bersabar menghadapi suami dan madunya. Apakah ini memang pilihan hidupnya ataukah justru ini dilakukan karena memang dia sudah tidak lagi memiliki pilihan lain?Apakah sebenarnya dia memang terlalu pengecut untuk mengambil jalan yang berbeda, sebagai istri pertama dari seorang ulama, pengurus pondok pesantren? Apakah dia boleh mengambil jalan perpisahan, lantaran suaminya menikahi perempuan lain?"Apakah boleh seperti itu?" gumam Azizah dalam hati. Kata-kata Zahwa seperti menggugah kewarasannya.Azizah menatap wajah mungil Ibrahim di pangkuannya. Bermacam rasa menggumpal di dada, terasa amat sesak. Bayi itu nampak sudah tertidur pulas. Azizah berdiri dan menyerahkan bayinya kepada bibi Sarah untuk di tidurkan di kamar."Jadi sekarang di mana kamu tinggal, Zahwa?" tanya Azizah setelah ia duduk kembali. Dia b
Bab 109 (ekstra part 2)"Serius pakai ini?" tunjuk Azizah pada sebuah motor gede yang terparkir di halaman hotel. Entah darimana orang-orang mereka mendapatkan kendaraan itu."Serius dong! Memangnya kamu nggak mau naik motor?" Matanya lurus menatap istrinya."Mau dong, apalagi sama Kakak!" Perempuan itu tertawa kecil."Pintar!" sahutnya. Emir menaiki motor, kemudian di susul dengan Azizah.Sebenarnya Azizah merasa ragu. Sudah lama ia tidak mengendarai motor, karena selama di Saudi, pergi kemanapun selalu di antar sopir pribadi, di iringi oleh asisten dan para pengawal. Ruang geraknya terbatas. Apalagi motor khas laki-laki ini. Dia tidak pernah mengendarainya.Perempuan itu memeluk erat pinggang suaminya, menempelkan wajahnya di pundak lelaki itu. Azizah merasakan hatinya seperti penuh dengan wangi bunga.Mereka menyusuri jalan-jalan di sekitar hotel. Di kiri dan kanan bahu jalan, penuh dengan toko dan lapak souvenir khas Bali. Bali memang primadona. Alamnya yang indah, budaya yang kha
Bab 108 (ekstra part 1)Azizah menatap sendu dari balik kaca jendela pesawat. Kota Banjarbaru yang semakin mengecil akhirnya menghilang dari pandangan saat posisi pesawat kian meninggi. Kini mereka tengah berada di atas awan."Sayang...." Sepasang tangan kokoh melingkari pinggang rampingnya.Perempuan itu berdehem. "Iya, Kak." Azizah memutar tubuhnya menghadap sang suami. Sepasang kakinya berjinjit dengan tangan yang terulur memeluk leher itu."Aku merindukanmu," bisik Emir parau."Terlebih lagi diriku, Sayang." "Yang bener? Jangan-jangan sekarang ini malah merindukan ayahnya Ibrahim?" Sepasang mata kelamnya menatap wajah sang istri. Pipi yang merah merona itu membuatnya tak sabar mendaratkan sebuah kecupan hangat."Aku sudah tidak lagi mencintainya, tetapi juga tidak membencinya. Bagiku sekarang ayahnya Ibrahim hanya sekedar sahabat. Jikalau pun kami masih berhubungan baik, itu semua demi Ibrahim....""Percaya kok," sela Emir. Sebenarnya ia hanya ingin memancing, tapi Azizah menyika
Bab 107"Ibrahim bisa bermain kembali dengan adik-adikmu lain kali, Nak. Untuk saat ini, kamu nurut ya, sama Abi. Insya Allah, kalau ada waktu dan kesempatan kita bisa kembali ke mari berkunjung ke rumah kakek dan nenekmu ini," bujuk Azizah."Apa memang tidak bisa diundur lagi, Nak?" tanya kiai Rahman. Bukan cuma Ibrahim, dia pun juga serasa tak rela jika harus berpisah kembali secepat ini dengan cucu kesayangannya."Maafkan kami, Abah, tetapi jadwal kegiatan Azizah memang hanya satu hari. Silaturahmi di pesantren Al-Istiqomah dan di rumah Abah." Perempuan itu berusaha memberi pengertian kepada mantan ayah mertuanya."Abah hanya masih kangen dengan Ibrahim. Tidak ada maksud lain," ralat lelaki tua itu."Insya Allah kami akan berkunjung kembali kesini lain kali, Abah," jawab Azizah seraya memijat kepalanya. "Bukannya sok sibuk, tetapi bagaimanapun sebagai seorang istri, harus menuruti apa kata suami. Pagi ini pesawat akan terbang dari Sydney, singgah sebentar di bandara Syamsudin Noor
Bab 106Emir melangkah gontai menuju kamar tempat dia menginap. Tubuhnya benar-benar lelah, pikirannya pun terkuras. Hari ini dia menghadiri beberapa pertemuan, salah satunya adalah peresmian beroperasinya Almeera hotel di Sydney. Seharusnya di acara itu ia didampingi oleh Azizah. Namun sayang, wanita itu tengah berada di pesantren Al-Istiqomah, di tengah keluarga mantan suaminya.Mengingat itu membuat hati Emir berdenyut. Dia percaya seratus persen dengan cinta istrinya, tapi sedikit banyaknya pasti akan terjadi romansa masa lalu mereka. Bagaimanapun, Azizah dan Hafiz berpisah secara baik-baik, bukan karena pertengkaran, tetapi hanya sekedar perbedaan cara pandang terhadap sebuah rumah tangga. Kenangan indah itu akan senantiasa tersimpan di hati."Tuan, agenda besok siang adalah pertemuan dengan para investor di Bali," ujar Alex, asisten pribadinya mengingatkan."Ya, aku tahu itu, Alex. Terima kasih sudah mengingatkan," ujarnya. Akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar."Silahkan,
Bab 105Hafiz sangat menikmati kebersamaannya dengan Ibrahim. Berkali-kali lelaki itu memeluk dan menciumi putranya, putra yang selama tujuh tahun tidak pernah ditemuinya. Hafiz tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menjenguk putranya, meskipun dipihak Azizah dan Emir tidak pernah melarangnya untuk menjumpai putranya kapanpun ia mau. Disamping itu, jarak yang memisahkan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat Hafiz akhirnya hanya bisa menahan rindu. Kondisi keuangan keluarganya saat ini tidak memungkinkannya untuk bolak-balik Martapura-Mekkah. Terlebih, dia ingin memberikan kesempatan kepada Azizah untuk menenangkan diri dan dia pun sebenarnya juga melakukan hal yang sama.Setiap keputusan pasti memiliki konsekuensi. Tak ada perceraian yang mudah. Semua pasti akan ada dampaknya, terutama buat buah hatinya. Itulah yang harus mereka hadapi sekarang.Akan tetapi, apapun itu, nyatanya Hafiz dan Azizah sudah memiliki kehidupan masing-masing. Hafiz dengan kedua istrinya dan A
Bab 104Sepasang netranya menangkap sosok beberapa perempuan yang berlari kecil ke arahnya saat ia baru saja keluar dari mobil. "Azizah!"Telinganya sangat mengenali suara dari balik cadar itu. Marwiah, mantan kakak iparnya. "Kak Marwiah?" ujarnya. Kedua perempuan itu berpelukan. "Apa kabar, Kak?""Baik, Dek. Ayo masuk. Mama dan Abah sudah menunggumu sedari tadi."Kedua perempuan itu berjalan sembari tangan saling merangkul. Sementara yang lainnya mengikuti dari belakang. Rumah ini tidak banyak berubah. Ruang tamu yang luas dengan sofa yang telah disingkirkan membuat ruangan ini kian bertambah luas. Hanya ada karpet yang dihamparkan melapisi lantai seisi ruangan.Seorang laki-laki tua tampak duduk bersandar di salah satu bidang dinding. Azizah mempercepat langkahnya menghampiri laki-laki itu. Ada rasa rindu yang menyesak di hati saat mereka berdekatan. Bagaimanapun, Azizah sudah menganggap lelaki itu seperti orang tuanya sendiri. "Abah," ujar Azizah. Dia merendahkan tubuhnya sembar
Bab 103Hari masih pagi. Tiga unit mobil mewah meluncur meninggalkan halaman sebuah hotel terkenal di kota Banjarmasin. Azizah merasakan dadanya sedikit berdebar. Ada rasa yang tak biasa, mengingat betapa lama dia tidak bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya. Sembari tetap memangku Rihanna, dia menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Tujuh tahun telah berlalu dan begitu banyak hal yang berubah di daerahnya. Entah apalagi kejutan yang akan ditemui sesampainya dia di pesantren Al-Istiqomah.Sebenarnya bukan Azizah tak ingin pulang, apalagi tidak rindu dengan kampung halamannya. Namun, Azizah perlu waktu yang panjang untuk melupakan cintanya kepada ayah Ibrahim itu. Perlu waktu bertahun-tahun untuk memurnikan cintanya hanya untuk Emir saja.Rihanna duduk dengan manis. Sama seperti ibunya, balita cantik nan menggemaskan berumur dua tahun itu sepertinya juga sangat menikmati perjalanan mereka pagi ini.Jadwal Azizah pagi ini adalah kunjungan ke pondok pesantren Al-Istiqomah Putri
Bab 102Berkat bantuan beberapa orang pengawal, akhirnya Azizah berhasil menembus kerumunan orang-orang dan masuk ke dalam mobil mewahnya. Sebenarnya inilah yang paling dia takutkan. Dia tidak mau kedatangannya menarik perhatian banyak orang, apalagi sampai ke telinga pejabat daerah. Dia tidak mau kepulangannya menjadi bahan berita dan viral di media sosial, apalagi dia melihat banyak orang yang mengarahkan ponsel kepadanya. Azizah mengusap kepala mungil Rihanna demi menenangkan putri kecilnya. Rihanna sudah beberapa kali diajak melakukan perjalanan ke luar negeri, tetapi baru kali ini dia diajak pergi ke negara asal ibunya, Indonesia. "Kita istirahat dulu di hotel, Tuan Putri, setelah itu baru melakukan kunjungan ke pesantren Al-Istiqomah," beritahu Hanum tentang jadwal tuan putrinya."Iya," sahutnya singkat. Mobil terus meluncur dan Azizah tenggelam dalam pikirannya. Sesekali dia menepuk paha putrinya. Rihanna terlihat lelah dan mengantuk.Sepasang matanya fokus dengan pemandanga
Bab 101"Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah memberikan keturunan untukku," ujar Emir seraya mencium perut Azizah berulang kali. Rasa lelah dan capek sepulangnya dari Almeera Hotel lenyap tak berbekas saat menerima kado terindah berupa tespek yang memiliki garis dua dari istrinya."Aku bisa memberikan keturunan untuk Kakak, karena kakak sudah begitu kuat mempertahankan diriku. Terima kasih juga, karena Kakak selalu sabar menghadapi kecemburuanku yang terkadang berlebihan," sahut wanita itu. Dia melingkarkan tangan ke leher sang suami, balas mengecup pipi kanan dan kiri suaminya."Kecemburuanmu masih dalam taraf yang wajar, Sayang. Cemburu itu pertanda cinta. Bukankah Sayyidah Aisyah juga seorang wanita pencemburu?" Emir bangkit lantas merangkul pinggang istrinya dan dalam sekali gerakan ia menggendong tubuh istrinya menuju pembaringan."Mulai detik ini, jangan terlalu banyak bergerak ya, Sayang. Banyak istirahat. Biarkan semuanya diurus oleh para asisten kita," pinta Emir."Aku b