Ada satu kelegaan di hati Kania ketika mengetahui bahwa ayahnya telah dimakamkan di samping makam mamanya. Mungkin, terlihat biasa saja, tetapi itu sangat berarti baginya. Tak ada sesuatu paling membahagiakan bagi seorang anak selain minat kedua orang tuanya bisa bersama dalam sebuah kebahagiaan. Meski orang tuanya telah tiada, tetapi melihat makam mereka berdampingan rasanya membuat Kania puas. Karena dulu, saat ayahnya memutuskan untuk menikah lagi, hatinya sempat merasa hancur. Ia marah dan tidak bisa menerima pernikahan itu hingga akhirnya ia paham bahwa ada kebutuhan dari ayahnya yang tak bisa ia berikan. Satu hal yang masih menjadi kekuatannya saat itu adalah fakta bahwa ayahnya masih sering menyaksikan foto mamanya sambil menitikkan air mata. Itu berarti masih ada cinta tersisa untuk mamanya. Akhirnya, ia pun mulai berdamai dengan keadaan itu meski berat. Dan sekarang, luka hati akibat pernikahan ayahnya dengan ibu tirinya dulu—ia menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap ci
Kania bingung. Empat orang yang asing baginya itu tiba-tiba saja menggiringnya pergi. Meski salah satu di antaranya mirip dengan pria menyebalkan yang selalu membuat hatinya kesal luar biasa, tetapi ia tahu dia bukanlah orang yang sama. Tatapan lelaki itu terlalu dingin padanya. Jadi, itu sudah pasti bukan lelakinya yang menyebalkan.Lengannya dituntun oleh seorang gadis muda dan seorang lelaki muda dengan erat hingga ia tak bisa melepaskan diri. Akan tetapi, ia tak mau pergi tanpa sosok yang biasanya selalu ada untuknya. Ahh, di mana si pria menyebalkan itu. Lalu, dengan gerakan memberontak yang cukup kuat, ia memaksa tubuhnya untuk berbalik, mencari sosok menyebalkan itu. Dia ada di sana! Benaknya berteriak, ketika melihat orang yang ia cari berjalan ke arah yang berlawanan dengan dirinya. Ia pun mencoba melepaskan diri dari cekalan dua orang di kiri dan kanannya agar bisa mengejar si pria menyebalkan. Dirinya tak bisa pergi begitu saja bersama dengan orang asing. Hati dan pikira
Kania bingung dengan apa yang terjadi. Ia terjatuh ke tanah bersama Aldebaran, sementara di atasnya terlihat banyak sekali pergerakan yang ia tak tahu apa itu. Akan tetapi, apa pun itu selama Aldebaran masih memeluknya, ia tak akan mempermasalahkan itu. Karena Alde pasti akan selalu menjaganya. Kania tersenyum sambil memejamkan mata, lalu merapatkan kepalanya ke dalam dada Alde yang masih memeluknya dengan erat. Namun, ada yang berbeda. Lelaki menyebalkan itu tidak bergerak sama sekali. Dan ia merasakan dada tempatnya bersandar pun menjadi basah. Apakah hujan?Kania membuka matanya sedikit. Dahinya mengerut melihat noda gelap pada baju Aldebaran yang berwarna biru gelap. Ia menamatkan penglihatannya dan seketika terkejut ketika menyadari bahwa basah itu adalah darah. "Kak Al." Kania memanggil, tapi tidak ada jawaban. Ia pun memanggil lagi. Kali ini sambil mengguncang pelan tubuh Aldebaran. Akan tetapi, sosok yang selalu membuatnya kesal itu tetap tidak bergerak atau menjawab panggil
"Aku suamimu." Suami? batin Kania bertanya-tanya. Ia pun meneliti sosok di hadapannya itu dari ujung kepala hingga pinggang karena saat itu dirinya masih dalam posisi berbaring, otomatis pandangannya pun menjadi terbatas. Ia pun mencoba untuk bangun, tetapi upayanya itu ternyata membuat kepalanya terasa berputar hebat hingga ia pun harus kembali berbaring. Beruntung sosok yang duduk di samping ranjangnya itu menangkap tubuhnya dengan sigap hingga ia tak perlu terbanting kembali ke tempat tidur. Kemudian, tatapannya pun jatuh pada lengan yang tadi menahan tubuhnya itu. Sebuah perban putih bersih melingkari lengan kekar itu. "Itu." Kania menunjuk lengan orang yang mengaku suaminya itu dengan raut kasihan dan tak enak hati. Lengan itu terluka, tapi masih saja berusaha menangkar tubuhnya yang oleng."Tidak apa-apa." Wajah itu kembali melemparkan senyum hangat yang menenangkan. "Sebaiknya jangan bangun dulu sampai dokter datang memeriksa kondisimu.""Aku kenapa?" Kania bertanya karena
Aldebaran benar-benar tak bisa leluasa bergerak karena Kania terus saja menggantung di lengannya. Ke mana pun dirinya pergi atau apa pun yang ia lakukan, Kania selalu ingin diajak serta. Ia sungguh maklum dengan sikap posesif dan protektif Kania yang bisa dikatakan overdosis. Semua itu terjadi karena istrinya itu begitu takut kehilangan dirinya. Sangat takut hingga Kania bisa langsung pingsan ketika tidak menemukan dirinya di mana pun. Dan Alde tidak mau itu terjadi. Akhirnya, ia pun harus mulai mengatur lagi setiap kegiatan dan rutinitas barunya dengan Kania yang terus menempel padanya. Entah itu rapat di kantor bersama para direksi, klien, atau saat meninjau langsung proyek pembangunan yang sedang berlangsung. Awalnya, itu semua terasa sedikit menyulitkan, tetapi setelah dijalani dan mulai memahami beberapa trik supaya Kania bisa tenang, Alde pun mulai terbiasa. Seperti siang itu, saat dirinya sedang kedatangan klien dari luar yang ingin memercayakan pembangunan resort di Batam
Sebelum memulai meeting bersama klien-nya, terlebih dahulu Aldebaran menanyakan kesediaan mereka akan keberadaan Kania. Ia pun menjelaskan kondisi istrinya tanpa merasa malu sedikit pun. Bahkan, ia memberi kesempatan kepada kliennya itu untuk mengurungkan kerja sama yang ada apabila mereka merasa terganggu atau keberatan dengan keberadaan istrinya di sana. "Tidak sama sekali." Klien itu menjawab sambil tersenyum. "Jadi atau tidaknya kerja sama ini, bukan bergantung pada keberadaan istri Anda, tetapi dari apa yang akan Anda tawarkan kepada kami nantinya."Aldebaran mengucapkan terima kasih dengan tulus, tapi tetap menjaga wibawanya sebagai seorang pemimpin perusahaan. Setelah Meri membagikan copy file dari apa yang akan ia jelaskan di layar, Alde meminta dengan lembut agar Kania berpindah ke lengannya yang sebelah kiri agar ia bisa leluasa mempresentasikan disain, anggaran biaya, juga kelebihan dan keuntungan proyek yang akan dipercayakan kepada perusahaannya. Termasuk estimasi waktu
Aldebaran langsung masuk ke dalam kediaman orang tuanya, menaiki tangga menuju kamar adik perempuannya. Kania masih setia mengekor di belakangnya sambil berpegangan tangan dengannya. Di depan kamar Alea, ia berpapasan dengan kakak iparnya yang perutnya sudah terlihat besar. Ia jadi berpikir, dengan perut sebesar itu, bukankah kakak iparnya itu harusnya sudah melahirkan?Alde tidak mengatakan apa pun karena kakak iparnya itu langsung berlari kembali ke kamar kakak sulungnya, begitu keluar dari kamar Alea. Ia pun mengetuk pintunya pelan, hanya sekedar memberi tanda bahwa dirinya akan masuk, lalu langsung membawa Kania masuk ke dalam. "Kau sudah berkemas?" Aldebaran mengedarkan pandangan ke sekitar kamar, menari koper atau tas Alea."Tidak, Kak. Aku tidak akan ke mana-mana." Alea menjawab lelah. Setelah semua kakaknya, termasuk Aaro marah-marah karena keputusannya, sekarang malah kakak favoritnya ingin membawanya pergi tanpa persetujuan darinya. "Lee," Alde berjongkok di depan sang a
Aldebaran menatap sosok putih jangkung di hadapannya dengan sorot mata menilai. Rautnya tampan dan terkesan angkuh, meski bibirnya menyunggingkan seulas senyum khas seorang bangsawan. Menurut ayahnya, Dana masih keturunan bangsawan tua yang pernah ada di muka bumi ini. Aldebaran sendiri tak peduli dia keturunan bangsawan atau bukan. Di matanya, sosok itu tetaplah pria biasa yang akan menjadi adik iparnya. Akan tetapi, ia pun tak bisa memungkiri bahwa ada aura yang sedikit berbeda dari sosok itu. Dia terlihat sedikit lebih bersinar. Entah karena kulitnya memang terlampaui putih atau—kalau Aldebaran tidak salah lihat—setiap pergerakan pria itu selalu diikuti oleh cahaya samar di sekitarnya. "Aku tak yakin umurmu masih 23 tahun." Aldebaran langsung berkata pada intinya. "Jadi, mengapa kau menginginkan adikku?""Apa saya harus menunjukkan kartu identitas saya?" Sosok itu bertanya geli."Tidak perlu. Kartu identitas bisa dibeli di zaman sekarang ini. Aku hanya menagih kejujuran darimu at