Kania bingung dengan apa yang terjadi. Ia terjatuh ke tanah bersama Aldebaran, sementara di atasnya terlihat banyak sekali pergerakan yang ia tak tahu apa itu. Akan tetapi, apa pun itu selama Aldebaran masih memeluknya, ia tak akan mempermasalahkan itu. Karena Alde pasti akan selalu menjaganya. Kania tersenyum sambil memejamkan mata, lalu merapatkan kepalanya ke dalam dada Alde yang masih memeluknya dengan erat. Namun, ada yang berbeda. Lelaki menyebalkan itu tidak bergerak sama sekali. Dan ia merasakan dada tempatnya bersandar pun menjadi basah. Apakah hujan?Kania membuka matanya sedikit. Dahinya mengerut melihat noda gelap pada baju Aldebaran yang berwarna biru gelap. Ia menamatkan penglihatannya dan seketika terkejut ketika menyadari bahwa basah itu adalah darah. "Kak Al." Kania memanggil, tapi tidak ada jawaban. Ia pun memanggil lagi. Kali ini sambil mengguncang pelan tubuh Aldebaran. Akan tetapi, sosok yang selalu membuatnya kesal itu tetap tidak bergerak atau menjawab panggil
"Aku suamimu." Suami? batin Kania bertanya-tanya. Ia pun meneliti sosok di hadapannya itu dari ujung kepala hingga pinggang karena saat itu dirinya masih dalam posisi berbaring, otomatis pandangannya pun menjadi terbatas. Ia pun mencoba untuk bangun, tetapi upayanya itu ternyata membuat kepalanya terasa berputar hebat hingga ia pun harus kembali berbaring. Beruntung sosok yang duduk di samping ranjangnya itu menangkap tubuhnya dengan sigap hingga ia tak perlu terbanting kembali ke tempat tidur. Kemudian, tatapannya pun jatuh pada lengan yang tadi menahan tubuhnya itu. Sebuah perban putih bersih melingkari lengan kekar itu. "Itu." Kania menunjuk lengan orang yang mengaku suaminya itu dengan raut kasihan dan tak enak hati. Lengan itu terluka, tapi masih saja berusaha menangkar tubuhnya yang oleng."Tidak apa-apa." Wajah itu kembali melemparkan senyum hangat yang menenangkan. "Sebaiknya jangan bangun dulu sampai dokter datang memeriksa kondisimu.""Aku kenapa?" Kania bertanya karena
Aldebaran benar-benar tak bisa leluasa bergerak karena Kania terus saja menggantung di lengannya. Ke mana pun dirinya pergi atau apa pun yang ia lakukan, Kania selalu ingin diajak serta. Ia sungguh maklum dengan sikap posesif dan protektif Kania yang bisa dikatakan overdosis. Semua itu terjadi karena istrinya itu begitu takut kehilangan dirinya. Sangat takut hingga Kania bisa langsung pingsan ketika tidak menemukan dirinya di mana pun. Dan Alde tidak mau itu terjadi. Akhirnya, ia pun harus mulai mengatur lagi setiap kegiatan dan rutinitas barunya dengan Kania yang terus menempel padanya. Entah itu rapat di kantor bersama para direksi, klien, atau saat meninjau langsung proyek pembangunan yang sedang berlangsung. Awalnya, itu semua terasa sedikit menyulitkan, tetapi setelah dijalani dan mulai memahami beberapa trik supaya Kania bisa tenang, Alde pun mulai terbiasa. Seperti siang itu, saat dirinya sedang kedatangan klien dari luar yang ingin memercayakan pembangunan resort di Batam
Sebelum memulai meeting bersama klien-nya, terlebih dahulu Aldebaran menanyakan kesediaan mereka akan keberadaan Kania. Ia pun menjelaskan kondisi istrinya tanpa merasa malu sedikit pun. Bahkan, ia memberi kesempatan kepada kliennya itu untuk mengurungkan kerja sama yang ada apabila mereka merasa terganggu atau keberatan dengan keberadaan istrinya di sana. "Tidak sama sekali." Klien itu menjawab sambil tersenyum. "Jadi atau tidaknya kerja sama ini, bukan bergantung pada keberadaan istri Anda, tetapi dari apa yang akan Anda tawarkan kepada kami nantinya."Aldebaran mengucapkan terima kasih dengan tulus, tapi tetap menjaga wibawanya sebagai seorang pemimpin perusahaan. Setelah Meri membagikan copy file dari apa yang akan ia jelaskan di layar, Alde meminta dengan lembut agar Kania berpindah ke lengannya yang sebelah kiri agar ia bisa leluasa mempresentasikan disain, anggaran biaya, juga kelebihan dan keuntungan proyek yang akan dipercayakan kepada perusahaannya. Termasuk estimasi waktu
Aldebaran langsung masuk ke dalam kediaman orang tuanya, menaiki tangga menuju kamar adik perempuannya. Kania masih setia mengekor di belakangnya sambil berpegangan tangan dengannya. Di depan kamar Alea, ia berpapasan dengan kakak iparnya yang perutnya sudah terlihat besar. Ia jadi berpikir, dengan perut sebesar itu, bukankah kakak iparnya itu harusnya sudah melahirkan?Alde tidak mengatakan apa pun karena kakak iparnya itu langsung berlari kembali ke kamar kakak sulungnya, begitu keluar dari kamar Alea. Ia pun mengetuk pintunya pelan, hanya sekedar memberi tanda bahwa dirinya akan masuk, lalu langsung membawa Kania masuk ke dalam. "Kau sudah berkemas?" Aldebaran mengedarkan pandangan ke sekitar kamar, menari koper atau tas Alea."Tidak, Kak. Aku tidak akan ke mana-mana." Alea menjawab lelah. Setelah semua kakaknya, termasuk Aaro marah-marah karena keputusannya, sekarang malah kakak favoritnya ingin membawanya pergi tanpa persetujuan darinya. "Lee," Alde berjongkok di depan sang a
Aldebaran menatap sosok putih jangkung di hadapannya dengan sorot mata menilai. Rautnya tampan dan terkesan angkuh, meski bibirnya menyunggingkan seulas senyum khas seorang bangsawan. Menurut ayahnya, Dana masih keturunan bangsawan tua yang pernah ada di muka bumi ini. Aldebaran sendiri tak peduli dia keturunan bangsawan atau bukan. Di matanya, sosok itu tetaplah pria biasa yang akan menjadi adik iparnya. Akan tetapi, ia pun tak bisa memungkiri bahwa ada aura yang sedikit berbeda dari sosok itu. Dia terlihat sedikit lebih bersinar. Entah karena kulitnya memang terlampaui putih atau—kalau Aldebaran tidak salah lihat—setiap pergerakan pria itu selalu diikuti oleh cahaya samar di sekitarnya. "Aku tak yakin umurmu masih 23 tahun." Aldebaran langsung berkata pada intinya. "Jadi, mengapa kau menginginkan adikku?""Apa saya harus menunjukkan kartu identitas saya?" Sosok itu bertanya geli."Tidak perlu. Kartu identitas bisa dibeli di zaman sekarang ini. Aku hanya menagih kejujuran darimu at
Pagi itu Kania berhasil dibujuk oleh Aldebaran untuk pergi ke kamar rias pengantin yang terletak di lantai yang sama dengan kamarnya. Saat ini mereka sedang berada di Hotel Marina untuk menghadiri acar pernikahan adik perempuannya, Alea. Semua suit di lantai teratas hotel telah dibooking untuk semua anggota keluarga Blackstone dan Dana, termasuk untuk kamar pengantin dan kamar rias. Karena ini merupakan pernikahan putri bungsu di keluarga ini yang juga merupakan anak perempuan satu-satunya, maka acara lun digelar dengan sangat meriah. "Aku tunggu di luar sini, ya." Aldebaran mengantar Kania sampai di depan kamar rias pengantin. "Tidak mau." Kania merajuk dan terus berpegangan pada lengan sang suami. "Aku janji, aku akan tetap berdiri di sini, tidak pergi ke mana-mana sampai kami selesai." Alde membujuk istrinya itu dengan nada selayaknya seorang ayah yang sedang membujuk balitanya, tetapi Kania masih tetap menggeleng. Malah berpegangan makin erat di lengannya."Atau begini saja,"
Suasana ballroom penuh dengan para tamu undangan dari dua keluarga. Baik itu tamu dari pihak keluarga Blackstone juga dari keluarga besan. Yang membuat Alde gerah bukanlah banyaknya tamu yang hadir, tetapi banyaknya mata lelaki yang menatap istrinya dengan sorot kagum. Suami mana yang rela istrinya ditatap pria lain dengan sorot bergairah atau tertarik begitu? Ia pun setengah menyesal telah mengizinkan Kania mengenakan gaun dengan warna silver yang ternyata membuat warna kulitnya terlihat makin berkilau dan wajahnya menjadi berkali lipat lebih cantik. Ingin rasanya ia membopong Kania kembali ke kamar, lalu merobek gaun itu dan menikmati kecantikan Kania hanya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, dirinya tak mungkin melakukan itu tanpa mendapat pukulan mematikan dari ayahnya. Saat ini seluruh anggota keluarga Blackstone berkumpul dan berdiri berjajar di sisi kiri dan kanan pelaminan untuk menyambut kedatangan tamu. Kania berdiri tepat di samping Alde seperti biasa, meski aturannya si