Suasana ballroom penuh dengan para tamu undangan dari dua keluarga. Baik itu tamu dari pihak keluarga Blackstone juga dari keluarga besan. Yang membuat Alde gerah bukanlah banyaknya tamu yang hadir, tetapi banyaknya mata lelaki yang menatap istrinya dengan sorot kagum. Suami mana yang rela istrinya ditatap pria lain dengan sorot bergairah atau tertarik begitu? Ia pun setengah menyesal telah mengizinkan Kania mengenakan gaun dengan warna silver yang ternyata membuat warna kulitnya terlihat makin berkilau dan wajahnya menjadi berkali lipat lebih cantik. Ingin rasanya ia membopong Kania kembali ke kamar, lalu merobek gaun itu dan menikmati kecantikan Kania hanya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, dirinya tak mungkin melakukan itu tanpa mendapat pukulan mematikan dari ayahnya. Saat ini seluruh anggota keluarga Blackstone berkumpul dan berdiri berjajar di sisi kiri dan kanan pelaminan untuk menyambut kedatangan tamu. Kania berdiri tepat di samping Alde seperti biasa, meski aturannya si
Aldebaran menatap adik iparnya dengan sorot mengancam. "Ingat! Jangan macam-macam pada adikku!"Dana hanya mengangkat kedua bahunya, lalu menjawab, "Dia sudah sah menjadi istriku. Jadi, aku berhak melakukan apa pun padanya."Aldebaran mengeratkan rahangnya. "Kalau sampai kau berani menyentuhnya malam nanti atau bahkan lebih dari itu, aku akan—""Kau sungguh tidak adil," potong Dana dengan wajah pura-pura bersedih. "Kau melarang aku menyentuh istriku sendiri, sementara sejak tadi kau terus menatap istrimu seolah kau ingin melahapnya. Dan aku yakin, saat ini pun kau sudah tak sabar ingin membawanya kembali ke kamar, bukan?"Aldebaran terdiam. Apa yang diucapkan Dana memang benar adanya, tapi ia terlalu gengsi untuk mengakui itu. Jadi, ia pun tidak menjawab dan berlalu pergi sambil menggandeng Kania, setelah berpesan pada Alea, "Beritahu Kakak kalau dia memperlakukanmu dengan tidak baik.""Tidak perlu! Aku bisa menendangnya dengan kakiku sendiri, jika dia mencoba mendekat satu langkah sa
Aldebaran berbaring menghadap ke atas di samping Kania. Ia memikirkan pembicaraannya dengan ayahnya beberapa saat yang lalu. Rencana yang ayahnya kemukakan tadi cukup masuk akan dan pasti berhasil, tetapi Aldebaran memikirkan Kania. Ia tak bisa meninggalkan Kania terlalu lama karena rencana ayahnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Bahkan, bisa sepanjang malam besok. Sebetulnya, jika hanya ingin menghancurkan Raden, itu sangatlah mudah bagi Alde. Akan tetapi, ia memiliki hasrat untuk membuat lelaki tua itu membayar semua kejahatannya dengan layak. Dia harus dipermalukan di depan publik hingga semua orang tahu siapa dia sebenarnya. Lalu, setelah itu ia bisa mengirim bajingan itu ke pengasingan. Bukan hanya Raden yang ingin Alde tangkap basah, tetapi pihak berwenang yang ikut terlibat itulah yang ingin ia beri pelajaran juga. Ia sungguh tidak bisa membayangkan ada perempuan-perempuan lain yang harus bernasib sama seperti Kania tanpa bisa melawan.Matanya hampir saja terpejam ketika de
Suasana pelabuhan malam itu terasa mencekam. Semua berada di posisi masing-masing menunggu aba-aba dan perintah untuk bergerak. Aldebaran pun menunggu sampai instruksi dari ayahnya untuk bergerak. Dan selama itu, dirinya hanya bisa diam tak bergerak terbungkus selimut dengan wajah menekuk ke bawah. Ia sengaja melakukan itu agar tidak ada yang curiga bahwa dirinya bukanlah Kania.Setelah memperkirakan rencana Raden, ia langsung menghubungi saudara kembarnya dan memintanya datang ke pulau. Karena korban yang sedang Raden incar bukanlah dirinya, melainkan Kania. Raden tahu titik kelemahan Aldebaran ada pada Kania. Jadi, untuk menghancurkan dirinya, Raden tidak perlu langsung berurusan dengannya, cukup ambil Kania darinya dan ia akan hancur. Raden membuat jadwal keberangkatan palsu malam kemarin untuk menarik perhatian Aldebaran dan semua pengawalnya. Dan ketika semua perhatian pengawal Blackstone tertuju ke pelabuhan untuk misi penangkapan, Raden justru melakukan hal yang berbeda. Dia m
"Siapa namamu?" Aldebaran bertanya sebelum pergi."Ardian.""Oke. Laksanakan tugasmu sekarang!"Setelah mengatakan itu, Aldebaran mencari tempat yang tepat untuk bersembunyi sambil mengamati situasi. Ia tidak mau terlalu jauh dari Ardian, paling tidak sampai dirinya bisa mendengar semua percakapan Ardian dengan temannya. "Dari mana saja kau?" Teman Ardian bertanya."Ke kamar kecil sambil menyeret wanita itu ke tempat yang lebih aman."Teman Ardian menoleh ke tempat Aldebaran tadi digeletakkan, lalu menatap Ardian heran. "Untuk apa repot-repot begitu?""Angin berembus kencang, kalau dia mati kedinginan, gajiku tidak akan cair.""Ahh, kau benar juga." Teman Ardian menyetujui. "Aku bahkan tidak berpikir sampai sana. Tuan Raden pasti marah kalau tahu targetnya mati sebelum laku mahal.""Itulah, kita harus menjaganya dengan baik sampai semua beres." Ardian mengedarkan pandangan ke segala arah berpura-pura sedang meneliti kondisi di sana, padahal ia sedang mencari tahu di mana kapal yang d
Mobil sewaan Raden telah tiba di pelabuhan. Ia tersenyum puas melihat Katerine sudah siap berangkat. Rencananya berjalan dengan mulus. Ia akan segera pergi meninggalkan negara dengan segala permasalahan yang ada. Setelah Aldebaran menyabotase semua peluang bisnisnya, ia mengalami kebangkrutan dengan banyak utang yang melilit. Belum lagi kematian putranya dengan cara mengenaskan, tapi tidak ada satu pun pihak berwajib yang mampu mengusut tuntas masalah itu. Padahal, ia pun langsung tahu siapa pelakunya. Akan tetapi, tanpa bayaran yang cukup besar dan koneksi kuat, ia tak bisa melanjutkan penyelidikan terhadap kasus itu. Berbagai upaya balas dendam yang ia lakukan untuk menghancurkan Aldebaran pun tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Pembunuh bayaran yang ia sewa untuk menembak dengan racun Aldebaran berhasil ditangkap dengan mudah oleh para pengawal pribadi Blackstone. Dan berbagai upaya lain yang juga tak membuahkan hasil.Setelah semua kegagalan itu, Raden pun terus mencari tahu d
"Berapa orang yang mati?"Aldebaran menjawab pertanyaan kakak sulungnya hanya dengan mengangkat kedua bahunya. Ia datang untuk menjemput istrinya. "Apa kau tidak berhasil membunuh satu pun?""Ohh, diamlah, Kak." Aldebaran langsung menghempaskan tubuhnya di sofa panjang sambil merentangkan tangan. "Aku lelah sekali." Namun, sebelum ia bisa mengatur napas agar lebih rileks, kakak sulungnya itu sudah berdiri di hadapannya sambil mencekik lehernya. "Aku bertanya baik-baik! Jadi, jawablah dengan baik juga!"Aldebaran menarik lepas tangan kakaknya itu dari lehernya. "Apaan, sih, main cekik aja.!?" "Jawab dulu atau kupatahkan lehermu!" Aldebaran mendesah. Kakak sulungnya yang super dingin itu masih belum berubah juga meski sudah mempunyai istri. Meski tubuhnya ramping dan tidak lebih tinggi dari dirinya, tapi soal kekuatan, ia masih kalah jauh bila dibanding Aleron Blackstone. "Oke, aku jelasin detail, tapi nggak ada segelas air minum dulu, nih?" Aldebaran mengusap lehernya yang baru sa
Aldebaran membongkar kulkas di rumah kakak sulungnya, mencari bahan-bahan untuk membuat rujak manis. Ia hanya menemukan anggur, jeruk, dan pisang. Lalu, sambil membuang napas dengan keras ia membawa semua buah itu ke kamar."Hanya ada ini. Kau mau yang mana?"Kania melipat lengan di depan dada dengan raut dongkol. Ia sendiri tak tahu mengapa minat Alde tidak serius mencarikan rujak buah untuknya bisa membuat hatinya luar biasa sakit. Air matanya yang sudah mengering pun kembali menetes ke pipi. Kali ini diikuti oleh isak pilu, membuat siapa saja yang mendengar pasti merasa iba.Aldebaran meletakkan keranjang buah di tangannya ke atas meja, lalu berjongkok di hadapan Kania. "Aku harus cari ke mana rujak itu malam-malam begini?""Tidak tahu!""Aku janji besok pasti aku belikan itu untukmu."Kania melengos, tak mau menatap wajah Aldebaran yang terlihat makin menyebalkan saat itu. Pura-pura memelas untuk menarik simpatinya. Jangan harap! batinnya keji. "Sayang—""Pelit." Kania memotong u