Suasana pelabuhan malam itu terasa mencekam. Semua berada di posisi masing-masing menunggu aba-aba dan perintah untuk bergerak. Aldebaran pun menunggu sampai instruksi dari ayahnya untuk bergerak. Dan selama itu, dirinya hanya bisa diam tak bergerak terbungkus selimut dengan wajah menekuk ke bawah. Ia sengaja melakukan itu agar tidak ada yang curiga bahwa dirinya bukanlah Kania.Setelah memperkirakan rencana Raden, ia langsung menghubungi saudara kembarnya dan memintanya datang ke pulau. Karena korban yang sedang Raden incar bukanlah dirinya, melainkan Kania. Raden tahu titik kelemahan Aldebaran ada pada Kania. Jadi, untuk menghancurkan dirinya, Raden tidak perlu langsung berurusan dengannya, cukup ambil Kania darinya dan ia akan hancur. Raden membuat jadwal keberangkatan palsu malam kemarin untuk menarik perhatian Aldebaran dan semua pengawalnya. Dan ketika semua perhatian pengawal Blackstone tertuju ke pelabuhan untuk misi penangkapan, Raden justru melakukan hal yang berbeda. Dia m
"Siapa namamu?" Aldebaran bertanya sebelum pergi."Ardian.""Oke. Laksanakan tugasmu sekarang!"Setelah mengatakan itu, Aldebaran mencari tempat yang tepat untuk bersembunyi sambil mengamati situasi. Ia tidak mau terlalu jauh dari Ardian, paling tidak sampai dirinya bisa mendengar semua percakapan Ardian dengan temannya. "Dari mana saja kau?" Teman Ardian bertanya."Ke kamar kecil sambil menyeret wanita itu ke tempat yang lebih aman."Teman Ardian menoleh ke tempat Aldebaran tadi digeletakkan, lalu menatap Ardian heran. "Untuk apa repot-repot begitu?""Angin berembus kencang, kalau dia mati kedinginan, gajiku tidak akan cair.""Ahh, kau benar juga." Teman Ardian menyetujui. "Aku bahkan tidak berpikir sampai sana. Tuan Raden pasti marah kalau tahu targetnya mati sebelum laku mahal.""Itulah, kita harus menjaganya dengan baik sampai semua beres." Ardian mengedarkan pandangan ke segala arah berpura-pura sedang meneliti kondisi di sana, padahal ia sedang mencari tahu di mana kapal yang d
Mobil sewaan Raden telah tiba di pelabuhan. Ia tersenyum puas melihat Katerine sudah siap berangkat. Rencananya berjalan dengan mulus. Ia akan segera pergi meninggalkan negara dengan segala permasalahan yang ada. Setelah Aldebaran menyabotase semua peluang bisnisnya, ia mengalami kebangkrutan dengan banyak utang yang melilit. Belum lagi kematian putranya dengan cara mengenaskan, tapi tidak ada satu pun pihak berwajib yang mampu mengusut tuntas masalah itu. Padahal, ia pun langsung tahu siapa pelakunya. Akan tetapi, tanpa bayaran yang cukup besar dan koneksi kuat, ia tak bisa melanjutkan penyelidikan terhadap kasus itu. Berbagai upaya balas dendam yang ia lakukan untuk menghancurkan Aldebaran pun tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Pembunuh bayaran yang ia sewa untuk menembak dengan racun Aldebaran berhasil ditangkap dengan mudah oleh para pengawal pribadi Blackstone. Dan berbagai upaya lain yang juga tak membuahkan hasil.Setelah semua kegagalan itu, Raden pun terus mencari tahu d
"Berapa orang yang mati?"Aldebaran menjawab pertanyaan kakak sulungnya hanya dengan mengangkat kedua bahunya. Ia datang untuk menjemput istrinya. "Apa kau tidak berhasil membunuh satu pun?""Ohh, diamlah, Kak." Aldebaran langsung menghempaskan tubuhnya di sofa panjang sambil merentangkan tangan. "Aku lelah sekali." Namun, sebelum ia bisa mengatur napas agar lebih rileks, kakak sulungnya itu sudah berdiri di hadapannya sambil mencekik lehernya. "Aku bertanya baik-baik! Jadi, jawablah dengan baik juga!"Aldebaran menarik lepas tangan kakaknya itu dari lehernya. "Apaan, sih, main cekik aja.!?" "Jawab dulu atau kupatahkan lehermu!" Aldebaran mendesah. Kakak sulungnya yang super dingin itu masih belum berubah juga meski sudah mempunyai istri. Meski tubuhnya ramping dan tidak lebih tinggi dari dirinya, tapi soal kekuatan, ia masih kalah jauh bila dibanding Aleron Blackstone. "Oke, aku jelasin detail, tapi nggak ada segelas air minum dulu, nih?" Aldebaran mengusap lehernya yang baru sa
Aldebaran membongkar kulkas di rumah kakak sulungnya, mencari bahan-bahan untuk membuat rujak manis. Ia hanya menemukan anggur, jeruk, dan pisang. Lalu, sambil membuang napas dengan keras ia membawa semua buah itu ke kamar."Hanya ada ini. Kau mau yang mana?"Kania melipat lengan di depan dada dengan raut dongkol. Ia sendiri tak tahu mengapa minat Alde tidak serius mencarikan rujak buah untuknya bisa membuat hatinya luar biasa sakit. Air matanya yang sudah mengering pun kembali menetes ke pipi. Kali ini diikuti oleh isak pilu, membuat siapa saja yang mendengar pasti merasa iba.Aldebaran meletakkan keranjang buah di tangannya ke atas meja, lalu berjongkok di hadapan Kania. "Aku harus cari ke mana rujak itu malam-malam begini?""Tidak tahu!""Aku janji besok pasti aku belikan itu untukmu."Kania melengos, tak mau menatap wajah Aldebaran yang terlihat makin menyebalkan saat itu. Pura-pura memelas untuk menarik simpatinya. Jangan harap! batinnya keji. "Sayang—""Pelit." Kania memotong u
Rasa tidak nyaman yang seolah mengaduk isi perutnya membuat Kania terbangun. Ia langsung duduk di tepi tempat tidur dengan tangan menutup mulut. Saat, hendak berlari ke kamar mandi barulah ia sadar bahwa dirinya berada di tempat yang asing.Seketika ia terdiam. Ia meneliti lagi setiap sudut kamar itu dan ia memang tidak mengenali ruangan bernuansa coklat dengan semua furniture yang terbuat dari kayu yang di-coating dengan waena bening hingga tekstur asli kayu masih tetap terlihat jelas. Lalu, tatapannya Kania jatuh ke atas tempat tidur. Ia merasa lega karena debaran ada di sana. Setidaknya, meski dirinya berada di tempat asing, tetap ada Aldebaran di sana. Semua rasa tidak nyaman pada perutnya perlahan menghilang berganti dengan rasa was-was. Ia tak tahu mengapa dirinya dan Aldebaran sampai bisa berada di sana. Apakah mereka diculik atau .... Ahh, entah, kepala Kania terlalu berkunang-kunang hingga ia tak mampu berpikir. Ia pun langsung kembali naik tempat tidur dan meringkuk di sam
Aldebaran kembali ke kamar setelah menyiapkan air hangat untuk berendam dirinya dan Kania. Ia menghampiri buntalan selimut di atas tempat tidur, lalu menyingkap selimut itu dan melemparnya ke lantai. Kedua sudut mulutnya terangkat, membentuk seringai geli."Kenapa sembunyi di dalam selimut begini?" Ia naik ke atas tempat tidur, lalu membungkuk di atas Kania yang menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. "Jangan ditutup, dong, cantiknya jadi nggak kelihatan."Kania menolak ketika Aldebaran berusaha membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya. Ia sangat malu hingga rasanya tak sanggup untuk sekedar bertatapan dengan Aldebaran. Apalagi dengan kondisi tak berbusana seperti saat itu. "Kenapa harus malu? Aku sudah terbiasa melihatmu begini, kan? Hampir setiap hari pun aku yang memandikan kamu."Kania terhenyak. Hampir setiap hari? Benarkah? Ia pun mencoba mengingat lagi memorinya bersama Aldebaran selama beberapa waktu belakangan ini. Dan ada sekilas bayangan saat dirinya dimandika
Setelah kurang lebih satu bulan lamanya Alde melakukan pembicaraan dari hati ke hati bersama Kania mengenai bayi, akhirnya ia berhasil membujuk istrinya itu untuk melakukan USG. Ia sengaja tidak melakukan tes urine karena sudah merasa yakin bahwa istrinya itu hamil. Selain fakta bahwa Kania tidak pernah lagi mendapatkan menstruasi, juga beberapa tanda lain yang Kania alami seperti morning sick dan ngidam. Pemeriksaan itu tidak dilakukan di rumah sakit, tetapi, ayah Alde yang datang ke pulau membawa USG portabel untuk memeriksa Kania. Ternyata usia kehamilan Kania sudah 13 Minggu. "Sudah bisa dilakukan tes NIPT ini," ujar ayah Alde sambil memeriksa layar yang menampilkan calon cucunya itu. "Tes apa itu, Ayah?""Itu pemeriksaan materi genetik untuk melihat kalau-kalau ada kelainan bawaan janin yang bersifat genetik. Dari sana juga sudah bisa diketahui jenis kelamin calon cucu Ayah ini.""Benarkah? Canggih sekali." Aldebaran berkata takjub sambil menatap layar hitam putih di samping