Aldebaran benar-benar tak bisa leluasa bergerak karena Kania terus saja menggantung di lengannya. Ke mana pun dirinya pergi atau apa pun yang ia lakukan, Kania selalu ingin diajak serta. Ia sungguh maklum dengan sikap posesif dan protektif Kania yang bisa dikatakan overdosis. Semua itu terjadi karena istrinya itu begitu takut kehilangan dirinya. Sangat takut hingga Kania bisa langsung pingsan ketika tidak menemukan dirinya di mana pun. Dan Alde tidak mau itu terjadi. Akhirnya, ia pun harus mulai mengatur lagi setiap kegiatan dan rutinitas barunya dengan Kania yang terus menempel padanya. Entah itu rapat di kantor bersama para direksi, klien, atau saat meninjau langsung proyek pembangunan yang sedang berlangsung. Awalnya, itu semua terasa sedikit menyulitkan, tetapi setelah dijalani dan mulai memahami beberapa trik supaya Kania bisa tenang, Alde pun mulai terbiasa. Seperti siang itu, saat dirinya sedang kedatangan klien dari luar yang ingin memercayakan pembangunan resort di Batam
Sebelum memulai meeting bersama klien-nya, terlebih dahulu Aldebaran menanyakan kesediaan mereka akan keberadaan Kania. Ia pun menjelaskan kondisi istrinya tanpa merasa malu sedikit pun. Bahkan, ia memberi kesempatan kepada kliennya itu untuk mengurungkan kerja sama yang ada apabila mereka merasa terganggu atau keberatan dengan keberadaan istrinya di sana. "Tidak sama sekali." Klien itu menjawab sambil tersenyum. "Jadi atau tidaknya kerja sama ini, bukan bergantung pada keberadaan istri Anda, tetapi dari apa yang akan Anda tawarkan kepada kami nantinya."Aldebaran mengucapkan terima kasih dengan tulus, tapi tetap menjaga wibawanya sebagai seorang pemimpin perusahaan. Setelah Meri membagikan copy file dari apa yang akan ia jelaskan di layar, Alde meminta dengan lembut agar Kania berpindah ke lengannya yang sebelah kiri agar ia bisa leluasa mempresentasikan disain, anggaran biaya, juga kelebihan dan keuntungan proyek yang akan dipercayakan kepada perusahaannya. Termasuk estimasi waktu
Aldebaran langsung masuk ke dalam kediaman orang tuanya, menaiki tangga menuju kamar adik perempuannya. Kania masih setia mengekor di belakangnya sambil berpegangan tangan dengannya. Di depan kamar Alea, ia berpapasan dengan kakak iparnya yang perutnya sudah terlihat besar. Ia jadi berpikir, dengan perut sebesar itu, bukankah kakak iparnya itu harusnya sudah melahirkan?Alde tidak mengatakan apa pun karena kakak iparnya itu langsung berlari kembali ke kamar kakak sulungnya, begitu keluar dari kamar Alea. Ia pun mengetuk pintunya pelan, hanya sekedar memberi tanda bahwa dirinya akan masuk, lalu langsung membawa Kania masuk ke dalam. "Kau sudah berkemas?" Aldebaran mengedarkan pandangan ke sekitar kamar, menari koper atau tas Alea."Tidak, Kak. Aku tidak akan ke mana-mana." Alea menjawab lelah. Setelah semua kakaknya, termasuk Aaro marah-marah karena keputusannya, sekarang malah kakak favoritnya ingin membawanya pergi tanpa persetujuan darinya. "Lee," Alde berjongkok di depan sang a
Aldebaran menatap sosok putih jangkung di hadapannya dengan sorot mata menilai. Rautnya tampan dan terkesan angkuh, meski bibirnya menyunggingkan seulas senyum khas seorang bangsawan. Menurut ayahnya, Dana masih keturunan bangsawan tua yang pernah ada di muka bumi ini. Aldebaran sendiri tak peduli dia keturunan bangsawan atau bukan. Di matanya, sosok itu tetaplah pria biasa yang akan menjadi adik iparnya. Akan tetapi, ia pun tak bisa memungkiri bahwa ada aura yang sedikit berbeda dari sosok itu. Dia terlihat sedikit lebih bersinar. Entah karena kulitnya memang terlampaui putih atau—kalau Aldebaran tidak salah lihat—setiap pergerakan pria itu selalu diikuti oleh cahaya samar di sekitarnya. "Aku tak yakin umurmu masih 23 tahun." Aldebaran langsung berkata pada intinya. "Jadi, mengapa kau menginginkan adikku?""Apa saya harus menunjukkan kartu identitas saya?" Sosok itu bertanya geli."Tidak perlu. Kartu identitas bisa dibeli di zaman sekarang ini. Aku hanya menagih kejujuran darimu at
Pagi itu Kania berhasil dibujuk oleh Aldebaran untuk pergi ke kamar rias pengantin yang terletak di lantai yang sama dengan kamarnya. Saat ini mereka sedang berada di Hotel Marina untuk menghadiri acar pernikahan adik perempuannya, Alea. Semua suit di lantai teratas hotel telah dibooking untuk semua anggota keluarga Blackstone dan Dana, termasuk untuk kamar pengantin dan kamar rias. Karena ini merupakan pernikahan putri bungsu di keluarga ini yang juga merupakan anak perempuan satu-satunya, maka acara lun digelar dengan sangat meriah. "Aku tunggu di luar sini, ya." Aldebaran mengantar Kania sampai di depan kamar rias pengantin. "Tidak mau." Kania merajuk dan terus berpegangan pada lengan sang suami. "Aku janji, aku akan tetap berdiri di sini, tidak pergi ke mana-mana sampai kami selesai." Alde membujuk istrinya itu dengan nada selayaknya seorang ayah yang sedang membujuk balitanya, tetapi Kania masih tetap menggeleng. Malah berpegangan makin erat di lengannya."Atau begini saja,"
Suasana ballroom penuh dengan para tamu undangan dari dua keluarga. Baik itu tamu dari pihak keluarga Blackstone juga dari keluarga besan. Yang membuat Alde gerah bukanlah banyaknya tamu yang hadir, tetapi banyaknya mata lelaki yang menatap istrinya dengan sorot kagum. Suami mana yang rela istrinya ditatap pria lain dengan sorot bergairah atau tertarik begitu? Ia pun setengah menyesal telah mengizinkan Kania mengenakan gaun dengan warna silver yang ternyata membuat warna kulitnya terlihat makin berkilau dan wajahnya menjadi berkali lipat lebih cantik. Ingin rasanya ia membopong Kania kembali ke kamar, lalu merobek gaun itu dan menikmati kecantikan Kania hanya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, dirinya tak mungkin melakukan itu tanpa mendapat pukulan mematikan dari ayahnya. Saat ini seluruh anggota keluarga Blackstone berkumpul dan berdiri berjajar di sisi kiri dan kanan pelaminan untuk menyambut kedatangan tamu. Kania berdiri tepat di samping Alde seperti biasa, meski aturannya si
Aldebaran menatap adik iparnya dengan sorot mengancam. "Ingat! Jangan macam-macam pada adikku!"Dana hanya mengangkat kedua bahunya, lalu menjawab, "Dia sudah sah menjadi istriku. Jadi, aku berhak melakukan apa pun padanya."Aldebaran mengeratkan rahangnya. "Kalau sampai kau berani menyentuhnya malam nanti atau bahkan lebih dari itu, aku akan—""Kau sungguh tidak adil," potong Dana dengan wajah pura-pura bersedih. "Kau melarang aku menyentuh istriku sendiri, sementara sejak tadi kau terus menatap istrimu seolah kau ingin melahapnya. Dan aku yakin, saat ini pun kau sudah tak sabar ingin membawanya kembali ke kamar, bukan?"Aldebaran terdiam. Apa yang diucapkan Dana memang benar adanya, tapi ia terlalu gengsi untuk mengakui itu. Jadi, ia pun tidak menjawab dan berlalu pergi sambil menggandeng Kania, setelah berpesan pada Alea, "Beritahu Kakak kalau dia memperlakukanmu dengan tidak baik.""Tidak perlu! Aku bisa menendangnya dengan kakiku sendiri, jika dia mencoba mendekat satu langkah sa
Aldebaran berbaring menghadap ke atas di samping Kania. Ia memikirkan pembicaraannya dengan ayahnya beberapa saat yang lalu. Rencana yang ayahnya kemukakan tadi cukup masuk akan dan pasti berhasil, tetapi Aldebaran memikirkan Kania. Ia tak bisa meninggalkan Kania terlalu lama karena rencana ayahnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Bahkan, bisa sepanjang malam besok. Sebetulnya, jika hanya ingin menghancurkan Raden, itu sangatlah mudah bagi Alde. Akan tetapi, ia memiliki hasrat untuk membuat lelaki tua itu membayar semua kejahatannya dengan layak. Dia harus dipermalukan di depan publik hingga semua orang tahu siapa dia sebenarnya. Lalu, setelah itu ia bisa mengirim bajingan itu ke pengasingan. Bukan hanya Raden yang ingin Alde tangkap basah, tetapi pihak berwenang yang ikut terlibat itulah yang ingin ia beri pelajaran juga. Ia sungguh tidak bisa membayangkan ada perempuan-perempuan lain yang harus bernasib sama seperti Kania tanpa bisa melawan.Matanya hampir saja terpejam ketika de