Ketika aku melangkah menuju tempat parkir, di depan mobilku Adam berdiri di sana. Mataku bertatapan dengannya, seketika tubuhku memanas dengan kaki yang bergetar.Aku menunduk menarik napas dalam-dalam. Ketika aku mendongak dan berjalan menuju ke arahnya, pria yang sudah lama tak kujumpai melemparkan senyuman tipis.“Alice ….” Ia berujar dengan suara rendah.Aku tersenyum tipis meresponnya. “H-hai, Adam.” ucapku dengan kaku.Senyumannya semakin mengembang. “Kamu datang juga.”Aku menatapnya dengan perasaan canggung. “Kamu pasti menungguku lama, ya?”Ia terkekeh dengan salah satu tangannya menggaruk bagian kepalanya. “Tidak, aku baru saja sampai. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Alice.”Aku mengangguk samar. “Baiklah, katakanlah.”Ia kembali tertawa tipis. “Tidak di sini.”Ia menatap sekeliling lalu melanjutnya ucapannya. “Mau makan malam bersama?”Aku mengangguk tipis setelah menimbang-nimbang tawarannya. “Baiklah,” ujarku dengan suara pelan.Adam duduk di depanku. Ia menatapku
Kecanggungan hubunganku dengan Adam sedikit berkurang sejak makan malam yang dilakukan tempo hari. Rasanya sedikit lega, masalah yang tak terselesaikan hingga tahun berganti sekarang dapat diselesaikan.Seperti rutinitas hari-hari sebelumnya, aku berangkat ke kantor di pagi hari dan keluar ketika malam tiba. Namun rutinitas itu sedikit berubah, saat waktu pulang kerja, Adam datang ke kantor dan selalu mengajakku untuk makan malam bersama sebelum melanjutkan pekerjaan.Ketika aku bertanya mengapa ia selalu mengajakku untuk makan malam bersama, ia akan menjawab, “Aku ingin menebus waktu enam tahun yang terbuang sia-sia.”Aku menatap lamat-lamat pria yang sedang memainkan ponselnya dengan dahi yang sedikit mengerut. “Adam, jika kamu sibuk kamu tidak perlu makan malam bersama setiap hari. Aku tidak masalah.” Ujarku pelan membuat fokusnya terarah padaku.Aku menanggapinya dengan santai lalu mengisap jus jeruk yang terhidang di atas meja.“Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu tidak ny
Aku membalikkan badan lalu melemparkan senyuman tipis ke arahnya. “Adam, aku tidak sakit. Hanya saja sekarang, aku merasa suhu di sekitar sini cukup panas.”Ia semakin menatapku dengan intens, aku berharap ia tidak berkata hal aneh-aneh lagi. Namun ternyata, harapanku tidak menjadi kenyataan.“Benarkah?” ujarnya dengan suara lembut.Aku mengangguk samar. Adam berjalan mendekatiku, ujung tangannya menyentuh dahiku yang berkeringat. “Ya, kamu benar. Cuaca sangat berubah-ubah, kamu sampai berkeringat begini.” Ia terkikik geli memandangku.Kulitnya yang bersentuhan dengan dahiku semakin membuat jantungku berdebar, aku mundur menjauhinya. Lagi-lagi Adam berjalan semakin dekat ke arahku.“Ada apa, Alice? Kenapa kamu menjauhiku?” tanyanya dengan tampang polos.Aku tidak mempedulikannya dan semakin mundur.“Alice, berhenti!” teriaknya dengan lantang. Aku tidak mendengarkannya dan masih mundur ke belakang.Tanganku ditarik, tubuhku dan tubuhnya semakin dekat dan hanya dipisahkan oleh jarak kur
Setelah percakapan malam itu, aku dan adam berjalan beriringan menuju rumahku. Selama di perjalanan, aku tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. masih berusaha untuk menyesuaikan diri setelah mengatakan separuh fakta yang selalu kusembunyikan.“masuklah, aku akan pulang sekarang.” ucapnya memecah keheningan saat sudah berada tepat di depan rumahku.Aku yang melangkah mendahuluinya pun membalikkan badan guna memandangnya. “baiklah, aku masuk dulu.”Adam mengangguk dengan senyuman tipis, “iya, masuklah. Aku akan pulang saat kamu sudah aman.”Aku menghentikan langkahku lalu membalikkan badanku menatapnya. “adam, kamu juga pulanglah. Aku sudah aman, rumahku di sini. seharusnya kamu mengkhawatirkan keselamatanmu sendiri.”Adam tersenyum hangat, ia berjalan mendekatiku. Memegang kedua tanganku dengan lembut lalu berucap, “keselamatanmu lebih penting. Masuklah, setelah itu aku akan pulang.”Aku menggeleng, tidak setuju akan ucapannya. “tidak, kamu pulanglah dulu setelah itu aku akan masuk
Saat pagi tiba, aku mendapati Adam yang sedang duduk dengan mata yang terpejam. Melihatnya tidur seperti ini, aku yakin jika tidurnya tidaklah nyaman.Aku mengembuskan napas tak enak hati, terlebih saat tangannya kupeluk erat. Seolah aku tak memberikan izin padanya untuk pergi jauh.Dengan pelan agar tidak mengganggunya, aku melepaskan tanganku lalu membiarkannya tidur. Aku duduk, menatap sekeliling ruangan yang terlihat asing. Aku jadi tahu jika tadi malam aku tidur di rumahnya.Ketika mataku menangkap selimut di ujung kakiku, aku tersenyum tipis lalu membawanya agar membalut tubuh Adam.Aku tersenyum melihat wajahnya yang terlihat begitu tenang. Cukup lama aku menikmatinya dengan senyuman tipis, tak lupa diiringi dengan deguban jantung yang terdengar begitu jelas.Saat selimut itu jatuh dari tubuhnya, aku bergerak pelan mengambilnya lalu kembali menyelimutinya. Aku tersenyum tipis dan berucap pelan tepat di depan wajahnya. “Tidurlah dengan nyaman.”Aku menjauhi wajahku berniat untuk
Saat aku berjalan keluar dari gedung tempatku bekerja, aku berpapasan dengan beberapa rekan kerjaku. Tatapan mereka seperti tengah menggodaku, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang memerah.“Kak, aku dengar ada pria yang membawakan makan siang untukmu. Astaga, sejak kapan kakak berpacaran dengannya?” ucapnya dengan suara yang bersemangat.Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tidak berpacarannya dengannya. Ngomong-ngomong, di mana pria yang kamu maksud?”Wajahnya menampakkan keterkejutan, ia memegang kedua tanganku lalu berucap. “Benarkah? Kakak benar-benar tidak berpacaran dengannya? Lalu, apa hubungan kakak dengannya?”Aku menggaruk kepalaku, bingung harus mengatakan apa. Saat aku sedang kebingungan, aku mendapati Adam yang tengah melambaikan tangannya ke arahku. Aku tersenyum tipis lalu berlari menghampirinya.“Kamu sudah lama menungguku?” tanyaku langsung.Ia menggelengkan kepalanya dengan senyuman hangat. “Tidak begitu lama.” Ujarnya dengan penuh kelembutan.Aku mengambil tangannya
Selama perjalanan mengendarai mobil menuju rumahku, pikiranku senantiasa tertuju pada Adam dan Laura. Dadaku terasa sakit memikirkan itu.Mataku menangkap supermarket di pinggir jalan, aku memutuskan untuk berhenti di sana. Pikiranku kacau balau, aku perlu waktu untuk membenahinya.Satu botol minuman dingin sudah berada di genggamanku, aku meneguknya sambil duduk di kursi depan supermarket. Ketika mataku terpejam, ingatanku tertuju saat Adam melepaskan genggaman tangannya dan memilih bersama Laura.Amarahku semakin memuncak memikirkan itu, aku kembali meneguk minuman yang kubeli hingga habis tak bersisa.Getaran ponsel dari dalam tasku terasa, aku langsung memeriksanya. Ketika di layar ponselku menampilkan nama Adam, aku memasang raut datar.“Hallo?” ucapku tanpa tenaga.“Kamu di mana?” suara Adam terdengar khawatir, namun aku memilih untuk tidak peduli padanya.“Apa pedulimu? Kalau tidak ada yang ingin dikatakan, aku tutup teleponnya. Jangan ganggu aku, sekarang aku sangat sibuk!” ak
Selama enam tahun terakhir, untuk pertama kalinya aku mengambil jatah cutiku. Aku membawa semua barangku dan pergi menuju tempat terpencil. Sebuah desa yang terkenal asri, saat sedang dinas aku pernah bermalam di desa ini.Saat sampai di penginapan, aku langsung membaringkan tubuhku. Hanya ini yang bisa kulakukan, pergi jauh untuk menghindari masalah yang kubuat.Aku tahu aku seperti pecundang, tapi aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Aku begitu takut, masa laluku yang tidak diketahui oleh siapapun sudah membuat orang lain tidak menyukaiku, terlebih bila masa laluku terkuak.Aku duduk menekuk kedua kakiku lalu membaringkan kepalaku di atasnya, menatap langit biru melalui jendela kecil. Tetes demi tetes air mata mengalir melewati wajahku, tanganku terangkat untuk menghapusnya.Aku mengambil ponsel lalu mengaktifkannya. Notifikasi dari ponselku bergantian bersuara, aku memandangnya tanpa ekspresi. Tanganku menekan nama Javin, aku menelponnya.Ketika suara Javin terdengar, ak
MATAKU berkaca-kaca ketika berdiri tepat di depan makam diva. Aku memejamkan kedua mataku dengan tangan yang bergetar.“Alice ….” Suara lirih itu terdengar membuatku mendongak menatap Naka.Aku mengusahakan diri untuk tersenyum tipis. “Aku tidak apa, Naka.” ujarku pelan.Naka mengangguk tipis, ia jongkok di depan makam dengan kedua tangannya menaruh bunga yang sudah ia persiapkan sebelumnya.“Diva, kunjungan kali ini … aku datang bersama Alice. Bukankah kamu merindukan temanmu, hm?” Naka terkekeh setelah mengatakan itu.“Sudah lama, ya … Gavin sekarang sudah bisa memukul keningku. Putramu itu sepertinya memiliki dendam pribadi, setiap bertemu pasti tangannya menuju keningku.” Naka menggerutu sambil tertawa.Aku meliriknya, sikap Naka sekarang terlihat jelas jika ia sedang sedih. Aku jongkok tepat di sampingnya. “Maaf … seharusnya aku menemuimu sejak dulu. Sekarang … kita tidak bisa mengobrol seperti dulu lagi.”Aku membasahi bibir bawahku, tanganku memainkan bunga baru yang tersebar d
Aku tertegun mendengarkan perkataannya. Jadi aku memberanikan diri untuk menatap kedua bola matanya dalam-dalam. “Apa maksudmu?”Naka terkekeh singkat. “Aku membayangkan jika kita bisa bersama seperti dulu.”“Berhentilah berkhayal, itu tidak akan pernah terjadi.” Ujarku ketus.“Bagaimana jika itu bisa terjadi?” suara bisikan Naka terasa hangat menyapu bagian leherku. Ia mulai mengecupi disepanjang leherku. Sedang mataku terpejam dengan kedua tangan terkepal kuat-kuat.“Alice, kamu bahkan tidak menolakku.” Ucapnya setelah lima menit berlalu.Aku langsung mendorongnya menjauh. “Menjauh dariku!” ujarku dingin, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang terasa memanas.“Jangan seperti ini lagi, aku tidak menyukainya!”Setelah mengatakan itu, aku membalikkan badanku segera. Lenganku dicekal cukup kuat, tubuhku ditarik untuk lebih dekat dengannya. Ia langsung saja menyatukan bibir, tanganku bergetar dengan kepalan yang kuat.Aku ingin sekali mendorong tubuhnya, tetapi tanganku tak bisa digera
Setelah Naka mengatakan ada tempat yang harus kukunjungi, rasa penasaranku meningkat. Jadi, aku menyetujuinya.Naka membawaku menuju sebuah kamar yang letaknya sedikit di belakang, dekat dengan gudang. Melihatnya, aku sedikit bingung dan was-was apa yang akan Naka lakukan.Begitu pintu terbuka, suasana ruangan yang Naka tunjukkan padaku terasa begitu familiar. Aku mengamatinya dengan pandangan yang berbinar.“Kamar ini ….” Ucapku dengan suara tertahan, aku cukup kagum dengan nuansa kamar ini. Pasalnya, beberapa barang di kamar ini terasa manis bila dilihat.“Alice, apakah kamu merasakan sesuatu?” tanya Naka pelan.Aku mengangguk semangat. “Kamarnya terasa hangat, siapa pemilik kamar ini?”Naka berjalan mendekatiku, ia memegang pergelangan tanganku lalu menuntunku untuk mendatangi sebuah lemari kaca yang di dalamnya dipenuhi oleh boneka. Aku sangat mengenali boneka itu, jadi aku menatapnya dan berkata. “Boneka ini, bukankah ini adalah milikku?”Aku membuka lemari kaca lalu memeriksanya
Seperti ucapannya, Naka benar-benar tidak mengizinkanku untuk pergi dari rumahnya. Pada akhirnya, aku bermalam di rumahnya dengan perasaan setengah kesal.“Aku mengerti, aku akan bermalam di rumahmu.” Ucapku dengan penuh kekesalan.Setelah aku mengatakan itu, Naka tertawa bahagia. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku lalu berbisik tepat di telinga. “Kamu sendiri yang mengatakannya, jadi jangan menyesal.”Ia mengedipkan matanya dengan genit, aku bergidik ngeri melihatnya. “Aku tidak mau tidur sekamar denganmu!”“Eh, aku tidak mengatakan itu. Tapi jika kamu menginginkan untuk tidur bersamaku, yah aku tidak akan menolaknya, Alice.” Ia berkata sambil tertawa mengejek.“Apa-apaan, aku tahu isi kepalamu. Sudahlah, lebih baik aku pulang sekarang.” Ucapku dengan kesal.Naka menghentikan langkahku, ia berjalan semakin mendekatiku. “Aku hanya menggodamu. Baiklah, kamu tidurlah di kamarku, aku akan tidur di kamar lain. Di rumahku ada banyak kamar kosong, jadi tidak perlu menginap di tempat lain.” I
Aku datang menemui Javin. Dia sudah memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemennya. Aku membawakan makanan kesukaannya dan menunggunya hingga waktunya pulang bekerja.Melihat suasana apartemennya, terasa begitu menenangkan. Sepi.Aku membaringkan tubuhku di kursi empuk, tanpa sengaja kesadaranku hilang. Aku terlelap hingga Javin datang membangunkanku.“Kenapa kakak tidak memberitahuku jika ingin datang berkunjung?” tanyanya sambil berjalan membawakan segelas air.“Aku hanya ingin menumpang beristirahat saja.” Ucapku sambil terkekeh.“Ada apa?” pertanyaan dari Javin membuatku melepaskan gelas yang kupegang.“Javin, menurutmu apakah seseorang perlu untuk menjadi jahat?” tanyaku tanpa menatap wajahnya.“Kak, setiap manusia memiliki sisi baik dan jahat. Jika sisi baik dan jahat lebih mendominasi, menurutku bisa merugikan diri sendiri atau orang lain. Tapi di sini, jika porsi baik dan jahatnya seimbang, itu lebih bagus.” Javin menatapku lurus dengan wajah dingin khasnya.“Apa yang ingin
Aku memukul lengannya kuat-kuat, kesal karena perkataannya berhasil membuat jantungku berdebar. “Apa yang kamu katakan?”“Aku hanya bercanda, kamu dari tadi tegang terus. Ada apa?” jawabnya seperti tak berdosa.“Itu karena kamu. Parfum itu menggangguku, cepat ganti baju sana!” ucapku pada akhirnya, persetan dengan rasa malu, aku benar-benar tidak bisa mengontrol isi pikiranku sekarang.“Memangnya apa yang salah dengan parfumku? Bukannya kamu paling menyukai bau parfum ini?” Naka malah mendekatkan tubuhnya ke arah tubuhku.“Coba cium, bukannya bau ini terasa menenangkan?” ia berkata sambil terkekeh pelan.Aku mendorongnya menjauhi tubuhku. “Ganti bajumu atau aku pergi?”Setelah aku mengatakan itu, ia menurut. Tangannya terangkat untuk melepas bajunya dan aku langsung terpekik kaget. “Jangan membuka bajumu di sini, aku seorang wanita, Naka!”“Alice, kamu sudah terbiasa melihat tubuhku. Ada apa denganmu?” ia tak menghiraukan ucapanku dan kembali melanjutkan kegiatannya untuk melepaskan b
Saat makan malam bersama Naka, banyak hal yang diobrolkan bersamanya. Mendengarkan tentang kota yang pernah menjadi saksi bisu kehidupanku, mendengarkan teman-teman yang kukenal semasa kuliah. Aku jadi merindukannya.“Mungkin salah satu alasanmu berhenti untuk berkuliah, karena masalah hubungan kita waktu itu. Aku benar-benar menyesal, aku terlalu menyakitimu, Alice.” Naka menunduk, ia lagi-lagi mengatakan itu.“Naka, berhentilah membahas masa lalu. Apa yang terjadi saat itu, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Aku juga bersalah, seharusnya aku lebih kuat agar bisa menolak Dean. Seharusnya aku tidak kehausan saat melihat kenyamanan yang Dean tawarkan. Bukankah aku yang salah?” ucapku lembut.“Saat Diva tahu masalah itu, awalnya dia sangat marah padaku. Diva menyalahkanku karena bersikap kasar padamu.” Naka mengatakan itu dengan bola mata yang berkaca-kaca.“Diva benar-benar orang yang baik, aku sangat beruntung pernah menjadi temannya. Saat itu, kamu pernah bilang mengenai permintaan D
Setelah cuti cukup lama, hari ini aku memutuskan untuk mengakhirinya. Suasana kantor terasa berbeda, mungkin karena aku sudah terlalu nyaman dengan suasana rumah setelah cuti sangat lama.Aku langsung saja menuju ke ruanganku, tumpukan kertas yang menggunung menyambutku. Aku menghela napas, mencoba mengerjakannya dengan semangat.Hari ini, tepat lima hari sudah berlalu setelah makan malam bersama Naka. Pria itu, kembali menghubungiku lagi untuk makan siang bersama, katanya ada hal yang ingin dibicarakan.Jadi aku menyetujuinya dan memberikan alamat kantorku padanya. Saat jam sudah menunjukkan waktu makan siang, aku segera menuju parkiran.Di sana, Naka berdiri di depan mobil berwarna hitam dengan senyuman tipis. Ia melambaikan tangannya ke arahku. “Alice,” serunya pelan.Aku mengangguk tipis berjalan ke arahnya. Di belakangku, suara Adam memanggil namaku membuat langkahku berhenti.“Alice!” teriaknya.Tubuhku terasa kaku, seperti baru saja ketahuan sedang melakukan kesalahan. Aku mena
Setelah pertemuanku dengan Naka, tepat dua minggu setelahnya Naka menghubungiku. Ia mengajakku untuk bertemu di sebuah restoran di pusat kota.Malam ini, aku sudah bersiap untuk bertemu dengannya. Entah apa yang ingin ia katakan padaku, walau begitu pikiranku merasa perbincangan ini bukan sesuatu yang baik.Aku menyiapakan diriku sebaik-baiknya. Walau banyak kejutan yang terjadi dalam hidupku akhir-akhir ini, kenyataan yang akan kuterima nantinya pasti tetap membuatku terguncang.“Sudah lama menungguku?” ucapku ketika sampai.Naka menggeleng dengan senyuman tipis khas pria itu. “Tidak, aku juga baru datang. Duduklah,”Naka mengulurkan buku menu. “Malam ini, aku akan mentraktirmu makanan enak. Jadi pesanlah.”Aku menerima buku menu sambil sesekali menatapnya.“Alice, apa kamu ingat saat pertama kali kamu mengenalku? Saat itu, aku sudah lama mengenalmu, tapi kamu sama sekali tidak mengenalku. Di kampus, hanya kamu yang tidak mengenalku.” Ia menatap gelas di tangannya sambil terkekeh pel