Setelah percakapan malam itu, aku dan adam berjalan beriringan menuju rumahku. Selama di perjalanan, aku tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. masih berusaha untuk menyesuaikan diri setelah mengatakan separuh fakta yang selalu kusembunyikan.“masuklah, aku akan pulang sekarang.” ucapnya memecah keheningan saat sudah berada tepat di depan rumahku.Aku yang melangkah mendahuluinya pun membalikkan badan guna memandangnya. “baiklah, aku masuk dulu.”Adam mengangguk dengan senyuman tipis, “iya, masuklah. Aku akan pulang saat kamu sudah aman.”Aku menghentikan langkahku lalu membalikkan badanku menatapnya. “adam, kamu juga pulanglah. Aku sudah aman, rumahku di sini. seharusnya kamu mengkhawatirkan keselamatanmu sendiri.”Adam tersenyum hangat, ia berjalan mendekatiku. Memegang kedua tanganku dengan lembut lalu berucap, “keselamatanmu lebih penting. Masuklah, setelah itu aku akan pulang.”Aku menggeleng, tidak setuju akan ucapannya. “tidak, kamu pulanglah dulu setelah itu aku akan masuk
Saat pagi tiba, aku mendapati Adam yang sedang duduk dengan mata yang terpejam. Melihatnya tidur seperti ini, aku yakin jika tidurnya tidaklah nyaman.Aku mengembuskan napas tak enak hati, terlebih saat tangannya kupeluk erat. Seolah aku tak memberikan izin padanya untuk pergi jauh.Dengan pelan agar tidak mengganggunya, aku melepaskan tanganku lalu membiarkannya tidur. Aku duduk, menatap sekeliling ruangan yang terlihat asing. Aku jadi tahu jika tadi malam aku tidur di rumahnya.Ketika mataku menangkap selimut di ujung kakiku, aku tersenyum tipis lalu membawanya agar membalut tubuh Adam.Aku tersenyum melihat wajahnya yang terlihat begitu tenang. Cukup lama aku menikmatinya dengan senyuman tipis, tak lupa diiringi dengan deguban jantung yang terdengar begitu jelas.Saat selimut itu jatuh dari tubuhnya, aku bergerak pelan mengambilnya lalu kembali menyelimutinya. Aku tersenyum tipis dan berucap pelan tepat di depan wajahnya. “Tidurlah dengan nyaman.”Aku menjauhi wajahku berniat untuk
Saat aku berjalan keluar dari gedung tempatku bekerja, aku berpapasan dengan beberapa rekan kerjaku. Tatapan mereka seperti tengah menggodaku, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang memerah.“Kak, aku dengar ada pria yang membawakan makan siang untukmu. Astaga, sejak kapan kakak berpacaran dengannya?” ucapnya dengan suara yang bersemangat.Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tidak berpacarannya dengannya. Ngomong-ngomong, di mana pria yang kamu maksud?”Wajahnya menampakkan keterkejutan, ia memegang kedua tanganku lalu berucap. “Benarkah? Kakak benar-benar tidak berpacaran dengannya? Lalu, apa hubungan kakak dengannya?”Aku menggaruk kepalaku, bingung harus mengatakan apa. Saat aku sedang kebingungan, aku mendapati Adam yang tengah melambaikan tangannya ke arahku. Aku tersenyum tipis lalu berlari menghampirinya.“Kamu sudah lama menungguku?” tanyaku langsung.Ia menggelengkan kepalanya dengan senyuman hangat. “Tidak begitu lama.” Ujarnya dengan penuh kelembutan.Aku mengambil tangannya
Selama perjalanan mengendarai mobil menuju rumahku, pikiranku senantiasa tertuju pada Adam dan Laura. Dadaku terasa sakit memikirkan itu.Mataku menangkap supermarket di pinggir jalan, aku memutuskan untuk berhenti di sana. Pikiranku kacau balau, aku perlu waktu untuk membenahinya.Satu botol minuman dingin sudah berada di genggamanku, aku meneguknya sambil duduk di kursi depan supermarket. Ketika mataku terpejam, ingatanku tertuju saat Adam melepaskan genggaman tangannya dan memilih bersama Laura.Amarahku semakin memuncak memikirkan itu, aku kembali meneguk minuman yang kubeli hingga habis tak bersisa.Getaran ponsel dari dalam tasku terasa, aku langsung memeriksanya. Ketika di layar ponselku menampilkan nama Adam, aku memasang raut datar.“Hallo?” ucapku tanpa tenaga.“Kamu di mana?” suara Adam terdengar khawatir, namun aku memilih untuk tidak peduli padanya.“Apa pedulimu? Kalau tidak ada yang ingin dikatakan, aku tutup teleponnya. Jangan ganggu aku, sekarang aku sangat sibuk!” ak
Selama enam tahun terakhir, untuk pertama kalinya aku mengambil jatah cutiku. Aku membawa semua barangku dan pergi menuju tempat terpencil. Sebuah desa yang terkenal asri, saat sedang dinas aku pernah bermalam di desa ini.Saat sampai di penginapan, aku langsung membaringkan tubuhku. Hanya ini yang bisa kulakukan, pergi jauh untuk menghindari masalah yang kubuat.Aku tahu aku seperti pecundang, tapi aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Aku begitu takut, masa laluku yang tidak diketahui oleh siapapun sudah membuat orang lain tidak menyukaiku, terlebih bila masa laluku terkuak.Aku duduk menekuk kedua kakiku lalu membaringkan kepalaku di atasnya, menatap langit biru melalui jendela kecil. Tetes demi tetes air mata mengalir melewati wajahku, tanganku terangkat untuk menghapusnya.Aku mengambil ponsel lalu mengaktifkannya. Notifikasi dari ponselku bergantian bersuara, aku memandangnya tanpa ekspresi. Tanganku menekan nama Javin, aku menelponnya.Ketika suara Javin terdengar, ak
Aku tengah menunggu Adam yang sedang menyiapkan makan siang untukku. Sekarang, aku dan Adam sudah berada di penginapanku. Ini adalah malam kedua setelah kami memutuskan untuk bersama.Aku baru pulang dari rumah sakit, dokter yang merawatku sudah memberikanku izin dan berpesan untuk memperbaiki pola makanku yang berantakan.“Alice, makanan untukmu sudah siap!” bak seorang koki profesional, Adam membawa makanan dengan satu tangannya ke arahku.Melihat sikapnya yang berusaha untuk menghiburku agar aku bahagia membuat hatiku menghangat. Kepeduliannya padaku selalu menjadikanku bagai lilin yang meleleh dan burung yang terbang di udara.“Bubur lagi?” ucapku ketika melihat makanan yang ia hidangkan adalah bubur hambar.Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tidak mau makan bubur lagi, Adam.” Aku mencoba merengek agar ia mengubah menu makan siang ini.Dengan tegas, ia menggelengkan kepalanya. “Kamu harus makan bubur dulu, pencernaanmu akan bermasalah kalau langsung makan yang lain.”Aku merengut me
Getaran ponsel membuat pusat perhatianku tertuju pada benda berbentuk persegi panjang yang sedang Adam pegang. Aku yang penasaran pun bertanya padanya. “Siapa?”Ia tersenyum lalu mematikan ponselnya. “Bukan siapa-siapa.” Tangannya menarik bahuku untuk lebih dekat dengan tubuhnya.Aku mengangguk menatapnya, hatiku masih penasaran siapa yang meneleponnya sampai membuatnya enggan untuk menjawabnya. Aku memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut lagi, tidak ingin membuatnya terganggu.Aku menatap layar televisi yang menampilkan film kartun yang sengaja kupilih. Aku tertawa melihat animasi yang ditampilkan, sekilas wajahnya mirip dengan Adam.Tanganku bergerak mengambil cemilan yang ia pegang, aku berujar setelah berhasil menelan makanan ringan. “Adam, lihatlah wajahnya sangat mirip denganmu.” Aku terkikik geli membayangkan wajah Adam.Tidak ada sautan darinya, aku membalikkan tubuhku menatapnya yang sedang memfokuskan pandangan pada ponselnya. Aku menghela napas, aku menyentuh pergelangan
Adam sudah pulang, aku menatap langit dari sela-sela jendela kecil. Air mataku mengalir, aku sangat merasa bersalah karena sikapku yang kekanak-kanakkan. Aku pasti sudah membuatnya kecewa.Ketika bola mataku terasa perih, aku segera mengerjapkan mata lalu menghapus wajahku yang dipenuhi oleh air mata yang mengalir. Tidak ada gunanya selalu menghindari masalah, yang ada masalah semakin kacau dan berantakan.Aku berdiri mengambil koper lalu memasukkan semua barang-barangku. Di dunia ini, selain kedua adikku, aku hanya memiliki Adam. Aku hanya bisa mengandalkannya.Masalah ini, aku tidak boleh terlalu memikirkannya. Lebih baik fokus bagaimana agar bisa menyelesaikannya.Tanganku bergetar memegang stir mobil, tubuhku masih lemah. Terselip perasaan ragu untuk melakukan ini, namun aku meyakinkan diriku. Apa yang kulakukan kali ini adalah hal yang benar.Aku tidak bisa membuat Adam semakin kecewa padaku.Sudah satu jam berlalu, selama itu pula aku sudah menghentikan mobil sebanyak tiga kali.