Saat aku berjalan keluar dari gedung tempatku bekerja, aku berpapasan dengan beberapa rekan kerjaku. Tatapan mereka seperti tengah menggodaku, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang memerah.“Kak, aku dengar ada pria yang membawakan makan siang untukmu. Astaga, sejak kapan kakak berpacaran dengannya?” ucapnya dengan suara yang bersemangat.Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tidak berpacarannya dengannya. Ngomong-ngomong, di mana pria yang kamu maksud?”Wajahnya menampakkan keterkejutan, ia memegang kedua tanganku lalu berucap. “Benarkah? Kakak benar-benar tidak berpacaran dengannya? Lalu, apa hubungan kakak dengannya?”Aku menggaruk kepalaku, bingung harus mengatakan apa. Saat aku sedang kebingungan, aku mendapati Adam yang tengah melambaikan tangannya ke arahku. Aku tersenyum tipis lalu berlari menghampirinya.“Kamu sudah lama menungguku?” tanyaku langsung.Ia menggelengkan kepalanya dengan senyuman hangat. “Tidak begitu lama.” Ujarnya dengan penuh kelembutan.Aku mengambil tangannya
Selama perjalanan mengendarai mobil menuju rumahku, pikiranku senantiasa tertuju pada Adam dan Laura. Dadaku terasa sakit memikirkan itu.Mataku menangkap supermarket di pinggir jalan, aku memutuskan untuk berhenti di sana. Pikiranku kacau balau, aku perlu waktu untuk membenahinya.Satu botol minuman dingin sudah berada di genggamanku, aku meneguknya sambil duduk di kursi depan supermarket. Ketika mataku terpejam, ingatanku tertuju saat Adam melepaskan genggaman tangannya dan memilih bersama Laura.Amarahku semakin memuncak memikirkan itu, aku kembali meneguk minuman yang kubeli hingga habis tak bersisa.Getaran ponsel dari dalam tasku terasa, aku langsung memeriksanya. Ketika di layar ponselku menampilkan nama Adam, aku memasang raut datar.“Hallo?” ucapku tanpa tenaga.“Kamu di mana?” suara Adam terdengar khawatir, namun aku memilih untuk tidak peduli padanya.“Apa pedulimu? Kalau tidak ada yang ingin dikatakan, aku tutup teleponnya. Jangan ganggu aku, sekarang aku sangat sibuk!” ak
Selama enam tahun terakhir, untuk pertama kalinya aku mengambil jatah cutiku. Aku membawa semua barangku dan pergi menuju tempat terpencil. Sebuah desa yang terkenal asri, saat sedang dinas aku pernah bermalam di desa ini.Saat sampai di penginapan, aku langsung membaringkan tubuhku. Hanya ini yang bisa kulakukan, pergi jauh untuk menghindari masalah yang kubuat.Aku tahu aku seperti pecundang, tapi aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Aku begitu takut, masa laluku yang tidak diketahui oleh siapapun sudah membuat orang lain tidak menyukaiku, terlebih bila masa laluku terkuak.Aku duduk menekuk kedua kakiku lalu membaringkan kepalaku di atasnya, menatap langit biru melalui jendela kecil. Tetes demi tetes air mata mengalir melewati wajahku, tanganku terangkat untuk menghapusnya.Aku mengambil ponsel lalu mengaktifkannya. Notifikasi dari ponselku bergantian bersuara, aku memandangnya tanpa ekspresi. Tanganku menekan nama Javin, aku menelponnya.Ketika suara Javin terdengar, ak
Aku tengah menunggu Adam yang sedang menyiapkan makan siang untukku. Sekarang, aku dan Adam sudah berada di penginapanku. Ini adalah malam kedua setelah kami memutuskan untuk bersama.Aku baru pulang dari rumah sakit, dokter yang merawatku sudah memberikanku izin dan berpesan untuk memperbaiki pola makanku yang berantakan.“Alice, makanan untukmu sudah siap!” bak seorang koki profesional, Adam membawa makanan dengan satu tangannya ke arahku.Melihat sikapnya yang berusaha untuk menghiburku agar aku bahagia membuat hatiku menghangat. Kepeduliannya padaku selalu menjadikanku bagai lilin yang meleleh dan burung yang terbang di udara.“Bubur lagi?” ucapku ketika melihat makanan yang ia hidangkan adalah bubur hambar.Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tidak mau makan bubur lagi, Adam.” Aku mencoba merengek agar ia mengubah menu makan siang ini.Dengan tegas, ia menggelengkan kepalanya. “Kamu harus makan bubur dulu, pencernaanmu akan bermasalah kalau langsung makan yang lain.”Aku merengut me
Getaran ponsel membuat pusat perhatianku tertuju pada benda berbentuk persegi panjang yang sedang Adam pegang. Aku yang penasaran pun bertanya padanya. “Siapa?”Ia tersenyum lalu mematikan ponselnya. “Bukan siapa-siapa.” Tangannya menarik bahuku untuk lebih dekat dengan tubuhnya.Aku mengangguk menatapnya, hatiku masih penasaran siapa yang meneleponnya sampai membuatnya enggan untuk menjawabnya. Aku memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut lagi, tidak ingin membuatnya terganggu.Aku menatap layar televisi yang menampilkan film kartun yang sengaja kupilih. Aku tertawa melihat animasi yang ditampilkan, sekilas wajahnya mirip dengan Adam.Tanganku bergerak mengambil cemilan yang ia pegang, aku berujar setelah berhasil menelan makanan ringan. “Adam, lihatlah wajahnya sangat mirip denganmu.” Aku terkikik geli membayangkan wajah Adam.Tidak ada sautan darinya, aku membalikkan tubuhku menatapnya yang sedang memfokuskan pandangan pada ponselnya. Aku menghela napas, aku menyentuh pergelangan
Adam sudah pulang, aku menatap langit dari sela-sela jendela kecil. Air mataku mengalir, aku sangat merasa bersalah karena sikapku yang kekanak-kanakkan. Aku pasti sudah membuatnya kecewa.Ketika bola mataku terasa perih, aku segera mengerjapkan mata lalu menghapus wajahku yang dipenuhi oleh air mata yang mengalir. Tidak ada gunanya selalu menghindari masalah, yang ada masalah semakin kacau dan berantakan.Aku berdiri mengambil koper lalu memasukkan semua barang-barangku. Di dunia ini, selain kedua adikku, aku hanya memiliki Adam. Aku hanya bisa mengandalkannya.Masalah ini, aku tidak boleh terlalu memikirkannya. Lebih baik fokus bagaimana agar bisa menyelesaikannya.Tanganku bergetar memegang stir mobil, tubuhku masih lemah. Terselip perasaan ragu untuk melakukan ini, namun aku meyakinkan diriku. Apa yang kulakukan kali ini adalah hal yang benar.Aku tidak bisa membuat Adam semakin kecewa padaku.Sudah satu jam berlalu, selama itu pula aku sudah menghentikan mobil sebanyak tiga kali.
Saat aku masuk ke rumah, Javin dan Joana langsung menyambutku. Tatapan mereka terlihat begitu sedih melihatku berjalan memasuki rumah dengan langkah tertatih-tatih.“Kakak ….” Joana berujar sendu.Aku menatapnya lembut, dengan pelan tanganku menggapai puncak kepalanya. “Jo, maaf sudah meninggalkanmu beberapa hari ini. Bagaimana keadaanmu, apa kamu sudah makan malam?”Joana menggelengkan kepalanya, ia menerjangku dengan pelukan erat. Air matanya menetes membasahi bahuku, aku mengelus kepalanya dengan senyuman tipis. “Apa yang kakak katakan? Seharusnya kakak mengkhawatirkan dirimu, bukan malah mengkhawatirkan orang lain!” lirihnya dengan penuh kekesalan.“Bagiku, kamu dan Javin bukanlah orang lain. Wajar jika aku mengkhawatirkan kalian.”Pelukan erat Joana belum juga terlepas, aku mengalihkan tatapanku ke arah Javin yang sedang menunduk. Bahunya sedikit bergetar, “Javin, ada apa?” tanyaku dengan lembut.Tanpa menatap wajahku, ia berlalu begitu saja. Melihat sikap Javin, Joana mengurai p
Ucapan demi ucapan yang Javin utarakan sangat mempengaruhi mentalku. Sekarang, aku takut harus melakukan apa. Aku takut akan menyinggung orang lain akan sikapku.Aku menatap langit dengan air mata yang mengalir di wajah. “Selamanya, apakah aku akan hidup seperti ini? Tanpa teman dan tujuan yang jelas?”“Aku juga ingin hidup seperti orang lain. Aku juga ingin hidup dengan baik. Aku berusaha melakukan itu, tapi mengapa akhirnya jadi seperti ini? Kenapa?” pekikku frustasi, dadaku naik turun.Aku memejamkan mataku sesaat, mencoba meredakan emosiku. Ketika mataku terbuka, tanganku langsung mengambil kotak kecil yang terbuat dari kaca. Aku melemparkannya ke dinding sambil berteriak kecang.“Katakan, apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus mati sekarang?”Tubuhku jatuh ke lantai, aku menekuk kedua kakiku dan tanganku terangkat memeluk sebagian tubuhku. “Aku harus hidup seperti apa? Kalau kesulitan terus kulalui tanpa akhir, kenapa aku ditakdirkan untuk hidup? Aku lelah, aku benar-benar su
MATAKU berkaca-kaca ketika berdiri tepat di depan makam diva. Aku memejamkan kedua mataku dengan tangan yang bergetar.“Alice ….” Suara lirih itu terdengar membuatku mendongak menatap Naka.Aku mengusahakan diri untuk tersenyum tipis. “Aku tidak apa, Naka.” ujarku pelan.Naka mengangguk tipis, ia jongkok di depan makam dengan kedua tangannya menaruh bunga yang sudah ia persiapkan sebelumnya.“Diva, kunjungan kali ini … aku datang bersama Alice. Bukankah kamu merindukan temanmu, hm?” Naka terkekeh setelah mengatakan itu.“Sudah lama, ya … Gavin sekarang sudah bisa memukul keningku. Putramu itu sepertinya memiliki dendam pribadi, setiap bertemu pasti tangannya menuju keningku.” Naka menggerutu sambil tertawa.Aku meliriknya, sikap Naka sekarang terlihat jelas jika ia sedang sedih. Aku jongkok tepat di sampingnya. “Maaf … seharusnya aku menemuimu sejak dulu. Sekarang … kita tidak bisa mengobrol seperti dulu lagi.”Aku membasahi bibir bawahku, tanganku memainkan bunga baru yang tersebar d
Aku tertegun mendengarkan perkataannya. Jadi aku memberanikan diri untuk menatap kedua bola matanya dalam-dalam. “Apa maksudmu?”Naka terkekeh singkat. “Aku membayangkan jika kita bisa bersama seperti dulu.”“Berhentilah berkhayal, itu tidak akan pernah terjadi.” Ujarku ketus.“Bagaimana jika itu bisa terjadi?” suara bisikan Naka terasa hangat menyapu bagian leherku. Ia mulai mengecupi disepanjang leherku. Sedang mataku terpejam dengan kedua tangan terkepal kuat-kuat.“Alice, kamu bahkan tidak menolakku.” Ucapnya setelah lima menit berlalu.Aku langsung mendorongnya menjauh. “Menjauh dariku!” ujarku dingin, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang terasa memanas.“Jangan seperti ini lagi, aku tidak menyukainya!”Setelah mengatakan itu, aku membalikkan badanku segera. Lenganku dicekal cukup kuat, tubuhku ditarik untuk lebih dekat dengannya. Ia langsung saja menyatukan bibir, tanganku bergetar dengan kepalan yang kuat.Aku ingin sekali mendorong tubuhnya, tetapi tanganku tak bisa digera
Setelah Naka mengatakan ada tempat yang harus kukunjungi, rasa penasaranku meningkat. Jadi, aku menyetujuinya.Naka membawaku menuju sebuah kamar yang letaknya sedikit di belakang, dekat dengan gudang. Melihatnya, aku sedikit bingung dan was-was apa yang akan Naka lakukan.Begitu pintu terbuka, suasana ruangan yang Naka tunjukkan padaku terasa begitu familiar. Aku mengamatinya dengan pandangan yang berbinar.“Kamar ini ….” Ucapku dengan suara tertahan, aku cukup kagum dengan nuansa kamar ini. Pasalnya, beberapa barang di kamar ini terasa manis bila dilihat.“Alice, apakah kamu merasakan sesuatu?” tanya Naka pelan.Aku mengangguk semangat. “Kamarnya terasa hangat, siapa pemilik kamar ini?”Naka berjalan mendekatiku, ia memegang pergelangan tanganku lalu menuntunku untuk mendatangi sebuah lemari kaca yang di dalamnya dipenuhi oleh boneka. Aku sangat mengenali boneka itu, jadi aku menatapnya dan berkata. “Boneka ini, bukankah ini adalah milikku?”Aku membuka lemari kaca lalu memeriksanya
Seperti ucapannya, Naka benar-benar tidak mengizinkanku untuk pergi dari rumahnya. Pada akhirnya, aku bermalam di rumahnya dengan perasaan setengah kesal.“Aku mengerti, aku akan bermalam di rumahmu.” Ucapku dengan penuh kekesalan.Setelah aku mengatakan itu, Naka tertawa bahagia. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku lalu berbisik tepat di telinga. “Kamu sendiri yang mengatakannya, jadi jangan menyesal.”Ia mengedipkan matanya dengan genit, aku bergidik ngeri melihatnya. “Aku tidak mau tidur sekamar denganmu!”“Eh, aku tidak mengatakan itu. Tapi jika kamu menginginkan untuk tidur bersamaku, yah aku tidak akan menolaknya, Alice.” Ia berkata sambil tertawa mengejek.“Apa-apaan, aku tahu isi kepalamu. Sudahlah, lebih baik aku pulang sekarang.” Ucapku dengan kesal.Naka menghentikan langkahku, ia berjalan semakin mendekatiku. “Aku hanya menggodamu. Baiklah, kamu tidurlah di kamarku, aku akan tidur di kamar lain. Di rumahku ada banyak kamar kosong, jadi tidak perlu menginap di tempat lain.” I
Aku datang menemui Javin. Dia sudah memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemennya. Aku membawakan makanan kesukaannya dan menunggunya hingga waktunya pulang bekerja.Melihat suasana apartemennya, terasa begitu menenangkan. Sepi.Aku membaringkan tubuhku di kursi empuk, tanpa sengaja kesadaranku hilang. Aku terlelap hingga Javin datang membangunkanku.“Kenapa kakak tidak memberitahuku jika ingin datang berkunjung?” tanyanya sambil berjalan membawakan segelas air.“Aku hanya ingin menumpang beristirahat saja.” Ucapku sambil terkekeh.“Ada apa?” pertanyaan dari Javin membuatku melepaskan gelas yang kupegang.“Javin, menurutmu apakah seseorang perlu untuk menjadi jahat?” tanyaku tanpa menatap wajahnya.“Kak, setiap manusia memiliki sisi baik dan jahat. Jika sisi baik dan jahat lebih mendominasi, menurutku bisa merugikan diri sendiri atau orang lain. Tapi di sini, jika porsi baik dan jahatnya seimbang, itu lebih bagus.” Javin menatapku lurus dengan wajah dingin khasnya.“Apa yang ingin
Aku memukul lengannya kuat-kuat, kesal karena perkataannya berhasil membuat jantungku berdebar. “Apa yang kamu katakan?”“Aku hanya bercanda, kamu dari tadi tegang terus. Ada apa?” jawabnya seperti tak berdosa.“Itu karena kamu. Parfum itu menggangguku, cepat ganti baju sana!” ucapku pada akhirnya, persetan dengan rasa malu, aku benar-benar tidak bisa mengontrol isi pikiranku sekarang.“Memangnya apa yang salah dengan parfumku? Bukannya kamu paling menyukai bau parfum ini?” Naka malah mendekatkan tubuhnya ke arah tubuhku.“Coba cium, bukannya bau ini terasa menenangkan?” ia berkata sambil terkekeh pelan.Aku mendorongnya menjauhi tubuhku. “Ganti bajumu atau aku pergi?”Setelah aku mengatakan itu, ia menurut. Tangannya terangkat untuk melepas bajunya dan aku langsung terpekik kaget. “Jangan membuka bajumu di sini, aku seorang wanita, Naka!”“Alice, kamu sudah terbiasa melihat tubuhku. Ada apa denganmu?” ia tak menghiraukan ucapanku dan kembali melanjutkan kegiatannya untuk melepaskan b
Saat makan malam bersama Naka, banyak hal yang diobrolkan bersamanya. Mendengarkan tentang kota yang pernah menjadi saksi bisu kehidupanku, mendengarkan teman-teman yang kukenal semasa kuliah. Aku jadi merindukannya.“Mungkin salah satu alasanmu berhenti untuk berkuliah, karena masalah hubungan kita waktu itu. Aku benar-benar menyesal, aku terlalu menyakitimu, Alice.” Naka menunduk, ia lagi-lagi mengatakan itu.“Naka, berhentilah membahas masa lalu. Apa yang terjadi saat itu, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Aku juga bersalah, seharusnya aku lebih kuat agar bisa menolak Dean. Seharusnya aku tidak kehausan saat melihat kenyamanan yang Dean tawarkan. Bukankah aku yang salah?” ucapku lembut.“Saat Diva tahu masalah itu, awalnya dia sangat marah padaku. Diva menyalahkanku karena bersikap kasar padamu.” Naka mengatakan itu dengan bola mata yang berkaca-kaca.“Diva benar-benar orang yang baik, aku sangat beruntung pernah menjadi temannya. Saat itu, kamu pernah bilang mengenai permintaan D
Setelah cuti cukup lama, hari ini aku memutuskan untuk mengakhirinya. Suasana kantor terasa berbeda, mungkin karena aku sudah terlalu nyaman dengan suasana rumah setelah cuti sangat lama.Aku langsung saja menuju ke ruanganku, tumpukan kertas yang menggunung menyambutku. Aku menghela napas, mencoba mengerjakannya dengan semangat.Hari ini, tepat lima hari sudah berlalu setelah makan malam bersama Naka. Pria itu, kembali menghubungiku lagi untuk makan siang bersama, katanya ada hal yang ingin dibicarakan.Jadi aku menyetujuinya dan memberikan alamat kantorku padanya. Saat jam sudah menunjukkan waktu makan siang, aku segera menuju parkiran.Di sana, Naka berdiri di depan mobil berwarna hitam dengan senyuman tipis. Ia melambaikan tangannya ke arahku. “Alice,” serunya pelan.Aku mengangguk tipis berjalan ke arahnya. Di belakangku, suara Adam memanggil namaku membuat langkahku berhenti.“Alice!” teriaknya.Tubuhku terasa kaku, seperti baru saja ketahuan sedang melakukan kesalahan. Aku mena
Setelah pertemuanku dengan Naka, tepat dua minggu setelahnya Naka menghubungiku. Ia mengajakku untuk bertemu di sebuah restoran di pusat kota.Malam ini, aku sudah bersiap untuk bertemu dengannya. Entah apa yang ingin ia katakan padaku, walau begitu pikiranku merasa perbincangan ini bukan sesuatu yang baik.Aku menyiapakan diriku sebaik-baiknya. Walau banyak kejutan yang terjadi dalam hidupku akhir-akhir ini, kenyataan yang akan kuterima nantinya pasti tetap membuatku terguncang.“Sudah lama menungguku?” ucapku ketika sampai.Naka menggeleng dengan senyuman tipis khas pria itu. “Tidak, aku juga baru datang. Duduklah,”Naka mengulurkan buku menu. “Malam ini, aku akan mentraktirmu makanan enak. Jadi pesanlah.”Aku menerima buku menu sambil sesekali menatapnya.“Alice, apa kamu ingat saat pertama kali kamu mengenalku? Saat itu, aku sudah lama mengenalmu, tapi kamu sama sekali tidak mengenalku. Di kampus, hanya kamu yang tidak mengenalku.” Ia menatap gelas di tangannya sambil terkekeh pel