Aku tengah menunggu Adam yang sedang menyiapkan makan siang untukku. Sekarang, aku dan Adam sudah berada di penginapanku. Ini adalah malam kedua setelah kami memutuskan untuk bersama.Aku baru pulang dari rumah sakit, dokter yang merawatku sudah memberikanku izin dan berpesan untuk memperbaiki pola makanku yang berantakan.“Alice, makanan untukmu sudah siap!” bak seorang koki profesional, Adam membawa makanan dengan satu tangannya ke arahku.Melihat sikapnya yang berusaha untuk menghiburku agar aku bahagia membuat hatiku menghangat. Kepeduliannya padaku selalu menjadikanku bagai lilin yang meleleh dan burung yang terbang di udara.“Bubur lagi?” ucapku ketika melihat makanan yang ia hidangkan adalah bubur hambar.Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tidak mau makan bubur lagi, Adam.” Aku mencoba merengek agar ia mengubah menu makan siang ini.Dengan tegas, ia menggelengkan kepalanya. “Kamu harus makan bubur dulu, pencernaanmu akan bermasalah kalau langsung makan yang lain.”Aku merengut me
Getaran ponsel membuat pusat perhatianku tertuju pada benda berbentuk persegi panjang yang sedang Adam pegang. Aku yang penasaran pun bertanya padanya. “Siapa?”Ia tersenyum lalu mematikan ponselnya. “Bukan siapa-siapa.” Tangannya menarik bahuku untuk lebih dekat dengan tubuhnya.Aku mengangguk menatapnya, hatiku masih penasaran siapa yang meneleponnya sampai membuatnya enggan untuk menjawabnya. Aku memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut lagi, tidak ingin membuatnya terganggu.Aku menatap layar televisi yang menampilkan film kartun yang sengaja kupilih. Aku tertawa melihat animasi yang ditampilkan, sekilas wajahnya mirip dengan Adam.Tanganku bergerak mengambil cemilan yang ia pegang, aku berujar setelah berhasil menelan makanan ringan. “Adam, lihatlah wajahnya sangat mirip denganmu.” Aku terkikik geli membayangkan wajah Adam.Tidak ada sautan darinya, aku membalikkan tubuhku menatapnya yang sedang memfokuskan pandangan pada ponselnya. Aku menghela napas, aku menyentuh pergelangan
Adam sudah pulang, aku menatap langit dari sela-sela jendela kecil. Air mataku mengalir, aku sangat merasa bersalah karena sikapku yang kekanak-kanakkan. Aku pasti sudah membuatnya kecewa.Ketika bola mataku terasa perih, aku segera mengerjapkan mata lalu menghapus wajahku yang dipenuhi oleh air mata yang mengalir. Tidak ada gunanya selalu menghindari masalah, yang ada masalah semakin kacau dan berantakan.Aku berdiri mengambil koper lalu memasukkan semua barang-barangku. Di dunia ini, selain kedua adikku, aku hanya memiliki Adam. Aku hanya bisa mengandalkannya.Masalah ini, aku tidak boleh terlalu memikirkannya. Lebih baik fokus bagaimana agar bisa menyelesaikannya.Tanganku bergetar memegang stir mobil, tubuhku masih lemah. Terselip perasaan ragu untuk melakukan ini, namun aku meyakinkan diriku. Apa yang kulakukan kali ini adalah hal yang benar.Aku tidak bisa membuat Adam semakin kecewa padaku.Sudah satu jam berlalu, selama itu pula aku sudah menghentikan mobil sebanyak tiga kali.
Saat aku masuk ke rumah, Javin dan Joana langsung menyambutku. Tatapan mereka terlihat begitu sedih melihatku berjalan memasuki rumah dengan langkah tertatih-tatih.“Kakak ….” Joana berujar sendu.Aku menatapnya lembut, dengan pelan tanganku menggapai puncak kepalanya. “Jo, maaf sudah meninggalkanmu beberapa hari ini. Bagaimana keadaanmu, apa kamu sudah makan malam?”Joana menggelengkan kepalanya, ia menerjangku dengan pelukan erat. Air matanya menetes membasahi bahuku, aku mengelus kepalanya dengan senyuman tipis. “Apa yang kakak katakan? Seharusnya kakak mengkhawatirkan dirimu, bukan malah mengkhawatirkan orang lain!” lirihnya dengan penuh kekesalan.“Bagiku, kamu dan Javin bukanlah orang lain. Wajar jika aku mengkhawatirkan kalian.”Pelukan erat Joana belum juga terlepas, aku mengalihkan tatapanku ke arah Javin yang sedang menunduk. Bahunya sedikit bergetar, “Javin, ada apa?” tanyaku dengan lembut.Tanpa menatap wajahku, ia berlalu begitu saja. Melihat sikap Javin, Joana mengurai p
Ucapan demi ucapan yang Javin utarakan sangat mempengaruhi mentalku. Sekarang, aku takut harus melakukan apa. Aku takut akan menyinggung orang lain akan sikapku.Aku menatap langit dengan air mata yang mengalir di wajah. “Selamanya, apakah aku akan hidup seperti ini? Tanpa teman dan tujuan yang jelas?”“Aku juga ingin hidup seperti orang lain. Aku juga ingin hidup dengan baik. Aku berusaha melakukan itu, tapi mengapa akhirnya jadi seperti ini? Kenapa?” pekikku frustasi, dadaku naik turun.Aku memejamkan mataku sesaat, mencoba meredakan emosiku. Ketika mataku terbuka, tanganku langsung mengambil kotak kecil yang terbuat dari kaca. Aku melemparkannya ke dinding sambil berteriak kecang.“Katakan, apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus mati sekarang?”Tubuhku jatuh ke lantai, aku menekuk kedua kakiku dan tanganku terangkat memeluk sebagian tubuhku. “Aku harus hidup seperti apa? Kalau kesulitan terus kulalui tanpa akhir, kenapa aku ditakdirkan untuk hidup? Aku lelah, aku benar-benar su
Setelah pertemuanku dengan Naka, tepat dua minggu setelahnya Naka menghubungiku. Ia mengajakku untuk bertemu di sebuah restoran di pusat kota.Malam ini, aku sudah bersiap untuk bertemu dengannya. Entah apa yang ingin ia katakan padaku, walau begitu pikiranku merasa perbincangan ini bukan sesuatu yang baik.Aku menyiapakan diriku sebaik-baiknya. Walau banyak kejutan yang terjadi dalam hidupku akhir-akhir ini, kenyataan yang akan kuterima nantinya pasti tetap membuatku terguncang.“Sudah lama menungguku?” ucapku ketika sampai.Naka menggeleng dengan senyuman tipis khas pria itu. “Tidak, aku juga baru datang. Duduklah,”Naka mengulurkan buku menu. “Malam ini, aku akan mentraktirmu makanan enak. Jadi pesanlah.”Aku menerima buku menu sambil sesekali menatapnya.“Alice, apa kamu ingat saat pertama kali kamu mengenalku? Saat itu, aku sudah lama mengenalmu, tapi kamu sama sekali tidak mengenalku. Di kampus, hanya kamu yang tidak mengenalku.” Ia menatap gelas di tangannya sambil terkekeh pel
Setelah cuti cukup lama, hari ini aku memutuskan untuk mengakhirinya. Suasana kantor terasa berbeda, mungkin karena aku sudah terlalu nyaman dengan suasana rumah setelah cuti sangat lama.Aku langsung saja menuju ke ruanganku, tumpukan kertas yang menggunung menyambutku. Aku menghela napas, mencoba mengerjakannya dengan semangat.Hari ini, tepat lima hari sudah berlalu setelah makan malam bersama Naka. Pria itu, kembali menghubungiku lagi untuk makan siang bersama, katanya ada hal yang ingin dibicarakan.Jadi aku menyetujuinya dan memberikan alamat kantorku padanya. Saat jam sudah menunjukkan waktu makan siang, aku segera menuju parkiran.Di sana, Naka berdiri di depan mobil berwarna hitam dengan senyuman tipis. Ia melambaikan tangannya ke arahku. “Alice,” serunya pelan.Aku mengangguk tipis berjalan ke arahnya. Di belakangku, suara Adam memanggil namaku membuat langkahku berhenti.“Alice!” teriaknya.Tubuhku terasa kaku, seperti baru saja ketahuan sedang melakukan kesalahan. Aku mena
Saat makan malam bersama Naka, banyak hal yang diobrolkan bersamanya. Mendengarkan tentang kota yang pernah menjadi saksi bisu kehidupanku, mendengarkan teman-teman yang kukenal semasa kuliah. Aku jadi merindukannya.“Mungkin salah satu alasanmu berhenti untuk berkuliah, karena masalah hubungan kita waktu itu. Aku benar-benar menyesal, aku terlalu menyakitimu, Alice.” Naka menunduk, ia lagi-lagi mengatakan itu.“Naka, berhentilah membahas masa lalu. Apa yang terjadi saat itu, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Aku juga bersalah, seharusnya aku lebih kuat agar bisa menolak Dean. Seharusnya aku tidak kehausan saat melihat kenyamanan yang Dean tawarkan. Bukankah aku yang salah?” ucapku lembut.“Saat Diva tahu masalah itu, awalnya dia sangat marah padaku. Diva menyalahkanku karena bersikap kasar padamu.” Naka mengatakan itu dengan bola mata yang berkaca-kaca.“Diva benar-benar orang yang baik, aku sangat beruntung pernah menjadi temannya. Saat itu, kamu pernah bilang mengenai permintaan D