“Javin, apa yang kamu katakan tadi?” tanyaku benar-benar tidak mengerti.Javin tak memberikan jawaban padaku, tatapannya lurus ke depan menatap jalanan. Aku melirik Joana yang sedari tadi diam saja, aku memegang tangannya dan memeluknya.“Jo, apa kamu tahu masalah ini?” bisikku pelan.“Jo tidak tahu, kak. Javin tidak mengatakan apapun.”Aku membelai puncak kepala Joana, selama perjalanan menuju rumah, suasan mobil hening. Baik aku dan Joana memilih untuk diam saja.Ketika mobil berhenti, kami turun. Aku langsung masuk ke dalam kamarku, aku berusaha untuk tidak membahas kejadian tadi lagi. Aku tahu itu pasti membuat Javin kesal.“Kakak,” suara Javin yang memanggilku membuatku menghentikan langkah. Aku membalikkan badan dengan senyuman tipis.“Tidak perlu membahasnya sekarang, tenangkan dirimu dulu, Javin. Kakak tahu Javin sudah dewasa, Javin tahu harus membuat keputusan yang seperti apa.” Ucapku lembut.Aku menatap Joana dan Javin bergantian, “Istirahatlah, Jo. Kamu pasti lelah. Kamu j
Ketika aku melangkah menuju tempat parkir, di depan mobilku Adam berdiri di sana. Mataku bertatapan dengannya, seketika tubuhku memanas dengan kaki yang bergetar.Aku menunduk menarik napas dalam-dalam. Ketika aku mendongak dan berjalan menuju ke arahnya, pria yang sudah lama tak kujumpai melemparkan senyuman tipis.“Alice ….” Ia berujar dengan suara rendah.Aku tersenyum tipis meresponnya. “H-hai, Adam.” ucapku dengan kaku.Senyumannya semakin mengembang. “Kamu datang juga.”Aku menatapnya dengan perasaan canggung. “Kamu pasti menungguku lama, ya?”Ia terkekeh dengan salah satu tangannya menggaruk bagian kepalanya. “Tidak, aku baru saja sampai. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Alice.”Aku mengangguk samar. “Baiklah, katakanlah.”Ia kembali tertawa tipis. “Tidak di sini.”Ia menatap sekeliling lalu melanjutnya ucapannya. “Mau makan malam bersama?”Aku mengangguk tipis setelah menimbang-nimbang tawarannya. “Baiklah,” ujarku dengan suara pelan.Adam duduk di depanku. Ia menatapku
Kecanggungan hubunganku dengan Adam sedikit berkurang sejak makan malam yang dilakukan tempo hari. Rasanya sedikit lega, masalah yang tak terselesaikan hingga tahun berganti sekarang dapat diselesaikan.Seperti rutinitas hari-hari sebelumnya, aku berangkat ke kantor di pagi hari dan keluar ketika malam tiba. Namun rutinitas itu sedikit berubah, saat waktu pulang kerja, Adam datang ke kantor dan selalu mengajakku untuk makan malam bersama sebelum melanjutkan pekerjaan.Ketika aku bertanya mengapa ia selalu mengajakku untuk makan malam bersama, ia akan menjawab, “Aku ingin menebus waktu enam tahun yang terbuang sia-sia.”Aku menatap lamat-lamat pria yang sedang memainkan ponselnya dengan dahi yang sedikit mengerut. “Adam, jika kamu sibuk kamu tidak perlu makan malam bersama setiap hari. Aku tidak masalah.” Ujarku pelan membuat fokusnya terarah padaku.Aku menanggapinya dengan santai lalu mengisap jus jeruk yang terhidang di atas meja.“Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu tidak ny
Aku membalikkan badan lalu melemparkan senyuman tipis ke arahnya. “Adam, aku tidak sakit. Hanya saja sekarang, aku merasa suhu di sekitar sini cukup panas.”Ia semakin menatapku dengan intens, aku berharap ia tidak berkata hal aneh-aneh lagi. Namun ternyata, harapanku tidak menjadi kenyataan.“Benarkah?” ujarnya dengan suara lembut.Aku mengangguk samar. Adam berjalan mendekatiku, ujung tangannya menyentuh dahiku yang berkeringat. “Ya, kamu benar. Cuaca sangat berubah-ubah, kamu sampai berkeringat begini.” Ia terkikik geli memandangku.Kulitnya yang bersentuhan dengan dahiku semakin membuat jantungku berdebar, aku mundur menjauhinya. Lagi-lagi Adam berjalan semakin dekat ke arahku.“Ada apa, Alice? Kenapa kamu menjauhiku?” tanyanya dengan tampang polos.Aku tidak mempedulikannya dan semakin mundur.“Alice, berhenti!” teriaknya dengan lantang. Aku tidak mendengarkannya dan masih mundur ke belakang.Tanganku ditarik, tubuhku dan tubuhnya semakin dekat dan hanya dipisahkan oleh jarak kur
Setelah percakapan malam itu, aku dan adam berjalan beriringan menuju rumahku. Selama di perjalanan, aku tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. masih berusaha untuk menyesuaikan diri setelah mengatakan separuh fakta yang selalu kusembunyikan.“masuklah, aku akan pulang sekarang.” ucapnya memecah keheningan saat sudah berada tepat di depan rumahku.Aku yang melangkah mendahuluinya pun membalikkan badan guna memandangnya. “baiklah, aku masuk dulu.”Adam mengangguk dengan senyuman tipis, “iya, masuklah. Aku akan pulang saat kamu sudah aman.”Aku menghentikan langkahku lalu membalikkan badanku menatapnya. “adam, kamu juga pulanglah. Aku sudah aman, rumahku di sini. seharusnya kamu mengkhawatirkan keselamatanmu sendiri.”Adam tersenyum hangat, ia berjalan mendekatiku. Memegang kedua tanganku dengan lembut lalu berucap, “keselamatanmu lebih penting. Masuklah, setelah itu aku akan pulang.”Aku menggeleng, tidak setuju akan ucapannya. “tidak, kamu pulanglah dulu setelah itu aku akan masuk
Saat pagi tiba, aku mendapati Adam yang sedang duduk dengan mata yang terpejam. Melihatnya tidur seperti ini, aku yakin jika tidurnya tidaklah nyaman.Aku mengembuskan napas tak enak hati, terlebih saat tangannya kupeluk erat. Seolah aku tak memberikan izin padanya untuk pergi jauh.Dengan pelan agar tidak mengganggunya, aku melepaskan tanganku lalu membiarkannya tidur. Aku duduk, menatap sekeliling ruangan yang terlihat asing. Aku jadi tahu jika tadi malam aku tidur di rumahnya.Ketika mataku menangkap selimut di ujung kakiku, aku tersenyum tipis lalu membawanya agar membalut tubuh Adam.Aku tersenyum melihat wajahnya yang terlihat begitu tenang. Cukup lama aku menikmatinya dengan senyuman tipis, tak lupa diiringi dengan deguban jantung yang terdengar begitu jelas.Saat selimut itu jatuh dari tubuhnya, aku bergerak pelan mengambilnya lalu kembali menyelimutinya. Aku tersenyum tipis dan berucap pelan tepat di depan wajahnya. “Tidurlah dengan nyaman.”Aku menjauhi wajahku berniat untuk
Saat aku berjalan keluar dari gedung tempatku bekerja, aku berpapasan dengan beberapa rekan kerjaku. Tatapan mereka seperti tengah menggodaku, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang memerah.“Kak, aku dengar ada pria yang membawakan makan siang untukmu. Astaga, sejak kapan kakak berpacaran dengannya?” ucapnya dengan suara yang bersemangat.Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tidak berpacarannya dengannya. Ngomong-ngomong, di mana pria yang kamu maksud?”Wajahnya menampakkan keterkejutan, ia memegang kedua tanganku lalu berucap. “Benarkah? Kakak benar-benar tidak berpacaran dengannya? Lalu, apa hubungan kakak dengannya?”Aku menggaruk kepalaku, bingung harus mengatakan apa. Saat aku sedang kebingungan, aku mendapati Adam yang tengah melambaikan tangannya ke arahku. Aku tersenyum tipis lalu berlari menghampirinya.“Kamu sudah lama menungguku?” tanyaku langsung.Ia menggelengkan kepalanya dengan senyuman hangat. “Tidak begitu lama.” Ujarnya dengan penuh kelembutan.Aku mengambil tangannya
Selama perjalanan mengendarai mobil menuju rumahku, pikiranku senantiasa tertuju pada Adam dan Laura. Dadaku terasa sakit memikirkan itu.Mataku menangkap supermarket di pinggir jalan, aku memutuskan untuk berhenti di sana. Pikiranku kacau balau, aku perlu waktu untuk membenahinya.Satu botol minuman dingin sudah berada di genggamanku, aku meneguknya sambil duduk di kursi depan supermarket. Ketika mataku terpejam, ingatanku tertuju saat Adam melepaskan genggaman tangannya dan memilih bersama Laura.Amarahku semakin memuncak memikirkan itu, aku kembali meneguk minuman yang kubeli hingga habis tak bersisa.Getaran ponsel dari dalam tasku terasa, aku langsung memeriksanya. Ketika di layar ponselku menampilkan nama Adam, aku memasang raut datar.“Hallo?” ucapku tanpa tenaga.“Kamu di mana?” suara Adam terdengar khawatir, namun aku memilih untuk tidak peduli padanya.“Apa pedulimu? Kalau tidak ada yang ingin dikatakan, aku tutup teleponnya. Jangan ganggu aku, sekarang aku sangat sibuk!” ak