"Tidak apa Neng. Akang tunggu saja abah pulang," sahut Dirwan.
"Oh, ya udah! mau minum apa teh hangat apa dingin?" menawarkan minuman pada Dirwan.
"Apa saja boleh! asal Neng yang buatkan, Akang mah mau," jawab Derwan kembali.
"Bisa saja." Eza berlalu ke belakang mengambil minum.
Dirwan menatap Eza dari belakang sampai tak berkedip. Kemudian melihat-lihat tempat sekitar.
Eza menuangkan air ke dalam gelas. "Ikut gak ya! seandainya di ijinkan? aku malu juga," gumamnya Eza, Lalu kembali membawa segelas minuman dingin buat Dirwan.
"Silakan Kang diminum." Eza menyodorkannya pada Dirwan yang sepertinya sedang bengong.
"Oh, iya Neng terima kasih?" sambil mengangguk.
"Eza tinggal dulu ya Kang? mau membereskan kerjaan!" ucap Eza yang ingin membiarkan Dirwan duduk sendiri.
"Oh, boleh. Akang tidak apa-apa kok! bereskan aja dulu," lagi-lagi mengangguk.
Setelah itu Eza beranjak meninggalkan Dirwan sendirian.
Tidak lama kemudian bah Bani dan istri pulang dari kebun. "Loh ada tamu rupanya, dari kapan. Sudah lama?"
"Ah, belum Bah," segera meraih tangan calon mertua di ciumnya.
"Sama siapa! sendiri?" tanya bah Bani sambil duduk depan Dirwan.
"Iya, sendiri saja. Ini Bah ... mau minta ijin mengajak Neng, ke rumah menengok mamah." Dirwan menunduk khawatir tidak di ijinkan.
"Oh ... boleh! tapi sama siapa kesananya?" tanya bah Bani lagi.
"Eh ... berdua saja Bah," sahut Dirwan.
"Tapi jangan malam-malam pulangnya ya?" pesan bah Bani.
"Siap Bah," timpal Dirwan merasa senang! akhirnya dapat ijin juga.
Eza yang sedang siap-siap di kamar hatinya dag dig dug tak karuan. Mau boncengan dengan laki-laki yang statusnya calon suami. "Mi ... Eza malu! masa berdua saja kesananya?" melirik uminya yangbbaru masuk ke dalam kamar Eza.
"Emangnya kenapa Neng, gak apa sudah tunangan ini. Lagian niatnya cuma sebentar mau menjenguk ibu mertua," ujar umi Marni sambil mengulas senyumnya.
"Iya sih, tapi ... risih aja Mi!" sambung Eza. Sambil menghela napas.
"Iya gak pa-pa, yang penting gak macam-macam juga." timpal sang ibu.
"Huuh ... ya sudah! Eza berangkat sekarang saja takut kesorean." Mengambil tas yang di atas meja, keluar kamar menghampiri Dirwan dan abahnya.
Dirwan menatap kedatanagn Eza yang sudah nampak cantik, mengenakan kerudung panjang dan celana panjang longgar. "Neng sudah siap?"
"Sudah."
Dirwan menoleh bah Bani dan umi yang baru datang bersama Eza. "Abah, Umi! kami pergi dulu dan nanti saya akan kembali mengantar Eza ke sini."
"Oh iya, hati-hati ya?" sahut bah Bani, sementara uminya mengangguk.
Dirwan dan Eza mencium tangan kedua orang tua itu. Baru kemudian berjalan keluar mebuju motor yang di parkir dekat teras.
"Eza pergi dulu ya? Assaamu'alaikum ...."
"Wa'aaikum salam ...."
Setelah berada di teras. "Akang, Eza bawa motor sendiri saja ya?"
"Apa Neng! masa mau bawa motor sendiri, apa kata orang kalau kita jalan masing-masing? sudah Akang bonceng saja," sahut Dirwan sedikit kesal.
"Justru apa kata orang kita bocengan berdua?" Eza tak mau kalah.
"Kita sudah tunangan, cuman berdua boncengan di motor mah gak apa-apa atuh! yang jangan itu berduaan di kamar," sambung Dirwan sambil mengenakan helm nya.
"Iih ... ya. Eza bawa motor sendiri?" rajuk Eza gak mau satu motor.
"Nggak, cepetan naik?" wajah Dirwan mulai di tekuk. Begitupun Eza berubah masam.
Akhirnya mereka berdua berboncengan, menuju rumah orang tua Dirwan yang berada di Kampung sebrang.
Selang beberapa lama. Dirwan menepikan motornya di sebuah halaman yang luas dan di tanami bermacam sayuran. Eza berdiri mengamati tempat sekitar, rumah yang mewah dan bertingkat.
"Ayok masuk Neng?" ajak Dirwan setelah memarkirkan motornya. Menenteng helm ke dalam rumah.
Eza membututi langkah Dirwan sembari mengucap salam. Suasana rumah sepi bagai tiada penghuni, isi rumah yang serba mewah. menambah kesan orang berada yang menempatinya.
"Kok sepi, pada kemana Kang? maksud Eza penghuni yang lainnya."
"Bapak, ke Jakarta mengirim sayuran. Adik-adik, ada yang kuliah dan ada juga yang masih SMA yang adik bungsu."
"Terus Mama! sama siapa di rumah?" tanya Eza lagi.
"Ada bibi, adiknya Mama."
"Oh ..." membulaktkan bibirnya sambil tetap mengikuti langkah Dirwan.
Sampailah di sebuah kamar yang lumayan besar. Dirwan membuka dan mengucap salam, tampak seorang ibu sedang duduk di sebuah kursi roda.
Eza mematung depan pintu menatap ibu tersebut, yang tersenyum menyambut kedatangan Dirwan. "Iwan ... anak Mama." memeluk Dirwan mengelus punggung putranya.
"Mama sudah makan?" Dirwan berjongkok depan Ibunya.
"Sudah! mana calon mantu Mama? pasti dia ya!" sambil celingukan dan akhirnya mendapati seorang gadis cantik berjilbab mematung depan pintu.
"Iya. Mah," sambil menoleh kebelakang. "Neng sini atuh masuk?" melambaikan tangannya pada Eza.
Perlahan Eza menghampiri! membungkuk mencium punggung tangan ibunya Dirwan. "Assalamu'alaikum?"
"Wa'alaikum salam ... sangat cantik! cantik piasan," bu Hawa tersenyum ramah, tuturnya yang lemah lembut. Akan membuat orang tenang bila di sampingnya.
Eza hanya mengulas senyuman, dan duduk di sofa setelah dipersilakan oleh tuan rumah.
"Nama mu. Neng Eza ya?" menggengam tangan Eza. Menatap lekat.
"I-iya Mah." Eza mengangguk pelan.
Dirwan satang membawa minuman dan cemilan entah dari kapan dia pergi? tahu-tahu sudah kembali membawa minuman.
"Neng, ini minumnya!" Dirwan meletakkan di meja.
"Iya Kang ,jangan repot-repot. Biar nanti kalau aku haus bisa ambil sendiri kok," ucap Eza menatap air yang ada di dalam gelas.
"Gak pa-pa Neng! gak roporin kok." Dirwan duduk di sofa sebelah.
"Neng?" panggil bu Hawa pada Eza.
Eza menoleh. "Iya."
"Neng beneran mau sama putra Mama? sayang sama dia! dan mau jadi istrinya," menatap Eza lekat.
Eza bingung harus jawab apa, kalau mau sih mau! tapi kalau rasa sayang! gak tau juga. "Em ... insyaAllah Mah."
"Mama titip Iwan ya? dia putra sulung Mama. sayangi dengan tulus sama Neng Eza, kadang Iwan ini keras kepala seperti bapaknya! tapi dia baik kok," ujar bu Hawa sambil meremas jari Eza lembut.
Eza mengangguk sambil senyum samar.
"Kamu juga Dirwan, sayangi dan perlakukan istrimu dengan lembut, sabar. Hormati dia seperti menghormati Mama ya?"
"Aduh. Mama, kalau Iwan harus hormati dia seperti hormati Mama. Gimana cara Iwan berlaku seperti seorang suami Mah?" protes Dirwan tidak setuju dengan ucapan mamanya.
Eza langsung mendongak mendengar ucapan Dirwan barusan.
Bu Hawa menggeleng dengan tetap tersenyum. "Bukan begitu sayang maksud Mama."
"Terus apa? kata Mama Iwan harus menghormati Eza! terus Gimana caranya aku--"
"Ya ... lakukan saja kewajibanmu sebagai suami sayang ... maksud Mama jangan sakiti istrimu, dengan lisan maupun tindakan. Jangan," sambung bu Hawa.
Dirwan mengangguk, tersenyum puas. "Iya. Mah, aku akan ingat pesan Mama."
"Bagus, Nak."
Dirwan menaik turunkan alisnya sambil menyeringai. "Ma! kalau aku melakukannya sekarang boleh gak? sama Eza."
Bu Hawa kaget. "Astagfirullah! jangan atuh Wan, kan belum halal."
Meski tidak jelas apa yang Dirwan maksudkan. Namun cukup membuat jantung Eza melompat, dag dig dug ada rasa khawatir, takut Dirwan melakukan sesuatu padanya....
Bersambung ....
Eza mendadak panas dingin, tangannya bertaut satu sama lain dan mengeluarkan keringat. Dirwan menatap lekat kearah Eza. "Wan ... bisa antar Mama ke depan? Mama bosan di dalam terus." "Oh, Iya Mah." Dirwan menoleh lanjut mendorong kursi roda sang bunda. Eza menatap Kondisi bu Hawa yang menyedihkan. perlahan Eza berdiri mengikuti langkah Dirwan yang mendorong Mamanya. "Kang, Mama mau ke mana? tanya seorang gadis yang masih mengenakan seragam sekolah menengah keatas itu. "Mau ke depan cari angin," sahut Dirwan sambil terus mendorong ibunya. Eza mengangguk dan mengulas senyuman pada gadis itu. Namun ekspresinya datar begitu saja. "Oh, aku kira mau cari masalah!" Langkah Dirwan terhenti. Menoleh adiknya. "Maksud kamu apa Rheka? dia wanita yang mengandung dan melahirkan mu, ingat itu. Seharusnya kamu mengurus dia, mendampinginya," ujar Dirwan begitu tajam. Membuat Eza kaget mendengarnya. Dia pun tidak mengerti apa mak
Suara riuh terdengar dari rumah bu Hawa. Membuat Dirwan bergegas keluar, melihat ke tempat yang sedang terjadi kericuhan. "Ada apa nih? Ribut-ribut gak malu apa! apa sih yang kalian ributkan," ucap Dirwan Sebelumnya dia kira yang membuat keributan itu Adiknya. Tapi ternyata bukan. "Pak Anwar nya mana. Wan? bapak mu janji-janji namun tidak juga ditepati! saya teh butuh buat modal lagi," ujar seseorang yang berdiri bertolak pinggang. "Iya, saya juga butuh untuk sehari-hari, buat makan, jajan anak. bayaran sekolah dll," timpal yang lainnya. Di sana ada empat orang bapak-bapak, mereka adalah para petani yang menagih uang sayuran yang juragan Anwar bawa ke pasar. "Sebentar! tenang dulu Bapak-Bapak sekalian, silakan duduk dulu. Kita bicarakan sama-sama dengan tenang jangan bikin ribut, malu!" Dirwan mempersilakan tamunya duduk. "Bi?" pekik Dirwan memanggil bibi. "Iya, Den, ada apa?" tanya Bibi yang dengan cepat mendatangi anak majikannya.
Ketika berjalan. Eza tak melihat batu, sehingga kakinya tersandung. "Aw ..." Dirwan terkejut langsung loncat dari motor. Menghampiri Eza yang tersungkur dan nyengir! sehingga motor pun terguling, ketika Dirwan meninggalkan motornya. "Neng! tidak apa-apa?" tanya Dirwan berjongkok dekat Eza. Eza nyengir, telapak tangannya membiru. lutut pun sepertinya lecet. "Eh ... nggak pa-pa kang." "Kenapa bisa jatuh?" tanya dirwan lagi. "Em, tadi agak tergesa-gesa! jadinya gak lihat jalan," sahut Eza sambil nyengir malu dan sakit. "Ya, sudah! bisa bangun gak?" Eza mendongak! Dirwan mengulurkan tangannya. Namun Eza berusaha berdiri sendiri. "Bisa." Dirwan mengangkat motornya. Kemudian mereka berdua berboncengan. Motor melaju cepat takut ke magriban. Selang beberapa waktu motor sudah sampai di halaman bah Bani. Dirwan memarkirkan motornya, sementara Eza langsung masuk ke teras rumah dan mengucap salam sebelum membuka pintu.
Dirwan yang dari tadi merasa geram, kesal. Hatinya dilanda cemburu, ingin rasanya segera keluar dari acara ini untuk membahas kalau dia tidak suka kalau Eza tebar senyuman sana sini.Eza dan teman-temannya! meninggalkan Dirwan dengan alasan ingin menemui mempelai untuk berpamitan. Sementara Dirwan sendiri, masih duduk di sana."Sinta ... aku pamit dulu ya? semoga kalian bahagia! semoga samawa ya?" ucap Eza memeluk Sinta lama ... dan tak di sadarinya meneteskan air mata, merasa haru dengan melihat sahabatnya di pelaminan."Iya. Neng, semoga kamu juga cepat nyusul ya? aku doakan deh semoga kamu cepat nyusul, menikah dengan pria yang seperti yang kamu inginkan." Sinta menggenggam tangan Eza."InsyaAllah doain saja," sahut Eza sambil senyum tipis."Eh. Sinta! tau gak? kalau Eza itu sudah punya calon, malah orang nya ada di sana," ucap seorang teman Eza."Oya? yang bener! siapa dia dan kenapa gak dikenalkan sama kita?" Sinta celingukan."G
Wanita itu menatap kagum pada Dirwan yang tampan rupawan itu. Dia menghampiri, "Apa kabar sayang?""Ngapain di sini?" suara Dirwan sangat pelan, tidak ingin di dengar orang."Oh ... kebetulan saja lewat jalan sini. Melihat kamu masuk, jadi saya mampir juga," sahut wanita yang berusia kira-kira 37 tahun itu."Sebaiknya kau pergi saja dari sini? kita sudah tidak ada hubungan lagi. Jadi pergilah." Dirwan menatap tidak suka."Kau mau menikah ya? tidak apa, sekalipun kamu sudah punya istri cinta saya tidak akan berubah," sambungnya.Dirwan dibuat kesal ia mengeratkan giginya seraya berkata. "Kita cuma masa lalu, persetan dengan cinta mu itu. Yang jelas saya tidak pernah mencintai mu, satu lagi. Jangan ganggu kehidupan saya lagi, faham?""Wanita itu! malah menyeringai. Jangan khawatir sayang, aku tidak akan menceritakan tentang kita sama calon istri mu, itu," sambil melirik Eza yang sedang mencoba baju pengantinnya."Bagus." Dirwan mengangg
Mendengar suara yang mengganggu telinga, brak! brak! brak! Langsung Dirwan menghampiri ke sumber suara."Mamah?" panggil Dirwan ketika mendapati ibunya sudah bersimpuh di lantai dengan kursi roda terguling."Dirwan, tolong Mama," lirih bu Hawa.Dirwan bertiriak, "Bibi? Bibi!" sambil mengangkat ibunya untuk duduk di kursi roda. " Mama mau ke mana? kenapa gak diam saja di kamar. lagian mana Bibi?""Bibi pulang dulu, Mama bosan di kamar terus Wan ..." lirihnya."Emang Mama mau ke mana? ke teras? mana yang sakit?""Ini siku saja," bu Haea menunjukkan siku yang terasa panas."Sebentar." Dirwan berlari mencari salep buat mengobati luka ibunya.Detik kemudian Dirwan kembali membawa obat yang dia cari, langsung mengoleskan pada luka sang bunda."Lain kali hati-hati Mah ... jangan terburu-buru. Pelan-pelan saja, kalau di rumah tidak ada siapa-siapa gimana coba," menghela napas dengan berat.Dirwan mendorong ibunya ke teras
Eza termangu. Bingung dan tidak mengerti harus bagaimana, ia sendiri belum memahami karakter dari calon suaminya itu.Dirwan pergi membawa motornya meninggalkan tempat tinggal Eza. Sementara Eza membalikan badan memilih masuk ke dalam rumah.Belum juga menutup pintu, motor Dirwan balik arah dangan sekejap sudah nongkrong kembali di pekarangan. Eza mematung melihat langkah Dirwan di teras dan duduk di sana dengan muka yang di tekuk.Eza membuka pintu lebar-lebar, berjalan mendekati Dirwan dan duduk di sebelahnya. Dirwan hanya melirik tanpa berkata apa pun.Eza pun hanya diam dan memandang ke depan. Sambil menautkan jemarinya satu sama lain, dalam hati berkecamuk, kata-kata yang sulit di ucapkan.Lama-lama ... akhirnya Dirwan ngomong juga. "Terus kita mau gimana? besok Akang mau berangkat ke Jakarta, jadi gak ada waktu lagi kita belanja," suara Dirwan lirih.Eza melirik, kemudian menunduk lagi. "Ya ... sudah, kalau begitu maunya Akang, pergi s
Bu Marni dan Eza saling pandang. "Wa'alaikum salam.'' jawab keduanya."Biar Umi aja yang buka pintu." Bu Marni ngoloyor menghampiri pintu depan.Eza hanya menatap punggung dari ibunya.Blak!pintu di buka bu Marna, setelah berada di depan pintu. "Oh ... Juragan Jaka?" bu Marni merasa heran akan kedatangan tamunya itu."Ah ... saya mau silaturahmi aja ke sini," jawab pria yang usianya sekitar 50 tahun itu. Namanya Juragan Jaka duda yang baru di tinggal istrinya meninggal."Tapi ... suami saya masih di kebun Juragan," sambung bu Marni."Oh, tidak apa Bu, saya mau bertemu Neng Eza, dia nya ada?" sambil celingukan melihat-lihat ke dalam.Bu Marni tambah heran, ada urusan apa sama putrinya. Sambil melihat ke dalam. "A-ada, ada. Sebentar saya panggilkan."Kemudian meninggalkan tamunya berdiri di teras, bu Marni berjalan ke kamarnya Eza."Neng," panggil bu Marni mengahampiri Eza yang sedang menyisir rambut panjangnya.