Eza, adalah panggilan dari nama Seroja. Semua orang memanggil namanya Neng Eza, termasuk semua teman-teman nya."Za kapan kau akan menyusul Sinta untuk menikah," tanya seorang teman yang beranama Resti."Huuh ... kau pikir nikah itu ajang perlombaan apa,?" kalau belum menemukan yang cocok ya santai aja. Jodoh. Rezeki, maut sudah ada yang tentukan, dan nama jodoh kita sudah tertulis di sana nya," sahut gadis berjilbab kream itu."Iya sih, tapi kan kamu itu di gilai sama banyak laki-laki. Masa gak ada satu pun yang kau pilih,? sayang loh ... ganteng-ganteng, kasep pisan lah, neangan nu kumaha dai ari Neng Eza atuh nya,?" timpal teman yang satunya."Bukan cuma ganteng atau pun kasep. Tapi seseorang yang aku mau, jelas? udah ah, dah sore Eza pulang dulu ya. Takut dicari umi sama Abah kasian,"Eza pulang meninggalkan teman-temannya."Hem ... si Eza teh cantik. Bunga desa, banyak
"Nggak tahu ah abah. Neng juga bingung," Eza menempelkan dagunya ke bahu kursi."Begini saja, sekarang mah keputusan ada di Abah, sebab Eza masih tanggung jawab Abah. Abah memilih siapa pun yang akan jadi calon buat Neng. Neng Eza harus terima, dan ini sudah menjadi keputusan Abah.""Tapi Bah ... " Eza cemberut. "Kenapa sih harus cepat nikah? Eza gak macam-macam, gak pernah keluyuran malam, paling ke pengajian, ke kebun bantuin Abah dan Umi. Paling ketemu teman-teman! itu pun gak pernah neko-neko, apa ada perilaku Eza yang kurang pantas di mata masyarakat?" ungkap Eza seolah tida memberi zeda dalam berbicara nya kali ini."Tidak, tidak seperti itu Neng," elak Umi Marni."Neng sudah dewasa. Sudah sepantas nya punya tanggung jawab sendiri, itu saja."Obrolan pun berakhir, Eza masuk kamar dengan perasaan yang sedikit dongkol. Smentara orang tuanya makan malam bersama adik-adiknya.
Biarpun berbisik. Namun terdengar jelas membuat Eza tertunduk malu."Baiklah Neng, nanti saya datang lagi. Bilang saja sama abah, kalau juragan Anwar dan puteranya datang kemari. Dan InsyaAllah malam nanti akan datang lagi dengan rombongan, kami pamit dulu ya Neng," ujar juragan Anwar sambil berdiri, di ikuti oleh putranya itu.Setelah mengucap salam. Keduanya hendak berjabat tangan namun lagi-lagi Eza balas dengan menangkupkan kedua tangan dan senyuman.Kini Eza bernapas lega akhirnya kedua tamu itu pergi juga "Huuh ... akhirnya pergi juga mereka mau apa jam segini bertamu ke sini segala. Tak tahu apa orang lagi mencari sesuap nasi, eh kok sesuap nasi sih. Dikit dong? terus apa dong yang pantas di ucapkan." Eza melihat langit seakan berpikir."Oiya, sedang mencari sebongkah berlian. Iya berlian, kan mahal jadi tidak cuma sesuap nasi saja yang akan di dapat." Eza bicara sendiri serta mengulas senyumn
Bah Bani dan istri berdiri menyambut kedatangan tamunya yang ada sepuluh orang, laki-laki dan perempuan, semuanya berwajah sumringah penuh kebahagiaan.Begitupun sang em punya rumah begitu ramah dan rona bahagia terpancar jelas dari wajahnya. Semua tamu di giring ke dalam rumah yang vukup sederhana itu."Assalamu'alaikum. Bah Bani apa kabar?" sapa juragan Anwar dengan ramahnya."Wa'alaikum salam ... warahmatullahi wabarokatuh! Alhamdulillah dalam keadaan baik. Sehat, gimana sebaliknya?""Alhamdulillah juga, seperti yang dilihat. Makanya bisa bersilaturahmi ke sini pada saat yang mungkin mengganggu istirahat kalian," ujar juragan Anwar."Ah. Tidak mengganggu justru saya merasa sangat bahagia, kedatangan tamu agung dari kampung sebrang. Ayok silahkan masuk, maaf rumahnya sempit. Maklum begini adanya," ucap bah Bani sangat merendah, dan mempersilahkan tamunya untuk duduk.&nb
"Abah ini aneh, di sisi lain memberi kebebasan. Tapi dia sendiri sudah menerima, gimana sih?" batin Eza dengan hati tak karuan. Semua mata memandangi dirinya. Seakan penasaran akan jawaban yang akan terucap dari bibir Eza, dalam hitungan detik Eza menatap semua orang yang berada di sana. Kemudian menunduk kembali, dengan hati yang dag deg degan. "Gimana Neng! di terima atau nggak? jangan bikin kami penasaran," ujar juragan Anwar. Ia sudah tidak sabar akan jawaban Eza. Akhirnya Eza mengangkat kepalanya. "Em ... Eza terserah Abah saja," melirik kepada orang tuanya kemudian menunduk kembali Seakan ingin menyembunyikan wajah cantiknya. Bah Bani menatap putrinya. "Beneran Eza menyerahkan keputusan sama Abah?" Eza mengangguk pelan. Ia pasrah bila harus menikahi anak juragan Anwar. Ia tolak pun percuma kalau Abahnya menerima. Berarti mau tidak mau ya harus mau. "Ya sudah dengan bismillah, aku ikhlas bila itu jodoh ku," batin Eza. "Kalau begitu ..." bah Bani menghela napas panjang sebelu
"Akang apa-apaan sih? sambil mundur beberapa langkah, memegangi tangan yang tadi di sentuh Dirwan. "Maaf Neng, akang hanya ingin ditemani Neng saja," lagi- lagi Dirwan mengulang kata-katanya. Sikap Dirwan menjadi kikuk. Eza menjatuhkan tubuhnya di kursi yang tadi. Dengan hati masih kesal Eza berusaha bersika ramah. "Akang belum makan? apa mau makan bersama mereka atau mau di sini? Eza ambilkan." "Em ... boleh ambilkan saja. Akang malas ke sana, ramai," tambah Dirwan hatinya senang sepertinya Eza calon istri yang akan patuh dan akan selalu melayaninya. "Baik lah Eza ambilkan dulu. Permisi?" Eza berdiri membawa langkahnya menuju dapur. Kepala Dirwan memutar seiring kepergian Eza ke belakang. Senyumnya mengembang, terpesona pada sosok Eza yang cantik, ramah, baik. Badannya juga tinggi semampai, Dirwan berkali-kali menelan saliva nya. Melihat tubuh Eza dari belakang. "Neng ayok makan?" suara Uminya setelah melihat putrinya, Eza. "Mana nak Dirwan?" tanya bah Bani melirik Eza. "Ada,
"Tidak apa Neng. Akang tunggu saja abah pulang," sahut Dirwan. "Oh, ya udah! mau minum apa teh hangat apa dingin?" menawarkan minuman pada Dirwan. "Apa saja boleh! asal Neng yang buatkan, Akang mah mau," jawab Derwan kembali. "Bisa saja." Eza berlalu ke belakang mengambil minum. Dirwan menatap Eza dari belakang sampai tak berkedip. Kemudian melihat-lihat tempat sekitar. Eza menuangkan air ke dalam gelas. "Ikut gak ya! seandainya di ijinkan? aku malu juga," gumamnya Eza, Lalu kembali membawa segelas minuman dingin buat Dirwan. "Silakan Kang diminum." Eza menyodorkannya pada Dirwan yang sepertinya sedang bengong. "Oh, iya Neng terima kasih?" sambil mengangguk. "Eza tinggal dulu ya Kang? mau membereskan kerjaan!" ucap Eza yang ingin membiarkan Dirwan duduk sendiri. "Oh, boleh. Akang tidak apa-apa kok! bereskan aja dulu," lagi-lagi mengangguk. Setelah itu Eza beranjak meninggalkan Dirwan sendirian. T
Eza mendadak panas dingin, tangannya bertaut satu sama lain dan mengeluarkan keringat. Dirwan menatap lekat kearah Eza. "Wan ... bisa antar Mama ke depan? Mama bosan di dalam terus." "Oh, Iya Mah." Dirwan menoleh lanjut mendorong kursi roda sang bunda. Eza menatap Kondisi bu Hawa yang menyedihkan. perlahan Eza berdiri mengikuti langkah Dirwan yang mendorong Mamanya. "Kang, Mama mau ke mana? tanya seorang gadis yang masih mengenakan seragam sekolah menengah keatas itu. "Mau ke depan cari angin," sahut Dirwan sambil terus mendorong ibunya. Eza mengangguk dan mengulas senyuman pada gadis itu. Namun ekspresinya datar begitu saja. "Oh, aku kira mau cari masalah!" Langkah Dirwan terhenti. Menoleh adiknya. "Maksud kamu apa Rheka? dia wanita yang mengandung dan melahirkan mu, ingat itu. Seharusnya kamu mengurus dia, mendampinginya," ujar Dirwan begitu tajam. Membuat Eza kaget mendengarnya. Dia pun tidak mengerti apa mak