Sudah seminggu Eza berada di rumahnya bu Hawa. Mau pindah ke rumah sebelah tapi ... Eza mau di rumah bu Hawa saja biar bisa menemani bu Hawa.“Ma ... Eza mau ke tempat umi dulu ya, Eza kangen sama umi dan abah.” Eza duduk di dekat bu Hawa.“Boleh ... tapi Neng sudah minta ijin sama suami belum?” ucap bu Hawa dengan lirih.“Belum, Ma. Kemarin sih sudah bilang ... tapi tidak bilang kapan-kapannya.” Sambung Eza sambil mengambil minum buat mama mertuanya itu.“Sebaiknya Eza bilang dulu sama akang, biar dia gak khawatir dan istri itu ... kalau keluar rumah harus ada ijin suami, gak boleh pergi tanpa ijin darinya.” Kata bu Hawa sembari tersenyum dan mengusap tangannya Eza.“Iya. Ma ... nanti Eza minta ijin sama akang,” Eza mengangguk pelan. Lalu dia mengambil ponsel dari dalam sakunya dan dengan pelan mengetik sebuah chat yang akan dia kirimkan pada kontaknya Dirwan yang kini belum pulang dari Jakarta.“Akang, aku mau minta ijin ya ... mau ke tempat umi, Eza kangen sama mereka semua.” Kirim
Sekitar pukul empat sore, Eza sudah tampak segar dan keluar dari kamar mandi dengan memakai jubah handuk putih serta bergelung handuk menutup rambut yang basah. Kedua menik matanya mendapati Dirwan yang masih tampak lelap di atas tempat tidur berselimut tebal yang hanya menutupi sampai perutnya saja, sehingga dadanya mengekspos yang sedikit berbulu.Eza mendekat dan duduk di tepi tempat tidur, tepat menghadap ke arah Dirwan. "Aang bangun? udah jam 04.00 katanya mau mengantar aku ke tempat umi."Namun Dirwan yang tampak sangat capek, tetap bergeming Tak bergerak sedikit pun malah terdengar suara dengkuran yang halus."Ih ... katanya mau nganterin aku, tapi malah tidur! Akang. Bangun ..." suara Eza kembali sedikit agak keras.Terlihat pergerakan dari tubuh Dirwan sambil memicingkan matanya sebelah melihat ke arah sang istri. "Apa sih Neng ... Akang ngantuk banget, nggak kuat nih!""Bangun, mandi sana? terus salat ashar, katanya mau nganterin aku ke tempat Umi, nanti di sana tidur lagi,"
Begitu tiba di rumah kedua orang tuanya, Eza di sambut dengan bahagia oleh umi dan abah. Eza pun memeluk umi dengan sangat erat. “Umi ... Eza kangen sekali sama Umi.”“Umi juga kangen sama, Neng. Umi mau ke sana tapi belum ada waktu dan tadinya mau ke sana itu lusa. Sama abah.” Balas uminya sambil membalas pelukan neng Eza.“Tapi Neng sudah rindu sama umi ... jadinya Neng ke sini sekarang.” kata neng Eza sambil memudarkan pelukannya dan menyalami Abah nya yang memandangi dengan penuh haru pada Eza yang setelah menikah dengan Dirwan, baru ketemu sekarang.“Abah. Sehat ... aku kangen sama Abah, gak bisa bikinkan kopi lagi buat Abah.” Eza memeluk abah 0enuh rasa rindu.“Abah juga sama Neng ... kangen, tapi ... sekarang Neng itu sudah punya kewajiban yaitu pada suami. Dan mana suami mu sekarang? kenapa tidak ikut, seharusnya dia mengantar mu ke sini.” kata abah sambil melihat ke arah jalan tetapi tidak ada sosok Dirwan.“Dia baru datang dari Jakarta Abah ... capek katanya. Jadi Neng ke si
"Sebaiknya Dirwan istirahat saja di kamar. Biarpun kamarnya kecil ... lumayanlah buat istirahat." Kata Abah sambil menuding ke arah kamar Eza.Penglihatan Dirwan mengikuti tudingan Abah pada kamar Eza dengan bibir tersenyum senang. "Iya, Bah. Aku masuk dulu. Umi," ucap Dirwan sambil berdiri lalu berjalan mendatangi peraduan istri nya.Detik kemudian, Dirwan sudah berdiri di depan pintu setelah menutupnya dengan rapat, dan mendapati istrinya yang sudah berganti baju dengan dasteran. Berbaring memunggungi arah pintu. Bibir Dirwan menyungging lalu mendekat.Eza yang baru saja mau tidur, mendengar pergerakan dari arah belakang membuat ia membuka mata lantas menoleh ke belakang terkejut melihat Dirwan berada di kamarnya. Bukannya tadi sudah dia suruh pulang saja. Lagian kamar ini juga kecil."Ngapain Akang di sini? kan tadi sudah Neng suruh pulang, biarkan Neng menginap di sini sendiri." Eza bangun mendudukan dirinya.Dirwan menarik kedua sudut bibirnya duduk di tepi tempat tidur. "Akang j
Sesudah beberapa bulan, berumah tangga dengan Dirwan. Eza berusaha untuk menjadi istri yang baik sekalipun dia belum mencintai sepenuhnya. Dan memang mencintai itu butuh waktu, beda bila cinta itu datang dengan tiba-tiba.Suatu hari. Dia mendapati chat whatsapp yang menyakitkan hati, di mana kata-kata yang menguliti keburukan Dirwan di masa lalu bersama seorang wanita yang notabenenya sudah bersuami.Dan itu bukan masa lalu saja, karena dia mengatakan kalau baru-baru ini mereka bertemu dan melakukan layaknya hubungan yang sudah sah. Wanita itu pun mengakui kalau dia sangat mencintai Dirwan dan tidak mau kehilangan. Bahkan foto nya pun yang sedang tidur berdua di kirimkannya. Membuat mata Eza terbelalak dengan sangat sempurna.Tentunya membuat Eza murka sama Dirwan, se'marah-marahnya biarpun dia nggak cinta sama Dirwan! tetap saja dia nggak suka kalau suaminya berbuat sesuatu yang aneh-aneh di luar."Neng Akang akui itu, tapi itu cuman masa Lalu! setelah kita menikah Akang nggak pernah
Eza, adalah panggilan dari nama Seroja. Semua orang memanggil namanya Neng Eza, termasuk semua teman-teman nya."Za kapan kau akan menyusul Sinta untuk menikah," tanya seorang teman yang beranama Resti."Huuh ... kau pikir nikah itu ajang perlombaan apa,?" kalau belum menemukan yang cocok ya santai aja. Jodoh. Rezeki, maut sudah ada yang tentukan, dan nama jodoh kita sudah tertulis di sana nya," sahut gadis berjilbab kream itu."Iya sih, tapi kan kamu itu di gilai sama banyak laki-laki. Masa gak ada satu pun yang kau pilih,? sayang loh ... ganteng-ganteng, kasep pisan lah, neangan nu kumaha dai ari Neng Eza atuh nya,?" timpal teman yang satunya."Bukan cuma ganteng atau pun kasep. Tapi seseorang yang aku mau, jelas? udah ah, dah sore Eza pulang dulu ya. Takut dicari umi sama Abah kasian,"Eza pulang meninggalkan teman-temannya."Hem ... si Eza teh cantik. Bunga desa, banyak
"Nggak tahu ah abah. Neng juga bingung," Eza menempelkan dagunya ke bahu kursi."Begini saja, sekarang mah keputusan ada di Abah, sebab Eza masih tanggung jawab Abah. Abah memilih siapa pun yang akan jadi calon buat Neng. Neng Eza harus terima, dan ini sudah menjadi keputusan Abah.""Tapi Bah ... " Eza cemberut. "Kenapa sih harus cepat nikah? Eza gak macam-macam, gak pernah keluyuran malam, paling ke pengajian, ke kebun bantuin Abah dan Umi. Paling ketemu teman-teman! itu pun gak pernah neko-neko, apa ada perilaku Eza yang kurang pantas di mata masyarakat?" ungkap Eza seolah tida memberi zeda dalam berbicara nya kali ini."Tidak, tidak seperti itu Neng," elak Umi Marni."Neng sudah dewasa. Sudah sepantas nya punya tanggung jawab sendiri, itu saja."Obrolan pun berakhir, Eza masuk kamar dengan perasaan yang sedikit dongkol. Smentara orang tuanya makan malam bersama adik-adiknya.
Biarpun berbisik. Namun terdengar jelas membuat Eza tertunduk malu."Baiklah Neng, nanti saya datang lagi. Bilang saja sama abah, kalau juragan Anwar dan puteranya datang kemari. Dan InsyaAllah malam nanti akan datang lagi dengan rombongan, kami pamit dulu ya Neng," ujar juragan Anwar sambil berdiri, di ikuti oleh putranya itu.Setelah mengucap salam. Keduanya hendak berjabat tangan namun lagi-lagi Eza balas dengan menangkupkan kedua tangan dan senyuman.Kini Eza bernapas lega akhirnya kedua tamu itu pergi juga "Huuh ... akhirnya pergi juga mereka mau apa jam segini bertamu ke sini segala. Tak tahu apa orang lagi mencari sesuap nasi, eh kok sesuap nasi sih. Dikit dong? terus apa dong yang pantas di ucapkan." Eza melihat langit seakan berpikir."Oiya, sedang mencari sebongkah berlian. Iya berlian, kan mahal jadi tidak cuma sesuap nasi saja yang akan di dapat." Eza bicara sendiri serta mengulas senyumn