“Aku udah sembuh.”“Terus?”“Mana ciumnya?”Padma mencubit pipi Badai dengan keras hingga lelaki itu meringis, tapi tak berani bersuara lebih keras karena takut Asa yang tengah bermain dengan Ilana di bawah pengawasan Lita dan ibu Padma, memergoki ulah mereka.“Sembarangan. Aku kan nggak janji.”“Kamu nggak bales chat aku waktu itu.” Badai mengingatkan Padma pada pesannya untuk Padma yang tidak dibalas perempuan itu dua hari yang lalu. “Jadi kalau diam artinya iya.”“Itu kan kamu aja yang asal menetapkan standar,” kilah Padma dengan tenang seperti biasanya.Perempuan itu berdiri dan menggandeng Badai, menariknya ke arah pintu. “Udah sana, kerja. Nanti telat kalau kena macet.”“Iya, Bu Bos.”“Biaya pendidikan anak mahal.”“Iya, makanya aku rajin kerja.” Badai mengangguk setuju pada kata-kata Padma. “Tapi cium dulu.”“Dasar mesum,” gerutu Padma yang tiba-tiba menarik Badai ke sebuah ruangan yang pintunya kebetulan terbuka.Badai terkejut, tapi ia langsung menyeringai jahil ketika Padma
“Pak Badai, ada tamu untuk Bapak. Namanya Pak Kresna.”“Kresna?”“Beliau bilang, beliau….” Tia, sekretaris Badai, menatap Badai dengan segan. “Beliau mantan adik ipar, Bapak.”Kresna?“Suruh dia masuk kalau begitu dan jangan lupa tanyakan dia mau minum apa.”Tia mengiakan dan segera undur dari ruangan Badai. Tak menunggu lama, pintu tersebut kembali terbuka dan sosok Kresna yang mengenakan setelan formalnya masuk ke ruangan tersebut.“Apa kabar, Kresna?” sapa Badai sambil beranjak dari mejanya.Kresna mengangguk sopan dan membalasnya sambil tersenyum. “Baik, Mas. Mas sendiri?”“Baik.”Badai mempersilakan Kresna duduk di sofa ruang kerjanya. Terdengar ketukan di pintu ruangan tersebut dan Tia menaruh dua gelas minuman untuk Badai dan Kresna.Ketika mereka kembali berdua di ruangan tersebut, Kresna berdeham dan menatap Badai dengan sungkan.“Sebenernya aku ke sini mau minta izin sama Mas Badai.”Meskipun bisa menebak apa yang diinginkan Kresna, tapi Badai tetap bertanya, “Izin apa?”“Ak
“Kamu mau masuk vlog aku nggak? Akhir-akhir ini ibu muda langsung banyak fansnya lho.”“Ibu muda kayak kamu?”“Iya dong,” sahut Shua dengan bangga. “Aku kan imunisasi yang siap mencari ayam bakar buat Janar.”“Hah? Apaan sih itu?” Padma yang tengah menggendong Ilana seraya mengawasi Janar dan Asa yang tengah bermain di ruang tengahnya, menatap Shua dengan heran.Shua mengerling centil. “Ibu muda manis dan seksi yang siap mencari ayah muda badan kekar buat Janar.”Padma tidak sanggup mengontrol tawanya mendengar lelucon Shua yang entah didapatnya dari mana. Untunglah Ilana sedang tidak menyusu, bisa tersedak anaknya karena tubuh Padma yang berguncang akibat tawanya.
“Hai, Hon.”“Hai.”Tanpa menaruh barang bawaannya atau memperhatikan sekitarnya, Badai langsung beranjak mendekati Padma dan menarik pinggang Padma untuk ia peluk dengan erat.Beruntung tadi Asa dan Lita keluar lebih dahulu dari mobil dan sudah masuk ke rumah, disambut oleh mertua Padma dan keluarganya yang juga tengah berkunjung ke rumah tersebut.“Dasar nggak sabaran.” Padma memukul lengan Badai dengan pelan sebelum kemudian balas memeluk lelaki itu. “Kan bawaan kamu bisa ditaruh dulu.”“Kangen.” Badai menghirup aroma rambut Padma dan merasa lega saat merasakan aroma yang f
Kata-kata Padma di pagi hari itu masih terngiang di telinga Badai bahkan sampai hari ini. Lelaki itu semalam akhirnya bisa tidur tenang dan tidak bermimpi buruk, bahkan setelah pagi harinya membicarakan Anastasya.Biasanya, jika di hari itu Badai atau orang lain membicarakan Anastasya dengannya, maka di malam harinya Badai akan bermimpi buruk.“Pa….”Panggilan itu membuat Badai menoleh, mendapati Asa berbaring menyamping di ranjangnya dan sudah rapi serta wangi.Sejak beberapa bulan lalu, Asa memang tidur sendiri di kamarnya. Anaknya itu seperti ingin menunjukkan kalau ia bisa tidur sendiri dan tidak takut—dan Badai menghargainya.Jadilah kadang
“Gimana Ilana? Nggak rewel?”Padma menggeleng. “Nggak kok, anteng banget dari pagi tadi. Kayaknya dia tahu deh ini rumah papanya dulu.”Daiva tersenyum ketika melihat bagaimana keponakan yang tengah digendong kakak iparnya tersebut, mengerjapkan matanya dengan lucu saat bertatapan dengannya.“Ilanaaa. Mau digendong sama Onty nggak?”“Mau, Onty,” jawab Padma yang pura-pura meniru suara anak kecil. Ia tertawa dan dengan hati-hati menyerahkan Ilana ke gendongan Daiva.Untunglah Ilana tidak rewel kalau digendong oleh orang lain yang bukan Padma. Anak itu seakan menikmati semua perhatian orang lain yang dicurahkan kepadanya.“Kamu nggak pergi ha
“Ngapain kamu di sini?”“Numpang makan malam,” jawab Yogas sambil terus menyusun puzzle milik Asa yang memang diletakkan di ruang tengah, membuat lelaki itu bebas mengambilnya bahkan ketika Badai dan Asa belum tiba di rumah.“Kasihan dia, masih dipaksa nikah dari zaman kamu masih lajang sampai Asa udah segede gini,” imbuh Ipang seraya menaruh buku yang tadi ia baca ke atas meja. “Oh ya, tadi ART-mu tanya kita mau makan apa, jadi kita jawab aja hari ini mau makan seafood.”Badai berdecak seraya beranjak duduk di single sofa selagi Asa ikut duduk di karpet bermain dan bermain puzzledengan Yogas.“Baru kali ini tamu yang nentuin menu makan malam dan tuan rumahnya cuma dikasih tahu aja.&rdq
“Kamu suka Papa Badai nggak, Ilana?”Padma tahu Ilana tak akan bisa menjawab pertanyaannya—tapi tetap ia lakukan karena ia tak tahu apa yang bisa ia lakukan saat ini.“Cieee, Papa Badai!”“Shua!!!”Shua tertawa senang melihat bagaimana Padma merona malu karenanya. Pagi ini mereka tengah belanja bahan untuk membuat sapo tahu kesukaan Badai. Shua bisa menemaninya karena ingin curhat sebelum siang nanti bekerja sekaligus menemani si mama muda anak baru satu itu belanja.Janar sendiri tengah berada di rumah orangtuanya. Orangtua Shua akhir-akhir ini jadi suka mengambil cuti untuk bermain bersama sang cucu, sejak Shua kembali ke rumah mereka.“Kamu kan ngomong sendiri, bukan salahku dong kalau
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec