“Ngapain kamu di sini?”
“Numpang makan malam,” jawab Yogas sambil terus menyusun puzzle milik Asa yang memang diletakkan di ruang tengah, membuat lelaki itu bebas mengambilnya bahkan ketika Badai dan Asa belum tiba di rumah.
“Kasihan dia, masih dipaksa nikah dari zaman kamu masih lajang sampai Asa udah segede gini,” imbuh Ipang seraya menaruh buku yang tadi ia baca ke atas meja. “Oh ya, tadi ART-mu tanya kita mau makan apa, jadi kita jawab aja hari ini mau makan seafood.”
Badai berdecak seraya beranjak duduk di single sofa selagi Asa ikut duduk di karpet bermain dan bermain puzzledengan Yogas.
“Baru kali ini tamu yang nentuin menu makan malam dan tuan rumahnya cuma dikasih tahu aja.&rdq
“Kamu suka Papa Badai nggak, Ilana?”Padma tahu Ilana tak akan bisa menjawab pertanyaannya—tapi tetap ia lakukan karena ia tak tahu apa yang bisa ia lakukan saat ini.“Cieee, Papa Badai!”“Shua!!!”Shua tertawa senang melihat bagaimana Padma merona malu karenanya. Pagi ini mereka tengah belanja bahan untuk membuat sapo tahu kesukaan Badai. Shua bisa menemaninya karena ingin curhat sebelum siang nanti bekerja sekaligus menemani si mama muda anak baru satu itu belanja.Janar sendiri tengah berada di rumah orangtuanya. Orangtua Shua akhir-akhir ini jadi suka mengambil cuti untuk bermain bersama sang cucu, sejak Shua kembali ke rumah mereka.“Kamu kan ngomong sendiri, bukan salahku dong kalau
“Kamu tuh pas ABG nggak pernah pacaran apa gimana sih?” bisik Padma dengan berhati-hati agar tidak terlalu terdengar oleh Asa.Badai balas berbisik, “Kenapa? Aku norak ya?”“Banget!”Meskipun diledek begitu, Badai tentu saja tidak keberatan atau merasa terhina. Malah ia langsung nyengir semakin lebar dan membuat Asa yang melihatnya, tertawa karena ayahnya terlihat lucu.Padma menggeleng pelan lalu menaruh piring berisi makanan yang sudah ia ambilkan untuk Badai.“Makan, nyengir nggak bikin kenyang.”Asa mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan Padma dan ikut mengambil sendoknya. Sesekali Padma menoleh ke Asa yang duduk di sebelahnya untuk memban
“Kan kamu udah pacaran sama Padma. Gimana kalau kita dikasih free minuman di The Clouds selama setahun penuh?”“Nggak sekalian minta surat tanah?” tanya Badai balik dengan sinis.Ksatria, Ipang, Yogas, Kalu, dan Nara langsung tertawa terbahak-bahak. Asa yang baru keluar dari ruang kerja di rumah Badai untuk mengambil salah satu mainannya yang ia simpan di sana, mengerjapkan mata dengan cepat dan akhirnya memutuskan untuk ikut tertawa.Ia tak tahu kalau yang kelima omnya tertawakan adalah ayahnya sendiri.“Boleh emangnya?” tanya Yogas dengan tak tahu diri.“Kalian kalau dikasih minum gratis langsung nggak tahu diri. Gratis minuman setahun sama aja kayak ngasih surat tanah,” gerutu Badai sambil merapikan mainan anaknya
Badai menatap Asa lewat pantulan cermin di hadapannya. Kedua tangannya memegang dua kaos yang berbeda. Merasa putus asa, lelaki yang sudah lebih dulu memakai jeans-nya tapi masih topless tersebut berbalik hingga berhadapan dengan sang anak.“Asa,” panggil Badai dengan pelan. “Papa mending pakai yang ini….” Badai mengangkat kaos berwarna abu-abu muda di tangan kanannya.“Atau ini?” Kali ini tangan kanannya turun dan digantikan dengan tangan kiri yang mengangkat sweatshirthitamnya.Asa tidak langsung menjawab pertanyaan Badai. Kalau ada orang lain di kamar itu, maka orang tersebut akan balik bertanya pada Badai, ‘Kenapa masalah baju bahkan harus ditanyakan pada Asa?’.Tapi sayang, di kam
Kehadiran Padma di rumah ini untuk Badai seperti sebuah oase di gurun pasir.Atau hujan di musim kemarau.Ia meneduhkan sesuatu yang selama ini kering dan sedikit demi sedikit menghapus jejak Anastasya yang kadang-kadang masih bisa dirasa oleh Badai.“Tadinya aku berniat jual rumah ini,” kata Badai saat mereka hanya duduk berdua di ruang tengah.Ilana dan Asa tengah tidur siang di kamar Asa. Badai sengaja menaruh kembali baby crib Asa di kamar anaknya supaya bisa digunakan oleh Ilana.Untung saja semua barang-barang yang digunakan Asa saat bayi dulu, masih disimpan dengan rapi dan semua masih terjaga kualitasnya.Di kamar itu pun ada Lita yang menjaga Asa dan Ilana. Hal tersebut cukup membantu keduanya untuk memiliki qua
Kejadian di ruang tengah tadi membuat Badai sudah mandi sore bahkan ketika Asa baru bangun.Asa keheranan karena ayahnya yang biasanya akan mandi setelah dirinya, kini sudah berganti pakaian dan lebih wangi dari sebelum ia tidur tadi. Tapi anak itu tidak mengucapkan kebingungannya dan memilih untuk mengekori ke mana pun Padma bergerak.Ketika Badai muncul di kamar Asa, Padma tak kuasa menahan tawanya. “Udah seger, B?”“Udah.” Badai menjawab singkat dan tahu kalau Padma tengah menggodanya. Ia ikut duduk di atas karpet bersama Asa yang tengah memisahkan mainan kesayangannya, yang akan ia berikan pada Ilana.“Kamu nggak mau mandi? Bawa baju ganti kan?” Kali ini Badai yang balik bertanya. “Aku bisa jagain anak-anak kok. Siapa tahu kamu kegerahan dan ngerasa lengk
“Hon, aku lupa mau cerita ini dari beberapa waktu yang lalu.”“Cerita apa?” Padma merapikan dasi Badai yang agak miring. Saat ini mereka tengah berada di ruang privat sebuah restoran keluarga bersama dengan Shua, Lita, Janar, Asa, dan Lita.Makan siang kali ini adalah hal yang tak direncanakan, terjadi spontan begitu saja. Karena Shua yang menggendong Ilana tengah asyik mengoceh dengan Janar dan Asa, Badai pikir saat ini adalah saat yang tepat untuk bicara dengan Padma.“Kresna dateng ke aku dan minta izin untuk ketemu sama Asa.”Gerakan tangan Padma terhenti. “Oh, ya?”Anggukan Badai menjadi jawaban valid atas keraguannya. “Udah agak lama sih, tapi aku baru inget untuk ngomongin hal ini sama kamu. Kemarin-kema
Padahal yang akan bertemu dengan Kresna adalah Asa, tapi sejak tadi yang tak bisa tenang adalah Badai.Padma melirik ke arah Badai yang sejak tadi kakinya tak berhenti bergerak. Meskipun mereka saat ini tengah duduk, tapi Padma sudah sejak tadi menghitung berapa kali Badai menjejakkan kakinya di atas lantai."Tanaka.”Untunglah Asa belum terbiasa dipanggil sebagai Asa Tanaka atau Angkasa Nirada Tanaka. Jadi ketika Padma memanggil ‘Tanaka’, hanya Badai yang menoleh padanya.“Ya?”“Kamu nggak mau sekalian lari di lapangan basket deket sini?”“Lari?” Lelaki
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec