Padahal yang akan bertemu dengan Kresna adalah Asa, tapi sejak tadi yang tak bisa tenang adalah Badai.
Padma melirik ke arah Badai yang sejak tadi kakinya tak berhenti bergerak. Meskipun mereka saat ini tengah duduk, tapi Padma sudah sejak tadi menghitung berapa kali Badai menjejakkan kakinya di atas lantai.
"Tanaka.”
Untunglah Asa belum terbiasa dipanggil sebagai Asa Tanaka atau Angkasa Nirada Tanaka. Jadi ketika Padma memanggil ‘Tanaka’, hanya Badai yang menoleh padanya.
“Ya?”
“Kamu nggak mau sekalian lari di lapangan basket deket sini?”
“Lari?” Lelaki
“Makasih ya, Mbak Padma, karena udah selalu ada buat Asa.”Kresna menatap Asa yang tengah berceloteh kepada Ilana di gendongan tantenya—ibu Padma. “Selama ini Asa nggak punya sosok ibu yang baik buat dia. Aku mengakui kalau Mbak Tasya nggak pernah memperlakukan Asa sebaik Mbak Padma.”Mereka sudah makan siang dan bahkan Asa kembali mengajak Kresna bermain kembali setelahnya. Asa juga memperkenalkan Ilana kepada Kresna dan dengan bangga menyebut dirinya sebagai ‘abangnya Ilana’.Saat ini, mereka tengah berkumpul di ruang tengah selagi menunggu makan malam yang tengah disiapkan. Badai sendiri terkejut menyadari kalau Asa benar-benar menyukai dan menikmati harinya dengan Kresna hari ini.“Makasih juga ya, Mas, udah izinin
Padma menatap undangan bergrafir logo Sadira Group tersebut. Dengan perlahan, ia membuka undangan itu dan membacanya dengan saksama.“Kamu yakin?”Badai tentu saja mengangguk. “Nggak mungkin aku nggak kenalin kamu ke keluargaku kan? Lambat laun kita juga pasti akan go public kok.”Waktu berjalan begitu cepat saat kita bersama orang yang kita sayangi hingga hidup rasanya sudah lengkap.Seperti itulah yang dirasakan Badai dan Padma.Sudah enam bulan sejak mereka resmi kembali berhubungan sebagai sepasang kekasih dan mereka sudah melakukan banyak hal—bertemu hampir setiap hari, kencan di akhir pekan (berempat atau berdua), hingga meributkan hal-hal kecil yang tidak penting.Semuanya terasa normal dan
“Kapan lagi kan aku, si Shua Tanaka, dateng ke sini buat anter baju dan makeup-in kamu? Langka! Kamu harus sangat berterima kasih sama aku yang akan menyulap kamu jadi perempuan paling cantik—setelah aku di sana.”“Aku udah cantik bahkan tanpa kamu makeup-in aku,” balas Padma dengan santai sekaligus menohok untuk Shua.Shua yang gondok karena meskipun terkesan sombong tapi apa yang diucapkan Padma memang kenyataan, akhirnya hanya memutar kedua bola matanya.“Kamu nggak mau berangkat bareng aku sama Badai aja?” tanya Padma usai Shua selesai merias kelopak matanya.“Dan jadi obat nyamuk?” Shua membalas dengan retorik. “No, thanks. Aku bawa sopir kok.”“Ah, I see. Janar
Badai keluar dari kamarnya setengah jam kemudian, dengan setelan jas dan rambut yang ditata agak rapi daripada biasanya.Tangan Padma jadi gatal ingin mengacak rambut Badai agar berantakan—seperti penampilannya sehari-hari. Namun, ia sadar kalau saat ini bukan saat yang tepat untuk itu.“Udah siap?”“Udah, yuk.” Padma bangkit dari sofa setelah mencium puncak kepala Asa dan mengusap pelan pipi Ilana yang tengah digendong Lita. “Shua udah berangkat duluan tadi.”“Ah, oke.” Badai beralih pada Asa dan mengangkatnya ke dalam gendongannya. “Papa sama Mama Padma berangkat dulu ya. Abang kalau nanti udah ngantuk langsung tidur ya. Jangan tungguin Papa sama Mama Padma.”&ld
“Bagaimana rasanya kehilangan suami, Padma?”Dari sekian banyak hal yang Padma pikir akan ditanyakan oleh omanya Badai, Padma tidak menyangka perempuan itu akan menanyakan soal kehilangan yang ia alami.“Nggak bisa dideskripsikan dengan kata-kata, Oma,” jawab Padma dengan jujur. Padma tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya ketika kehilangan Catra.“Apa kamu tersinggung dengan pertanyaan Oma?”Padma tersenyum seraya menggeleng. Keriuhan acara yang semakin memanas usai sambutan oleh para petinggi Sadira Group (termasuk Badai yang baru diangkat beberapa bulan lalu), tidak mengusik mereka sama sekali.“Nggak, Oma. Aku tahu, suatu hari nanti akan ada orang yang me
“Hai, Mantan.” Padma tersenyum santai sembari mengamati penampilan Galih dari atas hingga bawah dengan terang-terangan.Siapa pun yang dipandangi seperti itu pasti akan risih—termasuk Galih. Lelaki itu berdeham, berusaha menyadarkan Padma kalau apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang tidak sopan.Padma hanya menaikkan satu alisnya dan kembali mengambil sepiring puding custard kesukaan Yuanita yang sedari tadi menarik perhatiannya."Mana istrimu?” tanya Badai dengan malas pada Galih. Kalau bukan karena hubungan pekerjaan, ia malas sekali melihat batang hidung Galih saat ini.“Di rumah, lagi sakit.”“Oh, langgeng juga kamu sama Mbak Irina,” komentar Padma dengan enteng. &ldqu
Padma bangun dengan menghirup aroma Badai yang seperti tengah memeluknya dengan erat. Ia sempat tertidur selama satu jam setelah dini hari tadi Ilana terbangun dan kini jam dinding di kamar Badai masih menunjukkan pukul lima pagi.Ketukan di pintu yang sangat pelan tersebut membuat Padma mengerjapkan matanya. Perlahan, ia bangkit dari ranjang dan membuka pintu untuk kemudian berhadapan dengan Badai.“Hai,” sapa Badai dengan santai. Satu tangan Badai menyugar rambutnya dengan asal-asalan. “Sorry, kamu kebangun karena aku ya? Aku lupa ambil baju buat pagi ini.”“Nggak kok, aku emang udah bangun barusan.” Padma membuka pintu itu lebih lebar dan mempersilakan Badai untuk masuk.Setelah Badai melewatinya, Padma buru-buru mengusap wajahnya dan merapikan rambutnya.
“Kita mau ngapain lagi?”“Tidur.”“Dasar pemalas.” Gemas, Padma mencubit pipi Badai yang duduk di sebelahnya. Asa yang duduk di pangkuan Badai pun tertawa melihat bagaimana ayahnya dicubit main-main oleh Padma.“Main, Ma.” Asa menarik pelan ujung lengan baju yang dikenakan Padma.“Ke mana? Asa mau ke luar?”“Ndak, mau di beyakang, Ma.”“Di belakang?” Badai mengerutkan keningnya. “Di halaman belakang kita?”“Huum!” Asa mengangguk. “Kayak Om Asa.”“Om Arsa.” Padma tertawa mendengar bagaimana Asa malah memanggil Arsa dengan namanya sendiri. “Hm…piknik yang kayak waktu itu ya?”Padma menoleh pada Badai yang juga tengah menatapnya. Sepertinya akhir-akhir ini Asa sedang suka aktivitas di luar rumah dan piknik di halaman belakang bukan ide yang buruk.“Boleh, sore aja gimana? Biar nggak terlalu terik mataharinya,” usul Badai.Asa melonjak-lonjak kegirangan di pangkuan Badai hingga ayahnya itu meringis diam-diam tanpa sepengetahuan Asa.“Ya udah, sekarang Asa tidur siang dulu yuk sama Adek. M
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec