“Aca!”Asa mengerucutkan bibirnya mendengar panggilan dari Janardana Kalasta atau yang biasa dipanggil Janar, tapi ia tak mengoreksi panggilan sepupunya tersebut. Janar pun langsung menggandeng tangan Asa untuk segera mengikutinya ke ruang bermain yang ada di lantai satu.Sementara itu, Badai memilih menuju dapur dan mendapati Shua dengan suaminya, tengah duduk berhadapan di pantry sambil mengaduk teh yang masih mengepulkan uapnya.“Teh?” tawar Shua begitu Badai bergabung dengan mereka dan duduk di sebelah suaminya.Badai menggeleng. “Kopi?”“Ck. Kenapa nyarinya yang nggak ada sih?” gerutu Shua. Walau begitu, ia tetap bergerak membuatkan kopi selagi suaminya mengobrol dengan Badai.“Aku ke ruang bermain dulu deh, jagain anak-anak,” kata suami Shua begitu kopi Badai selesai dibuat. Lelaki itu menepuk bahu Badai beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar pergi.“Thanks.” Badai bergumam pada Shua seraya mengambil gelas yang disodorkan perempuan itu.Shua pun kembali duduk di tempatnya, b
“Badai mau ketemu kamu.”Jangankan menyahut, melirik Shua pun tidak.Tapi Padma tak akan berteman dengan orang yang langsung berkecil hati hanya karena ia mengabaikannya. Mili dan Shua punya satu persamaan, sama-sama tak ambil pusing kalau Padma mengabaikan mereka.Karena senjatanya hanya satu, teruslah bicara sampai Padma muak dan akhirnya menyahuti mereka.“Dia bilang dia mau minta maaf karena nggak datang di hari pemakaman Catra,” cerita Shua lagi sambil mengupas jeruk yang ia bawa.Tentu saja bukan untuk Padma, tapi untuk dirinya sendiri.Padma yang duduk bersandar pada bantalnya, melirik Shua dengan malas. Ia mulai berpikir, kenapa juga kemarin-kemarin ia setuju membiarkan Shua menjaganya?Begitu Shua datang pagi tadi, perempuan itu langsung menaruh buah yang ia beli di keranjang yang tersedia dan memakannya satu per satu. Sesekali Shua menawari Padma, tapi setelah dua kali ditolak, Shua memilih untuk menghabiskannya sendiri saja.Buang-buang tenaga aja nawarin orang yang nggak m
“Kirain kamu masih cuti.”“Pengennya sih cuti setahun.” Badai mengedikkan bahunya. “But life must go on. Asa juga udah dua hari ini selalu melotot setiap aku sarapan pakai baju santai.”Arsa yang hari itu datang ke Sadira Group sebagai perwakilan dari perusahaannya tersebut cukup kaget saat melihat Badai memasuki ruang meeting.Lelaki itu terlihat menerima beberapa ucapan duka dari peserta rapat yang hadir dan Arsa tahu, mungkin hampir semua orang yang bertemu dengannya melakukan hal yang sama.Setelah rapat selesai, Arsa mengajak Badai minum kopi di coffee shop yang ada di lobi gedung Sadira Group. Mereka memang belum sempat bertemu bahkan sejak kepergian Catra.“Gimana kabarnya Asa?” Arsa juga tahu mengenai Asa dari Shua, ketika ia, Mili, dan Shua bertemu di kamar rawat inap Padma. “Udah nggak sakit lagi kan sekarang?”“Udah nggak. Udah sembuh kok.”“Tapi masih belum mau ngomong?”Badai mengangguk. “Belum.”Arsa menghela napasnya. Keponakannya itu mengalami banyak hal yang tak menye
“Ke rumah Badai aja, Mil.”“Ke rumah Badai?”Mili yang tadinya tengah fokus mengemudi, menoleh pada Padma dengan terkejut. “Sekarang?”“Iya.” Padma mengangguk. “Pasti Asa ada di rumah kan? Nggak dibawa kerja sama Badai kan?”“Iya sih….” Mili hari ini memang menyempatkan diri bekerja setengah hari setelah jam makan siang nanti supaya pagi ini bisa menjemput Padma.Setelah mengantar Padma sampai rumah, baru nanti rencananya ia kembali ke kantor dan makan siang dengan suaminya, Arsa.“Ya udah, beneran ke rumah Badai nih?” tanya Mili sekali lagi.“Iya, bener.”Padma menatap ke luar jendela sambil menghela napasnya. “Aku kangen sama Asa, pengen ketemu dia dulu rasanya.”“Dia juga kangen sama kamu.”“Kondisinya separah itu, Mil?”“Iya….” Mili kembali menghela napasnya saat mengingat bagaimana Asa yang jadi tak mau bicara sama sekali pada siapa pun. “Padahal sebelumnya kan udah ada kemajuan ya, dia jadi mau mulai ngomong sama orang lain. Tapi apa yang Asa liat waktu itu kan emang nggak bisa
“Nah, ayo pamit sama Mama Padma. Ini udah waktunya Asa tidur.”Tapi bukannya melambaikan tangan untuk pamit pada Padma, Asa malah melepas genggaman tangannya dari Badai dan beranjak ke sisi Padma. Tangan mungilnya meraih tangan Padma dan ia langsung mendongak untuk bertukar tatap dengan perempuan itu.“Mau Mama bacain dongeng?” tanya Padma dengan lembut.Asa langsung berkali-kali mengangguk dan Padma beralih pada Badai. “Boleh aku temenin Asa sampai dia tidur?”“Boleh.” Badai mengangguk ragu. “Yuk, ke kamarnya.”Lelaki yang sudah berganti pakaian dengan pakaian yang lebih kasual tersebut menunjukkan jalan menuju kamar Asa. Di belakangnya, Padma sibuk mengajak Asa mengobrol tanpa merasa keberatan kalau Asa tak menjawabnya sama sekali.Setelah makan siang tadi Badai memang tak kembali ke kantornya dan memilih untuk bermain bersama Padma dan Asa.Sekalipun Asa tak bicara satu patah kata pun, tapi ia tersenyum dan tertawa saat bersama Padma—dan hal itu sudah cukup bagi Badai.Hidupnya beb
Padma tak pernah siap mendengarkan wasiat Catra.“Kapan Catra siapin ini semua?”Pengacara Catra yang bernama Lius tersebut mencoba mengingat kembali pertemuannya dengan Catra. Meskipun ia adalah pengacara keluarga Kamandaru, tapi belum lama ini ia berurusan dengan Catra secara pribadi.“Sekitar enam bulan yang lalu. Beliau bertemu saya di kantor.”Padma mengangguk pelan dan ibu mertuanya ikut menguatkan dengan cara mengusap bahunya dengan lembut. Di samping ibu mertuanya, ada dua adik ipar Catra yang usianya tak beda jauh dari Arsa—Daiva dan Khandra.“Silakan dimulai aja, Pak.” Padma memberi tahu Lius untuk segera membacakan surat wasiat mendiang suaminya.Hari ini adalah hari yang disepakati Padma dan pengacara Catra untuk membacakan surat wasiat yang ditinggalkan oleh suaminya. Untuk meminta dukungan, Padma meminta ditemani ibu mertuanya yang dituruti dengan senang hati.Lius pun mulai membacakan isi surat tersebut dan rasanya masih menyakitkan untuk Padma ketika kembali mengingat
Padma Hardjaja: Besok aku pulang ke Bali. Titip salam untuk Asa ya.Badai belum membalas pesan yang dikirim Padma sejak sore tadi padanya. Sampai saat ini ia dan Asa baru selesai makan malam, Badai masih menimbang-nimbang untuk menyampaikan pesan tersebut pada Asa.Meskipun Asa tak mengatakan apa pun, tapi Badai beberapa hari ini menemukan Asa duduk di ruang tengah seakan tengah menunggu seseorang. Ketika Badai bertanya apakah Padma yang ia tunggu, Asa menjawabnya dengan anggukan.Apa Asa akan baik-baik saja jika tahu kalau Padma akan kembali ke Bali?Tapi siapalah mereka yang berhak menghalangi Padma?“Asa,” panggil Badai saat mereka menaiki undakan anak tangga menuju kamar Asa di lantai dua. “Papa mau ngomong sesuatu sama Asa.”Asa mendongak dan menatap Badai dengan tatapan bertanya.“Asa inget kan kalau Mama Padma sebelum dateng ke sini, tinggalnya di Bali?” tanya Badai begitu kaki mereka menjejak di lantai dua. “Nah, besok, Mama Padma mau pulang ke Bali.”Badai memperhatikan reaks
“Aku baik-baik aja, Mil. Astaga, kamu nelepon aku dalam sehari udah berapa kali? Kayak pacar posesif aja.”“Aku kan emang pacar kamu.”“Stop it,” gerutu Padma yang membuat Mili tertawa di seberang sambungan telepon tersebut. “Aku geli dengernya.”“Baguslah.” Mili tak peduli dengan keluhan Padma. “Eh ya, kemarin aku baru dari kedai es krim di Kemang yang sering kamu datengin itu lho. Terus mereka keluarin varian baru. Kurasa kalau kamu di sini, kamu bakal suka sama varian barunya.”“Oh, ya?” Padma tentu saja ingat kedai es krim itu. Di sanalah ia dan Catra biasa kencan di akhir pekan kalau Padma sedang ingin es krim.“Iya. Kemarin aku juga ketemu Asa.”“Apa kabar Asa?”“Fine, as usual,” jawab Mili dengan santai. “Mereka nanyain kabar kamu ke aku. Emangnya kamu nggak pernah teleponan sama Asa?”Sudah sebulan sejak Padma kembali ke Bali. Di hari-hari pertama, rasanya berat untuk mendapati kini sisi ranjang di sebelahnya kosong tak berpenghuni.Seringnya Padma tertidur setelah mengusap ba