Padma keluar dari kamar mandi dan melihat Catra yang tengah memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper. Ia menggeleng pelan, lalu memeluk suaminya dari belakang.
“Sayang, kan aku bilang aku aja yang beresin baju kamu.”
“No, no.” Catra menggeleng. “Kamu duduk aja di ranjang. Aku ngidam beresin baju sendiri nih, Yang.”
Padma tergelak, begitu pun Catra yang sadar betapa absurdnya hal tersebut. Ia menoleh ke belakang dan mencium bibir Padma sekilas. Aroma mint dari pasta gigi membuat Catra kembali mengulangi ciumannya lagi pada sang istri.
“Beneran,” kata Catra lagi. “Dikit lagi selesai kok. Atau….&rdqu
Badai Tanaka: Di mana? Aku udah sampai.“Baba?”“Iya?”“Papa!”Badai tertawa mendengar bagaimana Asa mengulangi panggilan pertamanya untuk Badai dulu. “Asa udah laper belum?”“Beyum.”“Belum,” ulang Badai. Kadang-kadang Asa memang masih suka mengatakan ‘mam’ untuk ‘makan’, ‘beyum’untuk ‘belum’, dan ‘Om Kayu’ untuk ‘Om Kalu’.
“Kamu abis ketemu siapa semalam?”“Badai sama Asa.”“Tuhkaaan, ngumpet-ngumpet temu kangen sama Asa nggak bilang-bilang ke aku.”Catra tergelak dan keluar dari kamarnya. Ia mengambil kopi yang tadi sudah ia seduh dan menyesapnya dengan pelan. “Maaf, Sayang. Kan aku sekalian ngasih oleh-oleh buat Asa.”Catra tahu, di belakangnya, banyak orang yang berpikir kalau ia lelaki bodoh yang mau-mau saja bersikap baik pada mantan tunangan istrinya.Tapi yang semua orang tak tahu adalah kalau Padma memang benar-benar mencintainya dan bahkan tak berpikir dua kali untuk mengikutinya ke mana saja ia pergi, sekalipun tak ada Badai di sana.Belum lagi Badai Tanaka yang dulunya merupakan seorang lelaki yan
Dulu Padma tak percaya pada sebuah konsep hubungan, di mana seseorang benar-benar bisa mati meskipun raganya masih hidup, saat pasangan mereka pergi begitu saja.Tapi setelah menjalani perjalanan Bali-Jakarta yang seperti hanya kilatan saja, Padma mulai memercayainya.Rumahnya kini dipenuhi para pelayat. Saat ia tiba di Jakarta malam itu juga, rumahnya sudah ramai dan jenazah Catra sudah terbaring di ruang tengah.Tidak ada sofa di mana mereka sering menghabiskan waktu bersama. Tidak ada meja yang biasanya berantakan dengan alat gambar Catra. Tidak ada televisi yang menyala dengan tayangan series di Netflix favorit Padma.Semua berjalan begitu saja. Sejak ia datang dan m
Badai menimbang-nimbang rokok di tangannya, lalu menaruhnya begitu saja di meja. Ia menghela napasnya dan menatap ke langit malam yang kian gelap.Tadinya ia ingin pulang, tapi Asa sudah tertidur di kamar paviliun belakang bersama mantan ibu mertuanya dan Badai tak tega untuk membangunkannya. Asa cenderung akan sulit tidur lagi nantinya kalau ia paksa bangunkan sekarang supaya mereka bisa pulang.Dibawa pulang dengan kondisi tertidur pun bukan pilihan yang tepat.Karena tak bisa tertidur, Badai pun memilih duduk di teras saja. Sebenarnya ia ditawari tidur di kamar tamu yang ada, tapi Badai menolaknya dengan sopan.Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya ia mengirim pesan pada Ar
“Kalian duluan aja.”Shua dan Mili saling berpandangan, kemudian tahu kalau mereka tak bisa membantah permintaan Padma. Jadi yang mereka lakukan adalah mengangguk dan menjauh dari makam Catra yang masih basah.Pagi itu Catra dimakamkan dengan diiringi orang-orang tersayangnya. Padma tak menangis sama sekali, meskipun ia melamun sepanjang hari. Perempuan itu satu-satunya yang tak mengenakan pakaian warna hitam dan tak ada yang berani menegur atau memintanya berganti pakaian.Catra tak terlalu suka warna hitam, lelaki itu cenderung menyukai warna-warna hangat seperti cokelat. Jadilah pagi itu Padma memilih memakai baju terbaiknya yang masih sopan dipakai ke pemakaman dengan palet warna kesukaan Catra.Ia ingin mengantar Catra terakhir kalinya dengan serapi mungkin.“Rasanya masih nggak percaya kalau kamu bakal pergi duluan, Yang.” Padma mengusap pelan nisan bertuliskan nama suaminya. “Tapi aku jadi inget obrolan kita waktu di awal-awal sampai di Bali itu.”Saat itu baru hari kedua merek
“Kamu nggak capek?”“Nggak.”Shua menggeleng prihatin melihat kondisi Badai yang sangat kacau. Hari ini adalah hari keempat setelah Anastasya meninggal, tapi ia baru sempat mengunjungi Badai karena anaknya sakit sejak ia pulang dari rumah Padma.“Makan dulu, Dai.” Shua kembali menyodorkan piring yang sudah diisi dengan nasi, sayur, dan lauk yang memadai. “Gimana kamu mau punya tenaga untuk ngerawat Asa setelah ini kalau kamu terus menerus menyiksa diri sendiri?”Badai menatap Shua dan piring tersebut secara bergantian, lalu mengambilnya dengan enggan.Bukan kebiasaan Badai makan di ruang tengah, tapi ia sudah terlalu malas beranjak ke ruang makan.Shua menghela napas lega saat Badai akhirnya mau makan. Dari Reval, adiknya yang sejak kematian Anastasya ikut menginap di rumah Badai bersama ibu dan adiknya, Shua tahu kalau Asa masih tak mau bicara sama sekali dan Badai jadi jarang makan karena selalu menemani Asa.Dari keluarga Tanaka yang lain, memang keluarga Shua-lah yang paling dekat
“Asa, kita jalan sebentar, mau nggak?”Asa, yang tadinya tengah bermain dengan kartu-kartu bertuliskan nama buah dan bintang yang dilengkapi dengan gambarnya tersebut mendongak untuk menatap Badai. Badai melirik sejenak kartu-kartu tersebut.Benda itu salah satu media terapi Asa sejak dulu untuk memperlancar bicaranya.Asa mengangguk dan Badai tersenyum kecil. Ia mengambil jaket denim yang ia belikan untuk Asa dan memiliki warna yang sama dengan miliknya, lalu memakaikannya pada Asa.Badai juga memakai jaket yang sama dengan Asa dan setelahnya, mereka pun keluar dari kamar Asa.Hari ini ada Reval dan Shania, dua adik Shua yang masih menginap di rumah Badai bersama ibu Shua. Keduanya menoleh ke arah Badai dan Asa saat ayah dan anak itu turun ke lantai satu.“Mau ke mana, Bang?” tanya Shania dengan penasaran.“Mau jalan-jalan aja ke taman yang nggak jauh dari sini. Kalian nggak apa-apa kan ditinggal sebentar?”“Nggak apa-apa, Bang.” Kali ini Reval yang menjawab. “Mama lagi belanja sama
Badai menggertakkan giginya tanpa sadar saat tiba di hadapan kedua orangtua Anastasya. Tapi untungnya ia masih bisa menahan diri, jadi yang Badai lakukan hanya menunduk sejenak sebagai sapaan lalu berlalu masuk ke rumahnya tanpa mengatakan apa pun pada mereka.Badai tahu tindakannya benar-benar tak sopan, tapi menurutnya hal itu masih lebih baik dibanding kalau ia memilih untuk langsung mengusir mereka.“Bang, itu—““Iya, itu opa-omanya Asa,” sergah Badai begitu Reval menyambutnya dengan raut penasaran. “Aku mau mandiin Asa dulu.” Kemudian Badai beralih pada Shania. “Shan, abis Asa mandi, bisa tolong temenin dia di kamar?”Shania buru-buru mengangguk. “Bisa, Bang.”Lelaki itu kembali melanjutkan langkahnya dan di lantai dua ia berpapasan dengan ibu Shua. Badai tak mengatakan apa pun, ia hanya membawa Asa ke kamarnya dan mengisi air di bathtub sambil mencari mainan yang ia janjikan.“Yang tadi itu Opa sama Oma, Nak,” beri tahu Badai sambil membantu Asa membuka pakaiannya.Tanpa diduga,
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec