Badai menggertakkan giginya tanpa sadar saat tiba di hadapan kedua orangtua Anastasya. Tapi untungnya ia masih bisa menahan diri, jadi yang Badai lakukan hanya menunduk sejenak sebagai sapaan lalu berlalu masuk ke rumahnya tanpa mengatakan apa pun pada mereka.Badai tahu tindakannya benar-benar tak sopan, tapi menurutnya hal itu masih lebih baik dibanding kalau ia memilih untuk langsung mengusir mereka.“Bang, itu—““Iya, itu opa-omanya Asa,” sergah Badai begitu Reval menyambutnya dengan raut penasaran. “Aku mau mandiin Asa dulu.” Kemudian Badai beralih pada Shania. “Shan, abis Asa mandi, bisa tolong temenin dia di kamar?”Shania buru-buru mengangguk. “Bisa, Bang.”Lelaki itu kembali melanjutkan langkahnya dan di lantai dua ia berpapasan dengan ibu Shua. Badai tak mengatakan apa pun, ia hanya membawa Asa ke kamarnya dan mengisi air di bathtub sambil mencari mainan yang ia janjikan.“Yang tadi itu Opa sama Oma, Nak,” beri tahu Badai sambil membantu Asa membuka pakaiannya.Tanpa diduga,
“Apa kita ke rumah Mama Padma aja ya sekarang?”Asa tentu saja tak menjawab secara verbal. Anaknya tersebut menatap Badai tanpa berkedip selama beberapa saat.Setelah orangtua Anastasya datang ke rumah ini beberapa waktu yang lalu, malamnya Asa kembali demam hingga Badai harus kembali cuti untuk empat hari setelahnya.Sejak semalam kondisi Asa akhirnya membaik dan Badai baru ingat kalau mereka belum mengunjungi Padma sama sekali. Ia pun bahkan tak sempat menelepon karena terlalu banyak hal yang harus ia urus.Anggukan Asa membuat Badai tersenyum. Lamat-lamat terbit senyum di wajah anaknya dan membuat Badai sadar kalau kali ini Asa tahu, Badai mengajaknya bertemu dengan orang yang tak akan menyakitinya.“Oke, habis makan siang kita ke sana ya.”Asa kembali mengangguk dan tersenyum semakin lebar. Badai hanya berharap Padma sudah cukup membaik untuk bertemu dengan mereka. Dari Shua, Badai tahu kalau Padma masih sering mengurung diri di kamarnya.Usai makan siang, Badai menepati janjinya
“Aca!”Asa mengerucutkan bibirnya mendengar panggilan dari Janardana Kalasta atau yang biasa dipanggil Janar, tapi ia tak mengoreksi panggilan sepupunya tersebut. Janar pun langsung menggandeng tangan Asa untuk segera mengikutinya ke ruang bermain yang ada di lantai satu.Sementara itu, Badai memilih menuju dapur dan mendapati Shua dengan suaminya, tengah duduk berhadapan di pantry sambil mengaduk teh yang masih mengepulkan uapnya.“Teh?” tawar Shua begitu Badai bergabung dengan mereka dan duduk di sebelah suaminya.Badai menggeleng. “Kopi?”“Ck. Kenapa nyarinya yang nggak ada sih?” gerutu Shua. Walau begitu, ia tetap bergerak membuatkan kopi selagi suaminya mengobrol dengan Badai.“Aku ke ruang bermain dulu deh, jagain anak-anak,” kata suami Shua begitu kopi Badai selesai dibuat. Lelaki itu menepuk bahu Badai beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar pergi.“Thanks.” Badai bergumam pada Shua seraya mengambil gelas yang disodorkan perempuan itu.Shua pun kembali duduk di tempatnya, b
“Badai mau ketemu kamu.”Jangankan menyahut, melirik Shua pun tidak.Tapi Padma tak akan berteman dengan orang yang langsung berkecil hati hanya karena ia mengabaikannya. Mili dan Shua punya satu persamaan, sama-sama tak ambil pusing kalau Padma mengabaikan mereka.Karena senjatanya hanya satu, teruslah bicara sampai Padma muak dan akhirnya menyahuti mereka.“Dia bilang dia mau minta maaf karena nggak datang di hari pemakaman Catra,” cerita Shua lagi sambil mengupas jeruk yang ia bawa.Tentu saja bukan untuk Padma, tapi untuk dirinya sendiri.Padma yang duduk bersandar pada bantalnya, melirik Shua dengan malas. Ia mulai berpikir, kenapa juga kemarin-kemarin ia setuju membiarkan Shua menjaganya?Begitu Shua datang pagi tadi, perempuan itu langsung menaruh buah yang ia beli di keranjang yang tersedia dan memakannya satu per satu. Sesekali Shua menawari Padma, tapi setelah dua kali ditolak, Shua memilih untuk menghabiskannya sendiri saja.Buang-buang tenaga aja nawarin orang yang nggak m
“Kirain kamu masih cuti.”“Pengennya sih cuti setahun.” Badai mengedikkan bahunya. “But life must go on. Asa juga udah dua hari ini selalu melotot setiap aku sarapan pakai baju santai.”Arsa yang hari itu datang ke Sadira Group sebagai perwakilan dari perusahaannya tersebut cukup kaget saat melihat Badai memasuki ruang meeting.Lelaki itu terlihat menerima beberapa ucapan duka dari peserta rapat yang hadir dan Arsa tahu, mungkin hampir semua orang yang bertemu dengannya melakukan hal yang sama.Setelah rapat selesai, Arsa mengajak Badai minum kopi di coffee shop yang ada di lobi gedung Sadira Group. Mereka memang belum sempat bertemu bahkan sejak kepergian Catra.“Gimana kabarnya Asa?” Arsa juga tahu mengenai Asa dari Shua, ketika ia, Mili, dan Shua bertemu di kamar rawat inap Padma. “Udah nggak sakit lagi kan sekarang?”“Udah nggak. Udah sembuh kok.”“Tapi masih belum mau ngomong?”Badai mengangguk. “Belum.”Arsa menghela napasnya. Keponakannya itu mengalami banyak hal yang tak menye
“Ke rumah Badai aja, Mil.”“Ke rumah Badai?”Mili yang tadinya tengah fokus mengemudi, menoleh pada Padma dengan terkejut. “Sekarang?”“Iya.” Padma mengangguk. “Pasti Asa ada di rumah kan? Nggak dibawa kerja sama Badai kan?”“Iya sih….” Mili hari ini memang menyempatkan diri bekerja setengah hari setelah jam makan siang nanti supaya pagi ini bisa menjemput Padma.Setelah mengantar Padma sampai rumah, baru nanti rencananya ia kembali ke kantor dan makan siang dengan suaminya, Arsa.“Ya udah, beneran ke rumah Badai nih?” tanya Mili sekali lagi.“Iya, bener.”Padma menatap ke luar jendela sambil menghela napasnya. “Aku kangen sama Asa, pengen ketemu dia dulu rasanya.”“Dia juga kangen sama kamu.”“Kondisinya separah itu, Mil?”“Iya….” Mili kembali menghela napasnya saat mengingat bagaimana Asa yang jadi tak mau bicara sama sekali pada siapa pun. “Padahal sebelumnya kan udah ada kemajuan ya, dia jadi mau mulai ngomong sama orang lain. Tapi apa yang Asa liat waktu itu kan emang nggak bisa
“Nah, ayo pamit sama Mama Padma. Ini udah waktunya Asa tidur.”Tapi bukannya melambaikan tangan untuk pamit pada Padma, Asa malah melepas genggaman tangannya dari Badai dan beranjak ke sisi Padma. Tangan mungilnya meraih tangan Padma dan ia langsung mendongak untuk bertukar tatap dengan perempuan itu.“Mau Mama bacain dongeng?” tanya Padma dengan lembut.Asa langsung berkali-kali mengangguk dan Padma beralih pada Badai. “Boleh aku temenin Asa sampai dia tidur?”“Boleh.” Badai mengangguk ragu. “Yuk, ke kamarnya.”Lelaki yang sudah berganti pakaian dengan pakaian yang lebih kasual tersebut menunjukkan jalan menuju kamar Asa. Di belakangnya, Padma sibuk mengajak Asa mengobrol tanpa merasa keberatan kalau Asa tak menjawabnya sama sekali.Setelah makan siang tadi Badai memang tak kembali ke kantornya dan memilih untuk bermain bersama Padma dan Asa.Sekalipun Asa tak bicara satu patah kata pun, tapi ia tersenyum dan tertawa saat bersama Padma—dan hal itu sudah cukup bagi Badai.Hidupnya beb
Padma tak pernah siap mendengarkan wasiat Catra.“Kapan Catra siapin ini semua?”Pengacara Catra yang bernama Lius tersebut mencoba mengingat kembali pertemuannya dengan Catra. Meskipun ia adalah pengacara keluarga Kamandaru, tapi belum lama ini ia berurusan dengan Catra secara pribadi.“Sekitar enam bulan yang lalu. Beliau bertemu saya di kantor.”Padma mengangguk pelan dan ibu mertuanya ikut menguatkan dengan cara mengusap bahunya dengan lembut. Di samping ibu mertuanya, ada dua adik ipar Catra yang usianya tak beda jauh dari Arsa—Daiva dan Khandra.“Silakan dimulai aja, Pak.” Padma memberi tahu Lius untuk segera membacakan surat wasiat mendiang suaminya.Hari ini adalah hari yang disepakati Padma dan pengacara Catra untuk membacakan surat wasiat yang ditinggalkan oleh suaminya. Untuk meminta dukungan, Padma meminta ditemani ibu mertuanya yang dituruti dengan senang hati.Lius pun mulai membacakan isi surat tersebut dan rasanya masih menyakitkan untuk Padma ketika kembali mengingat